Sepintas Tentang Firqah Islam: Asy’ariyah dan Maturidiyah (Bagian IX)

Matan HPT

اَمَّا بَعْدُ فَاِنَّ الفِرْقَةَ النَّاجِيَةَ (1 (مِنَ السَّلَفِ اَجْمَعُوا عَلَى الإِعْتِقَادِ بِأَنَّ العَالَمَ كلَّهُ حَادِثٌ خَلَقَهُ االلهُ مِنَ العَدَمِ وَهُوَ اَىِ العَالَمُ) قَابِلٌ لِلفَنَاءِ (2 (وَعَلَى اّنَّ النَّظْرَ فِى الكَوْنِ لِمَعْرِفَةِ االلهِ وَاجِبٌ شَرْعًا (3 (وَهَا نَحْنُ نَشْرَعُ فِى بَيَانِ اُصُولِ العَقَائِدِ الصَّحِيْحَةِ.

Kemudian dari pada itu, maka kalangan ummat yang terdahulu, yakni mereka yang terjamin keselamatannya (1), mereka telah sependapat atas keyakinan bahwa seluruh ‘alam seluruhnya mengalami masa permulaan, dijadikan oleh Allah dari ketidak-adaan dan mempunyai sifat akan punah (2). Mereka berpendapat bahwa memperdalam pengetahuan tentang ‘alam untuk mendapat pengertian tentang Allah, adalah wajib menurut ajaran Agama (3). Dan demikianlah maka kita hendak mulai menerangkan pokok-pokok kepercayaan yang benar.

 

 

Syarah:

Kata Kunci:  الفِرْقَةَ النَّاجِيَةَ (Kelompok yang selamat)

Sebelumya pernah saya sampaikan bahwa yang dimaksudkan dengan ahli sunnah wal jamaah adalah para pengikut Abu Hasan al-Asy’ariy dan Maturidiyah pengikut Abu Mansur al-Maturidiy. Mereka sesungguhnya merupakan pengikut dari madzhab salaf dari para imam fikih seperti Abu Tsaur, Abu Hanifah, Malik, Syafii dan Ahmad bin Hambal. Hal ini diakui sendiri oleh Imam Asyari seperti yang beliau sampaikan dalam kitab al-Ibânah fi Ushûl ad-Diyânah.

Hanya saja, imam Asyari dan Imam Maturidi memberikan topangan ilmu logika sehingga kalam ahli sunnah sangat rasional. Bahkan pada masa mutaahir, seperti kitab-kitab asyari karya Imam Razi, Imam Iji dan Imam Tiftazani, atau kitab kitab tauhid Maturidiyah seperti karya Imam Nasafi, bahasan yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut sangat kental dengan bahasan kalam dan filsafat.

Dalam hal ayat-ayat mutasyabihat, kalangan Asyariyah atau Maturidiyah menggunakan dua maslak (cara), yaitu tafwit dan takwil. Artinya bahwa di madzhab ahli sunnah, keduanya dibenarkan. Tafwith maksudnya adalah menerima lafal apa adanya tanpa mempersoalan tentang makna yang terkandung di dalamnya. Takwil adalah mengalihkan makna lafal dari makna yang sebenarnya kepada makna lain yang memungkinkan karena adanya indicator bahasa.

Dalam konsepnya, Asyariyah dan Maturidiyah meletakkan nas lebih dulu dibandingkan dengan akal. Ini berbeda dengan muktazilah yang meletakkan akal lebih dulu disbanding dengan nas. Bagi ahli sunnah, nas merupakan imam dan petunjuk utama. Tugas akal manusia adalah mengesplorai apa yang ada dalam nas. Meski demikian, akal seperti yang disampaikan oleh Imam Ghazali tidak akan pernah bertentangan dengan nas.

Kelompok ini menganggap bahwa seluruh sahabat adalah udul. Ini artinya bahwa semua sahabat dapat dipercaya dan semua pendapatnya bisa diambil dan menjadi pertimbangan . Adapun orang munafik, sesungguhnya mereka keluar dari definisi sahabat. Mereka adalah kelompok tersendiri yang secara nas telah dicela oleh al-Quran.

Selain para sahabat, mereka juga mengambil pendapat dari para ulama tabiin yang udul. Posisi tabiin tentu tidak sama dengan posisi sahabat. Namun bagi ahli sunnah, tabiin menjadi generasi terbaik setelah para sahabat. Selanjutnya adalah generasi tabiittabiin. Tiga generasi emas ini, menjadi pijakan sangat kuat bagi kalangan ahli sunnah. Mereka menyebut tiga generasi ini dengan istilah salaf shalih, maksudnya generasi pendahulu yangshalih. Ikatan kata shalih, maksudnya adalah para ulama yang sesuai dengan manhaj ahli sunnah, bukan mereka yang masuk kelompok ahli bidah seperti khawarij dan syiah. Hal ini karena dua kelompok tersebut sudah muncul sejak masak sahabat Imam Ali. Artinya sejak masa salaf, ahli bidah ini sudah ada. Namun mereka tidak shalih.

Tentu ini berbeda dengan kalangan Syiah yang menganggap bahwa tidak semua sahabat itu udul. Bagi kalangan syiah, sebagian sahabat dianggap pelaku maksiat sehingga pendapat dan perkataannya tidak dapat dipegang. Bahkan sebagian syiah rafidah melaknat sahabat Abu bakar dan Usman serta Umul Mukminin Aisyah.

Terkait amar makruf dan nahi munkar, kelompk ahli sunnah mengatakan wajib. Hanya saja, hal utama yang dijadikan pijakan bukan revolusi, namun menasihati pemimpin dengan cara yang baik. Revolusi bersenjata sama sekali terlarang. Bagaimanapun zhalimnya penguasa, tetap wajib ditaati.

Sikap ini, merupakan reaksi ahli sunnah terhadap fitnah sahabat dan juga kondisi social yang ada pada waktu itu. Akibat berbagai fatwa tentang revolusi, Negara tidak aman. Banyak kelompok yang selalu angkat senjata menentang pemerintah seperti yang dilakukan oleh kalangan khawarij dan syiah. Akhirnya terjadid pertumpahan darah di mana-mana. Padahal darah seorang muslim harus dijaga, bukan ditumpahkan. Peperangan hanya akan memakan banyak korban berjatuhan, disamping juga mengacaukan kestabilan politik.

Terkait dengan kebebasan manusia,menurut imam Abu Hasan al-Asy’ariy bahwa sesungguhnya yang memiliki hak untuk menciptakan sesuatu hanya Allah semata. Tidak ada makhluk yang mempunyai kehendak seperti kehendak Allah. Dengan kata lain, bahwa sifat sebagai penciptaan hanya dapat dinisbatkan pada Allah saja. Allah adalah pencipta segala sesuatu. Jika Allah berkehendak, apapun akan terjadi, sebaliknya. Jika Tuhan tidak berkehendak sesuatu juga tidak akan terjadi Baik buruk perbuatan manusia juga meruakan ciptaan Allah, karena manusia sama sekali tidak memiliiki hak untuk menciptakan sesuatu apapun. 

Bagaimana dengan manusia? Manusia melakukan kasb atau upaya dengan henendak yang telah Allah berikan kepadanya. Upaya ini disebut dengan istilah al-kasb. Upaya ini yang akan menentukan, apakah manusia akan memilih kepada jalan kebaikan ataukah keburukan. Dengan upaya manusia, ini, maka kelak manusia akan diganjar sesuai dengan amal perbuatannya.

Kalangan ahli sunnah membagi kehendak (irâdah) menjadi dua bagian pertama, irâdah kauniyyah qadariyyah, dan kedua irâdah syar’iyyah dîniyyah. Bagian pertama merupakan kehendak Tuhan secara mutlak. Dari sini berarti mencakup seluruh kehendak Tuhan, termasuk kehendak dalam menciptakan perbuatan baik dan buruk bagi manusia.

Perbuatan buruk yang dilakukan manusia, meski itu merupakkan bagian dari ciptaan Tuhan, bukan berarti Tuhan merestui manusia untuk melakukan perbuatan tersebut. Di  sinilah hubungan antara  irâdah kauniyyah qadariyyah dengan irâdah syar’iyyah dîniyyah. Imam Asy’ariy membedakan antara kehendak Tuhan dan restu Tuhan. Dengan kata lain, qadhâ’ dan qadar merupakan ketetapan dan kehendak mutlak yang dimiliki Tuhan.[5]Ketetapan tersebut sudah ada dalam ilmu Tuhan sejak azal.[6] 

Adapun permasalahan kedua, adalah mengenai al-kasbAl-kasb adalah suatu perbuatan yang dilakukan seseorang dengan qudrah muhditsah. Dengan kata lain bahwa semua perbuatan manusia hanya disandarkan pada kehendak Tuhan. Tugas manusia hanya berusaha, namun segalanya sesungguhnya telah berada dalam ilmu Tuhan.