Pertama Sholat Ied dan Hadirnya Muhammadiyah di Papua

Belum diketahui secara pasti kapan tradisi sholat ied di lapangan dimulai. Sebelumnya sholat berjamaah diselenggarakan di masjid, suro atau musollah. Tapi di Papua sudah berlangsung sejak tahun 1926 silam ketika seorang tokoh pejuang dari Aceh Teuku Bujang Selamat mengerahkan ummat Islam di Merauke Papua paling timur untuk merayakan hari raya di tanah lapang. Selama 21 tahun berada dalam pengawasan Belanda mencuri waktu untuk berdakwah di Merauke mampu merubah umat Islam menjadi maju.

Siapa Teuku Bujang Selamat juga bernama Bujang Salim Bin Rhi Mahmud itu? Dia adalah anak muda Aceh pada 1920an getol berdakwa agama Islam dan melakukan pergerakan politik melawan Belanda. Karena aktivitasnya, dianggap orang paling berbahaya. Dia ditangkap dan ditahan, kemudian diasingkan jauh ke timur Indonesia dan sangat terasing yaitu kamp tahanan di Boven Digul Merauke pada 21 April 1922.

Selama ditahan di Merauke sebelum dibawa ke penjara Digul dimanfaatkan oleh Teuku Bujang Salim bersama anak-anak Muslim setempat untuk berdakwah di kampung-kampung sekitarnya. Umat Islam saat itu sudah mulai banyak. Mereka mulai berada di Merauke pada kurun waktu 1906-1919 antara lain berasal dari pegawai atau tentara KNIL yang ditugaskan oleh Pemerintah Belanda, buruh tani perkebunan tebuh milik Belanda yang didatangkan dari Jawa, dan para pedagang.

Selama di Merauke aktivitas dakwah tak pernah surut dengan pendekatan cara Muhammadiah yaitu mempelopori pelaksanaan sholat Idul Fitri di lapangan terbuka yang waktu pelaksanaannya berdasarkan hasil hisab, mendirikan gerakan Pramuka Hizbul Wathon, klub sepak bola, dan drumband.

Untuk menunjang pendidikan putra-putri Muslim pada tahun 1929 mendirikan madrasah pertama di Merauke bahkan di Papua, juga membangun masjid yang sekarang bernama Masjid Nurul Huda, selain masjid Jamik yang sudah dibangun pada 1915. Dari situlah cikal bakal berdirinya pergerakan Muhammadiyah.

Aktivitas Teuku Bujang Selamat ini dicurigai Pemerintah Belanda dan kembali ditangkap pada 1935, dibuang ke Tanah Merah, Boven Digul yang lebih terisolir 450 km dari Merauke melalui hutan belantara dan sungai-sungai. Pada tahun 1942 saat Jepang menyerang ke Papua Bujang Salim diungsikan ke hutan Bijan lalu dibawa kembali ke Merauke.

Dan untuk melumpuhkan pergerakan ulama Aceh tersebut Belanda membawa dia ke Australia pada tahun 1943. Berdasarkan perjanjian Belanda-Indonesia untuk pengembalian semua tahanan pada tahun 1950 Teuku Bujang Salim dikembalikan ke Jakarta dan pulang ke kampung kelahirannya Keude Amplah, Nisam, Aceh Utara.

Sebelum berangkat diasingkan ke penjara Buven Digul Teuku Bujang Salim untuk melanjutkan perjuangannya menyarankan kepada ummat muslim untuk meminta tenaga guru ke Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan agama Islam tersebut.

Pada tahun 1933 datanglah Ustaz Jais yang dikirim oleh PP Muhmmadiyah Yogyakarta untuk bertugas di Madrasah Muhammadiyah di Merauke itu. Beliau bertugas disana sampai tahun 1935, lalu diganti oleh Ustaz Asrar bertugas sampai tahun 1936. Ustaz terakhir yang dikirim oleh PP Muhammadiyah Yogyakarta adalah Ustaz M Chotib. Kedatangan Teuku Bujang Salim tersebut merupakan periode pertama berkembangnya Ormas Islam Muhammadiyah di Papua yang berlanjut di Fakfak, Jayapura, dan Sorong hingga saat ini. (eramuslim)