Menyikapi Sekolah Muhammadiyah Perkotaan Yang Mulai Bangkrut

Belakangan di perkotaan menjamur sekolah-sekolah IT atau kuttab atau boarding school yang mengusung brand agama, namun dapat pelajaran umum. Sekolah yang mengedepankan tahfez al-Quran serta etika Islami. Umumnya sekolah ini didirikan oleh kalangan salafi, HTI atau tarbiyah. Kenyataannya, sekolah-sekolah ini mendapat tempat di kalangan elit perkotaan. Meski harganya selangit, banyak dari mereka yang menitipkan anak-anaknya di sekolah-sekolah ini.

Muhammadih yang banyak punya sekolahan, nampaknya terseok-seok untuk berfastabiqul khairat dengan sekolah unggulan model mereka ini. Brand sekolah Muhammadiyah yang paham agama dan menguasai sains, nampaknya redup. Ya, karena dalam realitanya, banyak yang sekolah di Muhammadiyah ternyata tidak bisa baca al Quran. Apalagi memperdalam agama. Bahkan banyak yang sekolah di Muhammadiyah, namun tidak mencerminkan akhlak Islami. Pacaran menjadi fenmena yang biasa.

Menurut Ust Zulfan bahwa kunci sukses gerakan Islam seperti salafi, tarbiyah atau sekarang Kuttab yng dimiliki oleh HTI adalah brand agama dan akhlak itu dengan fokus pengajaran kepada al-Quran-al-hadis, sirah nabawiyah dan teladan generasi salaf. Mereka juga mengajarkan Islam yang praktis denga menerbitkan buku panduan atau buku saku yang mudah dipahami oleh masyarakat awam. Menurutnya, Muhammadiyah harus dapat beradaptasi. Sekolah Muhammadiyah bukan lagi untuk belajar umum yang dapat agama, namun sekolah agama yang dapat umum.

Hendar Ali Irawan  salah seorang aktivis MS mempertanyakan, kenapa salafy menjadi menarik bagi segmen menengah ke atas ini ? Perlu di lihat lagi apa yang dibutuhkan kaum ini. Golongan ini adalah golongan mapan ekonomi, executive , atau aktris hijrah dan sebangsanya. Yang mereka cari lebih ke pemahaman agama yang menentramkan, menenangkan yang lebih simple untuk mereka praktekkan. Sedangkan Muhammadiyah sendiri, teologi al maun adalah “pemberontakan sosial”, suruh memikirkan mereka yang lemah, dhuafa , yatim dsb. Jadi tidak hanya sekedar memberi, tetapi mengupayakan pemberdayaan sosial. Bayangkan ketika kaum executve ini diberikan pilihan, “apakah akan ikut teologi al maun yang malah menehi gawean anyar dengan pemikiran pemberdayaan sosial itu, atau pilih ikut pemahaman seperti Salafy itu yang lebih simple ? Jangan lupa pula Muhammadiyah itu organisasi, kalau mau ber Muhammadiyah (sekarang ini) mau nggak mau akan ikut terseret untuk memikirkan kelangsungan hidup organisasi.  Itu kan “nambahi pikiran & gawean”. Apalagi Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi yang sudah mapan punya aturan yang mengikat secara organisasi, tidak bisa lepas bebas berkreasi sendiri tanpa merujuk ke pedoman pedoman organisasi yang ada. Kalau mau meng compare Muhammadiyah dengan Salafy , khususnya Salafy yang diminati kaum executive mapan itu; faktor kondisi sosial di atas  harus di lihat.  

Nampaknya memang sekolah Muhammadiyah harus berbenah. Bisa jadi, Muhammadiyah Boarding School (MBS) menjadi solusi alternatif sekolah unggulan Muhammadiyah saat ini. Terbutki, perkembangan MBS di mana-mana luar biasa. Sekolah Muhammadiyah yang sudah bangkrut, tatkala dirubah menjadi MBS, serasa mempunyai maknet baru dan mampu menjadi sekolah unggulan. MBS bukan hanya memberikan titik fokus pada ilmu agama yang kuat, hafalan al-Quran dan akhlak Islami, namun juga memberikan pengetahuan umum dan berbagai keterampilan penunjang yang memadai. Tentu tidak semua sekolah Muhammadiyah bermetamorfosis menjadi MBS, tapi setidaknya setiap satu daerah ada satu MBS, itu sudah mencukupi.