Tulang Punggung Prof. Syafi’i Ma’arif


Oleh: Zen RS (Berkarier sebagai penulis dan jurnalis selama hampir dua dekade. Pendiri Pandit Football Indonesia. Bergabung dengan Tirto.id pada 2016)

Setelah beradu argumen soal komunisme di sesi perkuliahan, saya mensejajari langkah Prof. Syafi’i Ma’arif yang sedang berjalan menuju ruangan dosen.

“Saya mau ke tempatnya Nursam. Mau nagih royalti buku,” katanya dengan langkah bergegas.

Nursam adalah pemilik Penerbit Ombak, penerbit di Yogyakarta yang getol menerbitkan buku-buku sejarah. Memoar yang ditulis sendiri oleh Prof. Syafi’i, yang ia beri judul Titik-Titik Kisar di Perjalananku, diterbitkan oleh Ombak. Judul itu dipilih karena, sepengakuannya di depan kelas, terinspirasi dari judul memoar Ali Sastroamidjojo, Tonggak-Tonggak di Perjalananku.

“Saya tak pernah mau menerima tawaran menjadi komisaris BUMN. Tapi royalti buku itu lain. Walau hanya sejuta dua juta harus ditagih. Itu kebahagiaan terbesar seorang penulis,” tambahnya dengan nada yang begitu yakin.

Saya mencoba sedikit berbasa-basi dengan menawarkan diri membawa segepok makalah mahasiswa, di dalamnya ada makalah saya tentang Iwan Simatupang. Ya, basa-basi. Saya tahu ia akan menampik. Saya pernah melihat sendiri seorang mahasiswa yang ingin membantunya membawakan tas berisi tumpukan kertas (isinya mungkin makalah) ditolak. Ia berkata: “Anda pikir saya sudah terlalu tua sampai tidak kuat untuk membawa tas?”  

Saat itu ia baru saja mengajar Filsafat Sejarah di ruang kelas yang sempit, pengap, yang lebih mirip gudang. Kelas itu berada di sebuah gedung yang terpisah dari kompleks utama Fakultas Ilmu Sosial. Kami biasa menyebutnya sebagai “Gedung Merah”. Anak-anak Ilmu Sejarah biasa berkuliah di sana, terasing dari kebanyakan jurusan yang lain.

Sesi kuliah itu diwarnai perdebatan kecil tentang komunisme. Prof. Syafi’i menganggap komunisme sudah usang. Ia cukup sering mengatakan (saya ingat benar diksinya): komunisme sudah berada di tiang gantung sejarah. Saya membantahnya. Saat itu Prof. Syafi’i, seperti banyak orang lain, mencampur-adukkan komunisme dan marxisme sebagai ideologi dengan praktiknya sebagai partai, terutama di Sovyet.  

Saya mengikuti tiga perkuliahan Prof. Syafi’i. Pertama, mata kuliah filsafat sejarah. Kedua, sejarah pemikiran modern. Ketiga, bahasa Inggris. Bahasa Inggris? Ya, pelajaran bahasa Inggris.

Saya ingat, pada satu sesi perkuliahan, Prof. Syafi’i kesal dengan para mahasiswa yang dianggap berkemampuan buruk dalam bahasa Inggris. Saat itu ia membagikan copy sebuah artikel yang membahas gagasan Giambatista Vico, filsuf dari Italia. Dengan suara yang sedikit meninggi, ia berkata: “Mau jadi sejarawan kok bahasa asingnya kacau. Semester depan saya sendiri yang akan ngajar Bahasa Inggris. Kalian kalau mau ikut silakan masuk.”

Ia memenuhi janjinya. Semester berikutnya ia mengajar bahasa Inggris. Mengajar hal yang sangat dasar. Saya sudah lulus mata kuliah bahasa Inggris, tapi selalu menyempatkan diri hadir karena dia yang mengajar. Ia bahkan sempat mengajar tentang “to be”.

Semua itu terjadi saat ia masih menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah, salah satu ormas keagamaan terbesar di Indonesia. Ini posisi yang prestisius, strategis, membuatnya leluasa bergerak dan bertemu siapa saja. Ia sudah menjadi tokoh nasional. Kesibukannya luar biasa. Pergi ke berbagai daerah, hingga ke luar negeri.

Namun komitmennya kepada tugas mengajar tak pernah hilang. Jangankan menjadi pemimpin organisasi sebesar PP Muhammadiyah, menjadi seorang rektor pun kadang sudah cukup membuat seseorang menjadi ogah-ogahan mengajar S-1. Maunya mengajar pasca-sarjana. Tapi tidak dengan Prof. Syafi’i. Bahkan mau-maunya ia meluangkan waktu untuk mengajar bahasa Inggris! Ia kesal dengan kemampuan bahasa Inggris para mahasiswa, dan ia sendiri yang kemudian mengajar. Tidak memerintahkan siapa pun.

Komitmen sebagai pengajar itu juga terlihat dalam menilai makalah-makalah yang dikumpulkan mahasiswa. Saya pernah mengalami makalah saya dikomentari dengan tulisan tangan. Makalah yang mengulas buku “Sosialisme Indonesia dan Syarat-Syarat Pelaksanaannya” karya D.N. Aidit dikomentari di halaman terakhir. Saya sudah lupa komentar persisnya. Tapi seingat saya Prof. Syafi’i mengomentari makalah saya yang, katanya, tidak cukup kritis menilai pikiran-pikiran Aidit dan tidak berani menguji pikiran-pikiran itu dalam praksis politik Aidit sebagai Ketua CC PKI.

Ia memang punya kecenderungan anti-komunis. Dan ia tidak pernah menyembunyikan kecenderungan itu. Kami pernah berdebat sampai akhirnya saya tahu ini soal titik pijak ideologis. Namun ia tak pernah mengharamkan mahasiswanya membaca dan mempelajari marxisme dan komunisme. Ia bahkan mendorong mahasiswanya untuk membaca tema itu. Salah satu sesi perkuliahan filsafat sejarah diisi dengan mendiskusikan teks Manifesto Komunis. 

“Bagi saya sudah jelas, komunisme sudah bangkrut. Tapi kalian harus membacanya karena bagaimana mau setuju atau tidak setuju kalau tidak pernah dipelajari?” katanya.

Itulah sebabnya ia menawarkan diri menjadi pembimbing skripsi saat saya mengajukan rencana mengerjakan tugas akhir dengan tema “sosialisme ala Aidit”, yang kira-kira ingin menguji pikiran-pikiran Aidit yang dibukukan dalam Sosialisme Indonesia dan Syarat-Syarat Pelaksanaannya  dalam praksis politik PKI. Ia memberikan nomer kontak Rewang, salah satu anggota politbiro CC PKI yang saat itu masih hidup.

Agaknya, di tengah kesibukan yang super sebagai Ketua PP Muhammadiyah, yang tidak bisa tidak memungkinkannya ada di tengah pusaran politik, ia tetap memeriksa makalah-makalah mahasiswa S-1. Seberantakan apa pun, seacak-acak apa pun, makalah-makalah itu ia periksa dengan telaten.

Pada 2001 atau 2002, Prof. Syafi’i mengeluarkan bertumpuk-tumpuk makalah mahasiswa dari dalam tasnya. Ia memperlihatkan coretan-coretan yang dibuatnya pada beberapa makalah. Lalu ia berkata: “Minggu lalu saya ke Amerika. Makalah kalian saya periksa di dalam pesawat. Jadi tolong jangan sia-siakan waktu saya dengan membuat makalah yang jelek.”

Baginya, tidak ada yang istimewa memeriksa tugas-tugas mahasiswa. Itu sudah menjadi kewajibannya sebagai dosen. Namun tindakan-tindakan kecil itu terasa istimewa di tengah iklim akademik yang sering tidak serius memperlakukan karya-karya mahasiswa. Sangat biasa seorang dosen tidak “mengapa-apakan” makalah mahasiswanya. Mahasiswa tidak tahu kesalahannya di mana, mengapa dan harus bagaimana memperbaikinya. Tahu-tahu nilai sudah keluar saja di akhir semester. Koreksi dosen paling banter terjadi saat mengerjakan tugas akhir (skripsi).

Tentu saja di tengah kesibukannya yang sangat padat, Prof. Syafi’i kadang tidak masuk di jam mengajar. Seingat saya, jika itu terjadi, ia akan mengganti di hari yang lain. Hari Sabtu cukup sering menjadi hari yang dipakai untuk mengganti perkuliahan yang dilewatkannya. Ia tidak pernah mengabsen mahasiswa, sehingga mahasiswa yang absensinya kurang dari 75% masih bisa tetap mengikuti ujian akhir, namun ia sendiri selalu memenuhi kuota 75% mengajar di tiap semester.

Jangankan jumlah kuota minimal mengajar atau memeriksa makalah, bahkan menggandakan materi kuliah pun ia lakukan sendiri. Salah satu ciri khas Prof. Syafii sebagai dosen adalah membagikan bahan bacaan untuk dibahas. Macam-macam yang dibagikan. Kadang tulisannya sendiri, kadang artikel orang lain, kadang petikan sebuah buku. Ia sendiri yang memilih, menyiapkan dan menggandakan. Saya pernah menyaksikan ia sedang berdiri di warung-warung fotocopy di seberang kampus sedang menggandakan bahan ajar untuk mahasiswanya.

Bukan hanya soal urusan membawa tas, saya pernah melihatnya turun dari mobil (seumur-umur di kampus, saya tak pernah melihat ia disopiri orang lain) dan membuka salah satu pintu gerbang, alih-alih memencet tombol klakson berkali-kali untuk memanggil satpam. Padahal ia bisa meminta tolong, atau memberi perintah, dari level satpam sampai rektor, sebab ia memang punya privilege yang luar biasa besar di kampus.

Di luar negeri mungkin biasa saja polah Prof. Syafi’i macam itu. Tapi dalam suasana feodalistik yang masih merajalela di mana-mana, jadi juragan sedikit saja maunya tas dibawakan orang lain, jadi rektor doang sudah emoh mengajar S-1, baru jadi dekan mengajar saja sudah doyan diwakilkan pada asisten dosen, jadi ngetop dikit saja sudah nyuruh ini itu, maka apa yang dilakukan Prof. Syafi’i dalam statusnya sebagai dosen itu istimewa.

Apa yang dapat ia kerjakan sendiri, akan ia kerjakan sendiri. Ia tak suka menyuruh-nyuruh, tak senang memerintah-merintah. Saya tak heran jika ia tak sudi diatur-atur, diperintah-perintah.

Saya ingat kata-kata yang sering diucapkan Prof. Syafi’i tentang Tan Malaka, kata-kata yang saya tahu berasal dari Bung Hatta: “Tulang punggungnya terlalu keras untuk membungkuk di hadapan siapa pun.”

Saya kira Prof. Syafi’i sedang bicara tentang dirinya sendiri.

https://tirto.id/tulang-punggung-prof-syafii-maarif-b4T3