Metodologi Imam Malik bin Anas dalam Kitab Al-Muwatha’

Muhammad Kastawi, Lc

Fâtihah

Mempelajari pemikiran orang lain merupakan suatu hal yang sangat membantu bagi pengembangan dinamika khazanah intelektual, karena olah pikir kita tidak dapat berangkat dari kekosongan. Menelaah dengan harapan dapat memperoleh keluasan dalam wawasan ilmu, baik dari sudut materi maupun metodologi khususnya dalam bidang syari‘ah dan ilmu-ilmu hadits. Selain sebagai salah satu imam dari empat imam madzhab Fiqh, Malik bin Anas juga dikenal sebagai seorang muhaddits. Kita mungkin akan bertanya-tanya tentang sistematika penulisan al-Muwaththa’ itu sendiri dan bagaimana Imam Malik menyaring hadits-hadits yang sampai kepadanya, atau bagaimana dengan keberadaan hadits-hadits Mursal yang terdapat dalam al-Muwaththa’. Dalam tulisan ini, penulis berusaha untuk mengupas masalah-masalah tersebut, juga memaparkan sejauh manakah ushûlu’l madzhab Imam Malik untuk memposisikan dirinya dalam ilmu Fiqh dan syari‘at.

Mengenal Lebih Dekat Imam Malik bin Anas (93 -179 H/712 -798 M)

Abu ‘Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Abu ‘Amir bin ‘Amr bin Al-Harits Al-Ashbahy, adalah seorang Imam Darul Hijrah (‘âlimu’l Madinah), dikenal sebagai seorang faqîh dan imam madzhab Maliki. Nenek moyangnya—Abu Amir—adalah seorang sahabat yang mengikuti seluruh peperangan pada zaman Nabi, kecuali perang Badar. Sedang kakeknya—Malik—dikenal sebagai salah satu kibâru al-tâbi‘în dan fuqahâ’ kenamaan. Ia juga salah seorang dari empat tâbi‘în yang jenazahnya diusung sendiri oleh Khalifah Utsman ke tempat pemakaman. Ayah Imam Malik bernama Anas bin Malik, sedangkan ibunya bernama ‘Aliyah binti Syarik bin Abdur Rahman.[1] 

Imam Malik, dilahirkan pada tahun ke-93H, di Dzil Marwah Madinah, setelah bertahan di dalam rahim ibunya selama tiga tahun. Menurut orang Arab, hal ini merupakan pertanda bahwa bayi tersebut merupakan keturunan luhur sebagaimana unta yang dilahirkan lebih lambat dari waktu yang seharusnya, maka ia akan menjadi unta yang lebih kuat dari yang dilahirkan tepat waktu.[2]

Imam Malik hidup seiring dengan tumbuh suburnya berbagai kelompok Islam seperti: Muktazilah, Syi‘ah, Qadariyah dsb. Sehingga tak heran jika Imam Malik terpacu untuk menganalisa validitas hadits-hadits yang ada, karena menjamurnya penyalahgunaan hadits demi kepentingan madzhab.

Imam Malik hidup selama 87 tahun. Beliau hidup pada zaman Umayyah selama 40 tahun dan hidup di zaman Abbasiyah selama 47 tahun. Beliau sempat mengenali 9 khalifah Umayyah diantaranya: Walid bin Abdul Malik, Sulaiman bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz, Yazid bin Abdul Malik, dan Hisyam bin Abdul Malik. Ketika khalifah Umar bin Abdul Aziz meninggal, Imam Malik masih berusia 9 tahun.

Sedangkan khalifah Abbasiyah yang masih sempat ia jumpai ada lima khalifah yaitu: Abu Abbas Al-Sifah, Abu Ja‘far Al-Manshur, Al-Mahdy, Al-Hady dan Harun Al-Rasyid. Beliau meninggal pada masa Harun Al-Rasyid.[3]

Guru-guru dan Murid-muridnya

Adalah masjid Nabawy, dimana Imam Malik belajar. Beliau belajar ilmu kurang lebih dari 900 orang: 300 diantaranya adalah para tâbi‘în dan 600 tâbi‘ al-tâbi‘in. Kesemuanya dianggap guru oleh Imam Malik, yang kemudian disebut dengan asâtidzah al-zâirin.[4]

Orang yang pertama kali menjadi gurunya adalah Ibnu Hurmuz—Abdur Rahman bin Hurmuz Al-A‘raj Abu Dawud Al-Madany seorang tâbi‘în, râwy dari Abu Hurairah, Abu Sa’id, Ibnu Abbas, Muawiyah Ibnu Abu Sufyan dan para sahabat yang lainnya. Ibnu Hurmuz adalah seorang muhaddits terkenal dan Imam Malik belajar darinya selama 13 tahun.

Kemudian beliau berguru kepada Syaikh Madinah; Rabi‘ah Ar-Ra’yi—Rabi‘ah bin Abu Abdir Rahman—sehingga dari segi metodologi Imam Malik banyak terpengaruh pemikiran Rabi’ah Ar-Ra’yi. Beliau mengambil hadits secara qirâ’ah dari Nafi‘ bin Abi Nu‘aim, Ibnu Syihab Az-Zuhry, Ibnu Umar, Zaid bin Aslam dan lain sebagainya.

Dalam usia 20 tahun, Imam Malik sudah menjadi mengajar di masjid Nabawy. Adapun ulama-ulama yang pernah berguru kepada beliau di antaranya adalah:Al-Auza‘iy, Sufyan Al-Tsaury, Sufyan bin ‘Uyainah, Ibnul Mubarak, Waki‘ bin Jarah, Al-Syafi‘iy dsb.

Sebagai seorang muhaddits yang selalu menghormati dan menjunjung tinggi hadits Rasulullah Saw., bila hendak memberikan hadits, Imam Malik selalu berwudhu terlebih dahulu. Kemudian duduk diatas alas shalat dengan tenang dan tawadhu’. Beliau tidak menyukai untuk memberikan hadits sambil berdiri, di tengah jalan atau tergesa-gesa.

Di samping keahliannya dalam bidang Fiqh, seluruh ulama juga mengakuinya sebagai muhaddits yang tangguh. Bahkan seluruh warga Hijaz memberikan gelar kehormatan baginya  Sayyid Fuqahâi’l Hijâz.

Imam Bukhari mengatakan bahwa sanad yang dikatakan ashahhu’l asânid, adalah apabila sanad itu terdiri dari Malik, Nafi‘ dan Ibnu Umar.[5]Sebagai seorang muhaddits yang konsekwen dengan ilmu yang dimilikinya, Imam Malik tidak pernah melalaikan shalat berjamaah, selalu menjenguk kawan-kawannya yang sakit atau pun kewajiban-kewajiban lainnya.

Beliau juga dikenal sebagai ulama yang kuat dalam mempertahankan pendapat bila dianggap benar. Beliau pernah diadukan orang kepada khalifah Ja‘far bin Sulaiman, paman—Ja‘far Al-Manshury—dengan tuduhan tidak menyetujui pembaiatan khalifah. Menurut Ibnu’l Jauzy, Imam Malik disiksa dengan 70 kali cambukan sampai ruas lengannya sebelah atas bergeser dari persendian pundaknya. Siksaan ini dilakukan karena fatwanya tidak sesuai dengan kehendak Khalifah.[6] Akibat dari penyiksaan ini, namanya bukan menjadi pudar, akan tetapi bertambah harum, dikalangan para ulama.

Imam Malik juga mempunyai kedudukan yang sangat tinggi di kalangan orang-orang pemerintahan, khalifah dan para raja. Bahkan sampai khalifah Harun Al-Rasyid pun belajar darinya bersama dengan murid-murid yang lainnya.

Beliau wafat pada hari Ahad, tangal 14 Rabi‘ul Awal tahun 179H di Madinah dan disemayamkan di Baqi‘ dengan meninggalkan tiga putra: Yahya, Muhammad dan Hammad serta 1 putri: Fathimah.

Ushûl Imam Malik

Al-Syahristani dalam Milal wa Nihal-nya mengatakan, bahwasannya berbagai permasalahan dalam hal ibadah dan muamalah tidak akan pernah berakhir. Karena  berbagai masalah selalu muncul, yang mana hal ini tidak disebutkan dalam nash atau belum tersurat sebelumnya di dalam al-Sunnah. Sedangkan wahyu telah berakhir, maka ijtihâd dan qiyâs wajib dilakukan.

Setiap imam mempunyai metode dalam berijtihad, dan mempunyai ushûl tersendiri dalam Fiqh-nya walau pun tidak tertulis. Imam Malik dikenal sebagai ahli haditsdan ahli Fiqh sekaligus. Beliau juga dikenal dengan hadits mursal-nya dalam mengambil dalil seperti halnya Abu Hanifah. Karena dalam kitab Muwaththa’ terdapat beberapa hadits mursal.[7]

Walaupun ushûl Imam Malik bermacam-macam, namun Imam Qarafy menyimpulkan bahwa ushûl madzhab Imam Malik terdiri dari: al-Quran, hadits, ijmâ‘, ijmâ‘ pendudukMadinah, ‘amal penduduk Madinah, qiyâs, aqwâl al-shahâbiy, mashlahah mursalah, al-‘urf, al-‘âdah, sadd al-dzarâi‘, istishhâb dan  istihsân.

Imam Syathibi meringkasnya menjadi empat yaitu: al-Kitâb, al-Sunnah, Ijmâ‘ dan al-Ra’y. Menurut pemahaman Imam Malik, as-Sunnah meliputi: ijmâ‘ pendudukMadinah, ‘amal penduduk Madinah, qiyâs, aqwâl al-shahâbiy. Sedangkan Al-Ra’y meliputi: mashlahah mursalah, al-‘urf, al-‘âdah, sadd al-dzarâi‘, istishhâb dan  istihsân.

Menurut Imâm Mâlik, ‘amal penduduk Madinah lebih kuat posisinya daripada hadits âhâd; maka jika ada hadits âhâd bertentangan dengan ‘amal penduduk Madinah maka ia mengedepankan ‘amal penduduk Madinah.[8]

Akan tetapi beberapa ulama dari madzab yang lain tidak sependapat dengan Imam Malik, di antarnya adalah Imam Syafi‘i, kemudian disusul oleh Ibnu Hazm yang mengkritik Imam Malik dalam pengambilan ‘amal penduduk Madinah sebagai hujjah.[9]

Imam Malik Sebagai Seorang Muhaddits

Menurut ulama hadits, Imam Malik berada pada tingkat ketiga dalam pembukuan hadits. Syaikh Zakaria al-Anshari dalam kitabnya Syarh lî Alfiyatu’l Mushthalah li’l ‘Irâqiy berkata: “Yang pertama kali membukukan hadits adalah Ibnu Jarij di Makkah, kemudian kitab Ma‘mar Ibnu Rasyid al-Yamani, kemudian Al-Muwaththa’.”[10]  

Imam Malik dikenal gigih dalam mengumpulkan hadits tsiqqah. dalam penguraiannya Imam Malik mengambil Hadits yang paling kecil syubhat-nya dan tidak dihitung dalam al-jarh wa ta‘dîl. Tetapi jika dilihat hadits itu mengandung jarh, maka ia pun meninggalkannya. Tidak ada perantara antara beliau dengan shahâbiy kecuali satu atau dua orang yaitu shâhibu al-silsilah al-dzahabiyyah, yang terdiri dari: Malik dari Nafi‘ dari Ibnu ‘Umar.[11]

حدثنى يحيى، عن مالك، عن نافع عن عبدالله ابن عمر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:  )صلاة الجماعة تفضل صلاة الفذ بسبع وعشرين درجة).

Hadits diatas adalah salah satu contoh al-silsilah al-dzahabiyyah yang akan kita temui dalam kitab Al-Muwaththa’.[12]

Sebagai muhaddits, Imam Malik banyak terpengaruh dengan Ibnu Syihab Az-Zuhry. Oleh karena itu Imam Malik tidak mengumpulkan hadits kecuali sedikit dengan alasan tidak akan mengumpulkan hadits, kecuali hadits shahîh.

Ibnu Abu Hatim berkata kepada Ibnu Mu‘in: “Jumlah hadits Imam Malik sangat sedikit sekali, tapi banyak keistimewaannya.” Diriwayatkan bahwa Imam Malik hafal sebanyak seratus ribu hadits. Sembilan puluh ribu di antaranya mengandung cacat, hingga yang tersisa adalah sepuluh ribu hadits; sebagiannya lupa dan yang tersisa enam ratus hadits shahîh.

Kitab al-Muwaththa’

Karya beliau yang sangat gemilang, dalam bidang ilmu Hadits, kitab al-Muwaththa’, di samping karya-karya lainnya seperti al-Jamî‘ fi’l Fiqh wa al-Ahkâm, Risâlah fi’l Qadar, Al-Sirr dan Risâlah fil Aqdhiyah.

Al-Muwaththa’ adalah kitab pertama yang mencakup fiqh, atsâr dan hadîts, serta menjadi marja‘ utama di zamannya. Kitab al-Muwaththa’ juga menjadi pembuka jalan bagi para ulama sesudah Imam Malik untuk mengumpulkan hadits serta menganalisanya. Kitab tersebut baru selesai dituliskan setelah memakan kurang lebih 40 tahun.

Al-Muwaththa’ dalam bahasa Arab berarti al-muzhallal, al-Mumahhad dan al-Munaqqah, yang memiliki makna “mudah untuk mencapainya” atau “tidak ada halangan bagi orang untuk memahaminya.”[13] 

Kitab tersebut ditulis pada tahun 144 H atas anjuran Khalifah Ja‘far Al-Manshur, sewaktu berjumpa saat menunaikan ibadah haji. Yaitu untuk menghindari perbedaan; kerasnya Ibnu Umar dan rukhshah Ibnu Abbas serta untuk menyatukan berbagai pendapat di kalangan umat dalam satu kitab.

Diriwayatkan bahwa Imam Malik berkata kepada Khalifah Ja‘far Al-Manshur: “Baginda tidak berhak untuk menyatukan manusia dengan satu buku dan menyalahkan atau membenarkannya, karena kebenaran berasal dari Rasulullah Saw. Sedangkan  para sahabat telah berpencar ke berbagai negara dan setiap penduduk dari negara tersebut mengikuti madzab yang dibawa oleh para sahabat tersebut yang mereka tetapkan sebagai madzhab yang sah untuk diikuti.”[14]      

Di antara para ulama yang men-syarh al-Muwaththa’ adalah: Abdul Barr Yusuf bin Abdillah Al-Qurthuby wafat 463 H, dalam buku At-Tamhîd limâ fî al-Muwaththa’ mina’l ma‘âniy wa al-asânîd, Abul Walid Sulaiman dalam buku Al-Mau‘ib, Al-Zarqani dan Al-Dahlawi dalam Al-Musawwa. Di samping itu, banyak juga ulama yang menyusun biografi ruwat Imam Malik dan men-syarh lafadz-lafadz gharîb. Seperti al-Qadhi ‘Iyadh dengan kitabnya Tartîbu’l Madârik, Ibnu Farh dengan al-Dîbâj al-Muhadzdzab, Syaikh al-Zawawi dengan kitabnya Manâqib Mâlik dan Imam Suyuthi dengan kitabnya Tazyînu’l Mamâlik fî Manâqib al-Imâm Mâlik.

Ruwât dalam al-Muwaththa’

Al-Qadhi ‘Iyadh menyebutkan bahwa perawi al-Muwaththa’ berjumlah sekitar enam puluh orang. Sedangkan riwayat Muwaththa’ yang tersebar ada sekitar tiga puluhnaskahdan yang paling terkenal di antaranya: al-Muwaththa’ Yahya bin Yahya bin Katsir al-Laitsi, al-Muwaththa’ Ibnu BukairYahya bin Abdillah bin Bukair, wafat 231 H—al-Muwaththa’ Mush‘ab—Abu Mush‘ab Ahmad bin Abi Bakar Al-Zuhri—, al-Muwaththa’ Ibnu Wahhab dan al-Muwaththa’ Imam Muhammad bin al-Hasan. Kesemua naskahal-Muwaththa’ ini berbeda satu sama lain; ada beberapa kitab dan bab yang didahulukan dan ada juga yang diakhirkan, ada yang lebih dan ada juga yang kurang. Ini semua disebabkan oleh tenggang waktu antara saat periwayatannya dan masa hidup Imam Malik. Dengan demikian terjadi perbedaan pendapat tentang jumlah hadits yang terdapat dalam setiap naskah.

Al-Muwaththa’ Imam Muhammad bin al-Hasan Al-Syaibani adalahnaskahal-Muwaththa’ yang paling terkenal. Tersebar di al-Haramain dan India. Al-Muwaththa’ versi ini terdiri dari hadits-hadits marfû‘ah, âtsar mauqûfah dari sahabatdan tâbiîn, musnad, mursal dan munqathi‘ yang keseluruhannya berjumlah 1180; dengan perincian 1005 berasal dari Imam Malik, 13 dari Abu Hanifah, 4 dari Abu Yusuf, dan sisanya dari ulama-ulama yang lain. Khalifah Harun Al-Rasyid juga merupakan salah seorang perawi al-Muwaththa’.

Abu Bakar al-Abhari mengatakan, jumlah Hadits yang terdapat dalam al-Muwaththa’—baik itu berupa âtsar dari Nabi, sahabatmaupun tâbi‘în—berjumlah 1720 dengan perincian sebagai berikut: 600 buah musnad, sebanyak 222 buah mursal, 613 buah mauqûf dan 285 buah maqthû.[15]

Jumlah Kitab, Bab dan Hadist dalam al-Muwaththa’

Muhammad Fuad Abdul Baqi—muhaqqîq al-Muwaththa’—menyebutkan bahwa jumlah kitab yang ada dalam Muwaththa’ adalah 61 kitab yang meliputi 703 bab. Abdul Baqi memberi nomor untuk setiap hadits secara berurutan, kemudian setiap kitab diklasifikasikan dan memberi nomor di setiap haditsnya.

Setiap ulama akan berbeda pendapat tentang jumlah hadits yang terdapat dalam al-Muwaththa’. Hal ini disebabkan oleh perbedaan periwayatan, ada yang lebih dan ada juga yang kurang.[16]

Guru Imam Malik dalam Penyusunan al-Muwaththa’

Guru Imam Malik lebih dari 1000 rijâl al-tsiqât, tetapi sebagaimana tertulis dalam al-Muwaththa’ Imam Malik meriwayatkan dari 95 orang. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh al-Hafidz Abu al-Hasan Ali bin Umar al-Daruquthni dalam bukunya Ahâdîts al-Muwaththa’. Imam Suyuthi dalam kitabnya Tazyîn al-Mamâlik menyebutkan bahwa Imam Malik meriwayatkan hadits dari Imam al-Zuhry sebanyak 180 hadits dengan perincian: 95 muttafaq alaih dan 13 di antaranya mukhtalaf fîh. Dari Nafi‘, Imam Malik meriwayatkan 85 hadits: 75 muttafaq alaih dan 10sisanya mukhtalaf fîh. Dari Abdullah bin Dinar meriwayatkan 31 Hadits: 5 diantaranya mukhtalaf fîh.[17]

Metode Kodifikasi Hadits Versi Imam Malik

Perhatian kaum Muslimin terhadap hadits adalah imbas dari posisi hadits itu sendiri dalam Islam. Karenanya dapat dimengerti bahwa sejak zaman Nabi Saw.—di samping  penjagaan Al-Qur’an—hadits pun diperlakukan secara istimewa oleh para sahabat, juga generasi-generasi berikutnya.

Di masa Nabi Saw., para sahabat sedikit pun tidak pernah ragu dalam menunaikan seruan-seruan beliau, karena mereka menyakini bahwa beliaulah satu-satunya hamba yang mempunyai wewenang untuk menerjemah instruksi-instruksi Allah Swt. ke dalam amalan praktis. Namun dalam perjalanan selanjutnya terjadi penyelewengan terhadap penafsiran hadits-hadits Nabi, karenakepentinganindividu atau golongan.

Oleh karena itu para tâbi‘în melakukan berbagai usaha untuk menjaga keotentikan hadits dan memerangi orang-orang yang sesat. Salah satu usaha yang dilakukan para tâbi‘în adalah menyeleksi hadits dengan hati-hati dari sisi periwayatannya. Mereka yakin bahwa hadits Nabi adalah bagian dari agama. Maka semua orang harus waspada dari siapa agamanya itu diambil, sebagaimana yang dikatakan Muhammad bin Sirin: “Ilmu ini (hadits) adalah bagian dari agama, maka waspadalah dari siapa kamu mengambil agamamu.” Beliau juga berkata: “Para tâbi‘în sebelumnya tidak pernah bertanya tentang isnâdu’l hadîts, akan tetapi ketika terjadi fitnah mereka mengatakan: ‘Sebutkanlah nama-nama perawi hadits yang kamu terima.’ Mereka akan melihat, jika hadits itu bersumber dari ahli sunnah maka diambilnya, dan jika berasal dari ahli bid‘ah, maka mereka akan menolaknya.”[18]

Kodifikasi hadits menurut Imam Malik harus didukung dengan berbagai hal, diantarnya:

  1. Kejelasan biografi imam-imam hadits;
  2. Adanya syarat yang ketat dalam menerima dan menolak suatu riwayat hadits, yang meliputi:
    1. Kesinambungan sanad (ittishâl al-sanad);
    1. Perawi-perawi hadits ini haruslah orang yang terjamin keadilannya (al-‘adl). Adil berarti memiliki sifat terpuji, wara‘ dan muru’ah (menjaga kehormatannya) menurut pandangan umum. Di antara kriteria adil adalah:  muslim, baligh, berakal, tidak melakukan dosa besar, sering melakukan amalan sunah dll. Hal ini tidak hanya terbatas  kepada kaum lelaki saja, tetapi mencakup siapa saja yang memiliki sifat tersebut;
    1. Dhâbith, dibagi menjadi dua: pertama, dhâbith shadran yaitu kuatnya ingatan dan hafalan seseorang, sehingga ia dapat mengulangi hafalan haditsnya kapan dan dimana saja saat dibutuhkan; kedua, dhâbith kitaban yaitu terjaganya hadits pada tulisan seseorang dari sejak ia mendapatkannya hingga periwayatannya kepada orang lain dan tidak ada kerusakan atau perubahan yang mempengaruhi esensi dan validitas hadits yang diriwayatkan.
    1. Matan hadits tidak ada yang cacat, yang bisa menyebabkannya ditolak, atau hadits ini tidak syâdz atau menyalahi riwayat yang terpercaya atau yang lebih terpercaya.
  3. Dukungan perangkat analisa antara lain ilmu al-jarh wa ta‘dîl, ilmu rijâlu’l hadîts, ilmu gharîbu’l hadits, dan ilmu Nâsikh wa’l Mansûkh fi’l hadîts.

Dalam hal ini Imam Malik pernah berkata: “Ilmu itu tidak diambil dari empat orang, yaitu: orang yang jahil, orang yang mengikuti hawa nafsunya yang mengajak kepada perkara bid‘ah, pembohong yang selalu berbohong jika berbicara dengan sesamanya, jika tidak ingin dicap sebagai pembohong terhadap hadits Nabi, juga tidak diambil dari Syaikh yang memiliki banyak kelebihan dan ahli ibadah, namun ia tidak tahu apa yang dibawa dan yang bicarakannya.”[19] Dari sini dapat kita ketahui bahwa Imam Malik adalah ulama yang sangat memperhatikan kodifikasi hadits baik itu dari segi riwâyah maupun dirâyah.

Sistematika Imam Malik dalam Penulisan al-Muwaththa’

  1. Di antara tradisi Imam Malik dalam menuliskan al-Muwaththa’ adalah: dalam muqaddimah judul, ia menyebutkan hadits-hadits yang datang dari Rasululullah dan juga âtsar yang berasal dari para sahabatdan tâbi‘în. Selain itu salah satu syarat perawi adalah harus dari penduduk Madinah, karena Imam Malik sendiri tidak pernah keluar dari kota Madinah.
  2. Terkadang dalam Kitab al-Muwaththa’ disebutkan amal penduduk Madinahdan perkara-perkara sosial yang berlaku di kota Madinah.
  3. Selain itu Imam Malik kadang-kadang menyertai suatu hadits dengan penafsiran beberapa kalimat, ungkapan atau menyertakan keterangan dan tujuan dari beberapa jumlah kalimat.
  4. Ia juga menerapkan sistem penulisan menurut urutan kitab dan bab Fiqh. Setiap kitab terdiri dari beberapa bab dan setiap bab terdiri beberapa hadits yang sesuai dengan judul bab tersebut, kemudian disertai dengan âtsar sahabat dan tabi‘în.
  5. Penyeleksian sanad haditsdengan ketat.
  6. Imam Malik menuliskan hadits tentang amal penduduk Madinah ke dalam beberapa bab, walau hadits itu merupakan hadits âhâd yang bertentangan dengan amal ahlu Madinah itu sendiri. [20]

Di antara ulama yang memperhatikan hadits mursal, munqathi‘ dan mu‘dhal yang terdapat dalam al-Muwaththa’ adalah al-Hafidz Ibnu Abdul Barr. Abdul Barr mengatakan bahwa semua hadits yang mengandung lafadz بلغنى dan عن الثقة dan tidak disertakan sanad-nya berjumlah 61 hadits. Dari 61 Hadits ini, ada empat hadist yang tidak diketahui sanad-nya, yaitu:[21]

–  حدثنى عن مالك :أنه بلغه : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : (إنى لا أنسى ولكن أنسى لأسن) [22]

–  أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ( أرى أعمار الناس قبله أو ماشاء الله  من ذلك فكأنه تقاصرأعمار أمته ألا يبلغوا من العمل مثل الذى بلغ غيرهم فى طول العمر فأعطاه الله ليلة القدر) [23]   

–  وحدثنى عن مالك,أن معاذ ابن جبل قال:آخر ما أوصانى به رسول الله صلى الله عليه وسلم حين وضعت رجلي فى الغرز أن قال: (أ حسن خلقك للناس) [24]

–  قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:( إذا نشأت بحرية”أى السحابة” ثم تشاءمت فتلك عين غديقة “أى كثيرة الماء”)[25]

Para ulama hadits sendiri membela keempat hadits tersebut dan menyatakan bahwasanya makna dari hadits tersebut benar adanya. Ini dapat dibuktikan dalam beberapa buku-buku hadits. Akan tetapi Syaikh Al-Syinqithi dalam bukunya yang berjudul Idha‘atu’l al-Hâlik mengambil pendapat Ibnu Shalah dengan memberikan sanad terhadap keempat hadits di atas. Imam Al-Suyuthi menyatakan bahwa semua isi al-Muwaththa’ shahîh dengan tanpa pengecualian. Karena al-Muwaththa’ terdiri dari beberapa hadits mursal yang dapat dijadikan hujjah—menurut Imam Malik dalam madzabnya—tanpa syarat tertentu, demikian juga halnya telah disepakati oleh ulama dari beberapa madzhab lain.

Sedangkan Ibnu Hazm menyatakan bahwa dalam al-Muwaththa’ terdapat beberapa hadits dha‘îf karena beberapa ulama men-dha‘îf-kan hadits-hadits tersebut. Ibnu Hazm menemukan sekitar 500 hadits musnad dan sekitar 103 hadits mursal.

Kedudukan al-Muwaththa’ dalam Kutubu’l Ahâdîts

Dari uraian di atas akan terlihat bahwa para ulama yang lebih mengistimewakan al-Muwaththa’ dari kitab Shahîhain bisa dikatakan sangat berlebihan. Di antara mereka adalah Ibnu al-Araby. Adapun Imam Syafi‘i mengatakan, bahwa al-Muwaththa’ adalah ashahhul kutub setelah al-Qur’an, dengan alasan Shahîh Bukhâriy dan Shahîh Muslim belum ada. Sedangkan Ibnu al-Atsir (wafat 606H) dalam bukunya Jâmi‘ al-Ushûl min Ahâdîts al-Rasûl mengatakan bahwa al-Muwaththa’ menempati posisi keenam kutub al-sittah menggantikan Sunan Ibnu Majah. Namun banyak ahli hadits yang tidak sependapat dengan hal ini. Sedangkan Ibnu Shalah dan beberapa ulama lainnya menempatkan al-Muwaththa’ pada posisi ketiga setelah Shahîh Bukhâriy dan Shahîh Muslim. Akan tetapi sebagian ulama berpendapat lain, yaitu bahwa al-Muwaththa’ tidak termasuk dalam kutub al-shahhâh, sebab di dalamnya terdapat hadist mursal, balâghât dan munqathi‘, serta ditambah dengan keberadaan pendapat-pendapat Imam Malik atau pun beberapa permasalahan Fiqh.[26]

Imam Malik dan Syubhât Sekitar al-Muwaththa’

Tidak ada perdebatan di kalangan para ulama bahwa al-Muwaththa’ merupakan kitab pertama hasil kodifikasi hadits. Akan tetapi kaum orientalis tak pernah berhenti untuk menyelewengkan sejarah Islam. Hingga muncul anggapan bahwa al-Muwaththa’ adalah kitab Fiqh dan bukan kitab hadits. Bahkan diantara ulama Muslim sendiri pun ada yang mengatakan hal ini. Salah satunya adalah Ali Hasan Abdul Qadir dalam bukunya Nadhrah ‘Âmmah fî Târîkhi’l Fiqhi’l Islâmiy melontarkan beberapa syubhat atau keraguan kepada umat Islam yaitu bahwa al-Muwaththa’ adalah kitab Fiqh dan bukan kitab Hadits. Beliau juga mengatakan Imam Malik bukanlah seorang muhaddits. [27]Jika al-Muwaththa’ dikelompokkan pada Majmu‘ Zaid, maka ia berhak diberi label kitab Fiqh pertama yang sampai kepada kita, hingga tidak bisa dikatakan sebagai kitab hadits. Dengan demikian, al-Muwaththa’ dan pengarangnya sama sekali tak mempunyai tempat yang layak dalam agama Islam. Jika seandainya Imam Malik adalah seorang muhaddits, tentu ia akan menyampaikan kepada kita semua hadits yang ada dan bukan mencampuradukkan dengan berbagai fatwa ulama. Dari sini terlihat bahwa Imam Malik tidak menguasai seluruh hadits. Musthafa al-Shiba‘i dalam bukunya Al-Sunnah wa Makânatuha fi’l Tasyrî‘ al-Islâmiy memberikan  beberapa jawaban atas syubhat ini:

  1. Orang yang mengatakan bahwa Imam Malik bukanlah seorang muhaddits berarti ia telah menyalahi kebenaran. Karena Imam Malik dikenal oleh semua ulama akan usahanya dalam pengumpulan hadits. Bahkan ia juga mengajarkan hadits-hadits dan dianggap sebagai kibâru’l muhadditsîn. Selain itu, seseorang tidak akan menjadi faqîh sebelum menjadi muhaddits. Sebab keduanya saling berkaitan. Maka tidak ada larangan untuk menggabungkan dua hal yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya, yaitu: pemahaman dan hafalan. Sedangkan mengapa ada hadits mursal dan munqathi‘ dalam buku Imam Malik, bisa dijawab karena dalam madzhabnya hadits mursal boleh dijadikan dalil. Adapun sebab tidak ditulisnya beberapa sanad disana adalah karena perawinya merupakan para sahabat yang dikenal dengan ke-‘adâlah-annya; dan hal itu sudah dimaklumi pada zamannya. Maka tidak benar kalau Imam Malik, tidak memperhatikan sanad hadits. Sebab, Imam Malik sendiri tidak akan meriwayatkan hadits kecuali yang berasal dari orang-orang tsiqqah, sebagaimana yang dikatakan oleh Sufyan Ibnu Tsauri.
  2. Sedangkan syubhat yang mengatakan bahwa al-Muwaththa’ bukanlah kitab hadits melainkan kitab Fiqh, menurut banyak ulama adalah tidak benar sebagaimana yang dikemukakan oleh banyak ulama dari berbagai madzhab yang ada. Contohnya; Muhamamad Ibnu Hasan—ulama mazdab Hanafi—ia meriwayatkan hadits dari Imam Malik, begitu pula al-Auza‘i, Imam Syafi’i dll. Jika seandainya al-Muwaththa’ adalah kitab Fiqh, maka tidak mungkin semua madzhab itu mendukung penuh dengan mengambil hadits dari Imam Malik.[28]  

Penerimaan Hadits Mursal

Imam Malik menerima hadits mursal dan balâghât karena sejalan dengan apa yang telah berlaku pada mayoritas ulama kala itu, seperti: Hasan al-Bashry, Sufyan bin ‘Uyyainah dan Abu Hanifah. Salah satu contoh hadits mursal yang ada dalam kitab tersebut adalah Riwayat Nabi dengan ahli Khaibar, Imam Malik berkata: “dari Ibnu Syihab, dari Sa’id bin Musayyab, bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda kepada Yahudi Khaibar ketika hari penaklukan Khaibar: ‘Aku membebaskan kalian di tanah Khaibar ini, sebagaimana Allah telah memberi kebebasan kepada kalian sebelumnya, akan tetapi buah-buahan ini menjadi milik kami dan kalian’.”[29] Di sini Imam Malik menyandarkan haditsnya kepada Sa’id Ibnu Musayyab seorang tâbi‘în yang terkenal dengan ke-‘adâlah-annya. Dengan demikian Imam Malik tidak menerima hadits mursal secara mutlak tetapi menentukan syarat-syarat tertentu. Seluruh sahabat diakui ke‘âdil-annya karena mereka mendapat kehormatan dari Allah Swt. untuk menemani Nabi dalam berjuang, berjihad dalam membawa dan menyebarkan risalah Islam. Mereka bersabar atas penderitan dan siksaan kaum kafir atau musyrik. Juga karena mereka berhijrah meninggalkan kampung halaman, harta benda serta anak istri demi mengikuti serta menolong Nabi Saw.

Khâtimah

Inilah deskripsi singkat seputar Imam Malik dan al-Muwaththa’. Keistimewaannya adalah bisa menyatukan gelar muhaddits dan faqîh sekaligus. Dari uraian diatas, kita akan mengetahui dalam pengambilan dan pengamalan hukum-hukum Islam bagi seorang pakar hukum (mujtahid) atau pun seorang muqallid tidak akan bisa lepas dari pendapat imam madzhab atau imam lainnya.

Salah satu usaha dalam pembaharuan dan pembuktian bahwa syariat Islam itu berdimensi luas, yaitu dengan metodologi studi komparatif antar madzhab; tentang perbedaan persepsi mereka dalam menginterpretasikan sumber-sumber ajaran Islam. Berbeda pendapat merupakan fitrah dan tabiat manusia. Maka yang terpenting bagi seorang muslim adalah bagaimana menyikapi perbedaan tersebut hingga menjadi rahmat, bukan menjadi petaka. Pemahaman etika dasar seorang Muslim dalam menyikapi perbedaan pendapat juga merupakan unsur yang urgen bagi nilai ikhtilâf. Sehingga dari pemahaman yang benar didapat manfaat yang nyata.

Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya Al-Shahwah al-Islâmiyah baina al-Ikhtilâf wa al-Masyru‘ wa al-Tafarruq al-Madzmûm mensinyalir beberapa etika dasar dalam berbeda pendapat, di antaranya: pertama, ikhlas karena Allah dan menjauhkan diri dari hawa nafsu; kedua, tidak fanatik terhadap seorang ulama, kelompok atau madzab; ketiga, berprasangka baik terhadap orang lain; keempat, tidak menyakiti orang yang berbeda pendapat dengan kita; kelima, menghindari riya’‘ (mengharap pujian) dan permusuhan; keenam, berdialog dengan baik.[30]

Terakhir, penulis sendiri menyadari banyak kekurangan dalam menggali khazanah-kazhanah Islam. Semoga dengan hadirnya tulisan ini dapat memotivasi pribadi penulis dan khalayak untuk lebih giat membaca, menghayati dan menuliskannya. Semoga keinginan  untuk berbenah diri selalu hadir

Wa’lLahu a‘lam bi al-shawâb.


[1]Amin al-Khauliy, Mâlik Tajârib al- Hayât, al-Mu’assasah al-Misriyah al-Ammah, hal. 47

[2]Ibid., hal. 57

[3]Abdul Ghani Al-Daqur, al-Imâm Mâlik ibnu Anas Imâm Dâru’l Hijrah, Darul Qalam, Damaskus, 1998, hal. 15

[4]Amin Al-Khauliy, Mâlik Tajârib al- Hayât, op.cit., hal. 47

[5]Drs. Fatchur Rahman, Ikhtishâr Mushthalahu’l-Hadîts, al-Ma’arif, Bandung, 1987,  hal. 321

[6]Disini ada beberapa riwayat yang menyatakan sebab mengapa Imam Malik dicambuk: pertama, Imam Malik berfatwa tentang pengharaman nikah Mut‘ah, hal ini bertentangan dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas kakek Ja‘far al-Manshur yang membolehkan nikah Mut‘ah, tetapi ini bukan sebab yang kuat; kedua, Imam Malik melebihkan Ustman bin Affan dari Ali bin Abi Thalib, lalu Alawiyah menfitnahnya saat Ja‘far menjadi khalifah, tapi ini juga bukan penyebab yang kuat, karena saat kejadian itu Alawiyah sangat membenci Ja’far al-Manshur dan tidak menyetujui pembaiatan ini; ketiga, karena beliau mengemukakan hadits Rasulullah yang berbunyi:  

“” ليس  على مستكره  يمين  sehingga menyebabkan Alawiyah tak menyetujui pembaiatan Khalifah Ja‘far al-Manshur dengan dalih bahwa kekuasannya didapat secara paksa.  Lihat: Dr. Ahmad Abdu’l Mughni,  al-Bahtsu’l Fiqhiy, Jami‘atu’l Azhar, Kairo, 2003, hal. 163

[7]Musthafa al-Shiba‘i, Al-Sunnah wa Makânatuha fî al-Tasyrî‘ al- Islâmiy, Darussalam, Kairo, cet. II, 2003, hal. 387

[8]Hadits âhâd adalah hadits yang tidak mencapai derajat mutawâtir. Akan tetapi hadits âhâd ini yûfîdu al-zhann bukan yûfîdu’l ‘ilm. Sedangkan ‘amal penduduk Madinahtermasuk bab Ijmâ‘ ahli’l Madînah dari sahabat dan tâbi‘în, maupun fatwa-fatwa dari perkataan para sahabat dan tâbi‘în dari ahli Madinah. Permasalahan ‘amal penduduk Madinah berkisar kurang lebih sekitar 37 permasalahan, seperti: tidak menyaringkan bacaan basmalah dalam shalat, ijma‘ adzan sebelum shalat fajar, ijma‘ tidak adanya zakat atas sayur-sayuran dll. Salah satu contoh hadits âhâd yang bertentangan dengan ‘amal penduduk Madinah adalah:bacaan Makmum di belakang Imam yang sedang menyaringkan bacaannya. Imam Malik mengatakan: “Pendapat kami dalam masalah ini adalah seorang  makmum boleh membaca al-Fatihah ketika Imam tidak menyaringkan bacaannya, tapi ketika imam menyaringkan bacaannya, maka makmum tidak boleh membaca sesuatu.” ImamMalik menguatkannya dengan ‘amal penduduk Madinah: Ibnu Abdul Barr mengatakan, seorang makmum tidak boleh membaca sesuatu dibelakang imam, ketika imam menyaringkan bacaannya. Ini sesuai dengan ‘amal penduduk Madinah, hal ini dikuatkan oleh Ibnu al-Arabi dalam bukunya: ahkâmu’l Qur’ân. Hadits âhâd yang bertentangan dengan‘amal penduduk Madinahdi antaranya adalah hadits masyhûr: “Tidak sah shalat seseorang tanpa membaca al-Fâtihah” (HR. Bukhari, kitab Adzan, bab Wajib membaca al-Fatihah bagi makmum di setiap shalatnya baik itu dalam keadaan mukim atau dalam perjalanan). Imam Nawawi mengatakan, ini berlaku bagi setiap orang yang melakukan shalat, tanpa pengecualian termasuk makmum. Hal ini bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits-hadits lainnya. Dalam al-Qur’an Allah berfirman: “Dan apabila dibacakan Al Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat”. ( QS. al-A‘raf: 204) Ibnu Abdul Barr mengatakan bahwa ayat ini juga mencakup ketika dalam keadaan shalat. Lalu pendapat ini dikuatkan dengan hadits Nabi yang berbunyi: “Jika kalian hendak shalat maka luruskanlah shaf kalian, kemuidan salah satu diantara kalian menjadi imam,  jika imam bertakbir bertakbirlah kalian, apabila dibacakan al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik.” (HR. Abu Daud kitab Shalat, bab Tasyahud: 1/255-256). Lihat: Hasan bin Muhammad Husain Palimbani, Khabaru’l Âhâd idzâ Khâlafa ‘amal ahli’l Madînah Dirâsatan wa Tathbîqan, Darul Buhust li al-Dirasat al-Islamiyyah, Dubai, cet. II, 2002, hal. 34, 58 dan 207

[9]Lihat: Musthafa al-Shiba‘i, Al-Sunnah wa Makânatuha fî al-Tasyrî‘ al- Islâmiy, op.cit., hal. 387

[10]Abdul Ghani Al-Daqur, al-Imâm Mâlik ibnu Anas Imâm Dâru’l Hijrahop.cit., hal. 57

[11]Ibid., hal. 60

[12]Malik bin Anas, al-Muwaththa’, direvisi dan dikomentari oleh Mahmud bin Jamil, Maktabah Shafa’, Kairo, cet. I, 2001, hal 87

[13]Abdul Ghani Al-Daqur, al-Imâm Mâlik ibnu Anas Imâm Dâru’l Hijrah, op. cit., hal.103

[14]Malik bin Anas, al-Muwaththa’ Riwâyah Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibâniy, direvisi dan dikomentari oleh Abdul Wahab Abdul Lathif, al-Majlis al-A‘la li al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, Kairo, 2001, cet. VII, hal. 14

[15]Musthafa al-Shiba‘i, Al-Sunnah wa Makânatuha fî al-Tasyrî‘ al- Islâmiy, op. cit.,  hal. 390

[16] ‘Izzat ‘Athiyyah, Mausû‘ah ‘Ulûm al-Hadîts al-Syarîf, al-Majlis al-A‘la li al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, Kairo, cet. I, 2003. hal. 858

[17] Lihat: Abdul Ghani Al-Daqur, al-Imâm Mâlik ibnu Anas Imâm Dâru’l Hijrah, op. cit., hal. 116

[18] ‘Izzat ‘Athiyyah, Mausû‘ah ‘Ulûm al-Hadîts al-Syarîf, op. cit., hal. 847

[19] Muhammad Abu Zahrah, Mâlik; Hayâtuh wa ‘Ashruh wa Ra’yuhu wa Fiqhuhu,  Darul Fikr al-Arabi, hal. 188

[20]Mahmud Hilal Muhammad Al-Sisi, al-Dhiyâ’ al-Mubîn fî Manâhiji’l Muhadditsîn, Kairo, cet. II, 1994,  hal. 206

[21]‘Izzat ‘Athiyyah, Mausû‘ah ‘Ulûm al-Hadîts al-Syarîf, op. cit., hal. 857

[22]Malik bin Anas, al-Muwaththa’, direvisi dan dikomentari oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi, Darul Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, Kairo, 1951, hal.107

[23]Ibid., hal. 273

[24]Ibid., hal. 706

[25] Ibid., hal. 176

[26]‘Izzat ‘Athiyyah, Mausû‘ah ‘Ulûm al-Hadîts al-Syarîf, op. cit., hal. 859

[27]Musthafa al-Shiba‘i, Al-Sunnah wa Makânatuha fî al-Tasyrî‘ al- Islâmiy, op.cit., hal. 391

[28] Ibid., hal. 393

[29] Muhammad Abu Zahrah, Mâlik; Hayâtuh wa ‘Ashruh wa Ra’yuhu wa Fiqhuhu, op. cit., hal. 245

[30] Yusuf al-Qardhawi, al-Shahwah al-Islâmiyyah bain al-Ikhtilâf wa al-Masyru‘ wa al-Tafarruq al-Madzmûm, Dar al-Shahwah, Kairo, cet.V, 1994, hal.189