Orientalis dan Studi Sirah Nabi Muhammad Saw; Teaah Terhadap Metodologi dan Pemikiran Montgomery Watt

       Oleh: Dedi Jamaludin Sholatun, Lc. MA

I. Mukadimah

Dalam bukunya “Muhammad Prophet and Statesman”, Montgomery Watt menulis bahwa di antara tokoh-tokoh besar dunia, tak seorangpun yang begitu banyak dicerca seperti Muhammad. Dalam bentangan sejarah, selama berabad-abad, Islam adalah musuh besar umat Kristen, hal itu disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor ideologi, politik, maupun ekonomi. Kerajaan Bizantium (Romawi Timur), beberapa propinsi terbaiknya telah jatuh ke tangan orang-orang Arab, di wilayah sekitar Asia kecil, sedangkan Eropa Barat terancam melalui Spanyol dan Sisilia. Bahkan sebelum perang Salib yang memusatkan perhatian pada pengusiran orang-orang Arab dari tanah suci (Yerusalem), Eropa abad pertengahan sudah membangun suatu konsep tentang musuh besar. Di beberapa media, Muhammad diubah sebutannya dengan Mahound, pengaran kegelapan. Pada abad ke-12 M, gagasan tentang Islam dan orang-orang Islam dalam tentara yang berperang Salib digambarkan semacam karikatur yang melecehkan agar moral mereka turun. Pertimbangan-pertimbangan praktis bergabung dengan semangat keilmuwanan untuk mengembangkan studi dan penyebaran informasi yang lebih akurat tentang Muhammad dan agamanya.
Sejak saat itu, kajian orang-orang Barat terhadap Islam (Orientalist) mulai menemukan momentumnya, apalagi kajian terhadap Nabi Muhammad yang merupakan kajian yang termasuk paling awal terhadap Islam. Kajian-kajian itu ada yang secara khusus meneliti karakter atau kepribadian, ide atau visi Nabi Muhammad Saw, seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh orientalis semacam Fr. Buhl “The Character of Mohammed as a Prophet”, R. F. McNeile “The Development of Mohammed’s Personality”, W. H. T. Gairdner (1873-1928 M) “Mohammed without Camouflage”, Henri Lammens (Belgia 1862-1937 M) “Was Mohemmed Sincere?”, G. W. Bromfield “The Psychology of Mohammed”, dan Richard Bell “Muhammad’s Vision”. Ada juga kajian yang meneliti kasus, seperti mengenai ke-ummi-an Nabi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh orientalis semacam S. M. Zwemer “The “Illiterate” Prophet: Could Mohammed Read and Write?”, H. G. Reissner “The Ummi Prophet and the Banu Israil of the Qur’an”, Isaiah Goldfeld “The Illiterate Prophet (Nabî Ummî): An Inquiry into Development of a Dogma in Islamic Tradition”, Norman Calder (1950-1998 M) “The Ummî in Early Juristic Literature”, dan Khalil ‘Athamina BirZeit “’Al-Nabiy al-Ummiy’: An Inquiry into the Meaning of a Qur’anic Verse”. Kajian sîrah Nabi secara umum juga mereka lakukan, misalnya kajian Sir William Muir (Skotlandia-United Kingdom 1819-1905 M) “The Life of Mohammad”, Josef Horovitz (Jerman, 1874-1931 M) “The Earlier Biographies of the Prophet and Their Authors: I, II, III, IV”, David Samuel Margoliouth (Inggris, 1858–1940 M) “Muhammad Historical Sources” dan “Muhammad and the Rise of Islam”, Washington Irving (Amerika, 1783–1859 M) “The Live of Mahomet”, Alfred Guillaume (Perancis, 1801–1852 M) “New Light on the Live of Muhammad”, dan Montgomery Watt (Skotlandia-United Kingdom, 14 Maret 1909–24 Oktober 2006 M) “Muhammad at Mecca” dan “Muhammad at Medina”.
Secara garis besar, gerakan orientalisme, khususnya studi sirah Nabi Muhammad Saw dapat di petakan menjadi tiga fase. Fase pertama, pada fase ini ketidaksenangan terhadap Nabi Muhammad Saw sudah diperlihatkan oleh para orientalis, bahkan di karya-karya yang dianggap paling awal, seperti dokumen “Chronicle of sebeos” yang ditulis pada abad ke-7 Masehi, “Reputatio Mohamedis” oleh Nicetas dari Bizantium, dan “Contra Mohammedem” oleh Bartholomew dari Edessa. Begitu pula versi lain mengenai apa yang disebut karya awal orientalis tentang Nabi Muhammad Saw yang muncul pada masa terjadinya perang salib. Karya-karya yang muncul pada masa itu telah mengubah nama Nabi Muhammad Saw menjadi “mahon” atau kata “mawmet” seperti dalam karya “The Legend of St. Andrew” yang merupakan plesetan dan melecehkan nama Nabi, berarti setan, berhala, beruang, dll. Karya lainnya, seperti “Live of Saint Juliana”, ditulis sekitar abad ke-12 M, menganggap Nabi Muhammad sebagai “pembid’ah legendaris”, dan disamakan dengan legenda-legenda tukang bid’ah dalam tradisi Kristen, yaitu Simon Magus dan Deacon Nicholas, dan sebuah fragmen yang berjudul “Zwei Bücher gagan den Muhammeddanismus” yang isinya menentang dan menggugat buku-buku yang ditulis oleh umat Islam yang beredar di Eropa kala itu, sehingga menjadikan buku tersebut mendapatkan perhatian dan sorotan dari berbagai pihak. Fragmen ini disebut-sebut sebagai fragmen yang penuh dengan polemik yang kemudian pada tahun 1896 M diterbitkan oleh Thoma di Leipzig Jerman. Terakhir karya “Confutatio Alcorani”, sebuah karya yang dianggap telah memberikan inspirasi kepada Martin Luther.
Fase kedua, adalah karya-karya yang ditulis setelah abad Renaisance, yang menurut Arthur Jeffery, tidak merefleksi sikap kritis para penulisnya. Contohnya karya “Life and Death of Mohamet” oleh Raleigh tahun 1637 M, “Vie de Mahomet, ou l’on découvre amplement la verité de l’imposture” oleh Prideaux tahun 1698 M, “Historia Orientalis” oleh Hottinger tahun 1651 M, dan “Refutatio” oleh Marraccio tahun 1698 M. Setelah itu ada perubahan orientasi ketika “de Religione Mahomedica” karya Reyland tahun 1704 M mulai bersikap cukup apresiatif kepada sejarah Nabi Saw. Karya ini kemudian dijadikan rujukan utama oleh H. De Boulainvilliers dalam karyanya yang sangat kontroversial di kalangan masyarakat Barat “Vie de Mahomed” pada tahun 1730 M, dengan memberikan sanjungan terhadap Nabi Muhammad Saw (a bombastic laudation of Mohammed) dan mengecilkan peran agama Kristen. Dan terakhir karya “Vie de Mahomet” oleh Gagnier tahun 1748 M, serta “Decline and Fall” oleh Gibbon tahun 1776 M.
Fase ketiga, adalah fase yang disebut oleh Jeffery sebagai awal mulai digunakannya kritisisme. Disebut kritisisme sebab mulai diterapkan metodologi kritik-sejarah (historico-critical method) atau metode ilmiah, yang dimulai dengan karya “Mohammed der Prophet, sein Leben und seine Lehre” oleh Gustav Weil tahun 1843 M, dan sebuah terjemahan dari teks Ibnu Hisyam ke dalam bahasa Jerman pada tahun 1864 M, dengan merujuk kepada teks yang telah diterbitkan sebelumnya oleh Wüstenfeld, berjudul “Das Laben Mohammed” (3 vol.) tahun 1858-1860 M. Setelah itu diterjemahkan pula karya al-Waqidi, yaitu “ Kitâb al-Maghâzi” oleh Kremer tahun 1856 M, karya “The Life of Mahomet” (4 vol.) oleh Sir William Muir tahun 1858-1861 M, “Das Leben und die Lehre des Mohamad” (3 vol.) tahun 1861-1865 M, lalu “Die post und Reiserrouten des Orients” tahun 1864 M, dan “Die Alte Geographie Arabiens” tahun 1875 M oleh Sprenger. Dua karya terakhir, menurut Jeffery, dianggap mempunyai kontribusi signifikan untuk mempelajari latar belakang sejarah hidup Nabi Saw. Terbit pula “Das Leben Muhammeds” oleh Theodore Nöldeke tahun 1863 M, lalu “Muhammed in Medina” terjemahan ringkas (an abridged translation) terhadap teks al-Waqidi oleh Julius Wellhausen tahun 1882 M, lalu “Das Leben des Muhammad” oleh Krehl tahun 1884 M, lalu “Mohamet et le Coran” oleh St. Hilaire tahun 1865 M, lalu “Vie de Mahomet” oleh Delaporte tahun 1874 M, lalu “Mohammed” (2 vol.) oleh Grimme tahun 1892-1895M, lalu “Muhammad and His Power” oleh P. De Lacy Johnstone tahun 1901, kemudian karya “Muhammeds Liv” oleh Franz Buhl tahun 1903 M, kemudian “Mohammed and the Rise of Islam” oleh David Samuel Margoliouth tahun 1905 M, kemudian “Annali dell’ Islam” oleh Leone Caetani tahun 1905 M, kemudian “The Life of Mahomet” oleh Emile Dermenghem tahun 1930 M, kemudian “Mohammed: The Man and His Faith” oleh Tor Andrae tahun 1936 M, kemudian terakhir karya “Muhammad at Mecca” tahun 1953 M dan “Muhammad at Medina” tahun 1956 M oleh William Montgomery Watt.
Sejak dimulainya fase ketiga di atas, penulisan tentang Nabi Muhammad Saw kebanyakan menggunakan pendekatan historisitas (historicity) atau metodologi kritik sejarah (yang memasukkan dan mencakup ilmu-ilmu humaniora modern, seperti analisa sosiologi sejarah, psikologi sejarah, dialektika materialis, dll), yang menekankan pada kuatnya fakta. Selama fakta-fakta tersebut dapat dibuktikan dan dijelaskan secara rasional, maka ia bisa diterima sebagai sebuah bukti sejarah. Di sinilah banyak konsekuensi yang harus ditanggung, salah satunya adalah pemutarbalikan fakta yang sebenarnya, karena faktor bias kepentingan. Dengan alasan tidak rasional dan mustahil untuk diterima oleh seorang orientalis, maka sebuah fakta yang kuat riwayatnya pun dapat ditolak. Selain itu, konsekuensi pendekatan ini adalah reduksi terhadap fakta. Misalnya, sîrah tentang surat perjanjian pemboikotan atas Nabi Saw oleh kaum Quraisy yang dimakan rayap dan tersisa hanya tulisan bismillah. Simaklah komentar Sprenger berikut ini: “Keadaan ini [surat perjanjian yang dimakan rayap] telah dibesar-besarkan sebagai suatu mukjizat, tapi mereka yang pernah tinggal di kawasan beriklim tropis akan menganggapnya bukan hal luar biasa”
William Montgomery Watt (1909-2006 M) merupakan salah satu tokoh orientalis yang cukup terkemuka dan dikenal luas di belantika intelektual dunia. Karya-karya orientalis sekaligus pendeta Skotlandia ini cukup banyak yang telah dipublikasikan dan beberapa di antaranya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa termasuk Bahasa Indonesia. Upayanya dalam mendekati dan mengkaji Islam dianggap cukup simpatik oleh beberapa intelektual muslim. Kendati demikian, kajian yang lebih kritis atas pemikiran-pemikirannya memperlihatkan beberapa persoalan serius di balik penampakan gaya tulisannya yang simpatik tadi.
Studi ini berusaha untuk mengkaji secara kritis pemikiran Montgomery Watt, terutama aspek metodologi yang dia gunakan dalam kajiannya di bidang sīrah Nabi Muhammad Saw. Karena tokoh yang dijuluki oleh berbagai kalangan sebagai “The Last Orientalist” ini dipercaya merupakan salah satu orientalis “paling pakar” dalam studi sīrah nabawī. Terbukti dari banyaknya karya yang dia tulis dalam bidang ini.

II. Biografi Singkat Montgomery Watt

Montgomery Watt lahir pada tanggal 14 Maret 1909 M di Ceres, Fife, Skotlandia. Nama lengkapnya adalah William Montgomery Watt. Ayahnya, Andrew Watt, seorang pendeta Presbyterian (Presbyterian minister), meninggal dunia pada saat montgomery kecil masih berusia satu tahun. Ibunya, Jean Watt, merupakan seorang perempuan yang sangat religius. Montgomery Watt adalah anak satu-satunya di keluarga itu.
Watt menjalani pendidikannya di Goerge Watson’s College, Edinburgh, kemudian di Universitas Edinburgh, sebelum melanjutkan ke Baliol College, Oxford, dan nantinya ke Universitas Jena di Jerman. Dia meraih gelar MA., Ph.D (Edinburgh), dan MA., B.Litt. (Oxon). Dia memulai karirnya sebagai seorang asisten dosen di Universitas Edinburgh antara tahun 1934 M dan 1938 M. Di samping latar belakang serta aktivitas akademiknya, dia juga menjadi asisten pendeta di gereja St. Mary Boltons, London (1939-1941 M), kemudian di gereja Old. St. Paul’s, Edinburgh (1941-1943 M), dia juga ditunjuk sebagai seorang pendeta di Anglican Communion pada tahun 1940 M. Aktivitasnya sebagai akademisi dan pendeta terus berlanjut sejak saat itu.
Bagaimana awal mulanya Watt tertarik dengan kajian Islam? Dia menjalaskan bahwa ketika dia ibunya meninggal dunia pada tahun 1937 M, dia mengundang seorang muslim India (belakangan menjadi warga negara Pakistan) tinggal di rumah untuk membantunya. Muslim berusia 20 tahun ini. Khwaja Abdul Mannan, adalah seorang pelajar kedokteran hewan. Pada saat itu dia adalah seorang anggota komunitas Ahmadiyah, tapi nantinya dia keluar dari komunitas ini ketika dia menjadi seorang kolonel pada angkatan darat Pakistan. Mannan adalah seorang muslim yang pandai beragumen dan mereka berdua pun terlibat banyak diskusi pada saat sarapan dan makan malam. Ini kemudian menjadi pemicu ketertarikan Watt terhadap dunia Islam.
Setelah itu, Watt mendengar bahwa Uskup Anglikan di Yerusalem mencari seseorang yang siap bekerja dengan pendekata intelektual terhadap dunia Islam. Dia punj mendaftar untuk posisi tersebut dan diterima. Setelah mempelajari teologi, dia mulai belajar Bahasa Arab di London. Antara tahun 1947 M dan 1979 M dia menjdi kepala Departemen Bahasa Arab dan Studi-Studi Islam di Universitas Edinburgh. Sejak tahun 1964 hingga masa pensiunnya di tahun 1979 M, Watt mendedikasikan hidupnya untuk mengkaji Islam secara serius, khususnya pada bidang sīrah, sejarah, dan teologi.
Dr. Jabal Muhammad Buaben menggrisbawahi bahwa Watt mengawali karirnya dalam studi keislaman melalui interaksi dengan teman muslimnya. “Ini signifikan,” tulisnya, “Karena kebanyakan ilmuwan yang mengkaji Islam tanpa adanya interaksi personal dan positif dengan mereka yang menganut keyakinan semacam ini tampaknya akan memiliki pandangan dan sikap yang berbeda terhadap Islam.”
Sepanjang hidupnya, Watt telah menulis banyak buku tentang Islam dan Kristen. Buku pertamanya, Can Christian be Pacifists?, dipublikasikan pada tahun 1937 M. Sejak saat itu, dia menulis buku demi buku yang terlalu banyak untuk disebutkan di tempat ini. Karya-karyanya yang terkenal antara lain The Faith and Practice of Ghazali (1953 M), Muhammad at Mecca (1953 M), Muhammad at Medina (1956 M), Islamic Philosophy and Theology (1962 M), Islamic Political Thought (1968), dan Islam and Christianity Today (1983 M).
Latar belakang Watt sebagai seorang Kristen, bahkan seorang pendeta, tentu mempengaruhi pandangannya sebagai seorang orientalis, entah secara positif ataupun secara negatif. Dikatakan positif karena dia tentu memiliki kepekaan religius yang memadai untuk memahami Islam sebagai sebuah agama. Ketika mengkritisi para orientalis, semacam Edward Said atau Gordon Pruett menganggap mereka gagal karena berfikir tentang Islam sebagai sebuah pergerakan sejarah dan perkembangan budaya semata. Mereka tidak menerima keyakinan muslim, yang mana sejarah dari komunitas Islam adalah sejarah ekspresi keyakinan (faith expression history) atau usaha dan upaya untuk tunduk pada Allah Swt. Kita tidak mengetahui sikap Watt terhadap keyakinan ini, tetapi dia kelihatannya cukup serius dalam menilai Islam secara sejajar dengan agamanya sendiri dan dalam menyarankan kedua penganut agama tersebut untuk saling belajar dari pihak lain. Sebagian besar buku dan artikel yang ditulis Watt, menurut Buaben, ditulis dalam konteks ketertarikannya akan dialog di antara kedua agama.
Tentu saja dia lebih menggunakan pendekatan akademik, ketimbang pendekatan religius, dalam menulis buku-buku dan artikelnya. Sebagai seorang ilmuwan non-muslim, penjelasan-penjelasan akademiknya tentang Islam bisa jadi menarik dan mengungkap beberapa analisa dan penjelasan yang bermanfaat, tetapi belum tentu memuaskan dan diterima sepenuhnya oleh pembaca muslim. Selain itu, tanpa menafikan pandangannya yang simpatik terhadap Islam, dia agaknya mendapat kesulitan untuk tidak “mengunggulkan” agamanya sendiri ketika mambandingkan kedua agama.

III. Metodologi dan Pemikiran Montgomery Watt dalam Studi Sirâh Nabi Muhammad Saw.

Tulisan-tulisan Watt memperlihatkan pengetahuannya yang luas dan dalam tentang Islam. Dia memiliki banyak pandangan positif terhadap Islam. Bahkan ketika dia mengkritik agama ini, dia cenderung menggunakan akspresi yang simpatik serta menyampaikan kritik-kritiknya secara halus, sehingga para pembaca muslim tidak akan merasakan adanya serangan langsung darinya. Terkadang dia memberikan kritik dan bantahannya pada waktu yang bersamaan, pada waktu yang lain dia menawarkan penjelasan atau interpretasi baru yang tampaknya rasional dan tidak melukai keyakinan muslim.
Dari beberapa analisa terhadap karya-karya Watt, bisa disimpulkan bahwa Watt menggunakan beberapa metodologi tertentu dalam kajiannya terhadap sîrah Nabi Muhammad Saw-yang tentu saja perlu dikritisi-yang terangkum dalam poin-poin di bawah ini.

  1. Teori Asimilasi Ideologi

Menurut Watt, pada awal perjalanan hidupnya, Muhammad muda banyak terpengaruh oleh pemikiran seorang rahib Nasrani Waraqah bin Naufal karena perjumpaan-perjumpaan religius yang mendalam antara keduanya, bahkan pemikiran Waraqah berpengaruh juga terhadap perkembangan Islam selanjutnya. Keputusan hijrah Nabi ke Madinah, menurut Watt, juga karena terinspirasi dari agama Yahudi dan Nasrani untuk membuat sebuah agama baru yaitu Islam. Watt dalam bukunya mengatakan: “…That Muhammad had frequent communication with Waraqah at earlier date, and learnt much of a general character. Later Islamic Conceptions may have been largely moulded by Waraqah’s ideas, e.g of relation of Muhammad’s revelation to previous revelations”. Selain itu Watt menyebutkan:

“Kemungkinan yang paling mendekati adalah muhammad bertemu dengan orang-orang Yahudi dan Kristen, dan berbicara mengenai masalah-masalah agama dengan mereka. Terdapat orang-orang Arab Kristen di perbatasan Syria. Orang-orang Arab atau Abessenia Kristen dari Yaman mungkin datang ke mekkah untuk berdagang atau sebagai budak. Beberapa suku atau puak pengelana memeluk agama Kristen yang selalu datang pada bazar tahunan di Mekah. Juga beberapa kelompok Yahudi penting yang tinggal di Madinah dan tempat-tempat lain. Kesempatan untuk perbincangan pasti ada.”

Dan dari bukti sejarah yang ada, muncul kemungkinan bahwa Muhammad nampaknya berusaha membentuk agama Islam dengan mencontek ajaran agama sebelumnya (Muhammad Appears to have tried to model Islam on the older religion).

Intinya dengan metodologi ini, Watt dengan sekuat tenaga ingin membuktikan bahwa terdapat asimilasi ideologi dan pengaruh yang sangat kuat dalam ajaran agama Islam dengan agama Yahudi dan Kristen. Watt menjelaskan keterpengaruhan itu antara lain terdapat dalam berbagai praktek ibadah yang merupakan fondasi ajaran agama Islam; tentang kewajiban sembahyang dzuhur yang sesuai dengan kebiasaan orang-orang Yahudi, menghalalkan makanan ahli kitab dan mengawini wanita-wanitanya. Lalu sembahyang Jum’at yang menjadi ciri menonjol agama Islam agak berkaitan dengan persiapan orang-orang Yahudi untuk ibadah sabat pada hari Jum’at. Dan pemilihan Yerusalem sebagai kiblat sembahyang, sesuai dengan kebiasaan orang-orang Yahudi. Dan rupa-rupanya, kata Watt, puasa Asyura, Hari Penebusan orang-orang Yahudi, dilakukan oleh orang-orang Islam di Madinah. Dan masih banyak lagi pendapat Watt yang berusaha menunjukkan keterpengaruhan agama Islam dengan agama-agama sebelumnya. Konklusi selanjutnya adalah bahwa Watt ingin melancarkan dekonstruksi orisinalitas dan eksistensi ajaran Islam. Bahwa agama Islam tidak mempunyai ajaran yang murni orisinil dan independen, tidak ada hal yang baru yang diciptakan dalam Islam, kemudian berakhir pada pendobrakan eksistensi Islam sebagai wahyu dari Tuhan.
Secara umum, bukan hanya Watt yang menggunakan metodologi ini dalam kajian kritik sejarah, tetapi juga sebagian besar orientalis yang terjun dalam kajian sejarah dan peradaban Islam semacam Carl Brockelmann (Jerman 1868-1956 M), Julius Wellhausen (Jerman 1844-1918 M), Sir William Muir (Skotlandia 1819-1905 M), dll. Permasalahan krusial yang harus dikritisi dari metodologi ini-utamanya dalam studi sejarah Islam-adalah bahwa metodologi ini dibangun di atas premis dan fondasi orientalis yang keliru dalam kajian sejarah dan perbandingan agama (terutama tiga agama samawi; Yahudi, Kristen dan Islam). Preposisi dan konklusi dari hipotesa mereka menyimpulkan bahwa ketiga agama tersebut sebagai agama-agama yang berdiri sendiri, terpisah, dan tidak ada kaitan/ikatan antara satu dangan yang lainnya, baik secara ideologis ataupun genealogis. Dan ketika melakukan elaborasi kajian perbandingan agama ini, daya imajinasi para orientalis mencoba untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berdiri di atas premis dan fondasi yang keliru tersebut, siapa yang mengambil?, siapa mempengaruhi siapa?, dari mana dia mengambil?, apa bukti dan faktanya?, dan sederat pertanyaan lainnya. Dan dari mekanisme dan logika teori asimilasi ideologi ini tidak dapat dipungkiri bahwa di sana terdapat nuansa yang sangat kental akan evangelisme dan zionisme.
Dalam bukunya “Muhammad Prophet and Statesman”, Watt menampilkan rumusan Sir Hamilton Gibb tentang tiga kaedah yang menguasai pengaruh suatu kebudayaan terhadap kebudayaan lain. (1) Pengaruh kebudayaan (unsur-unsur yang secara asli dibaurkan) selalu didahului oleh suatu kegiatan yang sudah ada dalam bidang-bidang yang bersangkutan, dan kegiatan yang ada inilah yang menciptakan faktor penarik yang tanpa itu tak akan terjadi pembauran yang kreatif. (2) Unsur-unsur pinjaman membantu mencapai vitalitas yang meluas dari kebudayaan pinjaman, hanya sejauh unsur-unsur itu menarik pemeliharaan mereka dari berbagai kegiatan yang memimpin, yang dipinjam ke tempat yang terkemuka. (3) Suatu kebudayaan yang hidup mengabaikan atau menolak semua unsur yang ada dalam kebudayaan lain yang bertentangan dengan nilai-nilai dasar, sikap emosional, dan ukuran keindahannya sendiri.

  1. Metodologi Sekulerisme dalam Studi Sejarah

Yaitu metode penelitian dalam studi sejarah yang berpegang pada fakta dan data empiris sejarah yang menurut mereka bisa dibuktikan dengan logika materialis (hukum-hukum kebendaan/materi) dan metodologi studi sejarah modern, dan menjauhkan diri serta tidak menerima nilai, fakta, dan segala sesuatu dari dimensi non-materi seperti spiritualitas dan religiusitas sejarah. Dalam berbagai tulisannya, Watt terlihat sangat berpegang pada metode ini. Misalnya ketika dia membahas kehidupan Nabi Muhammad Saw dari lahirnya sampai pernikahannya dengan Khadijah, tentang cerita nabi dengan rahib Nasrani bernama Bahira dia berkomentar bahwa cerita-cerita mistik seperti ini banyak sekali bisa kita jumpai dalam sejarah perjalanan sebuah agama, yang diyakini benar olah pemeluknya, tetapi para sejarawan dan ilmu pengetahuan modern membuktikan bahwa cerita-cerita itu tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Dalam buku lain dia berkomentar: “Sudah barang tentu ini hanyalah sebuah cerita. Cerita yang didasarkan pada pikiran-pikiran primitif. Sebuah kisah yang bisasnya ditemukan dalam masyarakat yang memandang tulisan berkaitan erat dengan magi [magis, pen.].” Juga ketika berbicara masalah kenabian (nubuwwah) Muhammad Saw, Watt menyerang dengan mengatakan bahwa apa yang disebut Muhammad sebagai kenabian/wahyu adalah apa yang disebut dalam ilmu psikologi modern sebagai sebuah imajinasi kreatif (creative imagination). Dengan kata lain, kenabian/wahyu yang disampaikan Muhammad bukanlah sesuatu yang datang dari Tuhan kepada Muhammad untuk menyampaikan risalah-Nya, melainkan sebuah hasil dari daya imajinasi kreatif akal dan fikiran muhammad sendiri. Dan untuk menguatkan hipotesa tersebut, Watt menyangkal bahwa Nabi telah melihat malaikat Jibril, karena tidak dapat dibuktikan kebenarannya dalam studi ilmu-ilmu sejarah.
Watt juga mempunyai pandangan skeptik terhadap permasalahan wahyu, dia mengatakan: “Fakta bahwa Muhammad adalah orang yang terpercaya tidak berarti bahwa al-Qur’an adalah wahyu, benar dan datang dari Tuhan, begitupula kita juga mungkin bisa saja percaya tanpa berselisih bahwa Muhammad meyakini bahwa wahyu yang turun kepadanya datang dari Tuhan, dan di saat yang sama kita juga bisa meyakini bahwa itu tidak benar”. Dalam buku lain Watt berpendapat: “Mengatakan bahwa Muhammad jujur tidaklah berarti bahwa ia benar dalam kepercayaannya. Seseorang mungkin saja jujur tetapi keliru.” Dan dia berpendapat bahwa sumber wahyu Muhammad adalah apa yang disebut dalam studi ilmu psikologi agama sebagai sebuah ketaksadaran kolektif (collective unconscious) yang juga menjadi-sebagaimana biasa terjadi dalam-sumber wahyu agama-agama lain, baik itu Kristen, Yahudi, Budha, Hindu, dan lain sebagainya. Kesimpulan Watt mengenai wahyu adalah bahwa Muhammad adalah seorang yang imajinasi kreatifnya bekerja dalam tingkat yang paling dalam dan menghasilkan gagasan-gagasan yang relevan pada pertanyaan sentral keberadaan manusia (He was a man in whom creative imagination worked at deep levels and produced ideas relevant to the central questions of human existence), sehingga agamanya mempunyai himbauan yang tersebar luas, tidak hanya pada abadnya, melainkan pada abad-abad sesudahnya.
Dalam rangka melancarkan serangan dengan metodologi ini terhadap masalah universalitas dakwah Muhammad (agama Islam), Watt menyebutkan:

“Pendapat yang bersumber pada buku-buku umat Islam yang datang belakangan [bukan yang awal] memang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang universal dan menyeluruh, dan bahwa Muhammad pernah mengajak kaisar Bizantium [Romawi Timur], dan raja imperium Persia, dan raja-raja lainnya untuk masuk Islam adalah tidak benar. Karena tidak masuk akal bahwa seorang yang bijaksana dan negarawan ulung seperti Muhammad menyampaikan gagasan dan ajakan kepada mereka secara tajam dan kasar, dan berbagai laporan para utusan yang diutus ke masing-masing raja penuh dengan kontradiksi”

Dalam buku lain dia mengatakan bahwa riwayat nabawi yang belakangan memang menyatakan bahwa pada tahun 628 M, segera setelah perjanjian damai dengan Mekah, Muhammad memberangkatkan enam utusan kepada penguasa-penguasa di negeri-negeri sekitarnya, mengajak semua kerajaan sekelilingnya kepada Islam. Namun metode ilmu sejarah modern yang kritis membukttikan bahwa riwayat tersebut tidak bisa dipercaya. Hal ini dilakukan karena mungkin disebabkan keinginan orang-orang Islam yang belakangan untuk menunjukkan bahwa Muhammad menganggap agamanya sebagai agama dunia (dan barangkali juga untuk membenarkan perang melawan Persia dan Bizantium sebagai perang yang dilakukan setelah kerajaan-kerajaan itu diajak kepada Islam). Watt juga berpendapat bahwa Muhammad: “Pada awalnya dia mendeklarasikan dirinya sebagai utusan Allah untuk bangsa Qurays, lalu kenapa perlahan-lahan dan bertahap dia mulai menunjukkan bahwa dia dan dakwahnya diutus dan ditujukan untuk umat yang lebih luas, tidak bisa kita dapati keterangan yang jelas dan memadai dari al-Qur’an”

  1. Dialektika Materialisme

Pasca kesuksesan revolusi komunisme tahun 1917 M di Rusia, muncul metodologi dialektika materialisme yang menjadikan faktor ekonomi sebagai instrumen penting dalam memahami realitas sejarah secara maksimal dan sempurna. Menurut Watt, ilmu sejarah modern telah menciptakan metodologi yang bisa lebih memahami faktor-faktor material yang tersembunyi di balik realitas sejarah. Bahwa para sejarawan pertengahan abad ke-20 mulai ingin mempertanyakan, mengkaji dan mengkritisi akar dan latar belakang kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang menjadi landasan dan faktor pemicu utama gerakan yang dibangun oleh Muhammad, tanpa mengabaikan dimensi ideologinya. Watt juga mengakui bahwa metodologi ini bukan satu-satunya faktor penentu dalam memahami realitas dan guliran sejarah, tetapi ia merupakan salah satu instrumen terpenting di dalamnya. Watt menyatakan bahwa kemunculan Islam adalah sebuah respon atas fenomena penyakit sosial yang menjangkit masyarakat Arab pada saat itu, yang menurutnya disebabkan oleh perubahan pola kehidupan dan kegiatan ekonomi dari sistem ekonomi primitif ke ekonomi kota/metropolitan. Dia menyebutkan bahwa di Mekah, tempat Muhammad mulai berdakwah, telah terjadi suatu perubahan material yang penting. Perubahan telah dimulai sejak setengah abad atau lebih awal lagi, tetapi momentumnya menumpuk selama tahun-tahun terakhir. Perubahan itu ialah tumbuhnya perdagangan yang menjangkau jauh dan rumit. Perubahan material dari ekonomi gambala dan kelana ke ekonomi dagang.
Watt juga memandang bahwa faktor ideologi dan keimanan bukanlah satu-satunya faktor yang menyebabkan masyarakat arab menyetujui gagasan Muhammad, akan tetapi justru faktor ekonomi dan politik yang lebih dominan. Kata Watt, kita ketahui bahwa sebagian besar orang-orang yang masuk Islam pada periode awal adalah orang-orang yang secara ekonomi dan politik lemah dan tidak mempunyai kekuatan. Orang-orang yang ikut dalam baiat aqabah adalah orang-orang proletar yang ingin mencari perlindungan, baik secara ideologi, politik, ekonomi dan penyelesaian terhadap berbagai penyakit sosial yang menjangkiti rakyat Madinah. Juga masalah peperangan, yang dinilai lebih sebagai sebuah ekspedisi militer yang berbasis kepentingan ekonomi.
Berkaitan dengan metodologi-metodologi ini, Watt menjelaskan beberapa teori umum utama yang melandasi penafsirannya mengenai sumber dan sejarah Islam.

(1). Kedudukan kehidupan sosial dilengkapi oleh faktor-faktor material. Hal ini meliputi geografi negeri tempat masyarakat itu hidup, teknologi yang dikenal, dan hubungan dengan masyarakat-masyarakat sekelilingnya. Dalam satu pengertian, semua ini adalah faktor- faktor ekonomi, namun dalam arti yang lebih luas, perkataan “material” lebih baik. Lebih penting dicatat mengenai hal ini terdapat hal-hal yang tak terelakan. Bila suatu masyarakat mempunyai jenis gandum yang lebih unggul dan cara penanaman yang lebih baik hingga bisa menghidupi penduduk yang lebih besar dengan lebih tepat, kemudian (dengan asumsi keadaan geografi yang serupa) masyarakat tetangganya akan dikalahkan dan barangkali dimusnahkan olah masyarakat itu, kecuali jika masyarakat kedua menerima teknologi mereka dan memperoleh bibit dari mereka. Pergantian bibit dan teknologi dari satu segi adalah masalah pilihan, akan tetapi dari segi lain, masyarakat kedua tak punya alternatif, sebab, ia tidak bisa memikirkan kebinasaan.

(2). Dalam suatu lingkungan material, beberapa sistem sosial akan lebih sesuai dari yang lain. Di gurun tandus Arabia pada masa sebelum Islam, suatu keluarga sederhana yang terdiri dari seorang laki-laki, seorang wanita, dan beberapa anak bukan merupakan satuan yang dapat hidup. Untuk menghadapi kesukaran dan berbagai derita kehidupan semacam itu harus ada satuan yang lebih luas,yang bisa disebut puak, bani atau suku. Selama lingkungan material tetap stabil, sistem kesukuan Arab yang ada di Arabia dengan gagasan-gagasan persekutuan dan kode tingkah laku, berjalan sangat baik. Barangkali sebagian sistem lain atau beberapa perubahan sistem ini, akan berjalan sama baiknya, namun sebagian sistem lain yang bisa kita bayangkan tidak akan berjalan begitu baik. Penyesuaian sistem sosial terhadap lingkungan material berlangsung melalui proses try and error, bentuk-bentuk sosial yang cocok bertahan hidup dan yang kurang cocok sirna atau ditinggalkan. Sebelum suatu bentuk bisa diuji, ia harus terjadi pada seseorang, hingga ia merupakan suatu perbaikan. Jadi, lingkungan material tidak mesti menentukan sistem sosial. Namun, karena dalam pengertian di atas lingkungan material tak terelakkan dan ada, ia ikut serta menentukan sistem sosial di mana ia merupakan ukuran kecocokan dan nilai ketahanan hidup dari sesuatu sistem sosial.

(3). Bila terdapat suatu perubahan dalam lingkungan material, yang boleh jadi diakibatkan oleh penemuan teknologi baru atau perubahan hubungan dengan masyarakat-masyarakat sekelilingnya, secara wajar sistem sosial yang ada akan tidak cocok lagi seluruhnya. Ketidakmantapan sosial akan timbul, dan orang-orang merasa tidak puas. Proses try and error akan mulai menemukan sistem sosial yang lebih cocok pada lingkungan material yang baru. Yang diuji selalu perubahan dari sistem yang ada.

(4). Dalam suatu masyarakat yang stabil di mana sistem sosial secara memuaskan disesuaikan dengan lingkungan material, terdapat hubungan antara seperangkat gagasan-gagasan keagamaan dengan gagasan-gagasan lainnya. Penerimaan gagasan-gagasan ini melahirkan sikap-sikap kesadaran tertentu terhadap masyarakat dan lingkungan pada para anggota masyarakat. Tanpa sikap-sikap tersebut, kehidupan masyarakat akan kurang memuaskan. Dalam banyak hal, para anggota masyarakat tidak perlu menyadari apa yang mereka lakukan, tetapi secara esensial harus percaya bahwa sebagai secara keseluruhan sebagai masyarakat, mereka mempunyai arti dan makna.

(5). Berbagai gagasan, khususnya gagasan-gagasan keagamaan, mempunyai bagian penting dalam penyesuaian suatu sistem sosial terhadap perubahan dalam lingkungan material. Seperti dinyatakan di atas, akibat langsung dari perubahan material adalah ketidakserasian masyarakat, dan hal ini melibatkan ketidakpuasan dan ketidaksenangan pada anggota-anggota masyarakat. Namun hal ini bersifat negatif di mana mereka merupakan gerakan menghindari sesuatu. Mereka tidak menjadi gerakan efektif hingga mempunya tujuan yang dirumuskan secara positif, dan ini, apabila diterima secara sadar oleh kebanyakan anggota masyarakat, mesti diungkapkan dalam gagasan-gagasan.

(6). Sikap sadar yang mendasari kehidupan masyarakat mempunyai akar-akar yang dalam, yang sebagian tidak disadari. Oleh karena itu mereka secara kokok dianut, dan hal ini biasanya tidak mudah dihapuskan. Untuk melahirkan sikap baru yang dianut sama kokohnya, akan makan waktu beberapa generasi. Oleh karena itu manusia mencoba membuat perubahan ketimbang mencabut sikap-sikap dasar untuk mengadakan penyesuaian dalam suatu sistem sosial. Mereka melakukan hal itu dengan membuat sedikit perubahan pada seperangkat gagasan yang diterima dan menganalisa situasi baru dalam batas-batas gagasan-gagasan ini. Hal ini membawa pengungkapan tujuan sesuai dengan analisa itu. Jadi, bila terdapat penyesuaian terhadap keadaan material baru, gagasan-gagasan keagamaan tidak hanya melengkapi tujuan yang positif, melainkan juga sikap-sikap tradisional yang mengendalikan pencapaian tujuan itu. Dalam cara ini, gagasan-gagasan keagamaan memberikan sasaran utama pada gerakan sosial. Tanpa gagasan-gagasan itu, sama sekali tak akan ada suatu gerakan dalam arti yang sebenarnya, melainkan cuma keresahan sosial tanpa arah yang jelas.

Secara umum, Watt memiliki beberapa pandangan yang agaknya bisa diterima oleh umat muslim, walaupun pandangan-pamdangan ini sebetulnya masih mengandung masalah-masalah. Sebagai contoh, terlepas dari perbedaan konsep tentang Tuhan dan karena seseorang tidak mengibadahi dan tidak mengabdi pada sebuah konsep, melainkan Zat (being), Watt percaya bahwa orang-orang Yahudi, Kristen, dan Muslim mengibadahi dan mengabdi pada Zat (being) yang sama. Namun, dia sama sekali tidak mendiskusikan posisi Yesus sebagai salah satu oknum Tuhan dalam konsep trinitas. Dengan mempertimbangkan Yesus sebagai Tuhan Kristen atau sebagai Anak Tuhan akan sangat sulit bagi kaum Muslimin untuk menerima bahwa kedua agama mengibadahi Tuhan yang sama.
Watt mengakui secara jelas bahwa pandangan akan realitas yang dihadirkan oleh al-Qur’an adalah benar dan berasal dari Tuhan, dan karenanya Muhammad adalah seorang nabi yang benar, utusan Allah. Dia menolak pendapat yang mengatakan bahwa Islam tak lebih dari suatu bentuk penyimpangan dari sistem-sistem pemikiran monotheistik yang telah mapan sebelumnya, baik Kristen ataupun Yahudi, tapi dalam banyak tempat, dia mennyatakan adanya pengaruh signifikan dari agama Kristen dan Yahudi terhadap Islam. Bahkan, menurut Tibawi, Watt menulis dalam bukunya “Islam and the Integration of society” bahwa Islam seharusnya mengakui fakta asal-usulnya (pengaruh historis dari tradisi religius Judeo-Kristen.
Demikian pula Asaf Hussain mengutip dari buku Watt, “Muhammad: Prophet and Statesman”, bahwa Watt menganggap Muhammad boleh jadi disalahpahami, untuk apa yang dikira oleh seseorang berasal dari luar dirinya, padahal sebenarnya berasal dari ketidak sadarannya (come from his unconsciousness) dan karenanya, al-Qur’an adalah produk dari imajinasi kreatif (product of creative imagination). Watt mengisyaratkan, bahwa Muhammad (Rasulullah Saw) tidak menerima wahyu yang datang dari luar dirinya, melainkan mengarang sendiri al-Qur’an berdasarkan imajinasi bawah sadarnya. Watt meragukan Muhammad sebagai seorang Nabi yang menerima wahyu, sementara di tempat lain, dia memberikan pengakuan atas kenabiannya. Jelas menimbulkan keraguan bahwa Watt benar-benar jujur ketika mengakui kenabian Muhammad. Pandangan Watt tidak konsisten.
Watt mengakui, bagi kebanyakan orang Kristen di Barat, kata religion tidak ada kaitannya dengan perdagangan atau apapun yang mungkin dilihat seseorang sebagai ilmu kesehatan dan etika. Namun, konsep Islam tentang dîn mencakup semua ini bahkan lebih lagi. Menurutnya, kata dîn melingkupi hampiri seluruh urusan kehidupan, dan bagi Islam hanya ada sedikit jarak antara yang religius dan yang sekular. Namun, saat berbicara tentang pembentukan federasi pasca Bai’at Aqabah kedua, Watt menggunakan cara pandang sekular dalam kesimpulannya, bahwa tidak ada sesuatu yang secara khusus dapat dikatakan Islami pada federasi ini, kecuali bahwa kelompok-kelompok yang terlibat di dalamnya seluruhnya adalah muslim.
Penilaian tentang federasi ini jelas ‘mereduksi’ konsep dîn yang telah disinggung sebalumnya. Federasi tersebut merupakan bagian dari perjuangan Nabi untuk menegakkan suatu masyarakat Islam yang baru di tempat yang baru, yaitu Madinah. Sejauh niat dan tujuannya adalah untuk Islam dan prakteknya tidak bertentangan dengan syariah, kita tidak bisa mengatakan suatu aktifitas sebagai “tidak ada sesuatu yang secara khusus dapat dikatakan Islami” (nothing specifically Islamic). Bagaimanapun, dalam banyak kasus kita mendapati Watt tidak bisa sepenuhnya menghapus persepsi sekularnya dalam menganalisa Islam.
Watt memahami bahwa Islam memiliki ‘rasa solidaritas komunal’ (sense of communal solidarity) yang dalam. Bahkan, solidaritas ummat adalah kontribusi utama dari agama Islam di lapangan politik. Namun-masih menurut Watt-, terlepas dari reputasinya sebagai suatu agama politik (a political religion), ia relatif gagal di lapangan politik. Saat menggambarkan peristiwa-peristiwa di dunia Islam, dia berargumen bahwa istilah ‘Islam’ lebih tepat untuk digunakan ketimbang kata ‘Arab’. Sejarah yang dipelajari dari dunia Islam tidak lebih atau kurang religius daripada Eropa abad pertengahan, tapi agama masuk ke dalamnya dengan cara yang berbeda karena tidak ada lembaga kepausan dalam Islam, tidak ada hirarki kependetaan, dan tidak ada kelas pendeta dalam artian yang kaku, meskipun terdapat kaum intelektual religius dan suatu institusi agama. Dia juga berargumen bahwa hanya negara Islam (Islamic state) yang disebarluaskan dengan pedang, bukan agamanya.
Demikianlah sebagian dari pandangan Watt dalam menjelaskan hubungan antara politik dan agama di dalam Islam. Politik merupakan bagian penting dari Islam sebagai sebuah agama. Kita tidak bisa memisah-misahkan antara Islam dan politik. Namun, Islam relatif gagal di lapangan politik. Dan sementara agama Islam tidak tersebar dengan pedang, negara Islam-lah yang telah meluaskan wilayahnya dengan pedang.
Di beberapa bagian tulisannya, Watt cenderung menjelaskan Islam dengan kesan yang kurang positif. Para pembaca Muslim boleh jadi tidak merasakan adanya suatu misrepresentasi dalam deskripsi atau analisanya. Namun jika mereka menggali lebih dalam, maka akan mendapatinya. Sebagai contoh, Watt terkadang membuat kesan bahwa hukum, serta sistem sosial Arab yang bersifat kesukuan dan telah ada sebelumnya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kaum muslimin, seolah-olah Islam henyalah kelanjutan dari sistem kesukuan Arab jahiliyah. Bahwa pada asalnya negara Islam berdasar pada konsep-konsep politik pra Islam (in its origins the Islamic state was based on pre Islamic political concepts). Pengaruh signifikan, menurut Watt, juga datang dari agama Yahudi dan Kristen terhadap ajaran-ajaran dan doktrin-doktrin Islam, khususnya dalam cara Islam merespon sikap kedua agama tadi terhadap Islam.
Watt menyimpulkan bahwa motif utama dari ekspansi bangsa Arab setelah kemunculan Islam adalah untuk mendapatkan harta rampasan perang serta pengambilan tanah, dan tidak ada pemikiran untuk mengupayakan konversi ke agama Islam. Dia juga memandang bahwa jihad berkembang sebagai kelanjutan dari praktek razia nomadik dan yang menggerakkan para partisipannya adalah nafsu material, dan bukan semangat keagamaan. Pendapat ini jelas mengada-ada. Beberapa penguasa muslim yang belakangan boleh jadi memiliki motif semacam ini, tetapi penyimpangan ini tidak bersumber pada ajaran Islam dan dapat dikatakan tidak muncul pada awal periode Islam. Jika pendapat Watt di atas memang benar, maka bagaimana mungkin konversi besar-besaran orang-orang Kristen di Syria, Irak, Mesir, dll. bisa terjadi?
Namun di sisi lain, Watt juga melakukan otokritik. Dia mengkritisi ‘citra yang didistorsikan’ (distorted image) dari Islam sebagaimana yang dianjurkan oleh Eropa abad pertengahan, seperti tudingan bahwa Islam adalah agama kekerasan, disebarluaskan dengan pedang, agama yang tak punya kontrol diri, terutama dalam persoalan seksual, dan Muhammad mestilah alat atau agen setan. Setelah menggambarkan sosok Nabi Muhammad Saw secara detail dan menarik di dalam bukunya “Muhammad at Medina”, dia menulis: “Dari seluruh tokoh-tokoh besar dunia, tak seorangpun yang diperlakukan sedemikian buruk dan begitu banyak dicerca seperti Muhammad”. Kemudian, dia mengakhiri bukunya dengan tulisan: “Sudah menjadi harapan saya bahwa studi tentang kehidupan beliau ini bisa memberi kontribusi berupa penghargaan dan apresiasi yang baru terhadap salah satu ‘putera Adam’ yang terbesar”.

IV. Penutup

Pada akhirnya, semuanya penulis kembalikan kepada-Nya. Semoga sedikit usaha ini bisa memberikan kontribusi positif, menjadi bagian dari proyek pendidikan sejarah yang merupakan proses yang amat penting bagi eksistensi manusia sebagai khalifah Allah di bumi. Bahwa peradaban Islam dibangun di atas fondasi pemahaman tauhid yang mendalam. Karena keyakinan adalah pengejawantahan dalam segala aktifitas. Selanjutnya, tentunya sebuah karya manusia tak layak disebut demikian jika tanpa kekurangan. Dan keberanian untuk mau terus memperbaiki diri dengan sepenuh keikhlasan dan kesadaran adalah kesejatian. Sedangkan ketidaksanggupan memahami sebuah hakikat adalah kemiskinan. Wa’l Lâhu A‘lam bi al-Shawâb.

“Kukembalikan kepada-Nya setetes tinta itu,
setelah dengannya kutulis rangkaian kata ini”

Lampiran

Pandangan Positif Para Orientalis Terhadap Nabi Muhammad Saw

  • ENCYCLOPEDIA BRITANNICA: “Sejumlah besar sumber awal menunjukkan bahwa dia adalah seseorang yang jujur dan berbudi baik yang dihormati dan ditaati orang-orang yang sepertinya (jujur dan berbudi baik) (Vol. 12)”.
  • MAHATMA GANDHI (Komentar mengenai karakter Muhammad di YOUNG INDIA): “Pernah saya bertanya-tanya siapakah tokoh yang paling mempengaruhi manusia… Saya lebih dari yakin bahwa bukan pedanglah yang memberikan kebesaran pada Islam pada masanya. Tapi ia datang dari kesederhanaan, kebersahajaan, kehati-hatian Muhammad; serta pengabdian luar biasa kepada teman dan pengikutnya, tekadnya, keberaniannya, serta keyakinannya pada Tuhan dan tugasnya. Semua ini (dan bukan pedang ) menyingkirkan segala halangan. Ketika saya menutup halaman terakhir volume 2 (biografi Muhammad), saya sedih karena tiada lagi cerita yang tersisa dari hidupnya yang agung.”
  • Sir George Bernard Shaw (The Genuine Islam,’ Vol. 1, No. 8, 1936.): “Jika ada agama yang berpeluang menguasai Inggris – bahkan Eropa – beberapa ratus tahun dari sekarang, Islam-lah agama tersebut.”. ”Saya senantiasa menghormati agama Muhammad karena potensi yang dimilikinya. Ini adalah satu-satunya agama yang bagi saya memiliki kemampuan menyatukan dan merubah peradaban. Saya sudah mempelajari Muhammad – sesosok pribadi agung yang jauh dari kesan seorang anti-kristus, dia harus dipanggil ’sang penyelamat kemanusiaan’.” “Saya yakin, apabila orang semacam Muhammad memegang kekuasaan tunggal di dunia modern ini, dia akan berhasil mengatasi segala permasalahan sedemikian hingga membawa kedamaian dan kebahagiaan yang dibutuhkan dunia: Ramalanku, keyakinan yang dibawanya akan diterima Eropa di masa datang dan memang ia telah mulai diterima Eropa saat ini”. “Dia adalah manusia teragung yang pernah menginjakkan kakinya di bumi ini. Dia membawa sebuah agama, mendirikan sebuah bangsa, meletakkan dasar-dasar moral, memulai sekian banyak gerakan pembaruan sosial dan politik, mendirikan sebuah masyarakat yang kuat dan dinamis untuk melaksanakan dan mewakili seluruh ajarannya, dan ia juga telah merevolusi pikiran serta perilaku manusia untuk seluruh masa yang akan datang. Dia adalah Muhammad (SAW). Dia lahir di Arab tahun 570 masehi, memulai misi mengajarkan agama kebenaran, Islam (penyerahan diri pada Tuhan) pada usia 40 dan meninggalkan dunia ini pada usia 63. Sepanjang masa kenabiannya yang pendek (23 tahun) dia telah merubah Jazirah Arab dari paganisme dan pemuja makhluk menjadi para pemuja Tuhan yang Esa, dari peperangan dan perpecahan antar suku menjadi bangsa yang bersatu, dari kaum pemabuk dan pengacau menjadi kaum pemikir dan penyabar, dari kaum tak berhukum dan anarkis menjadi kaum yang teratur, dari kebobrokan ke keagungan moral. Sejarah manusia tidak pernah mengenal tranformasi sebuah masyarakat atau tempat sedahsyat ini – dan bayangkan ini terjadi dalam kurun waktu hanya sedikit di atas DUA DEKADE.”
  • MICHAEL H. HART (THE 100: A RANKING OF THE MOST INFLUENTIAL PERSONS IN HISTORY, New York, 1978): Pilihan saya untuk menempatkan Muhammad pada urutan teratas mungkin mengejutkan semua pihak, tapi dialah satu-satunya orang yang sukses baik dalam tataran sekular maupun agama. (hal. 33). Lamar tine, seorang sejarawan terkemuka menyatakan bahwa: “Jika keagungan sebuah tujuan, kecilnya fasilitas yang diberikan untuk mencapai tujuan tersebut, serta menakjubkannya hasil yang dicapai menjadi tolok ukur kejeniusan seorang manusia; siapakah yang berani membandingkan tokoh hebat manapun dalam sejarah modern dengan Muhammad? Tokoh-tokoh itu membangun pasukan, hukum dan kerajaan saja. Mereka hanyalah menciptakan kekuatan-kekuatan material yang hancur bahkan di depan mata mereka sendiri. Muhammad bergerak tidak hanya dengan tentara, hukum, kerajaan, rakyat dan dinasti, tapi jutaan manusia di dua per tiga wilayah dunia saat itu; lebih dari itu, ia telah merubah altar-altar pemujaan, sesembahan, agama, pikiran, kepercayaan serta jiwa… Kesabarannya dalam kemenangan dan ambisinya yang dipersembahkan untuk satu tujuan tanpa sama sekali berhasrat membangun kekuasaan, sembahyang-sembahyangnya,
    dialognya dengan Tuhan, kematiannnya dan kemenangan-kemenangan (umatnya) setelah kematiannya; semuanya membawa keyakinan umatnya hingga ia memiliki kekuatan untuk mengembalikan sebuah dogma. Dogma yang mengajarkan ketunggalan dan kegaiban (immateriality) Tuhan yang mengajarkan siapa sesungguhnya Tuhan. Dia singkirkan tuhan palsu dengan kekuatan dan mengenalkan tuhan yang sesungguhnya dengan kebijakan. Seorang filsuf yang juga seorang orator, apostle (hawariyyun, 12 orang pengikut Yesus-pen.), prajurit, ahli hukum, penakluk ide, pegembali dogma-dogma rasional dari sebuah ajaran tanpa pengidolaan, pendiri 20 kerajaan di bumi dan satu kerajaan spiritual, ialah Muhammad. Dari semua standar bagaimana kehebatan seorang manusia diukur, mungkin kita patut bertanya: adakah orang yang lebih agung dari dia?”
  • (Lamar tine, HISTOIRE DE LA TURQUIE, Paris, 1854, Vol. II, pp 276-277): “Dunia telah menyaksikan banyak pribadi-pribadi agung. Namun, dari orang orang tersebut adalah orang yang sukses pada satu atau dua bidang saja misalnya agama atau militer. Hidup dan ajaran orang-orang ini seringkali terselimuti kabut waktu dan zaman. Begitu banyak spekulasi tentang waktu dan tempat lahir mereka, cara dan gaya hidup mereka, sifat dan detail ajaran mereka, serta tingkat dan ukuran kesuksesan mereka sehingga sulit bagi manusia untuk merekonstruksi ajaran dan hidup tokoh-tokoh ini. Tidak demikian dengan orang ini. Muhammad (SAW) telah begitu tinggi menggapai dalam berbagai bidang pikir dan perilaku manusia dalam sebuah episode cemerlang sejarah manusia. Setiap detil dari kehidupan pribadi dan ucapan-ucapannya telah secara akurat didokumentasikan dan dijaga dengan teliti sampai saat ini. Keaslian ajarannya begitu terjaga, tidak saja oleh karena penelusuran yang dilakukan para pengikut setianya tapi juga oleh para penentangnya. Muhammad adalah seorang agamawan, reformis sosial, teladan moral, administrator massa, sahabat setia, teman yang menyenangkan, suami yang penuh kasih dan seorang ayah yang penyayang – semua menjadi satu. Tiada lagi manusia dalam sejarah melebihi atau bahkan menyamainya dalam setiap aspek kehidupan tersebut -hanya dengan kepribadian seperti dia-lah keagungan seperti ini dapat diraih.”
  • K. S. RAMAKRISHNA RAO, Professor Philosophy dalam bookletnya, “Muhammad, The Prophet of Islam”: Kepribadian Muhammad, hhmm sangat sulit untuk menggambarkannya dengan tepat. Saya pun hanya bisa menangkap sekilas saja: betapa ia adalah lukisan yang indah. Anda bisa lihat Muhammad sang Nabi, Muhammad sang pejuang, Muhammad sang pengusaha, Muhammad sang negarawan, Muhammad sang orator ulung, Muhammad sang pembaharu, Muhammad sang pelindung anak yatim-piatu, Muhammad sang pelindung hamba sahaya, Muhammad sang pembela hak wanita, Muhammad sang hakim, Muhamad sang pemuka agama. Dalam setiap perannya tadi, ia adalah seorang pahlawan. Saat ini, 14 abad kemudian, kehidupan dan ajaran Muhammad tetap selamat, tiada yang hilang atau berubah sedikit pun. Ajaran yang menawarkan secercah harapan abadi tentang obat atas segala penyakit kemanusiaan yang ada dan telah ada sejak masa hidupnya. Ini bukanlah klaim seorang pengikutnya tapi juga sebuah simpulan tak terelakkan dari sebuah analisis sejarah yang kritis dan tidak bias.
  • PROF. (SNOUCK) HURGRONJE: Liga bangsa-bangsa yang didirikan Nabi umat Islam telah meletakkan dasar-dasar persatuan internasional dan persaudaraan manusia di atas pondasi yang universal yang menerangi bagi bangsa lain. Buktinya, sampai saat ini tiada satu bangsa pun di dunia yang mampu menyamai Islam dalam capaiannya mewujudkan ide persatuan bangsa-bangsa. Dunia telah banyak mengenal konsep ketuhanan, telah banyak individu yang hidup dan misinya lenyap menjadi legenda. Sejarah menunjukkan tiada satu pun legenda ini yang menyamai bahkan sebagian dari apa yang Muhammad capai. Seluruh jiwa raganya ia curahkan untuk satu tujuan: menyatukan manusia dalam pengabdian kepada Tuhan dalam aturan-aturan ketinggian moral. Muhammad atau pengikutnya tidak pernah dalam sejarah menyatakan bahwa ia adalah putra Tuhan atau reinkarnasi Tuhan atau seorang jelmaan Tuhan – dia selalu sejak dahulu sampai saat ini menganggap dirinya dan dianggap oleh pengikutnya hanyalah sebagai seorang pesuruh yang dipilih Tuhan.
  • THOMAS CARLYLE in his HEROES AND HEROWORSHIP: “(Betapa menakjubkan) seorang manusia sendirian dapat mengubah suku-suku yang saling berperang dan kaum nomaden (Baduy) menjadi sebuah bangsa yang paling maju dan paling berperadaban hanya dalam waktu kurang dari dua decade.” “Kebohongan yang dipropagandakan kaum Barat yang diselimutkan kepada orang ini (Muhammad) hanyalah mempermalukan diri kita sendiri.” “Sesosok jiwa besar yang tenang, seorang yang mau tidak mau harus dijunjung tinggi. Dia diciptakan untuk menerangi dunia, begitulah perintah Sang Pencipta Dunia.”
  • EDWARD GIBBON and SIMON OCKLEY speaking on the profession of ISLAM write: ” ‘Saya percaya bahwa Tuhan adalah tunggal dan Muhammad adalah pesuruh-Nya’ adalah pengakuan kebenaran Islam yang simpel dan seragam. Tuhan tidak pernah dihinakan dengan pujaan-pujaan kemakhlukan; penghormatan terhadap Sang Nabi tidak pernah berubah menjadi pengkultusan berlebihan; dan prinsip-prinsip hidupnya telah memberinya penghormatan dari pengikutnya dalam batas-batas akal dan agama (HISTORY OF THE SARACEN EMPIRES, London, 1870, p. 54). Muhammad tidak lebih dari seorang manusia biasa. Tapi ia adalah manusia dengan tugas mulia untuk menyatukan manusia dalam pengabdian terhadap satu dan hanya satu Tuhan serta untuk mengajarkan hidup yang jujur dan lurus sesuai perintah Tuhan. Dia selalu menggambarkan dirinya sebagai ‘hamba dan pesuruh Tuhan’ dan demikianlah juga setiap tindakannya.
  • SAROJINI NAIDU, penyair terkenal India (S. Naidu, IDEALS OF ISLAM, vide Speeches & Writings, Madras, 1918, p. 169): Inilah agama pertama yang mengajarkan dan mempraktekkan demokrasi; di setiap masjid, ketika adzan dikumandangkan dan jemaah telah berkumpul, demokrasi dalam Islam terwujud lima kali sehari ketika seorang hamba dan seorang raja berlutut berdampingan dan mengakui: ‘Allah Maha Besar’… Saya terpukau lagi dan lagi oleh kebersamaan Islam yang secara naluriah membuat manusia menjadi bersaudara.
  • DIWAN CHAND SHARMA: “Muhammad adalah sosok penuh kebaikan, pengaruhnya dirasakkan dan tak pernah dilupakan orang-orang terdekatnya. (D.C. Sharma, THE PROPHETS OF THE EAST, Calcutta, 1935, pp. 12)
  • James A. Michener, “Islam: The Misunderstood Religion,” in READER’S DIGEST (American edition), May 1955, pp. 68-70.: Muhammad, seorang inspirator yang mendirikan Islam, dilahirkan pada tahun 570 masehi dalam masyarakat Arab penyembah berhala. Yatim semenjak kecil dia secara khusus memberikan perhatian kepada fakir miskin, yatim piatu dan janda, serta hamba sahaya dan kaum lemah. Di usia 20 tahun, dia sudah menjadi seorang pengusaha yang sukses, dan menjadi pengelola bisnis seorang janda kaya. Ketika mencapai usia 25, sang majikan melamarnya.Meski usia perempuan tersebut 15 tahun lebih tua Muhammad menikahinya dan tetap setia kepadanya sepanjang hayat sang istri. “Seperti halnya para nabi lain, Muhammad memulai tugas kenabiannya dengan sembunyi2 dan ragu2 karena menyadari kelemahannya. Tapi “Baca” adalah perintah yang diperolehnya, -dan meskipun sampai saat ini diyakini bahwa Muhammad tidak bisa membaca dan menulis – dan keluarlah dari mulutnya satu kalimat yang akan segera mengubah dunia: “Tiada tuhan selain Tuhan.” “Dalam setiap hal, Muhammad adalah seorang yang mengedepankan akal. Ketika putranya, Ibrahim, meninggal disertai gerhana dan menimbulkan anggapan ummatnya bahwa hal tersebut adalah wujud rasa belasungkawa Tuhan kepadanya, Muhammad berkata: “Gerhana adalah sebuah kejadian alam biasa, adalah suatu kebodohan mengkaitkannya dengan kematian atau kelahiran seorang manusia.” “Sesaat setelah ia meninggal, sebagian pengikutnya hendak memujanya sebagaimana Tuhan dipuja, akan tetapi penerus kepemimpinannya (Abu Bakar-pen.) menepis keingingan ummatnya itu dengan salah satu pidato relijius terindah sepanjang masa: ‘Jika ada diatara kalian yang menyembah Muhammad, maka ketahuilah bahwa ia telah meninggal. Tapi jika Tuhanlah yang hendak kalian sembah, ketahuilah bahwa Ia hidup selamanya”. (Ayat terkait: Q.S. Al Imran, 144 – pen.)
  • W. Montgomery Watt, MOHAMMAD AT MECCA, Oxford, 1953, p. 52.: “Kesiapannya menempuh tantangan atas keyakinannya, ketinggian moral para pengikutnya, serta pencapaiannya yang luar biasa – semuanya menunjukkan integritasnya. Mengira Muhammad sebagai seorang penipu hanyalah memberikan masalah dan bukan jawaban. Lebih dari itu, tiada figur hebat yang digambarkan begitu buruk di Barat selain Muhammad”
  • Annie Besant, THE LIFE AND TEACHINGS OF MUHAMMAD, Madras, 1932, p.4.: “Sangat mustahil bagi seseorang yang memperlajari karakter Nabi Bangsa Arab, yang mengetahui bagaimana ajarannya dan bagaimana hidupnya untuk merasakan selain hormat terhadap beliau, salah satu utusan-Nya. Dan meskipun dalam semua yang saya gambarkan banyak hal-hal yang terasa biasa, namun setiap kali saya membaca ulang kisah-kisahnya, setiap kali pula saya mersakan kekaguman dan penghormatan kepada sang Guru Bangsa Arab tersebut.”
  • Bosworth Smith, MOHAMMAD AND MOHAMMADANISM, London, 1874, p. 92.: “Dia adalah perpaduan Caesar dan Paus; tapi dia adalah sang Paus tanpa pretensinya dan seorang caesar tanpa Legionnaire-nya: tanpa tentara, tanpa pengawal, tanpa istana, tanpa pengahasilan tetap; jika ada seorang manusia yang pantas untuk berkata bahwa dia-lah wakil Tuhan penguasa dunia, Muhammad lah orang itu, karena dia memiliki kekuatan meski ia tak memiliki segala instrument atau penyokongnya.”
  • John William Draper, M.D., L.L.D., A History of the Intellectual Development of Europe, London 1875, Vol.1, pp.329-330: “Empat tahun setelah kematian Justinian, pada 569 AD, telah lahir di Mekkah Arabia seorang manusia yang sangat besar pengaruhnya terhadap ummat manusia . Muhammad”
  • John Austin, “Muhammad the Prophet of Allah,” in T.P. ’s and Cassel’s Weekly for 24th September 1927.: Dalam kurun waktu hanya sedikit lebih dari satu tahun, ia telah menjadi pemimpin di Madinah. Kedua tangannya memegang sebuah tuas yang siap mengguncang dunia.
  • Professor Jules Masserman: “Pasteur dan Salk adalah pemimpin dalam satu hal (intelektualitas-pen).Gandhi dan Konfusius pada hal lain serta Alexander, Caesar dan Hitler mungkin pemimpin pada kategori kedua dan ketiga (reliji dan militer pen.). Jesus dan Buddha mungkin hanya pada kategori kedua. Mungkin pemimpin terbesar sepanjang masa adalah Muhammad, yang sukses pada ketiga kategori tersebut. Dalam skala yang lebih kecil Musa melakukan hal yang sama.”

—++—-+——–

Bagi yang ingin wakaf tunai untuk pembangunan pesantren Almuflihun yang diasuh oleh ust. Wahyudi Sarju Abdurrahmim, silahkan salurkan dananya ke: Bank BNI Cabang Magelang dengan no rekening: 0425335810 atas nama: Yayasan Al Muflihun Temanggung. SMS konfirmasi transfer: +201120004899