Islam Memberikan Perhatian antara Persoalan yang Kontan dan Fleksibel

Dr. Ahmad Mahmud Karimah
Beliau adalah Guru Besar pada Fakultas Dirâsât Islâmiyyah jurusan Fiqh Muqârin Universitas al-Azhar serta dekan Akademi Persiapan Da’i.
Beliau tergolong Ulama yang sangat produkif khususnya yang berkaitan dengan fiqh Islam dan Pemikiran Islam.
Salah satu karya beliau adalah:
“Huriyatu al-Fikri am Huriyatu al-Kufri”.

Salah satu karasteristik dan keistimewaan syari’at Islam adalah bahwa dalam syari’at Islam terdapat satu kaidah “Al-Jam’u baina al-Tsabât wa al-Murûnah” (menggabungkan antara yang Aksiomatik dengan yang statis)

Apakah kebebasan berfikir memiliki landasan dalam Islam?

Islam adalah agama universal, mengatur seluruh kehidupan manusia secara terperinci dan tidak condong kepada satu permasalahan tertentu dengan mengabaikan yang lainnya. Oleh karena itu, setiap perintah dalam Islam selalu sesuai dengan fitrah dan akal manusia.
Pada dasarnya setiap perkataan dan tindakan merupakan amanah yang harus kita jaga. Oleh karena itu, Islam tidak pernah menuntut umatnya untuk berfikir dengan baik dan benar jika tidak untuk kemashlahatan umat. Akan tetapi ketika kebebasan berpikir dijadikan sebagai sebuah alat legitimasi dalam merubah syari’at Islam yang qot’iy serta memutarbalikkan sebuah kebenaran, maka ini bukan kebebasan berfikir.
Oleh karena itu polemik yang berkembang di Barat saat ini seperti permasalahan murtad misalnya, yang menurut mereka, murtad adalah sesuatu yang sah-sah saja, sebab ia adalah bagian dari kebebasan beragama. Kemudian mereka menolak sangsi bagi orang yang keluar dari Islam dan menganut agama lain. Bukankah ini intervensi dalam kebebasan beragama?
Saya katakan kebebasan beragama sangat terjamin dalam Islam bagi orang yang non-muslim, sebab dalam Islam sudah jelas tidak ada paksaan dalam beragama. Akan tetapi ketika seseorang sudah beragama Islam dan ia ingin keluar dari Islam bukankah ini namanya penghianatan? Bukankah hal ini sama dengan seseorang yang mengkhianati negerinya dengan membongkar rahasia negara. Tentu dia akan dijatuhi hukuman mati.
Oleh karena itu seseorang yang telah menyerang agama dengan murtad, bukankah ini namanya ia telah menyerang Allah Swt., dan Rasul-Nya? Maka konsep “Lâ ikrâha fi al-Dîn” hanya berlaku bagi seseorang sebelum masuk Islam. Jadi koma, kita harus bisa membedakan antara kebebasan beragama dengan hukuman orang yang murtad. Islam tidak pernah maksa orang untuk masuk agama Islam.
Akan tetapi apabila seorang muslim yang beriman kepada Allah dan Muhammad Rasullah kemudian ia keluar dari Islam, maka hal ini tentu akan menimbulkan fitnah besar terhadap agama. Sebab orang non-muslim yang ‘risih’ dengan Islam akan beranggapan bahwa orang yang murtad dari agama Islam disebabkan karena ia mengetahui bahwa dalam Islam kerusakan misalnya.

Jadi sebenarnya Islam telah mengakui kebebasan berfikir akan tetapi dengan batasan-batasan syar’i. apa batasan-batasan syar’i yang anda maksud dalam kebebasan berfikir ini?

Pertama: Kebebasan berfikir itu tidak menyentuh syari’at Islam yang sudah pasti kebenarannya, tidak menyentuh teks-teks al-Qur’an yang qot’iy, tidak menyentuh masalah-masalah akidah Islam, bukan hanya Islam akan tetapi juga akidah non-Islam. Artinya, ketika kita mengajak seseorang untuk masuk Islam, maka kita tidak boleh menjelekkan keyakinan agama lain. Kita hanya menyebarkan agama kita, menyebarkan keistimewaan kita, menyebarkan keuniversalan kita, menyebarkan ajaran-ajaran kita dan bukan menyerang atau merendahkan agama lain, atau mengejek keyakinannya.
Inilah yang ada dalam Islam ketika menyebarkan dakwah. Tidak ada paksaan bagi orang non-muslim menapaun untuk menerima dan menolak Islam. Mereka bebas menentukan sikap dan keputusannya. Hal itu tidak hanya sebatas teori belaka tanpa diwujudkan dalam praktek.
Tapi kita lihat realitanya, Islam sangat menjaga dan menghargai tempat peribadatan agama lain seperti Gereja, Kuil, patung-patung dan sebagainya, meskipun dalam komunitas mayoritas Islam. Ini merupakan bukti bahwa Islam adalah agama yang toleran, bukan agama yang egois. Bahkan ketika perang sekalipun dengan orang non-muslim, Islam mengharamkan muslim membunuh para pendeta dan para pemuka agama, sebagaimana Rasullah Saw., melarang tiap muslim membunuh mereka dan membiarkan mereka di tempat peribadatan.
Jadi koridor dalam berfikir bebas adalah tidak menyentuh pokok ajaran Islam, sebab ini adalah kebenaran syar’I yang menurut saya lebih kuat dibandingkan kebenaran akal. Maka tidak bisa dibenarkan jika seseorang mengklaim dengan slogan kebebasan berfikir untuk meragukan dan mengelabuhi perintah-perintah Allah seperti shalat, puasa, zakat dan lainnya yang wajib dilaksanakan dalam agama Islam.
Kedua: Bahwa Islam datang untuk menyebarkan kebaikan di antara manusia, maka jangan samapai kebebasan berpikir dijadikan sebagai alat melegitimasi pergaulan bebas, hubungan seksual di luar nikah misalnya, sebab hal semacam ini hanya akan menimbulkan kerusakan di bumi Allah ini. Jadi kebebasan berpikir dalam Islam sangat terjamin selama tidak bertentangan dengan perintah dan larangan Islam.
Kita sering menjumpai para penganut kebebasan mutlak memiliki pemahaman kontra-produktif dengan konsep Islam. Jadi sebenarnya apa yang dimaksud dengan kebebasan menurut syari’at islam?

Kebebasan dalam prespektif Islam sebagaimana yang telah disinggung di atas memiliki batasan dan koridor tetentu, sebagaimana Allah berfirman: “Itu adalah ketentuan dari Allah, maka barang siapa yang melanggar ketentuan Allah sesungguhnya ia telah menganiaya dirinya sendiri”.
Jadi istilah kebebasan sebagimana yang dipahami dan dignakan serta dianjurkan oleh para penganut kebebasan mutlak hanyalah untuk memutarbalikkan kebenaran dan hukum Allah serta hanya untuk mengikuti hawa nafsu, seperti slogan pergaulan bebas dan kebebasan berfikir tanpa batas.
Hal ini tidak bisa dibenarkan dalam Islam, bahkan akal sehat manusia sekalipun. Sebab itu pada dasarnya bukan kebebasan, melainkan kerusakan dan kehancuran. Akan tetapi kita sebagai umat Islam, selama kita beriman kepada Allah dan para Rasul serta menjalankan kewajiban kita sebagai hamba Allah, mengetahui hak dan kewajiban kita kepada orang lain, maka kita boleh saja mengungkapkan apa yang ada dalam hati dan pikiran kita dengan sarana yang dianjurkan.
Islam menganjurkan kita untuk berinteraksi dan saling-tolong menolong kepada semua manusia tanpa memandang agama, bangsa, bahasa, etnis, suku dan keturuanan dengan syarat saling menghormati.
Akan tetapi saat ini para penganut kebebasan mutlak tersebut justru sangat egois. Mereka menginginkan Islam menghargai dan menghormati mereka dengan menuntut kita. Akan tetapi mereka mengabaikan kewajiban mereka kepada kita. Kalau begitu di mana kebebasan tersebut yang gembar-gemborkan.

Apakah di dalam agama samawi selain Islam terdapat kebebasan, baik kebebasan beragama, kebebasan berfikir, kebebasan bertindak dan kebebasan mengeluarkan pendapat?

Terus terang saya tidak ingin basa-basi dan bertele-tele. Sesungguhnya kitab suci di dunia ini yang selamat dari penyelewengan dan campur tangan manusia hanyalah al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah yang kita anut sepanjang zaman. Akan tetapi orang-orang yang tidak memahami agama dengan baik, akan menjadikan agama hanya sebatas formalitas tanpa ada implikasi ke dalam sikap dan perbuatannya, maka akan mengatakan kebebasan itu tanpa batasan dan kebebasan dalam segala hal itu mutlak.
Anda bisa melihat di dunia ini tempat peribadatan yang selalu bersinar dan dipenuhi para penganutnya hanyalah di dunia Islam. Tempat peribadatan yahudi di negara-negara Islam bisa di penuhi penganutnya karena mereka mengikuti umat Islam dalam memakmurkan masjid.
Coba anda lihat tempat peribadatan di barat dan lihat para tokoh-tokohnya dengan segala usaha mereka mencoba untuk mengajak para pengikutnya memakmurkan tempat ibadah, namun hasilnya tetap saja tempat ibadah mereka kosong. Mereka mengatakan bahwa mereka memiliki kebebasan, kenapa? Karena mereka tidak seperti umat Islam yang sangat kuat berpegang teguh kepada agamanya dan mempraktekkannya dalam kehidupan.
Dalam Islam hal ini adalah amanah, oleh sebab itu kita sangat menjaga amanah Allah swt. ini.

Saat ini beberapa tokoh Islam mengatakan bahwa hukum Islam harus direkonstruksi sesuai kemajuan zaman? Apakah kebebasan berfikir berpengaruh dalam memberikan ketetapan hukum dalam IslaM?
Salah satu karakteristik dan keistimewaan syariat Islam adalah bahwa dalam syariat Islam terdapat satu kaidah “Al-jam’u baina al-Tsabât wa al-Murûnah” (menggabungkan antara yang aksiomatik dengan yang statis). Al-Tsabat dalam Islam adalah hal-hal yang tidak ada ruang lingkup ijtihad seperti akidah Islam, hukum halal dan haram. Ini adalah kebenaran syariat yang lebih mulia dan kuat dari kebenaran akal manusia itu tersendiri. Artinya bahwa apa yang diterapkan oleh syariat sudah tentu akan sesuai dengan kebenaran akal. Sebab akal manusia sangat relatif sedangkan syariat tidak diragukan lagi kebenarannya.
Adapun al-Murûnah (yang dapat berubah sesuai kebutuhan) misalnya permasalahan kontemporer, seperti: transfusi darah, donor darah, investasi bank dan sebagainya.
Akan tetapi jika seorang tokoh Islam mencoba “bermain-main” dalam qath’iy atau tsabât (aksiomatik), Maka ini adalah bencana besar. Atau merekonstruksi hukum-hukum Islam dengan dalih kebebasan berfikir, pembaharuan, kemajuan zaman, dan sebagainya.
Islam bukan agama akal-akalan yang dibuat manusia sehingga dengan seenaknya saja kita dapat merubah aturannya dengan klaim kebebasan. Islam bersih dari pencemaran itu dan bersih dari permainan akal manusia.

Kalau begitu menurut Anda apa sarana-sarana dan faktor-faktor yang mendukung untuk berfikir secara baik dan benar?

Berfikir dengan baik dan benar dalam koridor syariat adalah seperti yang diungkapkan Rasulullah Saw., “Sesungguhnya telah aku tinggalkan kepadamu dua pedoman, yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, kamu tidak akan sesat selama-lamanya selama berpegang teguh kepada keduanya”.
Kapanpun dan di manapun, ketika seorang muslim sudah memahami perintah dan larangan Allah Swt. yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, maka kita akan selamat dari tipu daya siapapun. Kenapa kita selalu diserang oleh Barat? Karena kita sendiri belum paham al-Qur’an dan Hadist. Tidakkah anda melihat bahwa anda melihat bahwa masih banyak umat Islam yang ‘buta’ tentang ibadah? Mereka tidak tahu sama sekali tentang kewajiban, bagaimana bisa memahami Islam secara kaffah?
Oleh karena itu, satu-satunya sarana dan faktor penting dalam berfikir adalah mengadakan perenungan terhadap kandungan al-Qur’an. Al-Qur’an harus dipahami dengan benar, dan tidak boleh diselewengkan hukum-hukumnya atas nama kebebasan berfikir dan sebagainya.
Umat Islam saat ini sudah semakin jauh dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah serta lebih mendahulukan hal-hal duniawi dari pada mendalami agama Islam. Kita lemah karena belum mengaktualisasikan perintah dan larangan Allah dalam kehidupan.
Kenapa kita harus berpegang teguh dengan syariat Islam dan mencontoh Rasulullah Saw.? karena ia mendapat wahyu dari Allah Swt. untuk kemaslahatan umat, “Ia tidak berbicara sesuai kehendaknya, akan tetapi apa yang ia katakan adalah wahyu yang diwahyukan Allah Swt. kepadannya”.
Oleh sebab itu satu-satunya faktor berfikir dengan baik adalah memahami dan mendalami syariat Islam secara baik dan benar dengan menggunakan berbagai macam ilmu yang dipercaya dan diakui seperti: bahasa Arab, memahami sebab-sebab turunnya ayat, mengetahui tingkatan Hadist, mengetahui hukum fikih dan menggabungkannya dengan kemajuan zaman untuk mencari solusi atas setiap permasalahan sebgaimana yang telah dipraktekkan oleh para ulama kita terdahulu. WalLâhu

—++—-+——–

Bagi yang ingin wakaf tunai untuk pembangunan pesantren Almuflihun yang diasuh oleh ust. Wahyudi Sarju Abdurrahmim, silahkan salurkan dananya ke: Bank BNI Cabang Magelang dengan no rekening: 0425335810 atas nama: Yayasan Al Muflihun Temanggung. SMS konfirmasi transfer: +201120004899