Mak Eroh

*Aqua*

sejenak ku memandang jauh akan adat ketradisionalan yang menghegemoni kehidupan masa kecilku. Kini lambat laun adat istiadat yang identik dengan perilaku serba ke-salafy-an mulai tersingkirkan dengan apa yang namanya kemoderenan budaya dan peradaban. Budaya dan peradaban yang sampai kini menjadi bahan pembicaraan (maaf) kelas lacuran yang tak pernah kumengerti dan ingin ku mengerti. Karena selama ini ku merasa ia hanya menjadikan kita terbuai akan obrolan-obrolan berbusa yang menghasilkan orang bermulut besar. Yach, ia hanya sebuah alat permainanan (maaf) nafsu birahi para manusia yang merasa dirinya mampu dan mengerti akan sebuah kebudayaan dan peradaban manusia yang maju dan modern.

Dulu, ketika aku masih kecil kata-kata ‘ngaji’ dan ‘sholat’ senantiasa dibangun dan diucapkan dalam  hati serta ke dalam otakku.

“Mak…minggu depan Ane KKN ke Cilamaya, hmm…apa Ane bisa dapet bekel dari emak?” wajah Ane siratkan ragu yang mendalam, dia tahu emaknya sedang bingung karena paceklik tahun ini, dua kepalan tangan Ane saling beradu di atas pahanya. Pandangannya tertunduk hampa ke arah kepalan tangan itu, tak tega lihat wajah emak yang penuh bingung, telinga dipasangnya kuat-kuat, hati dibinanya untuk siap mendengar jawaban tidak dari emak.

“Neng…hari apa ke sana, jam berapa berangkatnya?”  tanya emak

 “Hmm…hari senin mak, dari rumah jam enem, tapi kalo dari kampus jam sembilan pagi” jawab Ane dengan nada agak takut.

Emak beranjak dari ranjang kayu tempat mereka merajut mimpi, menuju sebuah lemari lapuk tepat di sebelah kiri ranjang, kreek…krek! Emak membuka lemari tua peninggalan almarhum abah.

“Eneng butuh bekal berapa?” kembali emak bertanya.

 “Mungkin sekitar dua ratus ribu mak, untuk biaya makan satu bulan dan kebutuhan bikin makalah Ane.”

Sebenarnya jumlah yang disebutkan Ane masih jauh dari yang dibutuhkan, tapi Ane cukup tahu kondisi ekonomi emak, dan emak akan marah kalo seandainya Ane tidak memberi tahu kebutuhan kuliahnya, karena emak sendiri yang bilang bahwa apapun kebutuhan Ane, insya Allah akan emak penuhi. Semangat emak sangat tinggi untuk menjadikan Ane seorang insinyur pertanian. Kondisi ekonomi yang sulit, pantang bagi mak Eroh jadi sebuah halangan untuk cita-cita puteri semata wayangnya ini. Ane sendiri juga seorang remaja cerdas di kampusnya, beasiswalah yang juga membantunya meraih impian, emak selama ini hanya membiayai kebutuhan transportasi dan kebutuhan lain di luar uang kuliah. Emak yang tidak begitu paham dengan kondisi kampus hanya tahu tiap bulan Ane butuh berapa, tanpa tahu adanya kebutuhan-kebutuhan lain yang biasa jadi adat mahasiswa, dia cukup paham kondisinya tidak bisa disamakan dengan teman-teman sekampusnya.

Ane beranjak menuju emak dan berdiri tepat di belakang emak.

“Mak…kalo nggak bisa ngasih bekal Ane nggak papa kok, nanti biar Ane minta keringanan ke pak dosen agar uang beasiswa Ane yang dipotong buat acara KKN ini” tawar Ane mencoba meringankan beban emak

“Yeehh…eneng teh kumaha!, terus emak kerja teh buat siapa, ini ada tabungan, emak sengaja tabung buat eneng kalo ada keperluan mendadak, tapi cuma ada seratus dua puluh tujuh ribu lima ratus rupiah neng, masih kurang!” timbal emak penuh bijak

“Eh..emak jangan atuh, itu kan buat yang lebih penting, udah lah mak nggak usah bingung, eneng mah tadi kan cuma nanya ke emak, kalo emak nggak ada, eneng tidak memaksa kok mak!” Ane mencoba menghindar.

Dua tangan Ane mendarat di pundak emak berharap emak lebih tenang.

“Aduh eneng mah tenang aja atuh, emak juga tahu eneng butuh, udah pake aja, nanti sisanya emak carikan pinjaman” jawab emak.

 “Aduh nggak usah cari pinjaman mak, ini aja udah cukup kok, emak teh meuni bageur pisan ka eneng-eneng, Ane sayang emak” cumbu Ane pada emak.

“Aduh…iyeu budak manis pisan, anu pinter nya neng kuliahna” balas emak.

“Muhun mak, hatur nuhun pisan” ciuman hangat kini mendarat di pipi emak yang sudah agak kempot dimakan usia, beberapa detik kemudian mereka sudah saling berpelukan, emak membelai lembut rambut Ane yang panjang dan indah, penuh damai selimuti bilik kecil bercahayakan petromah itu.

fe

Subuh-subuh emak dan Ane berangkat ke surau di samping rumahnya. Sawah garapan emak sedang nganggur. Daerah rumah Ane memang cukup terpencil, bahkan aliran sungai pun tidak sampai ke sawah-sawah di daerah itu jika kemarau tiba. Kesusahan seperti jadi tradisi di musim itu. Pagi itu Ane sudah harus berangkat menuju kampusnya, tas berisi pakaian sudah siap, Ane mencium tangan emak sebelum berangkat.

“Hati-hati ya neng” pesan emak padanya.

” Iya mak, emak juga hati-hati di rumah ya mak, sendirian di rumah awas ada hantu yang gangguin emak hihi..hhii” goda Ane pada emak, spontan mereka tertawa lepas, kebahagiaan meliputi suasana perpisahan ibu dan anak itu.

 “Berangkat dulu mak…assalamu’alaikum!” pamit Ane pada emaknya         “Wa’alaikumsalam neng…ntar telepon ke HP emak yach..!” emak membalas dengan genit, Ane pun tertawa terbahak-bahak sambil melambaikan tangan pada emak dan berteriak dari kejauhan.

 “Iya mak nanti Ane telepon ke HP di dapur ha..ha..ha..!” tawa lepas Ane mengakhiri perpisahan itu.

fe

Langkah gesit mak Eroh mengiringi amatan tajamnya ke sekeliling sawah miliknya, mak Eroh sedih melihat keadaan kampungnya selalu mengalami hal yang sama saat kemarau. Dia berdiri di tengah-tengah pematang sawah yang kering kerontang sambil berpikir solusi yang harus dia ambil. Ada suara yang tiba-tiba memecah konsentrasi mak Eroh

“Sedang mikir apa mak?”, tanya pak Kodir sang penggarap sawah sebelah petakan emak.

” Eh…pak Kodir, enggak saya teh mikir aja, kenapa daerah kita susah dapet air ya!” emak menjawab penasaran pak Kodir.

 “Oh…itu karena daerah kita nggak punya saluran air yang nembus ke aliran sungai, jadi sawah kita teh dapet airnya pas musim hujan, karena saluran air yang biasa kita pake, ngalirnya pas hujan aja”  pak Kodir mencoba menjelaskan pada mak Eroh.

“Terus kenapa kita tidak minta pemerintah untuk membuat saluran air?” tanya emak lagi.

 “Yah..maklum atuh mak, daerah kita teh terisolasi, jauh dari keramaian, pemerintah terlalu sibuk mikirin hutang negara sama para koruptor, belum para pejabat tingginya pusing mikirin partai politik, jadi ya kita mau gimana lagi, orang kecil mah dimana-mana cuma bisa nurut yang di atas mak!” pak Kodir beropini.

“Waah…kalo kita cuma berdiam diri mengharap orang-orang gede itu mikirin kita, atuh kapan kita bisa keluar dari masalah ini pak…masa keadaan kita ini berlanjut ke anak cucu?” balas mak Eroh.

 “Terus gimana caranya kita keluar dari masalah ini?” tanya pak Kodir.

 “Ya kita bikin saluran air sendiri.” jawab emak.

“Aduh…mak Eroh sehat? sungai teh jauh mak, belum ngelewatin jurang sama lembahnya yang curam, jangan mimpi siang bolong atuh mak!” ledek pak Kodir pada rencana emak

“Yeh..pak Kodir teh kumaha, kalo belum dicoba kenapa harus menyerah duluan, kan ini juga demi kebaikan seluruh warga kampung di sini, kita bisa garap sawah sepanjang tahun, kan bisa bayar biaya anak-anak sekolah, biar kampung kita banyak orang pinternya, insya Allah tidak mustahil kampung kita jadi maju seperti di kota.” bela emak pada pak Kodir.

 “Yah…menurut saya, itu terlalu mengada-ada mak, kita berpikir yang sederhana saja, apa orang-orang mau sama ide gila emak itu, saya rasa banyak yang tidak mau” timbal pak Kodir.

 “Ya itu kan belum di coba pak, dari sekarang saya bakal coba ngomong-ngomong sama orang-orang kampung tentang ide saya itu. Lalu mak Eroh pun menyebarluaskan hal itu kepada penduduk setempat.

Hampir dua minggu emak berdiskusi dengan orang-orang kampung tentang idenya itu, tapi tak ada satupun yang mendukung, malah mengatai emak sudah gila. Emak memang bukan tipe orang pasif dan mudah menyerah, dia seorang yang cerdas, kalo dulu emak terus sekolah mungkin sekarang sudah jadi profesor. Dalam hari-harinya yang sendiri di rumah mak Eroh tetap berencana melaksanakan idenya itu, meskipun tanpa dukungan orang –orang kampung, bahkan besok rencananya itu akan dimulai. Biar sudah umur 45 tahun emak tetap lincah dan ceria, kadang dia suka bercerita hal-hal lucu yang buat hidup susahnya tak pernah tampak. Keceriaan selalu mengiringi kehidupannya.

fe

Subuh-subuh setelah pulang dari sholat di surau, emak sudah siap ke tempat dimana dia akan memulai rencananya itu. Dengan hanya berbekal cangkul di tangan kanan dan wadah minum di tangan kiri, emak berangkat dengan penuh semangat yang menggebu dalam dirinya.

“Mau kemana mak Eroh pagi-pagi buta begini” kata seorang tetangga sebelah rumahnya.

 “Mau bikin saluran air” jawab mak Eroh ringan. 

Penduduk kampung tidak habis pikir melihat emak yang begitu antusias menjalankan ide gilanya itu. Emak menjawab semua omongan orang dengan senyumnya yang khas dan penuh keceriaan. Mereka hanya menggeleng-geleng kepala melihat sosok mak Eroh. Setiap pulang dari kerjanya, mak Eroh menyempatkan diri bertandang ke rumah-rumah penduduk berharap ada yang mau bekerja sama, namun kesekian kali emak berkunjung, kesekian kali pula emak mendapat olokan dari mereka, namun emak tidak putus asa. Sudah seminggu emak menggali saluran air di sebelah utara kampung Sukamanah kecamatan Loji, Karawang.  Karena menurutnya daerah utara itulah yang dirasa paling dekat dengan sungai, meskipun jarak dekatnya itu sekitar 25 km.

Senja itu emak terasa sangat lelah, dia rindu canda tawa Ane, puteri semata wayangnya. Sudah tiga minggu Ane pergi, tidak ada kabar sama sekali, maklum listrik saja belum masuk ke kampung itu, apalagi telepon. Langkah juntai mengiringi mak Eroh pulang ke biliknya, hari ini mak merasa bosan kalau harus menerima olokan orang kampung lagi, mak terlalu lelah dan berniat langsung pulang. Namun di tengah perjalananya, emak bertemu pak Jaka, Lurah desanya.

Assalamu’aalaikum mak” salam pak Jaka.

 “Wa’alaikumsalam pak Lurah, dari mana pak?” tanya emak ramah.

 “Ini habis dari kota, ada rapat sama pak Bupati” jawabnya.

 “Oh..membicarakan apa pak?”

Mak Eroh memang cukup kritis tehadap masalah-masalah desa, jadi pak Jaka tidak heran ditanya mak Eroh seperti itu.

 “Ini mak, saya membicarakan persoalan desa kita di musim kemarau.”

Dengan wajah antusias emak segera menyahut,

“Terus kumaha hasilna pak?” tanya emak penasaran.

“Yah..gitu-gitu aja mak, kita cuma dijanjikan saja tanpa tahu kapan dipenuhi” jawabnya.

“Hah…dari dulu seperti itu, urang capek ngadangukeuna pak” balas emak penuh kecewa.

 “Ya begitulah mak, lagi-lagi orang kecil tidak bisa berbuat apa-apa, hah… mangga atuh mak!” pamit pak Jaka pada emak.

 “Mangga..mangga pak” balas emak pada pak Jaka.

Surutnya matahari senja petang ini, tak menyurutkan semangat emak untuk esok hari, setelah selesai dari kamar mandi untuk bersih-bersih sekaligus wudhu, emak sholat Maghrib di surau sampai waktu Isya. Sepulang dari surau, mak menuju dapur, dilihatnya tempat beras sudah hampir kosong, mak tidak tahu apakah dia masih bisa beli beras minggu depan, uang tabungan sudah habis buat kuliah Ane, tapi emak yakin kalo rizki Allah yang mengatur. Setelah makan dengan lauk seadanya, emak membawa lampu tempel dari dapur menuju kamarnya, suara jangkerik semakin menambah kerinduannya pada Ane, rumah sepi tanpanya, tidak ada yang memijatnya saat lelah, emak rindu sekali padanya.

Tiga minggu sudah mak Eroh mengerjakan proyeknya itu sendiri, dan kini saluran air yang dikerjakannya sudah hampir mencapai 10 km, sungguh luar biasa semangat yang dimilikinya, sangat tidak masuk akal seorang wanita menggali saluran air sendirian hingga mencapai jarak sejauh itu dalam tiga minggu.

Siang itu matahari bersinar sangat kuat hingga memaksa emak untuk istirahat, dari kejauhan tampak mobil jip membawa sejumlah anak muda di dalamnya, dan salah satu di antara mereka sangat dikenali oleh mak Eroh, ya..itu Ane, puteri tercintanya sudah datang. Emak buru-buru menuju jalan berharap Ane bisa melihat emak. Dari dalam mobil Ane sempat tak percaya bahwa perempuan yang sedang melambaikan tangan di bawah pohon dekat jalan itu adalah emaknya, sampai akhirnya jip itu semakin mendekat dengan posisi emak berdiri.

 “Ya Allah emak!”  teriak Ane dari dalam jip.

“Eneng..geulis, aduh emak seneng, eneng sudah datang” kata emak.

“Iya mak, Ane juga seneng ketemu emak lagi” timbal Ane sambil turun dari jip dan langsung mencium tangan emak.

“Neng, itu temen-temen eneng?” tanya emak.

 “Iya mak, kenalkan mereka teman kuliah Ane di fakultas Pertanian mak.”            “Assalamu’alaikum mak!” sapa mereka.

Wa’alaikumsalam, neng..jang bageur!” timpal emak

“Mak, ayo naik ke mobil” ajak salah seorang kawan Ane.  Emak senyum ramah namun agak ragu meninggalkan tugasnya, berkali-kali menengok ke belakang seperti mengisyaratkan keraguan, akhirnya rasa rindu pada Ane meluluhkan segalanya, emak pun meninggalkan proyek itu. Ane merasa heran pada emak, mengapa emak sendirian di tempat itu, bukankah emak di musim kemarau begini selalu di rumah. Saluran panjang itu buat penasaran Ane dan teman-temannya benarkah yang mengerjakan semua ini emak?

Kira-kira begitu isi hati mereka semua, wajah emak yang begitu bahagia membuat Ane tak tega menanyakan rasa penasaran itu pada mak kesayangannya. Sesampainya di rumah, Ane dan kawan-kawan berkeliling sebentar dan akhirnya mereka memilih untuk menggelar tikar di kebun belakang rumah Ane yang cukup sejuk. Dan dalam suasana yang penuh keakraban itu, rasa penasaran Ane dan kawan-kawannya terjawab. Dengan nada lugu emak mengutarakan semuanya. Kagum, rasa yang ada saat itu, jiwa muda mereka terdorong untuk membantu mewujudkan proyek emak itu, bukan hal sulit bagi para mahasiswa mengadakan relasi dengan pihak pemerintah sekaligus mengabulkan proyek saluran air untuk pertanian, apalagi mereka adalah mahasiswa teknik pertanian, maka rekomendasi dari kampus pun sangat membantu kelancaran proses itu.

Tepat dua minggu setelah pertemuan itu, pemerintah mulai mengirimkan bantuan proyek saluran air itu ke desa Sukamanah, wartawan-wartawan meliput berita yang unik itu, mereka semua mengangkat berita tentang mak Eroh sebagai sosok pahlawan lingkungan hidup yang menyelamatkan kampungnya dari kekeringan. Ketegaran yang dimilikinya patut dijadikan contoh bagi seluruh bangsa Indonesia, koran-koran dan majalah memampang foto mak Eroh dan saluran airnya. Orang-orang kampung yang tadinya memperolok emak sekarang berbalik memujinya.

“Mak..besok pak Presiden mengundang emak ke Jakarta” kata Ane dan salah seorang kawan kuliahnya.

 “Aduh…ada apa ini teh, kunaon Presiden jadi manggil emak neng?” tanya emak takut.

 “Emak nggak usah takut, malah seharusnya senang dan bangga mak bisa ketemu Presiden.”  jawab Ane.

“Iya mak, emak diundang ke Istana mau dikasih penghargaan sama pak Presiden.” jelas Andi, kawan Ane yang kebetulan adalah ketua KKN di Cilamaya kemarin.

Dia juga yang mengusahakan semua relasi ke pemerintah.

“Aduh ngapain pake acara dikasih penghargaan segala, sama Presiden lagi.” kata emak sambil merapikan piring di meja, selepas mereka makan siang.

 “Ya itu kan memang sudah seharusnya dilakukan pemerintah mak, soalnya pemerintah punya program penghargaan Kalpataru yang sengaja diberikan untuk warga negara yang mengabdi untuk lingkungan hidup.” jelas Ane.

 “Ah, tapi emak niatnya mah tadinya cuma pingin bisa ngerjain sawah sepanjang tahun biar punya uang untuk kuliah eneng.” balas emak.

Ane tidak tahan ingin memeluk emak tercintanya yang berbuat sedemikian berat hanya demi Ane, derai air mata Ane tak bisa lagi dibendung.

“Terima kasih mak, Ane sayang emak” haru Ane membuat suasana saat itu jadi makin syahdu. Dan di sela-sela itu Andi yang berdiri di samping mereka turut ungkapkan rasanya.

 “Mak, sekalian saya mau bilang kalau saya suka sama Ane dan minta izin ke emak untuk menikahi Ane seusai wisuda nanti.”

 Ane spontan kaget saat itu, tatapan mereka sekilas berpandangan, dengan malu Ane mengalihkan pandangan ke emak, emak malah meledek Ane.

 “Hayo anak emak udah ada yang minta, entar emak sendirian dong di sini.”

” Tenang aja mak, kita bakalan bangun desa ini kok, jadi emak sama kita.” ujar Andi menenangkan suasana. Ane tersipu malu tak berucap kata apapun.

Glossary :

– eneng teh kumaha : kamu itu bagaimana?

– emak teh meuni bageur pisan ka eneng-eneng : emak baik sekali kepada saya

– iyeu budak manis pisan, anu pinter nya neng kuliyahna :anak ini manis sekali,belajar yang pinter ya

– muhun mak, atur nuhun pisan : terima kasih banyak

– urang capek ngadangukeuna : orang capek mendengarkannya.