Menulis Itu Mencerahkan, Bukan Menyesatkan

Jika kita membaca sejarah para ulama kita terdahulu, kita akan takjub dengan banyaknya karya mereka. Konon Imam Suyuti menulis buku lebih dari 600 judul buku. Ibnu Taimiyah menulis lebih dari 330 buku, Al-Farabi juga sangat banyak, hanya yang sampai kepada kita hanya 40 kitab, demikian juga Imam Nawawi, imam Syairazi, Ibnu Hazm, Ibnu Sina, Al-Khawarism dan lain sebagainya.

Mengapa para ulama dulu sangat produktif? Ada beberapa faktor. Faktor utamanya adalah karena keilmuan mereka yang sangat dalam. Dengan ilmu yang dimiliki, maka menulis menjadi perkara yang sangat mudah. Ibarat diberi pena dan kertas, maka tangan akan bergerak dengan sendirinya. Ilmu yang sudah ada dalam dada mereka, secara otomatis akan mengalir dengan bentuk tulisan dari tangan mereka.

Selain karena kedalaman ilmu yang mereka miliki, menulis adalah tanggungjawab intelektual. Jadi menulis bukan sekadar sebagai hobi atau sarana untuk mencari popularitas dan harta. Menulis benar-benar berangkat dari tanggungjawab seorang ulama.

Ulama kita terdahulu sangat menyadari bahwa di antara amalan yang tidak akan putus dan dapat menyertainya kelak setelah ia meninggalkan dunia adalah ilmu yang bermanfaat. Rasulullah saw bersabda:

“إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له”

Artinya: “Jika anak Adam meninggal dunia, maka seuruh amalnya akan terputus kecuali tiga perkara; shedekah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang dapat mendoakannya.”

Salah satu sarana agar ilmu bisa dimanfaatkan oleh generasi setelahnya adalah dengan mendokumentasikan ilmunya dalam bentuk buku. Jika ia tidak menulis, maka para santrinya yang akan mendokumentasikan ilmu gurunya. Para santri juga sangat menyadari bahwa ilmu merupakan harta yang tiada nilainya. Maka tatkala mereka mendapatkan suatu ilmu, mereka akan menjaganya dengan sebaik mungkin.

Pertanyaannya, mengapa para ulama Indonesia kurang produktif? Mengapa tidak banyak para penulis buku keislaman berbobot? Mengapa para kiyai yang setiap hari mengajar ilmu-ilmu keislaman dan kitab kuning tidak banyak yang menuliskan ilmunya dalam bentuk buku? Mengapa para dosen-dosen di universitas Islam negeri ini tidak banyak menelurkan karya ilmiah?

Ada beberapa kemungkinan, pertama karena intelektualitas mereka yang belum mapan.  Jika tidak ada ilmu, apa yang mau ditulis? Andai nulispun, terkesan memaksakan diri. Tulisannya menjadi kering dan kadang ngawur. Banyak persoalan esensial dan mendasar dalam syariat yang diterjang begitu saja. Lagi-lagi itu bisa terjadi karena kedangkalan keilmuan penulisnya.

Kedua karena rasa tanggungjawab intelektual yang masih rendah. Jika para ulama itu secara keilmuan sudah mapan, maka seyogyanya ia menuangkan tulisannya tersebut dalam bentuk buku. Dengan demikian generasi setelahnya dapat memanfaatkan ilmunya melalui buku yang ia tulis. Jadi menulis menjadi bagian dari tanggungjawab intelektual.

Ketiga kurangnya budaya menulis.  Saya sendiri tidak tau mengapa budaya menulis Bangsa kita sangat kurang. Memang ada ulama kita terdahulu yang mendunia, seperti Imam Nawawi Al-Bantani, Arraniri, Al-Banjari dan lain sebagainya, namun jumlahnya juga tidak banyak. Bila dibandingkan dengan ulama di belahan bumi lainnya, karya para ulama dan intelektual kita masih kurang. Para kyai kita tidak banyak yang menuliskan ilmunya. Umumnya mereka hanya mengajar para santri dengan kitab yang diwariskan oleh ulama sebelumnya. Memang ada yang kemudian memberikan syarah atau menulis sendiri, lagi-lagi jumlahnya masih sedikit.

Dibandingkan dengan ulama kita terdahulu, sesungguhnya sarana untuk menulis saat ini sudah semakin mudah. Demikian juga sarana untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, jauh-jauh lebih enak. Kesempatan ini sesungguhnya menjadi kesempatan emas bagi kita untuk menggali ilmu sebanyak-banyaknya.

Tentu menulis sesuatu yang bermanfaat dan memberikan pencerahan kepada umat. Bukan menulis kontra produktif yang bertentangan dengan Qur’an, Sunnah atau Ijmal ulama. Menganggap wanita haid boleh puasa, itu bertentangan dengan hadis nabi dan Ijmal ulama. Menulis dan menyebarkan pemikiran seperti ini hanya menyesatkan umat. Ia bukanlah ijtihad karena ijtihad harus menggunakan metodologi Ushul fikih. Tanpa itu, ijtihad hampa dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Maka tulislah yang bermanfaat. Amin. Wallahu a’lam