Orientalis dan Distorsi Otentisas Syi’ir Jahili: Syi’r Jâhiliy dalam Perspektif Margoliouth


                  Mohamad Dzikron

I. Mukadimah

Dalam wacana kesusteraan Arab, Syi’r Jâhiliy hampir tidak pernah luput dari pembicaraan. Telah banyak para sarjanawan muslim maupun Barat yang meluangkan waktu puluhan tahun untuk mengkaji sastra Arab klasik dan terkhusus syair-syair jahiliah. Ada beberapa hal yang muncul sebagai pemantik atas kajian-kajian serius terhadap Syi’r Jâhiliy yang¬¬¬ dilakukan oleh para sarjanawan. Di antaranya disebutkan oleh Ibnu Salam al-Jamhi dalam “Thabaqât Fuhûlu al-Syu’arâ”, “Syair bagi masyarakat Arab pada masa Jahiliah adalah sebagai timbangan ilmunya dan sebagai standar sebuah keputusan. Dari syairlah mereka bermula (mengambil pelajaran hidup) dan dari syair pula mereka menyerahkan (segala keputusan)”. Selain itu, Abu Amru bin Ala juga pernah berkomentar. “Para penyair di zaman jahiliah mempunyai kedudukan sederajat dengan para Nabi di mata masyarakat Arab ketika itu”. Minimal dari justifikasi tersebut kita mampu mengambil pelajaran yang cukup berharga, bahwa di dalam syair terkandung berbagai macam hikmah dan pelajaran hidup. Oleh karena posisinya yang sangat strategis dan signifikan itulah syair dinilai memiliki andil yang besar dalam kemaslahatan hidup manusia.
Berbicara mengenai Syi’r Jâhiliy tentu kita juga akan bersinggungan dengan beberapa polemik di dalamnya. Banyak para sarjanawan Barat (orientalis) mengkaji Syi’r Jâhiliy dan melakukan distorsi dalam kajian tersebut. Salah satunya adalah distorsi autentisitas Syi’r Jâhiliy yang dilakukan oleh seorang orientalis asal Inggris yang bernama David Samuel Margoliouth (1858-1940 M). Dr. Muhammad Musthafa Hadarah pernah bertutur, “Telah banyak karangan para orientalis yang membicarakan berbagai wacana tentang bahasa dan sastra Arab. Namun tidak ada satupun tulisan mereka yang benar-benar diliputi oleh warna kebencian dan kedengkian terhadap agama Islam, selain wacana yang telah ditulis oleh David Samuel Margoliouth”.
Pandangan-pandangan Margoliouth tentang Syi’r Jâhiliy dianggap kontroversial oleh sebagian sarjanawan Muslim dan kemudian menuai badai kritik oleh para pakar dalam bidang kesusteraan Arab. Wacana tersebut bermula ketika Margoliouth menuangkan pandangan-pandangannya dalam sebuah tulisan. Tulisan tersebut diterbitkan pada bulan Juli 1925 M di sebuah jurnal “Journal of The Royal Asiatic Society” yang terbit di Inggris. Ketika itu dialah yang menjabat sebagai Pimpinan Redaksi dalam jurnal tersebut.
Sebetulnya jika dicermati, bukan hanya pemikirannya dalam memandang wacana Syair Arab Klasik yang dianggap kontroversial, namun dalam satudi-studi Islam lainnya, Margoliouth terkenal sebagai seorang orientalis yang “gemar” mendistorsi kajian keislaman. Ada banyak karya-karya Margoliouth yang bisa kita telusuri dan kita kaji secara serius yang merupakan bagian dari usahanya untuk mentasykîk keyakinan yang telah lama mengakar dalam benak umat muslim. Sebutlah misalnya karyanya yang berjudul “Muhammad dan Perkembangan Islam” (Muhammad and the Rise of Islam) yang terbit pada tahun 1905 M., “Islam (Mohammadanism)” yang juga pernah terbit pada tahun 1911 M. Dan yang terakhir adalah karyanya yang membahas tentang hubungan anatara Arab dan Yahudi sampai munculya agama Islam (The Relation Between Arabs and Israelites Prior to The Rise of Islam) yang diterbitkan pada tahun 1924 M.
Satu buah karyanya yang akan menjadi sentral pembicaraan dalam pembahasan ini adalah “The Origin Of Arabic Poetry”. Satu karya Margoliouth yang cukup kontroversial dan membuat ‘kaget” para akademisi muslim karena pandangan-pandangannya yang miring dan bertolak belakang dengan kesimpulan-kesimpulan akhir, hasil kajian para ulama klasik. Oleh beberapa kalangan, tulisan Margoliouth dikenal kental dengan motif fanatik golongan (ta’ashub) dan penuh kebencian terhadap agama Islam, sehingga pembahasannya jauh dari obyektifitas dan amanah ilmiah. Bahkan tulisan Margoliouth tersebut dianggap oleh sebagian pihak sebagai sebuah ancaman. Pemikiran-pemikiran yang dilontarkan memiliki pengaruh besar dan sangat berbahaya bagi ideologi dan keyakinan umat Islam terhadap agamanya.
Apa yang menjadi kekhawatiran di atas semakin nampak setelah beberapa pemikir Arab mulai terkontiminasi oleh pemikiran-pemikiran Margoliouth. Sebut saja Dr. Taha Husain, seorang pemikir besar Arab Mesir kontemporer yang pernah menerbitkan buah karyanya yang berjudul “Fiy Syi’r Jâhiliy”. Buku tersebut diterbitkan pada tahun 1926 M. yaitu sekitar setahun setelah terbitnya karya Margoliouth “The Origin Of Arabic Poetry”. Dalam beberapa kesimpulan yang didapatkan bahwa buku Fiy Syi’r Jâhiliy karya Toha Husain tersebut memiliki kemiripan dengan metodologi yang digunakan oleh David Samuel Margoliuth dalam menulis “The Origin Of Arabic Poetry”. Dalam salah satu tesisnya, Dr. Taha Husain mengatakan:

“Sesungguhnya beberapa karya sastra yang sering dinamakan dengan Sastra Jahili (Adab Jahili) sama sekali bukanlah produk jahiliyah. Akan tetapi semua itu adalah karya-karya yang dibuat setelah kemunculan Islam, bersifat islamis dan mencakup segala kehidupan umat Islam, kecondongan-kecondongan serta keinginan-keinginannya yang kesemuanya itu memiliki porsi yang lebih besar dibanding dengan kehidupan jahiliyah”. (Fiil Adabi’l Jahily hal 71 dan 72 )

Komentar tersebut adalah “secuil” dari sekian banyak persamaan pandangan antara Taha Husain dengan Margoliouth dalam memandang autentisitas Syair Arab Klasik. Oleh karenanya, wajar jika kemudian buku tersebut semakin menuai banyak kontroversi dari berbagai kalangan akademisi Muslim. Pada perkembangannya buku tersebut akhirnya kembali diterbitkan dengan judul yang berbeda yaitu “Fi’l Adabi Jâhiliy”. Ada banyak nama pemikir Islam kontemporer yang mencoba memberikan kritikan atas padangan-pandangan Dr. Taha Husain tersebut. Di antaranya adalah Muhammad Khudlri Husain dalam bukunya yang berjudul “Naqdlu Kitâbi fiy Syi’ri’l Jâhiliy”, Muhammad al-Khudlry (Muhâdlarât fi Bayâni’l Akhthâ’ al-‘Ilmiyyah wa at-Târikhiyyah Allâtiy Isytamala ‘Alayhâ Kitâbu Fi Syi’ri al-Jâhiliy), Muhammad Farid Wajdi (Naqdu Kitâb fi Syi’ri’l Jâhiliy), Muhammad Lutfi Jum’ah (Al-Syihâb al-Rasyîd), Muhammad Ahmad al-Ghamrawi (al-Naqd al-Tahlîliy Li’l Kitâb Fi’l Adabi al-Jâhiliy) dan masih banyak lagi para pemikir lain yang memberikan catatan-catatan kritisnya kepada Dr. Toha Husain.
Begitu juga dengan pemikiran yang telah dilontarkan oleh Margoliouth. Buku aslinya yang diterbitkan dalam bahasa Inggris meskipun masih belum banyak para ulama yang mengkajinya namun penulis berkesimpulan bahwa menelaah dan mengkajinya adalah merupakan hal yang sangat urgen. Hal itu disebabkan karena pengaruhnya yang sangat berbahaya terhadap keyakinan yang telah dimiliki oleh umat Islam. Salah satu ulama kontemporer yang membahas dan serius melakukan kajian terhadap pemikiranya serta pengaruhnya terhadap para orientalis dan pemikir-pemikir Arab lainnya adalah Dr. Nasiruddin al-Asad, Dr. Muhammad Musthofa Hadarah dan Ibrahim ‘Audl. Tulisan Margoliaouth dalam bahasa Inggris tersebut juga diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab oleh Dr. Abdurrahman Badawi dalam sebuah buku yang berjudul “Dirâsât al-Mustasyriqîn Hawla Sihhati al-Syi’ri al-Jâhiliy” dan Dr. Ibrahim ‘Audl dengan judul “Ushûl al-Syi’ri al-‘Arabiy”.
Dalam makalah ini penulis hendak memberikan sekilas gambaran tentang studi Syair Arab Klasik (Syi’r Jâhiliy). Penulis juga berusaha mendeskripsikan beberapa polemik kajian Syi’r Jâhiliy dalam perspektif David Samuel Margoliouth serta pandangan balik para sarjanawan muslim terhadapnya. Dari pembahasan yang singkat ini penulis berharap setidaknya pembaca mampu mendapatkan beberapa hal yang terkait dengan Syair Arab Klasik.

II. Sekilas Tentang Syair Arab Klasik

Jazirah Arab terletak di ujung Barat Daya benua Asia. Wilayah tersebut merupakan daerah luas, berbentuk persegi panjang, memiliki letak strategis dan meliputi tiga bagian sumber mata air. Ada tiga tempat yang menjadikan letak Jazirah Arab menjadi istimewa. Pertama, karena terletak di antara rangkaian gunung berapi yang meliputi daerah timur dan selatan. Kedua, adanya pesisir pantai yang terbentang antara beberapa mata air dari gunung dan laut. Serta yang ketiga, karena adanya anak bukit dan dataran tinggi disekitarnya. Selain ketiga keistimewaan di atas, Jazirah Arab juga dikenal dengan kehidupan padang pasirnya. Oleh karenanya Jazirah Arab memiliki iklim tersendiri yang sangat panas dan kering serta kondisi geografis yang cukup keras. Tanahnya sangat tandus dan tidak ada hujan. Tidak heran jika kemudian masyarakat Arab memiliki tabiat hidup yang juga keras. Kahidupan mereka nomaden, berpindah dari satu tempat ke tempat lain hanya untuk mempertahankan hidup.
Para sejarawan sendiri membagi masyarakat Arab klasik menjadi dua bagian, Pertama, Qahthaniyyûn, yaitu sebutan bagi masyarakat Arab yang berdomisili di daerah selatan. Nama Qahthaniyyûn adalah sebutan bagi keturunan Ya’rub bin Qahthan. Kedua, ‘Adnaniyyûn, yaitu masyarakat Arab yang dinisbatkan sebagai keturunan dari Adnan. Mereka tinggal di daerah utara.
Meskipun demikian, ada fenomena menarik yang perlu dikaji pada masyarakat Arab pra Islam. Di balik kerasnya kehidupan pada masyarakat Arab Klasik, mereka ternyata memiliki kebiasaan dan tradisi menghormati tamu, pemurah dan pemberani. Masyarakat Arab ketika itu bahkan dikenal sebagai masyarakat penyair. Tradisi menggubah syair semarak dilakukan, menjadi budaya dan identitas bagi mereka. Maka tidak heran jika ketika itu muncul banyak para punggawa syair (penyair) dan seniman-seniman pelantun bait, sajak dan lagu-lagu. Di masa ini pula para penyair Arab ternama dilahirkan. Mereka melahirkan syair-syair yang memiliki keindahan dan susunan bahasa yang teratur serta memiliki kedalaman makna.
Syair menjadi hal yang sangat berharga dan sangat diistimewakan. Bahkan seorang penyair dijadikan sebagai tolak ukur kehebatan sebuah kaum, karena penyair bagi mereka adalah aset paling berharga untuk menopang sebuah kehormatan. Syair juga menjadi legitimasi bagi mereka untuk mengenang peristiwa-peristiwa penting (Ayyâmu’l ‘Arab). Peperangan menjadi hal yang sangat lumrah bagi mereka, sehingga mereka jadikan sebagai inspirasi untuk bersyair.
Selain sebagai ekspresi dari setiap munculnya sebuah kejadian bersejarah, syair juga memiliki nuansa artistik pada tema-tema tertentu lainnya seperti: al-Hamâsah yaitu syair-syair yang berkaitan dengan keberanian, kekuatan dan ketangkasan seseorang dalam medan peperangan. An-Nasib, yaitu syair-syair yang digunakan untuk mengekspresikan kekaguman mereka kepada seorang wanita. Al-Madh, yaitu syair-syair puisi yang digunakan untuk menyampaikan pujian dan penghargaan kepada orang lain. Al-Ritsâ’, yaitu kumpulan syair yang digunakan untuk mengekspresikan rasa sedih, putus asa dan kepedihan. Al-Ghazzâl, yaitu tema syair yang membicarakan ihwal seorang wanita yang dicintai. Serta masih banyak lagi tema-tema lainnya yang menjadi bahan penyair untuk mengekspresikan rasa hatinya dalam sebuah bait syair.
Sebuah komunitas dalam kesusteraan adalah sebuah keniscayaan. Oleh karenanya kegiatan kesuteraan ataupun kepenyairan di masa Jahiliah dilakukan di sebuah tempat tertentu dan dilaksanakan oleh komunitas tertentu. Tempat yang masyhur sebagai ajang untuk aktifitas kepenyairan di masa Jahiliah adalah pasar-pasar yang terletak di berbagai daerah Arab. Pasar diyakini oleh para penyair sebagai tempat yang representatif untuk mengekspresikan karyanya. Karena di pasarlah tempat di mana segala aktifitas masyarakat Arab ketika itu berpusat. Pasar sangat berpengaruh bagi pertumbuhan dan perkembangan sastra klasik. Di antara pasar-pasar tersebut adalah pasar Hajar dan Musyqar yang terdapat di Bahrain, pasar Syahar di Hadramaut, pasar Syan’a di Yaman, pasar Ukadz, Majnah, Dzul Majjah dan Habasyah di Hijaz (Sekarang Mekah). Sedangkan pasar yang terletak di antara daerah Arab dan daerah A’jam adalah pasar Ablah, Hirah dan Anbar.
Semua karya sastra di zaman jahiliah, terutama syair-syairnya menggambarkan kehidupaan masyarakat Arab ketika itu. Meskipun beberapa syair jahili muncul karena fanatik terhadap suku (kabilah) dan pembelaan terhadapnya, namun banyak pula syair-syair yang dipertahankan oleh Islam karena banyak mengandung hikmah, semangat juang dan nilai-nilai lain yang positif yang selaras dengan ajaran Islam.
Dalam periwayatannya, syair-syair jahiliah diriwayatkan dari mulut ke mulut melalui jalur transmisi seperti halnya hadis yang berkembang dalam tradisi Islam. Hal tersebut dikarenakan masyarakat Arab ketika itu masih menjadi masyarakat ummi yang tak bisa baca tulis. Namun demikian ada sebagian individu yang dikenal telah mampu menuliskan syair. Sehingga saat ini kita mengenal sebutan al-Mu’allaqât, yaitu sebutan untuk syair-syair dan kasidah panjang nan indah yang diucapkan oleh para penyair jahiliah dalam berbagai kesempatan dan tema. Al-Mu’allaqât ini kemudian digantungkan di dinding Ka’bah pada masa jahiliah. Yang paling masyhur ketika itu adalah tujuh syair yang kemudian dikenal dengan al-Mu’allaqât al-Sab’ah yang dibawakan oleh tujuh pujangga terkenal dalam sebuah perlombaan yang diadakan di pasar Ukadz. Nama-nama pujangga tersebut adalah: Umru’ul Qais bin Hajr al-Kindi, Zuhair bin Abi Sulma, Tharfah bin al-’Abdi, Antarah bin Syadad, Amru bin Kulsum, al-Haris bin Hilzah dan Lubaid bin Rabiah.
Dr. Musthofa Sadiq Rafii dalam bukunya “Târîkh Adabi’l ‘Arabiy” membagi tingkatan para penyair sesuai periodesasinya kepada empat tingkatan. Pertama, Penyair masa jahiliyah yang diwakili oleh para penyair al-Mu’allaqât al-Sab’ah, Nabighah al-Dzubyani, A’sya Qais, Muhalhil, Uda bin Zaid, ‘Ubaid bin Abras, Umayyah bin Abi Shalat, Syanfari, Abu Dawud dan lain masih banyak lagi. Kedua, adalah Mukhadlrim yaitu para penyair yang hidup pada masa jahiliah, namun mereka juga mengalami masa-masa munculnya Islam. Di antara mereka adalah, Hasan bin Tsabit, al-Hataiah, Ka’ab bin Zuhair, Abdah bin Thayyib, Nabighah al-Ja’di, al-Khunatsa. Tingkatan penyair ketiga adalah penyair pada periode Islam yang diwakili oleh al-Farazdak, al-Akhthal, Umar bin Abi Rabiah, al-Mutanabbi, Abu Tamam, al-Buhtari dan masih banyak lagi penyair-penyair lainnya terutama yang hidup pada masa dinasti Umawiyah dan Abbasiyah. Sementara klasifikasi keempat untuk tingkatan para penyair adalah para penyair kontemporer yang diwakili oleh Ahmad Syauqi, Hafidz Ibrahim, Ahmad Zaki Abu Syadi, Abbas Mahmud al-Aqad, Shalah Abdul Shobur, Aisyah al-Taymuriyah, Fauzi al-Ma’luf dll.

III. Biografi Margoliouth dan Karya-karyanya

David Samuel Margoliouth adalah seorang orientalis kenamaan Inggris yang dilahirkan pada tahun 1858 M. Beliau wafat pada tanggal 1940 M dalam usianya menjelang 82 tahun. Karir akademisnya mulai kentara ketika ia mengenyam pendidikan di Oxford University dengan memperdalam kajiannya pada sastra-sastra klasik Yunani dan Sastra Kasik Latin. Setelah menguasai ilmu tersebut, ia berpindah pada pendalaman Studi Bahasa Semit. Dari sinilah permulaan muncul karya-karya ilmiahnya, baik yang berbentuk karya tulis ilmiah maupun karya terjemahan. Pada tahun 1887 M, ia menerbitkan karya terjemahan “Mata bin Yunus” tentang buku “Fannu Syi’ri” karya aristoteles.
Karena karir akademisnya melejit, pada tahun 1889 M ia secara resmi ditetapkan untuk menjadi dosen di Universitas Oxford. Selain itu, ia juga terpilih menjadi anggota al-Majma’ al ‘Ilmiy al-‘Arabiy di Damaskus, Majma’ al-Lughawi al-Brithaniy (British Language Association) dan al-Jam’iyyah al-Syarqiyyah al-Almaniyyah.
Selanjutnya, pada tahun 1893 M, ia menulis sebuah pembahasan tentang “Aurâq al-Bardiy al-‘Arabiyyah” di perpustakan Boodly Oxford. Dan pada tahun setelahnya (1894 M) ia menerjemahkan Tafsir Baidlawi dalam bahasa Inggris. Ia juga menerjemakan buku “Tajârub al-Umam” (1920 M) karya Imam Maskawaih. Dalam aktivitas penerbitannya, pada tahun 1898 M ia menerbitkan “Rasâil Ibnu ‘Ala al-Ma’ariy” (1898 M), juga “Mu’jam al-udabâ” (1907-1927 M) karya Yaqut al-Humawiy pada tahun 1907-1927 M, dan “Nasywar al-muhâdlarah” (1921 M) yang ditulis oleh al-Tanuhi pada tahun 1921 M. Bahkan setelah ia berhasil mempersunting istrinya yang bernama Jessie Payne Smith pada tahun 1896 M, ia pernah menerbitkan karya mertuanya yang berjudul “Kanzu’l Lughah a-Suryaniyyah”. Di samping itu juga, masih banyak karya-karyanya yang lain yang berbentuk tahqîq, penelitian-penelitian dan terjemahan-terjemahan yang lain.

IV. Pandangan Margoliouth terhadap Syi’r Jâhiliy dan Kritik Atasnya

a. Al-Quran dan Syi’r Jâhiliy

Dalam tulisannya, Margoliouth memulai dengan mengkaji eksistensi Syi’r Jâhiliy dengan menyetir ayat al-Quran. Ada hal penting yang bisa didapatkan dari kajiannya tersebut. Yaitu, ia mengingkari keberadaan Syi’r Jâhiliy yang sampai pada kita dengan argumentasi yang diambilnya dari ayat-ayat al-Quran.
Dalam analisanya terhadap ayat al-Quran yang berhubungan dengan Syair tersebut, ia menyamakan profesi “Kâhin” (Seorang pendeta), “Majnûn” (Orang gila) dan “Syâir” (Penyair). Hal itu didapatkannya dari sebuah ayat al-Quran yang berbunyi
فَذَكِّرْ فَمَا أَنتَ بِنِعْمَتِ رَبِّكَ بِكَاهِنٍ وَلا مَجْنُونٍ {} أَمْ يَقُولُونَ شَاعِرٌ نَّتَرَبَّصُ بِهِ رَيْبَ الْمَنُونِ {}
Dari ayat ini pula, ia berkesimpulan bahwa para penyair adalah mereka yang membawa kabar-kabar mistik dan gaib. Sementara “kâhin” adalah orang yang di dalam dirinya berafiliasi dengan jin sehingga ia mampu mengetahui berbagai hal yang datang dari langit. Sedangkan “majnûn” diintrepretasikan sebagai orang yang terasuki oleh setan dalam setiap perkataannya.
Setelah itu, ia berusaha untuk mengeksplorasi kembali ayat-ayat yang berhubungan dengan syair (QS. Yasin: 23)

(و َمَا عَلَّمْنَاهُ الشِّعْرَ وَمَا يَنبَغِي لَهُ إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرٌ وَقُرْءانٌ مُّبِين)

dan berpandangan bahwa Syi’r Jâhiliy hanyalah kata-kata yang membingungkan (ghâmid) dan tidak jelas. Pendapat ini muncul karena analisannya, bahwa dalam ayat tersebut disinyalir mengandung arti hanya al-Quran sajalah yang memiliki sifat “mubîn” (jelas). Bahkan ia mengatakan, di dalam al-Quran ada banyak ayat yang mengokohkan konsepsi eksisitensi al-Quran sebagai satu-satunya kitab suci yang “mubîn” (red. bersifat sebagai penjelas).
Dari analisanya inilah, Margoliouth berusaha mencapai sebuah kongklusi akhir dari pandanganya tentang keberadaan Syi’r Jâhiliy yang sebenarnya tidak mendapatkan tempat yang layak dalam peradaban Islam itu sendiri. Sehingga, argumen tersebut pada akhirnya hanya akan menguatkan kongklusi lainnya yang menyimpulkan autentisitas Syi’r Jâhiliy hanyalah sebuah mitos yang sampai sekarang masih berkembang di dalam diri umat Islam.
Margoliouth juga menyimpulkan bahwa ada problematika yang sangat dilematis ketika seeorang hendak menganalisa fenomena di masa Rasulullah. Di mana Nabi Muhammad sebagai seorang yang dikatakan utusan Allah benar-benar tidak mengetahui syair sedikitpun, namun di sisi lain, secara aklamasi, justru masyarakat Arab ketika itu meyakini bahwa apa yang diucapkan oleh Rasulullah (Wahyu Allah) adalah sebuah syair yang sangat menakjubkan. Dari analisa tersebut, Margoliouth sebenarnya ingin lebih menegaskan bahwa bentuk (syakl) syair-syair yang berkembang ketika itu memiliki perbedaan dengan al-Quran, namun materi dan substansinya tidak berbeda sama sekali.
Syair-syair klasik disinyalir oleh Margoliuoth masing-masing memiliki kesamaan dengan al-Quran dari segi pola dan struktur fonetik sebagai sebuah karya sastra. Hal tersebut sangat kentara jika ditinjau pada bagian pemisah kata-kata atau yang kita kenal dengan sajak.
Argumentasi yang dilontarkan oleh Margoliouth tersebut dinilai oleh Dr. Musthafa Hadarah terlalu dini dan sangat prematur. Baginya, Margoliouth dalam hal ini justru menampakkan inkonsistensinya. Di awal dia menggunakan argumentasi dari al-Quran, namun pada kesempatan lainnya dia berusaha menghantam bangunan al-Quran itu sendiri. Selain itu, hal lain yang sangat kentara dan dinilai sebagai kesalahan fatal yang dilakukan oleh Margoliouth adalah intrepretasi terhadap ayat al-Quran yang terkesan “ngawur” dan sangat tidak ilmiah. Hal tersebut dapat dilihat ketika Margoliouth menafsirkan kata “mubîn” (sifat dari al-Quran) sebagai antitesa terhadap syair-syair klasik. Meskipun sekilas terlihat benar, namun sejatinya al-Quran tidak bermaksud untuk menafikan keberadaan syair-syair yang ada. Tapi intrepretasi yang dilakukan Margoliouth malah sebaiknya.
Selanjutnya, argumentasi yang dipaparkan oleh Margoliouth juga sangat terkesan memaksakan diri ketika ia mulai menghubung-hubungkan antara al-Quran dan syair. Bagi Margoliouth keduanya dinilai memiliki kesamaan dan korelasi kuat. Bahkan ia mensinyalir al-Quran adalah syair dan oleh karenanya Syi’r Jâhiliy adalah produk Islam. Dari sini kita bisa mengkaji bahwa Margoliouth menggunakan teori asimilasi (keterpengaruhan) untuk melegitimasi tesisnya akan kedustaan umat muslim dalam menilai autentisitas Syi’r Jâhiliy.

b. Syi’r Jâhiliy dan Amanah Ilmiah Margoliouth

Setelah mengkaji eksistensi Syi’r Jâhiliy, Margoliouth mulai mancari legitimasi lain untuk menguatkan basis argumentasinya yaitu dengan menganalisa bait-bait syair dalam buku al-Hamasah karya Abu Tamam yang baru muncul pada awal abad ke-3 Hijriyah. Kajiannya terhadap buku tersebut menghasilkan buah pemikiran yang sungguh kontroversial. Baginya, karya Abu Tamam tersebut hanya berisi syair-syair yang bernuansa peperangan, permusuhan, membangga-banggakan kelompok serta merekam kejadian-kejadian penting di masa itu. Bahkan menurutnya, jika semua itu disingkronisasikan dengan syair-syair yang datang sebelumnya maka akan didapatkan korelasi yang kuat dengan karya-karya para penyair Romawi yang hidup jauh sebelum itu. Terutama keterpengaruhannya dengan syair-syair yang dibuat oleh Horas, seorang penyair terkenal yang hidup pada masa Romawi.
Selain itu Margoliouth berusaha meletakkan sebuah batasan-batasan dalam Syi’r Jâhiliy yang diambil dari diwan-diwan Abu Tamam dan dalam al-Hamasahnya. Ia berkata:

“Sesungguhnya sebuah syair tidak akan pernah keluar dari batas-batas historis. Hal tersebut tidak hanya terbatas pada produk sastra Arab pra ataupun pasca Islam saja namun teraplikasikan pada semua komunitas manusia, dimanapun dan kapanpun itu. Ini berarti bahwa sebuah sastra akan senantiasa mengalami proses asimilasi (percampuran) dengan fenomena sosial yang melingkupi lahirnya karya sastra tersebut”.

Selanjutnya, Margoliouth mengemukakan permulaan lahirnya Syi’r Jâhiliy. Ia menyimpulkan, Syi’r Jâhiliy muncul pertama kali pada riwayat Khalil bin Ahmad, seorang ahli bahasa Basrah (w. 170 H) yang dikenal sebagai peletak dasar struktur ilmu ‘arudl (Al-Nidzâm al-‘Arûdli) yang terdapat dalam Syi’r Jâhiliy. Sesungguhnya pendapat ini dinukilnya dari “Mu’jam al-Udabâ’” karya Yaqut.
Margoliuth juga menukil sebuah riwayat yang datang dari Imam Suyuti dalam kitabnya “al-Mazhar” dengan perkataan –yang disandarkan kepada Umar bin Khatab Ra.—, ia berkata:

“Syair adalah sebuah ilmu suatu kaum, dan pada saat itu belum ada ilmu-ilmu lain yang lebih autentik darinya. Ketika Islam datang, orang-orang Arab menyibukkan dirinya dengan berperang, berjihad melawan orang Persia dan Romawi, sehingga syair dan transmisinya mulai dilupakkan dan ditinggalkan. Akan tetapi ketika Islam mulai melakukan ekspansi (futuhât) keberbagai wilayah, ketika Islam mulai banyak pemeluknya, dan ketika orang-orang Arab merasa tenang dalam bertempat tinggal, mereka mencoba untuk kembali mentransmisikan syair-syair. Mereka berusaha kembali menyusun dan mentakwilkan diwan-diwan serta syair-syair yang belum sempat terkodifikasikan, kemudian mereka mengkompilasikan dan kemudian mengkodifikasikan syair-syair tersebut. Padahal telah banyak para pendahulu yang telah mati dalam peperangan. Sehingga mereka hanya mampu menghafal sedikit saja dan melupakan yang banyak”

Namun dalam hal ini, Margoliouth mencoba memberikan kritiknya dengan mengatakan bahwa jika riwayat tersebut disandarkan kepada Khalifah Umar bin Khattab, maka hal itu menjadi sebuah “kedustaan sejarah”. Karena periodesasi kekhalifahan tidak ada yang bebas dari huru-hara peperangan dan pertikaian kecuali pada masa kejayaan Umawiyah.
Sebenarnya dalam bukunya “Thabaqât Fuhûl al-Syu’arâ”, Ibnu Salam al-Jamhi juga sempat menukil riwayat tersebut, namun dengan redaksi yang lebih sempurna jika dibanding dengan redaksi yang dinukil oleh Margoliouth. Di samping itu, analisa Margoliouth sangat kentara ketika ia berusaha memaksakan pandangannya pada kesimpulan bahwa masa Umawiyah dinilai sebagai permulaan munculnya syair-syair klasik. Bahkan ketika ia berhipotesa tentang minimnya riwayat Syi’r Jâhiliy sejatinya ia sedang berupaya meyakinkan semua orang bahwa Syi’r Jâhiliy yang ada hanyalah sebuah mitos yang dipalsukan.
Dr. Muhammad Musthafa Hadarah lagi-lagi mencoba mengkritisi Margoliouth. Baginya, kalau ditelusuri secara mendalam, margoliouth dalam kajiannya hanya mengambil pendapat-pendapat para ulama klasik secara parsial. Ia tidak mengambil pemikiran seorang tokoh yang menjadi referensinya secara utuh dan komperhensif. Margoliouth dinilai terlalu cepat mengambil kesimpulan dan bahkan salah dalam memahami buah pemikiran seseorang.
Hal tersebut bisa dilihat dari sebagian besar analisanya. Terutama ketika ia menyimpulkan Khalil bin Ahmad sebagai peletak dasar Syi’r Jâhiliy dalam riwayat-riwayatnya. Pendapat ini, seperti yang telah disinggung sebelumnya adalah pendapat yang disandarkan pada Yaqut dalam “Mu’jam al-Udabâ‘”. Margoliouth dalam hal ini berhenti pada kesimpulan tersebut dan tidak memberikan informasi lain tentang pendapat-pendapat Yaqut tersebut.
Sikap mengindahkan amanah ilmiah –meskipun seakan-akan terkesan ilmah—ini sejatinya muncul dari diri Margoliouth karena motivasi terbesar dalam setiap kajian-kajiannya terhadap studi Islam adalah motif agama.

c. Transmisi Syi’r Jâhiliy

Satu hal yang juga disorot serius oleh Margoliouth adalah tentang periwayatan Syi’r Jâhili. Ia menafikan adanya transmisi Syi’r Jâhiliy secara oral yang dilakukan oleh umat pra Islam dan setelahnya. Baginya Syi’r Jâhiliy adalah sebuah karya sastra yang dibuat oleh masa setelah kemunculan Islam. Hal tersebut dibuktikan dengan maraknya kepenulisan syair klasik yang baru muncul terutama pada kekuasaan Bani Abbasiyah.
Dr. Ibrahim Audl (Mesir), seorang pakar sastra, alumni Universitas Oxford (1982) memberikan catatan kritisnya pada pemikiran Margoliouth tersebut. Baginya pendapat tersebut telah melampaui keabsahan limit sejarah. Dalam counter baliknya terhadap pandangan Margoliouth tersebut, ia berkomentar:

“Ketika Margoliouth mengingkari keberadaan para perawi Syi’r Jâhili, tidak ada sandaran dalil yang kuat yang dipegangnya. Padahal memang bangsa Arab (pada masa jahiliah dan Islam) pada waktu itu sebagian besar adalah orang-orang ummi (yang tak mampu membaca dan menulis). Oleh karenanya aktifitas kodifikasi buku (book recording) ketika itu belum mentradisi. Dan miliu yang berkembang adalah aktifitas menghafal (memorizing). Oleh sebab itu wajar jika kemudian bangsa Arab lebih terkenal dengan kekuatan hafalannya. Bahkan ketika Islam datang, umat lebih mudah mengingat dan menghafal al-Quran dan Hadis. Maka untuk menghafal syair-syair dinilai lebih mudah, karena dalam syair ada Bahar, Qâfiyah, dan Wazn . Adapun perbedaan riwayat itu juga menjadi hal wajar terutama dalam proses periwayatan, tinggal bagaimana seseorang mencari riwayat yang lebih kuat dan lebih absah”

Dr. Ibrahim Audl juga menjelaskan bahwa ramainya aktifitas kepenulisan sastra, terutama syair di masa Abbasyiah tidak bisa dijadikan sebagai legitimasi bahwa Syi’r Jâhiliy baru dibuat pada masa itu. Karena pemahaman seperti itu berarti juga menafikan autentisitas sejarah Islam.

V. Orientalis Lain dan Syi’r Jâhiliy

Usaha-usaha yang dilakukan untuk melegitimasi adanya unsur-unsur syair yang melekat dalam al-Quran yang kemudian memastikan bahwa al-Quran itu seperti halnya Syair serta upaya mendistorsi autentisitas Syi’r Jâhiliy sejatinya tidak hanya dilakukan oleh Margoliouth seorang. Usaha tersebut sebenarnya juga dilakukan oleh orientalis lain seperti Wright melalui karyanya “al-Nahwu al-‘Arabiy”, Theodor Noldeke (Min Târîkh wa Naqdi al-Syi’ri’l ‘Arabiy al-Qadîm), Ignaz Goldziher (Muqaddimah Li Diwân Jarwal bin Aws al-Khathî’ah dan Jinnu al-Syu’arâ), Willhel Ahlwardth (al-Mulâhadhât ‘An Sihhati’l Qashâid al-‘Arabiyyah al-Qadîmah), Erich Braunlich (Fiy Mas‘alati Sihhati al-Syi’ri’l Jâhiliy) serta masih bayak lagi sarjanawan dan akademisi, baik Barat maupun Timur yang mencoba menelusuri sejarah, perkembangan serta autentisitas Syair Jahili.
Mengomentari kajian para orientalis, Dr. Musthafa Hadarah dalam analisanya mencoba mengkomparasikannya dengan hasil kajian yang dilakukan oleh para sarjanawan muslim. Bagi sarjanawan dan akademisi muslim keberadaan unsur-unsur syair dan puisi yang melekat dalam al-Quran lebih digunakan sebagai justifikasi mukjizat bagi al-Quran itu sendiri. Sedangkan kebanyakan orientalis justru sebaliknya, mereka memandang adanya unsur puisi dan syair dalam al-Quran justru melegitimasi bahwa al-Quran adalah produk manusia dan bukan wahyu Allah.
Perbedaan tersebut sejatinya bermula dari metodologi, motivasi dan keyakinan masing-masing pihak yang berbeda. Bagi seorang muslim al-Quran adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai petunjuk umat manusia. Karena al-Quran adalah pedoman hidup, maka perlu ada aspek mukjizat yang melingkupinya. Salah satu bentuk kemukjizatan al-Quran adalah dari segi kebahasaannya. Maka al-Quran diyakini oleh umat Islam memiliki susunan kebahasaan yang teratur, struktur bahasa yang sangat indah (bersifat puitis) serta memiliki kedalaman makna.
Berbeda dengan para orientalis yang kebanyakan memandang al-Quran laiknya sebuah kitab suci yang memiliki kesamaan dengan kitab suci agama lain. Ia bisa dipelajari, dimengerti dan dikritisi. Oleh karenanya, berangkat dari keyakinan tersebut –selain motif kedengkian agama—seorang orientalis akan menilai al-Quran sebagai sebuah karya sastra manusia biasa. Seandainya al-Quran ditempatkan sebagai sebuah karya sastra yang berisi hikmah dan nasehat mungkin bisa diterima, namun apabila dijadikan sebagai pedoman hidup manusia, maka al-Quran perlu ditinjau ulang keberadaannya.

VI. Penutup

Kajian Margoliouth terhadap Syi’r Jâhiliy memang menuai kontroversi. Selain dinilai sangat menyudutkan Islam, juga berdampak negatif terhadap pemikiran para akademisi. Salah satu tokoh besar pemikir Arab yang terkontaminasi oleh pola pikir Margoliouth adalah Dr. Taha Husain yang telah penulis singgung sebelumnya. Magnum opusnya “Fi Syi’r Jâhiliy” adalah bukti keterpegaruhan Taha Husain oleh pemikiran Margoliouth. Dr. Taha Husain mengajukan tiga tesis yang sangat keras terhadap keraguannya akan autentisitas Syi’r Jâhiliy yang pada akhirnya menolak eksistensi Syi’r Jâhiliy. Munculnya pemikiran Taha Husain ini bahkan sempat membuat gempar para cendekiawan muslim dan kalangan akademis lainnya. Sehingga ia diusir dari lingkungan Universitas al-Azhar, bahkan oleh sebagian pihak di tuduh kafir. Tesis Dr. Taha Husain terhadap Syi’r Jâhiliy berkesimpulan bahwa:
Pertama, Taha Husain, sebagaimana Margoliouth memandang bahwa apa yang selama ini diyakini sebagai hasil karya para penyair klasik (jahiliah) bukanlah lahir dari masa jahiliah, melainkan setelah Islam muncul. Menurutnya, karya-karya tersebut lebih menggambarkan kehidupan dan keinginan kaum muslim dari pada kehidupan jahiliah. Dia meyakini hanya ada sebagian kecil saja yang merupakan karya autentik yang berasal dari zaman jahiliah. Karya sastra yang selama ini diyakini sebagai Syi’r Jâhiliy menurutnya hanyalah manipulasi para rawi, rekayasa orang-orang baduwi, produk linguis, pubrikasi dongeng, dan argumentasi para mufassir, muhhaddits dan teolog.
Kedua, Taha Husain juga berkesimpulan bahwa disana ada kesenjangan antara gaya intelektual yang ada pada Syi’r Jâhiliy dengan kondisi intelektual masyarakat jahiliah itu sendiri. Oleh karenanya, jika dilihat dari aspek bahasa dan seni maka syair yang disandarkan pada para penyair klasik tidak mungkin milik mereka dan sangat mustahil jika diciptakan sebelum al-Quran turun.
Ketiga, ia juga menganggap syair lebih awal dari pada prosa, oleh karena prosa lebih memerlukan bahasa rasional yang butuh ketrampilan dan kepandaian menulis. Prosa adalah bahasa rasional, fenomenal intelektual. Pengaruh kemauan terhadap prosa lebih besar dari pada syair. Sedangkan pada waktu itu masyarakat jahiliah adalah masyarakat ummi yang buta huruf. Oleh sebab itu kalau tinjauan dalam menelisik sejarah Syi’r Jâhiliy menggunakan analisa tersebut, maka akan sangat mustahil memperoleh sesuatu yang sangat berharga. Dari sini Taha Husain berkesimpulan bahwa dalam Syi’r Jâhiliy terdapat ikonsistensi antara bahasa, gaya dan ide dengan kondisi jazirah Arab yang pada saat itu masih belum bersatu. Ini berarti meniscayakan bahwa adanya Syi’r Jâhiliy adalah kedustaan terhadap fakta sejarah.
Buah pemikiran Taha Husain tersebut pada akhirnya mendapat banyak kritikan, seperti yang telah penulis sebutkan di awal makalah. Bahkan, karena banyak kesamaannya dengan analisa-analisa Margoliouth, Taha Husain sempat disebut sebagai tokoh pengusung paham Margoliothisme, terutama dalam ranah studi sastra klasik Arab.
Mengaca pada polemik tentang kajian Syi’r Jâhiliy di atas, penulis dapat menarik benang merah bahwasannya pemikiran-pemikiran kontroversial memang muncul sebagai sebuah kewajaran dalam dinamika intelektual. Baik itu yang terjadi di era klasik, maupun era kontemporer. Hanya yang kemudian perlu untuk selalu dipegang oleh para pengkaji ilmu adalah amanah ilmiah dan sikap kritis terhadap wacana-wacana intelektual. Margoliouth adalah salah satu orientalis yang buah pemikirannya perlu untuk dikritisi lebih jauh. Karena jika pembaca hanya sekedar membaca tanpa dibarengi dengan sikap kritis, maka seakan-akan nuansa ilmiah akan sangat terkesan dalam pemikiran-pemikiran Margoliouth, namun jika dikaji lebih mendalam justru pembaca akan tahu bahwa kajian yang dilakukan oleh Margoliouth justru merupakan “penghianatan intelektual”. Dan hal tersebut, dalam analisa penulis, tidak hanya ada pada satu atau dua orientalis saja namun terjadi pada sebagian besar orientalis dalam mengkaji semua disiplin ilmu keislaman. Faktor yang paling dominan sebagai penyebabnya adalah karena mereka (red; para orientalis) menempatkan Islam sebagai “lawan tanding” dalam segala aspek kehidupan. Wal’Lâhu a’lam bi al-Shawâb.

—++—-+——–

Bagi yang ingin wakaf tunai untuk pembangunan pesantren Almuflihun yang diasuh oleh ust. Wahyudi Sarju Abdurrahmim, silahkan salurkan dananya ke: Bank BNI Cabang Magelang dengan no rekening: 0425335810 atas nama: Yayasan Al Muflihun Temanggung. SMS konfirmasi transfer: +201120004899