Tajdid dan Mujaddid (Perspektif Buya Hamka)

“Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini, pada setiap akhir seratus tahun, orang yang memperbaharui untuk umat agama mereka (HR. Abu Dawud; 4291)

Hadits diatas adalah landasan informasi yang menyebutkan bahwa setiap satu abad Allah akan mengutus para pembaharu (mujaddid) dalam agama ini. Buya Hamka mengatakan bahwa pemahaman dan kesadaran beragama kita hendaklah diperbaharui terus, jangan dibiarkan usang, bobrok dan jumud. Namun bukan agama itu sendiri yang diperbaharui, sebab sebagai sesuatu al-haq, agama tidaklah mengenal tiap-tiap waktu. Yang diperbaharui adalah cara kita memikirkannya.
Al-Quran itu sendiri sudah tamat, kalimatnya sepatah katapun tak dapat ditukar. Tetapi cara kita memikirkannya dapat berubah karena berubahnya zaman, karena maju mundurnya pola pikir, karena luas atau sempitnya pengetahuan kita.

Syaikh Abdul Karim Amrullah mengatakan,”Sebab kenapa dinamakan mujaddid ialah karena setiap orang membuat bid’ah dalam agama, niscaya dia akan mematikan sunnah yang bertentangan dengan bid’ah itu. Maka orang-orang yang menghidupkan sunnah waktu itusama artinya dengan memperbaharui kembali. Atau dia dipandang oleh orang-orang yang telah lama tenggelam dalam bid’ahnya sebagai pembawa ajaran baru…” sekian penjelasan Syaikh Abdul Karim.

Dan para ulama telah sepakat bahwa mujaddid dalam kurun waktu satu abad pertama ialah Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Setelah diangkat menjadi khalifah, beliau membuat pembaharuan-pembaharuan, diantaranya adalah melarang celaan kepada sayyidina Ali dan pengikutnya dalam khotbah, lalu menggantinya debgan seruan keadilan dan kebaikan, sehingga sampai hari ini hal tersebut masih dilakukan oleh para khatib diujung khotbah kedua.
Kemudian pada kurun waktu abad kedua disebutlah yang disebut-sebut sebagai mujaddid itu ialah Imam Syafi’i, ada juga yang menyebut Imam Ahmad bin Hambal yang dengan gigih berpegang teguh pada keyakinan, sehingga beliau dipenjara dan disiksa oleh penguasa waktu itu yang hendak memaksakan paham mutakzilah kepada umat.
Itulah orang-orang yang disebutkan oleh Rasulullah,”Senantiasa ada segolongan dari umatku yang (membela dan) memenangkan kebenaran, tidak akan merugikan mereka orang yang meninggalkan mereka, sampai datangnya ketentuan Allâh dalam keadaan mereka (tetap) seperti itu (HR. Muslim; 1920)

Buya Hamka menjelaskan,Jika diartikan secara harfiah saja, tajdid boleh diistilahkan dengan modernisasi. Untuk sekedar arti saja, memanglah tajdid itu sama artinya dengan pembaharuan dan modernisasi. Tetapi orang yang sadar pada ajaran Islam tidak akan lekas memaknainya dengan modernisasi. Sebab terbukti banyak golongan yang hendak memodernisasikan Islam dengan mempreteli Islam itu sendiri, atau meninggalkan pokok-pokok ajarannya.

Malah sudah lama dipropagandakan sejak zaman penjajahan dengan politik etisnya. Dimulai dengan merusak cara berpikir yang datang dari Islam menjadi cara berpikir ala barat. Dan yang paling utama sekali dalam dalam pendidikan barat adalah membangkitkan pola pikir yang netral agama. Dari sini kecemburuan (ghirah) beragama tidak ada lagi.
Dari sanalah tertanam perasaan bahwa orang yang berpegang kepada agama adalah orang fanatik dan tidak terpelajar. Maka jika ingin maju dan dikatakan modern, hendaklah ajaran Islam itu ditinggalkan, jangan menonjolkan diri sebagai muslim, karena itu sikap fanatik, dan fanatik tidak laku di zaman modern ini.
Dari sana juga muncul gagasan, agama jangan dicampur-campur dengan politik. Orang Islam mesti turut modernisasi. Modernisasi dalam artian pemisahan agama dengan negara atau yang disebut sekularisasi politik. Dengan kata lain modernisasi yang dimaksud adalah mengisolasu agama di masjid.

Islam masih akan disokong dan dibiarkan hidup, tetapi hanya untuk membaca tahlil atau membaca doa-doa di hari-hari besar resmi.
Modernisasi semacam itulah yang mendapat pujian dan dibesar-besarkan dalam dunia barat.
Begitulah yang tengah kita jalani di Indonesia sekarang ini. Yang sayangnya ialah ada anak-anak muda yang kita harapkan membela Islam, namun karena merasa rendah diri dan hendak memperlihatkan bahwa diapun seorang yang berpikiran modern, keluarlah kata-katanya yang benar-benar menyinggung rasa beragama orang-orang yang masih saja mencintai agama ini.
Dan orang-orang Islam yang telah tercabut rasa kesadaran beragamanya merasa bangga dan mendabik dada, sebab mereka adalah kaum modernis, progresif-revolusioner.

Karena itu pejuang Islam harus mengenal betul perbedaan tajdid menurut sabda Nabi dengan modernisasi keinginan kaum orientalis. Karena kuan lama kian nampak bahwa telah ada pemuda-pemufa yang tadinya diharapkan memperjuangkan Islam, kini telah dibawa arus kesana.—
Para khulafaur rasyidin dalam sejarah yang ditulis oleh Brookelman disebut khalifah yang ortodoks atau salaf. Orang boleh menyebit ortodoks itu kolot, namun kepada semangat dan intisari yang ortodoks otulah tajdid hendak kembali. Sebab itu pula, maka gerakan tajdid yang dipelopori oleh Syaikh Muhammmad Abduh di Mesir dinamakan gerakan salaf.

Begitupun gerakan Muhammadiyah beserta gerakan tajdid yang lain, baik di Indonesia maupun diluarnya hendak kembali keoada sunnah Rasul, itulah yang menjadi tujuan. Bukan menyelewengkan Islam dari pangkalnya, karena sok modernisasi.

Jadi jelas, tajdid menurut Buya Hamka adalah upaya menyegarkan kembali pemikiran-pemikiran tentang agama, memperbaharui cara berfikir tanpa menabrak pokok-pokok agama itu sendiri. Tidak pula menabrak perkara-perkara yang sudah qath’i dalam agama.
Adapun Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang mengusung gerakan tajdid sudah secara tegas memisahkan antara purifikasi dengan dinamisasi. Dimana purifikasi mencakup perkara aqidah dan ibadah, sementara dinamisasi mencakup perkara muamalah duniawiyah.

Maka ketika Muhammadiyah membangun sekolah modern yang mengajarkan ilmu keduniaan tanpa meninggalkan ilmu agama, plus dengan berbagai metode pengajarannya, yang pada masanya dianggap aneh, itulah wujud dari tajdid. Adapun membangun sekolah modern dengan menghilangkan kurikulum agama, bahkan menekankan pendidikan yang netral agama, sebagaimana politik etis, jelas sebuah upaya penyesatan.
Begitupun penggunaan speaker untuk adzan adalah salah satu wujud tajdid, namun mengganti adzan dengan jam weker jelas penyimpangan.

Demikian pula membuat program ‘one day one juz’ agar memotivasi orang membaca Al-Quran, membuat buku metode iqra’ untuk mempermudah belajar membaca Al-Quran, menggunakan ilmu hisab dalam menentukan awal bulan hijriyah, dan lain-lain, itulah wujud dari tajdid yang benar.
Hal ini jelas tidak bisa disamakan dengan membolehkan kawin sesama jenis, menggeser waktu ibadah haji, merelatifkan batasan aurat, dan lain-lain.

oleh : Faisal Rahman (Aktivis Muda Muhammadiyah)