KESALAHAN METODE ORIENTALIS BERNARD LEWIS Dalam Penulisan Sejarah Islam

                              Mufti Afif

I. Mukadimah

Masa kejayaan Islam di bawah panji ulama-ulamanya, mempengaruhi Barat mengelaborasi sebab keberhasilan yang telah dicapai Islam. Dari zaman Rasulullah Saw., sampai pemerintahan Mamalik tidak ada yang mereka (Barat) abaikan sedikitpun, mereka senantiasa menganalisa dan mencari aspek pendukung keberhasilan para pemimpin muslim tersebut.
Langkah awal yang baik, mempelajari sebuah peradaban bangsa dari aspek sejarah. Karena sejarah merupakan tolok ukur utama dalam mengejar kemajuan peradaban bangsa lain. Sejarah merupakan cermin kehidupan bangsa—untuk masa yang akan datang—agar tidak terjerumus pada kesalahan yang sama pada masa lalu. Dan suatu kaum tidak akan mengenal dirinya dan peradabannya kecuali mereka tahu siapa pendahulunya.
Kesadaran Barat akan pentingnya ilmu sejarah bagi generasi berikutnya, membangkitkan niat mereka untuk “membuka” sejarah baru bagi generasi Timur. Tidak lain adalah guna melenyapkan cita-cita peradaban Timur (Islam) dalam menguasai dunia dengan aturan dan teologinya.
Menuliskan sejarah manusia atau spesifiknya pada sejarah peradaban Islam, sangatlah berkaitan erat dengan metode penulisan. Metode dalam bahasa Arab adalah Manhaj atau jalan atau cara agar mencapai pada titik terang yang dikehendaki. Metode merupakan hal penting dalam menyampaikan sebuah disiplin ilmu, supaya tidak ada kerancuan atau kesalah pahaman terhadap apa yang disampaikan, Allah Swt. berfirman dalam surat al-Maidah [5]: 48 “..Untuk tiap-tiap di antara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang..”.
Dalam makalah singkat ini, penulis ingin memaparkan beberapa pertanyaan besar yang mesti dijawab dan ditemukan solusinya, yaitu apa metode yang digunakan orientalis khususnya Bernard Lewis dalam menulis sejarah Islam? Apa faktor pendukung orientalis dalam mengkaji sejarah? Adakah sikap pencegahan distorsi sejarah dari ulama muslim atas Barat?
Bagaimanapaun juga Sejarah Islam adalah ilmu yang sangat berharga bagi kaum muslimin. Bahkan ia merupakan ilmu dari setengah buku-buku berbahasa Arab. Lihat saja realitanya, buku-buku yang beredar di pertokoan Arab, ada buku Fihrisât (Ibnu Nadim), Miftâhu al-Sa‘âdah (al-Thasyi Kubra), Kasyfu Dzunûn (Khalifah), Târîkh Baghdâd (Khatib al-Baghdadi), Târîkh Islâm (Imam Al-Dzahabi) dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa Bangsa Arab menggandrungi ilmu sejarah, turjumah (biografi ulama) dan tafsir dari setiap kejadian dan mengenang para pendahulunya. Maka wajar jika Bangsa Arab lebih bisa menghafal silsilah keturunan mereka dibandingkan bangsa lain di dunia.
Karena terbatasnya waktu untuk menelaah karya-karya orientalis Bernard Lewis, maka penulis hanya bisa menekankan dalam makalah ini metode Bernard Lewis dalam menulis sejarah Islam berdasarkan dua buku karangannya “The Arabs in History” dan “Istambul wa Hadhâratu’l Khilâfah al-Islâmîyyah”. Buku The Arabs in History merupakan karangan yang ditulis pada tahun 1947 M dan dipublikasikan tahun 1950 M serta menyebar di Inggris dan Amerika Serikat. Selanjutnya buku setebal 244 halaman ini juga di terjemahkan dalam tujuh bahasa termasuk bahasa Melayu, Turki dan Arab—sebagai perwakilan dari negara muslim—. Sedangkan buku Istambul wa Hadhâratu’l Khilâfah al-Islâmîyyah adalah buku terjemahan dari bahasa Inggris Istanbul and The Civilization of The Ottoman Empire, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Dr. Said Ridhwan Ali diterbitkan oleh Dâr al-Suûdiyah,Riyadh, 1982 M dengan jumlah halaman 235. Buku ini juga terdapat catatan oleh penerjemah mengenai kekurangan dan kesalahan Lewis dalam menuliskan sejarah Turki hingga modern.

II. Sejarah Islam dan Urgensinya

Menulis sejarah peradaban Arab Islam secara otomatis berhubungan erat dengan agama Islam. Yang berarti berkenaan langsung dengan pengetahuan sebab-sebab turun ayat al-Qur’an dan sunah Nabi beserta hukum syariat yang dikandungnya. Pengetahuan sirah Rasulullah Saw. dan para sahabatnya, serta pengetahuan mengenai terjadinya perdebatan antara ulama muslim dalam ber-ijtihâd atau madzab.
Menurut Dr. Hasan Usman, secara etimologi sejarah berarti informasi waktu. Sehingga dia mendefinisikan sejarah sebagai informasi tentang suatu kejadian pada batas waktu tertentu dan memiliki keterkaitan dengan fenomena yang sedang berlaku pada zaman sekarang. Adapun objek sejarah meliputi; tokoh, zaman, kejadian dan atau kaum tertentu. Sejarah merupakan cermin perbandingan untuk mengantisipasi kesalahan yang pernah terjadi di masa lampau. Menurut Syamsuddin al-Syakawi yang dinukil dari bukunya “al-I‘lâm bi al-Tubîkh liman Dzamma al-Târîkh” oleh Dr. Abdul Mun’im, mengartikan sejarah sebagai pengetahuan tentang waktu yang menunjukkan hal ikhwal seseorang dari lahirnya, keluarganya, wafatnya, perjalanan hidupnya dan kepercayaan serta pernyataan kebenaran sebuah pendapat jika terjadi perbdebatan dua riwayat.
Sejarah juga bisa dianggap sebagai pringatan umat, seperti halnya peringatan pada setiap individu. Menurut Dr. Abdul Adzim Mahmud Daib, “Sejarah bukanlah sebuah pengetahuan tentang masa lampau, akan tetapi ilmu masa depan dan hakikat dari kejadian yang akan datang. Maka menurutnya kaum yang kekal adalah kaum yang sering mengingat masa lalunya demi masa depan”.
Sebagaimana diungkapkan Dr. Abdul Mun’im Ibrahim Addasuki, sejarah merupakan medan pikiran yang terpenting dan harus serius dalam mengkajinya, tidak hanya diingat, tapi juga ditulis untuk menghindari kebinasaanya.
Sejarah juga bukan sekedar mengetahui kejadian penting dari sebuah momen atau kemudian mencatatnya, tapi sejarah merupakan sebuah pelajaran penting yang harus di tekuni untuk kemajauan suatu peradaban bangsa. Sebagai pendidikan bagi generasi selanjutnya agar bisa mengambil hikmah dari kejadian para pendahulu untuk kemudian hari. Bahkan Islam sendiri mengajarkan kepada umatnya mengenai pentingnya belajar sejarah. Di al-Qur’an banyak memuat kisah-kisah para nabi beserta kaumnya dan Allah memerintahkan hambanya agar selalu mengenang sejarah. Dalam surat al-A’raf [7] ayat 176 Allah berfirman, artinya “Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir”.
Sejarah Islam adalah sejarah umat muslim dunia, sejarah umat beradab, umat yang mencegah kezhaliman, penyeru pada kebaikan dan sejarah umat terakhir yang dibawa Nabi Muhammad Saw.. Sejarah Islam adalah sejarah peradaban umat yang mencakup berbagai aspek, baik masyarakat, ekonomi, politik, akhlak, sosial, kota serta bangunannya, yang belandaskan pada akidah yang benar dan sempurna.
Kata sejarah, dalam bahasa Arab pertama kali digunakan pada masa Umar bin Khatab. Yaitu setelah terjadi kerancuan perintah Umar saat mengutus Abu Hasan al-Asy’ari memberikan kabar tentang banyaknya proyek kerjaan pada bulan Sya’ban. Namun kabar ini membingungkan pendengar waktu itu, adakah perintah dari Umar mengenai proyek kedepan atau sekedar kabar tentang proyek yang lalu? Maka dikumpulkannya para sahabat oleh Umar untuk menghilangkan syubhat (asumsi yang samar/belum jelas tentang suatu masalah) tentang tanggal. Banyak pendapat mengenai permulaan tanggal, ada yang berpendapat agar diawali dari kelahiran Nabi Saw., atau dari hari risalah kenabian, atau hari pada waktu hijrah. Maka para sahabat sepakat pada opsi yang terakhir, yaitu ditetapkan tanggal/kalender Islam diawali dengan hari Hijrah Nabi Saw.. Awal mula ditetapkan penulisan tanggalan Hijriyah dan merupakan awal penulisan sejarah, baik Nabi atau sahabatnya yaitu bulan Rabi’ul Awal tahun 16 H.

III. Metode Penulisan Sejarah Islam

Metode merupakan hal terpenting dan harus diperhatikan dalam menyampaikan atau menerima ide seseorang kepada orang lain. Dengan metode yang benar, akan mendapatkan respon yang benar pula. Maka dibutuhkan data-data dari fakta yang jelas, supaya tidak ada kerancuan dalam sejarah.
Terlepas dari perdebatan kaum muslimin mengenai sifat sejarah, baik bersifat sebagai ilmu pengetahuan atau bersifat seni, akan tetapi kedua sifat tersebut berhubungan erat dengan ilmu hadis. Karena hadis merupakan salah satu sumber pengetahuan dan merupakan alat untuk menafsirkan al-Qur’an. Dikatakan sejarah sebagai seni oleh ilmuwan yang konsentrasi pada ilmu peradaban dan sejarah, karena ia bisa dihasilkan dari seni menghayal. Tapi dianggap sebagai disiplin ilmu ilmiyah, karena harus berdasarkan validitas data. Dan al-Syakawi menganggap sejarah Islam sebagai hasil dari seni-seni hadis Nabi Saw., yang berarti mempelajari dan menuliskan sejarah Islam dan sîrah Nabi berdasarkan hadis Nabi Saw..
Sebagaimana metode sanad dalam ilmu hadis; silsilah periwayatan dari orang yang terpercaya, Jalaluddin al-Suyuthi (1445-1505 M) menulis Sejarah Islam berdasarkan referensi yang bisa dipertanggungjawabkan. Sejak kecil pola pikirnya terbentuk dari pendidikan keluarganya terutama sang ayah (Kamaluddin Abu Bakar-pakar fikih-). Suyuthi kecil sudah sibuk dengan ilmu fikih dan hafal al-Qur’an sebelum sempurna umurnya 8 tahun. Menginjak dewasa dia konsentrasi dalam ilmu sejarah karena dorongannya untuk mengetahui hal ikhwal manusia muslim pada masa Nabi Saw. dan masa para sahabatnya. Suyuthi dalam menulis sejarah Islam acapkali menyertakan referensi untuk menghindari serangan kritikus ulama modern, dan yang paling penting dia mengambil data dari referensi-referensi dan data-data tervalid dari sumbernya langsung. Berawal dari menjaga amanat ilmiyah inilah, bukunya yang berjudul Târîkhu’l Khulfâ yang 5 jilid diterjemahkan kedalam bahasa Inggris oleh Janet dan kemudian ke bahasa Prancis. Melihat dari keuletan Suyuthi ini, dia sampai disuruh menuliskan hadis oleh Khalifah al-Mutawakkil pada masa Abbasiyah.
Ada fase-fase yang harus dilalui dalam menulis sejarah, khusunya sejarah Islam, yaitu:

  1. Menyiapkan dan mengumpulkan referensi, khususnya buku-buku yang membahas sejarah Islam.
  2. Mengumpulkan materi bahasan.
  3. Fase kritik; mengkritisi beberapa referensi yang telah di telaah. Hal ini diperlukan karena ada perbedaan ilmuwan tentang riwayat. Sehingga tidak ada pengertian sejarah yang hanya sekedar kisah yang bisa ditafsirkan sesuai kehendak penelaah.
  4. Fase tafsir (hermeneutik), fase ini adalah fase yang paling sulit. Karena harus konsisten dengan tulisannya sesuai dengan penelitian serta tidak terlepas dari kaidah bahasa yang sirat dalam referensi.

Metode dalam penulisan pun harus ada catatan, karena tidak adanya catatan berarti tidak ada isi. Begitu juga sebaliknya, tidak ada muatan isi jika tidak ada catatan. Catatan ini bisa berbentuk:

  1. Buku rujukan beserta halamannya.
  2. Keterangan sebuah kata atau baris yang butuh penjelasan lebih lanjut.
  3. Catatan penjelasan kata atau tulisan agar pembaca tidak mangulang bacaanya dari depan.
  4. Kritik nash atau dalil-dalil/data-data/bukti-bukti sejarah.
  5. Kritik dan mendiskusikan ide penulis lain yang cenderung mendistorsikan sejarah.
  6. Pemberitahuan mengenai tokoh, tempat atau kerangan nama yang telah tercantum dalam tulisan.

Disebutkan pula dalam makalah Ali Muhafadhah, Universitas Yarmuk, bahwa metode penulisan sejarah Islam harus mengklasifikasikan per periode (zaman kejayaan). Cara yang ditempuh yaitu mengumpulkan data kejadian sesuai dengan generasi. Kemudian mengumpulkan sanad-sanad yang berkenaan dengan setiap generasi yang akan dibahas.

IV. Bernard Lewis; Biografi dan Karya-karyanya

Bernard Lewis lahir di London, Inggris tanggal 31 Mei 1916 M. Dia adalah sejarawan Inggris-Amerika dan ahli pengetahuan ketimuran. Di samping dia pakar politik, dia juga dianggap sebagai penasehat cendekiawan di daerahnya. Kebijakan-kebijakan yang diambilnya banyak dicari termasuk kebijakan mengenai administrasi masa pemerintahan Bush.
Lewis terlahir dalam kalangan Yahudi, dia tertarik dengan bahasa dan sejarah sejak dia kecil. Pada usia sebelas dan dua belas tahun, dia sering terkagum dengan bahasa baru (asing), terutama leteratur yang berupa skrip. Pertama kalinya minat itu ditemukan waktu dia menemukan skrip berbahasa Ibrani. Kemudian beralih ke bahasa Arab, Latin, Yunani, Persia dan Turki.
Ia menyelesaikan studi tingkat universitas pada tahun 1936 M, dari School of Oriental Studies (SAOS, sekarng berubah menjadi School of Oriental and African Studies) di Universitas London. Kemudian dia mendapat gelar Ph.D setelah tiga tahun kemudian, di SAOS juga, khusus sejarah Islam. Lewis sempat belajar hukum, guna menjadi pengacara. Tetapi niat itu terbengkalai akibat ke Timur Tengah mempelajari sejarah. Dia melakukan studi pasca sarjana di Universitas Paris, dimana dia belajar dengan orientalis terkenal ahli pengetahuan ketimuran Louis Massignon dan dia memperoleh “Diblome des Etudes Semitiques” pada 1937 M. Kemudian dia kembali ke SAOS pada 1938 M sebagai asisten dosen di Sejarah Islam.
Pada usia hampir 33, Lewis diangkat sebagai sepesialis studi Timur-Tengah. Waktu itu setelah Perang Dunia II. Karena para pakar sejarah dianggap sangat langka saat itu. Tahun 1974 M, Lewis diterima sebagai dosen di Universitas Princeton dan Institute for Advanced Study, juga terletak di Princeton, New Jersey. Namun dia hanya mengajar satu semester pertahunnya. Dengan demikian dia memiliki banyak waktu untuk mengdakan penelitian mengenai Sejarah Islam dan dia banyak menulis buku berdasarkan akumulasi materi-materi sebelumnya. Di AS, Lewis menjadi tokoh intelektual publik. Hingga tahun 1986 M dia pensiun dari princeton dan bertugas di Cornell University hingga tahun 1990 M.
Lewis adalah anggota pendiri ASMEA (The Association for the Study of the Middle East and Africa), dibentuk tanggal 24 oktober 2007 M. Asosiasi ini merupakan asosiasi masyarakat akademik yang didedikasikan untuk mempromosikan standar penelitian dan mengajar di Timur-Tengah. Dan Lewis adalah ketua dari dewan akademik.
Tulisan-tulisannya banyak berkaitan dengan Sejarah Islam. Karya-karyanya tidak hanya tersebar di Barat tapi juga di Timur dengan terjemahan, baik Arab, Turki, ataupun Indonesia. Ia juga menulis tentang Daulah Utsmâniyyah dan Turki Modern. Karya terbaru yang berjudul “The Emergence of Modern Turkey” menurut Ridwan Ali (penerjemah buku tersebut) adalah karya yang luar biasa, karena tidaklah mudah untuk mencari data seperti halnya kejelian dan kesabaran Lewis dalam mengkaji, meskipun kebanyakan referensi yang Lewis kedepankan berbahasa Inggris hasil terjamah ulama Barat abad ke-16 sampai ke-17 M.

Buku-buku karyanya banyak bernuansa sejarah dan peradaban. Adapun karyanya yaitu:
1) The Origins of Isma’ilism: A Study of the Historical
2) Background of the Fatimid Caliphate. Cambridge, 1940 M.
3) A Handbook of Diplomatic and Political Arabic. London, 1947 M.
4) The Arabs in History. London, 1950 M.
5) The Emergence of Modern Turkey. London, 1961 M.
6) Istanbul and the Civilization of the Ottoman Empire. Norman, 1963 M.

V. Metode Bernard Lewis Beserta Kritiknya

Sebagaimana kita kaji bersama di atas, ada hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam menuliskan Sejarah Islam. Sejarah Islam merupakan sejarah peradaban umat muslim dunia yang memiliki metode sendiri dalam menuliskan dan menentukan hukum. Artinya Islam sangat berhati-hati dalam menjaga amanat kebenaran ilmu pengatahuan berdasarkan metode yang mereka miliki.
Pakar sejarah muslim juga mengakui kalau Barat memiliki peraturan sendiri dalam mengkaji sejarah. Namun sayangnya mereka memiliki data asal yang dianggapnya kuat yaitu peradaban Yunani. Barat mengakui Bangsa Yunani lah awal pengukir sejarah dunia. Sedangkan Arab hanya penyambung dan penggabung antara peradaban-peradaban kuno sebelumnya. Dalam menuliskan Sejarah Islam, para orientalis termasuk Lewis dan Carl Brockelman, mengambil data berdasarkan rasa fanatisme yang kuat pada peradaban Yunani (yang notabene adalah bangsa Barat).
Sebagai wujud tanggung jawab ilmiyahnya, Lewis dalam buku The Arabs in History lebih sering memasukkan kutipan langsung dari tokoh yang dia tulis. Hal ini bisa ditemukan dalam pernyataannya pada Bab pendahuluan buku The Arabs in History, “following the pattern of the series, there were no footnotes. I have retained this pattern, and have made no attempt to provide detailed annotation and documentation for the statements made in the book. I have, however, provided an appendix, giving references for direct quotations”.
Lewis juga tidak menjadikan syair-syair puisi orang Arab, baik pra Islam atau di masa Islam sebagai literatur dan ide pikiran dalam menuliskan sejarah. Sebagaiman dia katakan pada Bab Islamic Civilization, hal. 143-144:

”Arabic is one of the Semitic languages, in many ways the richest of them. The pre-Islamic inhabitants of Northern Arabia had been a primitive people with a hard and primitive way of life, little education or formal culture, hardly any written tradition. But they had developed a poetic language and tradition of remarkable richness, a poetry of elaborate and intricate metre, rhyme, and diction, classical exactitude of form, which was the pattern for most later Arabic poetry. With its wealth of passion and image and its limitation of themes it is the true expression of the life of the Bedouins, singing of wine, love, war, hunting, the terrible landscapes of mountain and desert, the martial valour of the tribesmen themselves, the turpitude of their enemies. As one would expect, it is not a literature of abstraction or pure thought”

Secara umum, metode pendekatan yang di tawarkan Barat, bukanlah solusi tepat bagi kaum muslimin. Dalam berbagai kajian disiplin ilmu Barat bukanlah ukuran standar kajian dunia. Metode mereka relatif singkat, tidak bisa digunakan dalam kurun waktu yang lama. Hal ini terjadi karena:
Fanatisme; yaitu adanya kesenjangan sosial antar ras dan suku. Mereka tidak mau melihat orang berkulit hitam. Dengan mengagungkan ras kulit putih dan mengaku sebagai keturunan Yunani, keturunan orang termulia. Anggapan mereka, kehadiran Islam merupakan pemusnahan kejayaan perdaban sebelumnya. Ahirnya Islam menyulitkan perkembangan umat manusia, semua terkekang dengan hukum-hukum syari’at dan bahkan kekejian pun dilegalkan sebagai balasan atas kekejian.
Dalam bukunya yang berjudul Istambul wa Hadhâratu’l Khilâfah al-Islâmîyah, hal 9-10 penerjemah mengakui atas kesalahan yang di lakukan Lewis dalam menulis sejarah Turki. Dr. Said Ridhwan Ali mengatakan banyaknya Lewis meniggalkan bahasa-bahasa yang susah ditelaah dari bahasa Arab.

Lebih jelasnya baca manuskrip di bawah ini:

VI. Penutup

Penulisan sejarah dalam pandangan Barat sangat berbeda dengan pandangan Muslim. Barat lebih bisa menekuni pembelajaran Sejarah Islam layaknya mereka menekuni sejarah Yunani dan Romawi kuno. Pada dasarnya sejarah dua peradaban kuno tersebut tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan kepercayaan dan keyakinan beragama. Sehingga Barat lebih cenderung mengartikan, bahwa ilmu sejarah adalah seni hayalan belaka dengan sisa-sisa data yang masih ada. Barat menjadikan ilmu sejarah tidak lain adalah untuk mengetahui kejadian masa lalu yang sebenarnya. Sehingga pakar sejarawan Jerman seperti Leopold Von Ranke kental dengan pendekatan filsafatnya. Begitu juga Auguste Comte, filosof asal Prancis, lebih mendahulukan hakikat kejadian yang sebenarnya.
Maka apabila di teliti ulang, letak kesalahan metode yang diterapkan Barat tidak bisa kita temukan pada metode ulama muslim—yang lebih mengedepankan keabsahan riwayat dan perawinya—. Metode yang digunakan ulama muslim lebih akurat karena berdasarkan data orang terdahulu dan tidak terkesan mengada-ngada seperti halnya Barat.

—++—-+——–

Bagi yang ingin wakaf tunai untuk pembangunan pesantren Almuflihun yang diasuh oleh ust. Wahyudi Sarju Abdurrahmim, silahkan salurkan dananya ke: Bank BNI Cabang Magelang dengan no rekening: 0425335810 atas nama: Yayasan Al Muflihun Temanggung. SMS konfirmasi transfer: +201120004899