Islam dan Barat Dalam Tinjauan Sejarah

Oleh: Mardiatos Tanjung, Lc

Pendahuluan

Tragedi kemanusiaan sedang terjadi di berbagai daerah di negara-negara Islam seperti : Palestina, Irak, Afghanistan, Chechnya, Kasmir, Moro (Filipina), dll. Jutaan umat Islam di berbagai negeri tersebut tewas tanpa ada dosa, jutaan anak-anak juga harus kehilangan masa depannya tanpa mengerti apa yang telah terjadi. Belum lagi jumlah janda yang semakin membengkak, kesenjangan sosial dan ekonomi yang morat-marit menambah sakitnya penderitaan umat Islam. Sebuah blacktime (masa kegelapan) sedang dialami umat Islam dan begitu mengerikan.

Dunia tentu merasa prihatin terhadap apa yang dialami oleh umat Islam di berbagai pelosok negeri tersebut. Berbagai kecaman dan sikap menolak pun datang dari berbagai pihak untuk menentang segala penindasan yang terjadi. 

Sungguh mengerikan memang seandainya kita langsung mendengarkan suara  gemuruh bom dan hujan-hujan rudal. Andai saja kita bisa mendengar ratapan anak kecil di bahu ayahnya yang sudah tak bernafas, atau andai kita dapat mendengar jeritan wanita-wanita suci yang dirampas kehormatannya. Masih banyak lagi tragedi lain yang dapat meluluhlantakkan hati kecil kita terjadi di berbagai negara tersebut.

Kehidupan umat Islam yang berada dalam blacktime ini, mengajak kita untuk mulai berpikir dan bertindak. Berpikir tentang apa yang sedang terjadi, kenapa, dan harus bagaimana. Kemudian bertindak sebagai solusi untuk keluar dari blacktime.

Untuk itulah penulis berusaha sedaya mampu mengajak pembaca untuk berpikir kenapa hubungan Islam dan Barat ternodai dalam beberapa abad ini dan bagaimanakah nantinya hubungan tersebut, harmoniskah atau tidak.

Di sini penulis akan memberikan gambaran tentang hubungan Islam dan Barat berdasarkan kronologis sejarah, motif-motif yang mengilhami segala peristiwa dan psikologis orang-orang yang terlibat langsung. Hal ini kita mulai dari masa kekuasaan Daulah Islamiyah dimana di mulainya persentuhan Islam dan Barat, hingga masa sekarang ini. Dengan metode inilah kita dapat membayangkan bagaimana nantinya hubungan di antara keduanya, apakah  akan harmonis atau tidak.                          

I. Definisi Islam dan Barat

Islam merupakan satu agama yang lengkap. Islam berbeda dengan agama-agama lain yang terdapat di dunia. Perkataan “Islam” tidak mempunyai hubungan dengan individu-individu tertentu, golongan-golongan tertentu atau tempat-tempat tertentu.

Islam juga merupakan agama yang bersifat integral, yang mengatur hidup dan kehidupan manusia serta menjadi dasar akhlak mulia yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw. untuk seluruh umat manusia.

Secara umum, Islam merupakan asas kehidupan manusia yang meliputi semua bidang dan lapangan atau dengan kata lain “Islam is the way of life”.

Definisi Islam terbagi kepada 2 bagian utama yaitu  definisi menurut etimologi dan definisi menurut istilah (syara’). Definisi Islam   menurut etimologi adalah selamat, sentosa atau kedamaian. Seperti dalam sebuah hadits Rasulullah Saw. yang artinya:  “Seorang Muslim ialah seorang yang menyelamatkan muslim lainnya dari lidah dan tangannya”.

Adapun definisi Islam menurut istilah (syara’) adalah patuh dan menyerahkan diri kepada Allah dengan penuh kesadaran dan kerelaan tanpa paksaan serta mematuhi segala peraturan-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

Penyerahan secara terpaksa tidak masuk dalam definisi, karena penyerahan secara paksa tidak akan mendatangkan balasan pahala, malah manusia tidak dapat membuat pilihan yang mengakibatkan mereka akan masuk surga atau neraka. Baik mereka tergolong orang yang beruntung ataupun orang yang merugi. Bahkan penyerahan secara ini tidak sesuai untuk makhluk manusia yang mempunyai akal pikiran. Firman Allah Swt.: “Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang yang rugi”.  (QS. Ali Imran: 85).

Dari namanya kita sudah bisa pahami bahwa “Islam” merupakan nama istimewa yang diberikan oleh Allah kepada Din-Nya. Al-Qur’an sebagai kalam Allah menyebutkan “Islam” sebagai al-Islam (ma’rifah) yang ditujukan kepada agama suci ini. Di antara  ayat-ayat tersebut adalah :

 “Sesungguhnya agama di sisi Allah hanya Islam.” (QS. Ali Imran: 19).

 “Barang siapa mencari agama selain Islam, maka tidaklah akan diterima (agama itu) …”. (QS. Ali Imran: 85).

Adapun “Islam” dalam pembahasan kita di sini adalah negara-negara yang mayoritas berpenduduk Islam baik yang ada di Benua Afrika maupun benua Asia.

Sedangkan definisi “Barat” menurut bahasa adalah salah satu arah dimana tenggelamnya matahari. Dan adapun pengertian “Barat” dalam pembahasan kita ini ditujukan kepada negara-negara  yang ada di sebelah barat yaitu negara Eropa dan Amerika Raya yang mayoritas beragama Kristen.

Jadi, Islam dan Barat dalam pembahasan ini adalah membahas sejauh mana hubungan negara-negara Islam dengan negara-negara Eropa dan Amerika Raya yang mayoritas beragama Kristen.

II. Daulah Islamiyah

Sebelum Islam datang, dunia tiada lain hanya tempat yang menakutkan. Bunyi genderang perang, perbudakan, kebejatan moral dan kebodohan ada di mana-mana. Tidak ada kebebasan, kedamaian dan hak asasi manusia. Dunia hidup dalam hukum rimba, yang kuat memakan yang lemah.

Pada masa itu, kerajaan yang paling berkuasa di dunia adalah kerajaan Bizantium Romawi dan kerajaan Yunani yang mewakili daerah Barat, dan kerajaan Persia yang mewakili daerah Timur. Peperangan di antara kekuatan ini terus berlangsung hingga detik-detik munculnya agama Islam.

Situasi dunia yang semakin tidak menentu ini membutuhkan cahaya kedamaian, keadilan dan pembebasan hak asasi manusia.  Saat itulah datang utusan Ilahi, nabi akhir zaman, membawa risalah kebenaran bagi seluruh umat manusia. Dialah nabi Muhammad Saw..

Budi pekerti dan kelembutan yang tercermin dalam pribadi nabi Muhammad, kebenaran ajaran yang dibawanya  serta metode dakwah yang toleran membuka jendela hati manusia yang rindu akan kedamaian. Sehingga perkembangan Islam   pun semakin cepat sampai  ke berbagai pelosok di seluruh Timur Tengah.

Muhammad Saw., sebelum menjadi Rasul sudah mendapat julukan al-Amin lantaran sifatnya yang mulia dan sangat dipercaya. Sifatnya yang santun menjadikan ia berhubungan baik dengan siapa pun, dengan keluarga, sahabat dan musuh dakwahnya sekalipun.

Dalam hal interaksi dengan kelompok ahlul kitab, ulama besar Syaikh Dr Yusuf Qardhawi dalam Hadyul Islam Fatawa Mu’ashirah (Fatwa Kontemporer) menjelaskan betapa toleransi tampak jelas dalam pergaulan Rasulullah terhadap ahlul kitab, baik Yahudi maupun Nasrani. “Beliau mengunjungi mereka dan menghormati mereka, menjenguk mereka yang sakit, menerima dan memberi sesuatu kepada mereka”.

Sebelum orang di zaman kini biasa berdialog antar agama, Nabi Muhammad sudah mendahului sejak dulu. Seperti dicatat oleh Ibnu Ishaq dalam As-Shirah, para utusan dari negeri Najran yang beragama Nasrani ketika menghadap beliau di Madinah, mereka menemuinya di masjid setelah waktu ashar. Tatkala tiba waktu shalat, mereka lantas hendak shalat di masjid beliau. Sehingga orang-orang hendak mencegahnya, tetapi Rasulullah bersabda, “Biarkanlah mereka”. Lantas mereka menghadap ke timur dan melakukan sembahyang mereka.

Abu Ubaid dalam kitab Al-Amwal meriwayatkan teladan Nabi membantu kesusahan keluarga non Muslim. “Dari Sa’id ibnu Al-Musayyab bahwa Rasulullah pernah bersedekah kepada keluarga Yahudi, maka berlakulah hal itu atas mereka”.

Khusus dengan kaum Kristen, sejak masih di Mekah kaum Muslimin sudah menunjukkan kedekatannya dengan memberikan dukungan kepada pasukan Romawi yang Kristen ketika mereka berperang dengan pasukan Persia yang beragama Majusi (penyembah api). Bahkan mereka turut bersedih ketika mendengar dalam satu pertempuran pasukan Romawi kalah, sebagaimana diabadikan oleh Allah dalam al-Qur’an Surat Ar-Rum.

Solidaritas orang Kristen kepada kaum Muslimin pernah terjalin dengan baik di zaman itu ketika sebagian sahabat diperintah oleh Nabi untuk hijrah ke negeri Habsyi yang penduduk dan rajanya beragama Kristen. Di negeri itu sang Raja Negus memberikan suaka kepada kaum Muslimin yang dikejar pasukan penguasa Mekah. Raja Negus sangat terkesan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang memuliakan Nabi Isa As. dan ibunya.

Begitu pula dengan kaum Yahudi. Sebelum kaum Yahudi mengkhianati perjanjian, hubungan antara Nabi dan para sahabatnya dengan komunitas Yahudi di Madinah berjalan baik. Seperti sering diceritakan orang, di Madinah ada seorang Yahudi sering mengganggu Nabi jika beliau lewat di muka rumahnya. Suatu hari ia absen karena sakit. Mendengar itu Nabi menjenguknya. Si Yahudi itu demikian terkejut dan terharu, tak menyangka dijenguk orang yang sering diganggunya. Hingga akhirnya ia masuk Islam.

Konflik pertama hubungan dengan Yahudi mulai memburuk sejak mereka melakukan konspirasi bersama pasukan kafir Mekah, memusuhi kaum muslim di Madinah. Hingga akhirnya mereka diusir dari Madinah dan Khaibar. Peristiwa Khaibar di kemudian hari menjadi satu peristiwa paling traumatis dan mewariskan dendam kesumat orang Yahudi hingga berabad-abad.

Sedangkan konflik pertama kali dengan kaum Nasrani terjadi pada Perang Mu’tah dan Perang Tabuk, melawan tentara Romawi (Bizantium). Perang Mu’tah terjadi karena al-Harits ibnu Umair al-Azady yang diutus Nabi untuk membawa surat kepada Raja Romawi Hiraqla (Heraklius), dibunuh oleh seorang pejabat Romawi.

Perang Tabuk adalah lanjutan dari Perang Mu’tah, karena Hiraqla penasaran pasukannya tidak berhasil mengalahkan pasukan Muslim pada Perang Mu’tah.

Maka Hiraqla menyiapkan pasukan besar-besaran untuk menyerbu Madinah. Mendengar hal itu Rasulullah juga menyiapkan pasukan besar lalu pergi menyambut mereka di Tabuk, perbatasan Jazirah Arab dengan Syam. Karena terdengar kabar oleh pasukan Romawi bahwa pasukan Muslim datang dengan kekuatan berlipat ganda, maka mereka mengurungkan niatnya, lalu mundur teratur dari perbatasan, tak jadi bertempur.

Pertempuran ketiga dengan pasukan Kristen Romawi adalah pada Perang Yarmuk, di masa kekhalifahan Abu Bakar ra. Pada perang ini pasukan Islam dipimpin oleh panglima Khalid ibnu Walid, sedangkan pasukan Romawi dipimpin oleh para pendeta dengan membawa palang salib. Atas izin Allah, pasukan Islam menang telak sehingga Hiraqla melarikan diri ke Konstantinopel (Istanbul) sambil berlinang air mata.

Masa setelah itu juga terdapat sejumlah peperangan sehubungan dengan perlawanan negeri-negeri di Asia Tengah, Eropa dan Afrika Utara terhadap gerakan dakwah Islam. Dalam rangkaian ini umat Islam berhasil membebaskan Baitul Maqdis (Jerusalem) dari kekuasaan Kristen Romawi, pada masa kekhalifahan Umar ibnu Khathab.

Maka tibalah masa pemerintahan Daulah Bani Umayyah, masa ekspansi dakwah yang lebih luas ke Barat hingga Tunisia yang berada di seberang Italia. Ekspedisi ke Bizantium pun dilakukan melalui laut, namun gagal menaklukkan Romawi. Wilayah Tunisia kemudian diperluas. Ekspedisi ini mulai dilakukan pada masa khalifah Abdul Malik

Terobosan paling monumental terjadi di Gibraltas, Spanyol, di masa khalifah Walid. Seluruh wilayah Afrika Utara termasuk Aljazair dan Maroko mereka kuasai. Pada tahun 711 Masehi, Panglima perang Thariq bin Ziyad memimpin pasukan menyeberang selat dari Maroko ke daratan Spanyol di Eropa. Ibukota Spanyol segera mereka kuasai. Demikian pula kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo. Seluruh Spanyol pun menjadi wilayah kekuasaan Bani Umayyah.

Di masa inilah mulainya hubungan Islam dan Barat terjalin dengan harmonis di bawah kepemimpinan Daulah Islamiyah. Masyarakat Barat merasakan kedamaian yang luar biasa di masa ini. Kebebasan beragama dijamin, keadilan tanpa pandang bulu bagi setiap warga, dan kemajuan di berbagai bidang. Sehingga tidak heran banyak orang-orang Barat yang tersentuh dengan sistem yang diterapkan dalam Daulah Islamiyah ini dan masuk Islam secara suka rela.

Beberapa tahun setelah ekspansi Islam ke Barat, masa pemerintahan Daulah Umayyah pun berakhir karena tak mampu membendung pemberontakan yang terjadi dari kaum mawali di Damaskus, ibukota Daulah Umayyah. Maka mulailah kepemimpinan Daulah Abbasiyah yang disertai dengan penangkapan keluarga Umayyah dan keturunannya oleh orang-orang mawali. Namun Pemerintahan Islam di Eropa tetap berjalan seperti biasa.

Pada 755 Masehi, Abdurrahman -keturunan Keluarga Umayyah yang lolos dari kejaran penguasa Abbasiyah- melarikan diri ke Spanyol. Abdurrahman Ad-Dakhil, demikian orang-orang menjulukinya. Ia membangun Masjid Cordova, dan menjadi penguasa tunggal di Andalusia dengan gelar Emir. Keturunannya melanjutkan kekuasaan itu sampai 912 Masehi. Kalangan Kristen sempat mengobarkan perlawanan “untuk mencari kematian” (martyrdom). Namun Dinasti Umayyah di Andalusia ini mampu mengatasi tantangan itu.

Abdurrahman al-Aushat kemudian menjadikan Andalusia (Spanyol) sebagai pusat ilmu terpenting di daratan Eropa. Pada 912, Abdurrahman an-Nasir mendengar kabar bahwa khalifah Abbasiyah di Bagdad tewas dibunuh. Ia lalu menggunakan gelar khalifah. Ia mendirikan universitas Cordova dengan perpustakaan berisi ratusan ribu buku.

Hal demikian dilanjutkan oleh Khalifah Hakam. Pusat-pusat studi dibanjiri ribuan pelajar, Islam dan Kristen, dari berbagai wilayah. Ladang-ladang pertanian Spanyol tumbuh dengan subur mengadopsi kebun-kebun dari wilayah Islam lainnya. Sistem hidraulik untuk pengairan dikenalkan. Andalusia inilah yang mendorong era pencerahan atau renaissance yang berkembang di Italia.

Pemerintahan Islam yang penuh dengan keadilan, toleransi beragama, demokrasi, dan kedamaian  membuat pengaruh yang sangat mendalam bagi masyarakat Eropa. Tidak ada diskriminasi, monopoli, dan pelanggaran hak asasi manusia. Semua masyarakat merasakan kedamaian dalam pemerintahan  Daulah Islamiyah. Perkembangan di berbagai bidang seperti bidang ekonomi, sosial, dan politik maju pesat. Pemerintahan Islam yang penuh dengan keadilan menjadikan  Islam tetap memimpin Eropa sampai berabad-abad lamanya. Di dinilah kita bisa melihat bagaimana kuat dan harmonisnya hubungan Islam dan  Barat di bawah pemerintahan Daulah Islamiyah.

Untuk mengetahui rahasia kenapa Islam mengedepankan kedamaian, Kita teliti makna dari kata ‘Islam’. Kata ‘Islam’ berasal dari bahasa Arab yaitu ‘salama’ yang berarti kedamaian (al-musallamah). Jadi, Islam itu adalah kedamaian bukan permusuhan dan peperangan. Itulah sebabnya masa sebelum Islam itu dinamakan masa kebodohan (jahiliyah) karena penuh dengan permusuhan dan kerusakan moral.

Dari makna kata Islam di atas bisa kita pahami kenapa masyarakat Barat hidup dengan aman dan bahagia dalam pemerintahan Daulah Islamiyah. Berbeda dengan pemerintahan Kerajaan Yunani dan Romawi yang tidak menghargai kebebasan manusia untuk hidup dalam kedamaian dan keadilan.

Agar lebih jelas lagi kita akan berikan gambaran bagaimana sistem ekspansi yang diajarkan oleh Islam. Sebagai bukti bahwa Islam mengedepankan nilai-nilai keadilan, kebebasan beragama dan kedamaian.

Islam mewajibkan kepada orang-orang muslim yang melakukan penaklukan terhadap sebuah negeri dua hal. Pertama mereka diwajibkan mengajak masyarakat negeri tersebut supaya masuk Islam. Caranya dengan memberikan penjelasan tentang Islam dan seluruh ajarannya secara menyeluruh (syumûl). Apabila mereka mau masuk Islam , maka hak dan kewajibannya sama seperti muslim lainnya tanpa ada diskriminasi. Kedua, jika mereka tidak mau masuk Islam, maka penduduk negeri tersebut diperintahkan supaya menyerahkan negeri mereka di bawah pemerintahan Daulah Islamiyah. Maka mereka diperbolehkan tetap dengan agama mereka tanpa ada halangan dan mereka diwajibkan membayar pajak keamanan (Jizyah) sebagai jaminan atas perlindungan dan keamanan yang telah diberikan kepada mereka. Jika mereka menerima salah satu tawaran ini, maka hak mereka sama dengan hak muslim lainnya. Dan mereka berada di bawah lindungan pemerintahan Islam.

Jika mereka tidak menerima dua opsi di atas maka barulah tentara Islam diperbolehkan memerangi mereka. Memerangi orang-orang yang ingkar dan orang-orang yang bersama mereka. Adapun wanita, anak-anak, tokoh agama, orang-orang buta dan cacat, dilarang untuk membunuh mereka. Itulah sistem ekspansi yang diajarkan oleh agama Islam, penuh dengan keadilan dan menghormati hak-hak asasi dan kebebasan manusia sehingga ekspansi Islam pada saat itu berjalan begitu cepat.

Adapun tuduhan dari orang-orang orientalis yang mengatakan bahwa Islam tidak adil karena mewajibkan pajak Jizyah bagi orang-orang non-muslim adalah sesuatu hal yang perlu diperjelas.  Sebab, dari segi moril, Islam juga mewajibkan setiap muslim untuk membayar zakat. Apalagi pajak yang diwajibkan oleh Islam tidak seberapa jika dibandingkan dengan perlindungan dan keamanan yang diberikan oleh pemerintah Daulah Islamiyah.

Dari bukti-bukti di atas bisa kita pahami bagaimana harmonis dan eratnya hubungan antara Islam dan Barat di bawah pemerintahan Daulah Islamiyah. Keadilan, toleransi dan kedamaian dalam Daulah Islamiyah tersebut adalah wujud dari ajaran Islam. Dan toleransi yang diajarkan oleh Islam tersebut memberi kedamaian bagi penganut agama lain untuk tetap berpegang teguh terhadap agama yang dianutnya tanpa ada diskriminasi dan intimidasi. Kedamaian itulah yang dirasakan oleh masyarakat Barat di bawah pemerintahan Daulah Islamiyah.

Allah Swt. berfirman : “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan salah. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat lagi tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. al-Baqarah: 256).

Keharmonisan hubungan Islam dan Barat yang telah terbina akhirnya berakhir ketika pemerintahan Islam di Andalusia (Spanyol) dipimpin oleh Manshur Billah, seorang ambisius yang menghabisi teman maupun lawannya. Kebencian masyarakat, baik Islam maupun Kristen semakin mencuat. Situasi tak terkendalikan lagi setelah Manshur Billah wafat. Pada tahun 1013, Dewan menteri menghapuskan jabatan khalifah. Andalusia terpecah-pecah menjadi sekitar 30 negara kota.

Dua kekuatan dari Maghribi sempat menyatukan kembali seluruh wilayah itu. Pertama adalah Dinasti Murabithun (1086-1143) yang berpusat di Marakesy, Maroko. Pasukan Murabithun datang buat membantu kalangan Islam melawan Kerajaan Castilla. Mereka memutuskan untuk menguasai Andalusia setelah melihat Islam terpecah-belah. Dinasti Muwahiddun, yang menggantikan kekuasaan Murabithun di Afrika Utara, kemudin juga melanjutkan kepemimpinan Islam di Andalusia (1146-1235). Pada 1238 Cordova jatuh ke tangan Kristen, lalu Seville pada 1248 dan akhirnya seluruh Spanyol.

Sejak itu, seluruh pemeluk Islam (juga Yahudi), dikejar-kejar untuk dihabisi sama sekali atau berpindah agama. Suatu bukti kekejaman penguasa Kristen yang tidak menghargai kebebasan beragama, keadilan dan kedamaian.

Kekejian penguasa Kristen terhadap pemeluk Islam itu dibawa oleh pasukan Spanyol yang beberapa tahun kemudian menjelajah dunia hingga Filipina. Kesultanan Islam di Manila mereka bumihanguskan, seluruh kerabat Sultan mereka bantai. Sedangkan daerah-daerah jajahan yang lain yang mereka kuasai, dikuras kekayaannya  untuk membangun kerajaan mereka di Spanyol.

Memasuki Abad 16, Tanah Andalusia -yang selama 8 Abad dalam kekuasaan Islam– kemudian bersih sama sekali dari keberadaan Muslim. Keharmonisan yang selama ini telah dibina dalam pemerintahan Daulah Islamiyah di Andalusia berakhir dengan pembantaian habis-habisan terhadap umat Islam oleh kekejian penguasa Kristen.

Pembantaian besar-besaran umat Islam serta penghancuran hasil-hasil peradaban Islam di Andalusia oleh penguasa Kristen sudah cukup menjadi bukti bahwa tidak adanya keadilan dan kebebasan beragama dalam sistem pemerintahan Kristen.

Sungguh bertolak belakang dengan ajaran Islam yang memberikan kebebasan beragama dan keadilan bagi penganut lain seperti sebelumnya. Pembantaian tersebut juga bertentangan dengan nilai-nilai nurani manusia yang menginginkan kedamaian dan kebebasan untuk berbuat.

Apakah ini yang namanya keadilan, kedamaian dan rahmat dalam ajaran Kristen? seperti inikah penyebaran agama yang di ajarkan Kristen yang tidak memberikan pilihan kecuali masuk Kristen atau mati ? dan tidak adakah cara yang lebih halus selain membantai?

Sungguh Ironis dan menyayat hati. Namun, begitulah keadaannya dan masih terus berlanjut sampai sekarang khususnya di negara-negara yang mayoritas Kristen.

Jadi, ketegangan hubungan Islam dan Barat berawal setelah runtuhnya kekhalifahan Daulah Islamiyah dan berlanjut terus dalam berbagai bentuk peristiwa dan kejadian.

III. Perang Salob (1095 – 1291)

Raja Inggris, Richard si Hati Singa, tengah menggigil demam di tendanya. Ambisinya untuk segera menghancurkan pasukan Islam harus ia tunda. Tentara harus ia istirahatkan. Kini ia menunggu kedatangan seorang tabib. Tabib itu ternyata adalah musuh besarnya, Salahuddin Al-Ayyubi, panglima besar pihak Islam yang dengan berani menyusup ke tenda lawan. Secara moral, Salahuddin telah memenangkan pertarungan. Kisah tersebut sering dituturkan, dan menjadi salah satu cerita paling menarik dalam peristiwa Perang Salib.

Peristiwa perang antar agama ini bermula dari sukses misi kecil militer Alp Arselan -pemimpin Seljuk yang menjadi panglima perang Daulat Abbasiyah. Sekitar 15.000 tentaranya berhasil mengalahkan pasukan gabungan Romawi, Perancis, Armenia, Ghuz, Akraj, Hajr dalam pertempuran di Manzikart 464 Hijriah (1071 Masehi).

Tentara Baghdad, sepeninggal Arselan, malah merebut Yerusalem pada 471 Hijriyah atau sekitar 1078 Masehi. Sebelum itu, Yerusalem dikuasai oleh Kekhalifahan Fathimiyah, dinasti beraliran Syi’ah yang berpusat di Kairo, Mesir. Fathimiyah memberi keleluasaan bagi orang-orang Nasrani untuk berkunjung ke kota suci Yerusalem. Abbasiyah di Bagdad membuat ketentuan baru yang mempersulit kunjungan tersebut.

Berabad-abad lamanya orang Kristen Eropa berupaya merebut kembali wilayah Jerusalem dari tangan penguasa Islam. Upaya mereka mulai menampakkan hasilnya di awal milenium kedua ketika seruan Paus Urbanus II (1088-1099) untuk merebut kembali Jerusalem berhasil menggerakkan pasukan di berbagai negara Eropa membentuk aliansi besar.

Dalam catatan sejarah, pada 27 November 1095, Paus Urbanus II memproklamasikan Perang Salib (Crusade) dalam sebuah pidato yang berapi-api di Dewan Clermont. Dalam kesempatan itu Paus mengemukakan maksud-maksudnya atas nama Kristen untuk, “Mempercepat pembasmian ras terhina dari daerah-daerah kita dan sekaligus membantu penduduk Kristen”.

Untuk mengobarkan semangat perang Paus berseru, “Kristus memerintahkan hal ini”. Sehingga para tentara Kristen kemudian biasa meneriakkan “Deus le volt” (Tuhan menghendaki hal ini) ketika menyerang kota-kota Muslim tanpa ampun.

Tak lupa ia mengatakan, “Siapa yang ikut serta dalam peperangan akan diampuni dan dihapus dosa-dosanya”. Uskup kemudian memberi pengampunan dosa bagi siapa saja yang mau bergabung dalam ‘perang suci’ ini, sehingga menambah kebengisan tentara salib.

Seruan Paus tersebut segera disambut oleh para raja. Musim semi 1095 Masehi -demikian tulis Badri Yatim di “Sejarah Peradaban Islam”- 150 ribu pasukan, terutama dari Perancis dan Norman, bergerak ke Konstantinopel dan kemudian Yerusalem.

Nicea dan Edessa berhasil mereka rebut pada 18 Juni 1097 dan 1098. Mereka kemudian merebut Antiokia. Baitul Maqdis atau Yerusalem bahkan jatuh pada 15 Juli 1099. Yerusalem bahkan dijadikan ibukota kerajaan baru. Godfrey diangkat sebagai raja. Kota-kota penting di pantai Laut Tengah seperti Tyre, Tripoli dan Akka juga berhasil dikuasai Pasukan Salib.

Fucher dari Charres dalam bukunya A History of the Expedition to Jerusalem, seperti dikutip Ayoub, menceritakan bahwa pada tahap-tahap awal peperangan Salib, kota-kota yang ditaklukkan benar-benar dibumihanguskan.

Hampir setengah abad wilayah Yerusalem dan laut Tengah itu penuh dalam kekuasaan Kristen. Namun, pada 1144, ketenangan itu terusik. Penguasa Mosul dan Irak, Imaduddin Zanki dan anaknya Nuruddin Zanki merebut wilayah Aleppo dan Edessa. Pada 1151, seluruh kawasan di Edessa berhasil mereka kuasai. Ini mendorong Paus Eugenius III kembali menyerukan perang suci. Raja Perancis Louis III dan Raja Jerman Condrad III memimpin pasukan menggempur kekuatan Islam. Namun mereka kalah, dan terpaksa mundur.

Salahuddin al-Ayyubi, panglima yang memegang kendali pasukan setelah Nuruddin wafat, malah mencatat sukses besar. Ia mendirikan kekhalifahan Ayyubiyah di Mesir menggantikan kekuasan Fathimiyah. Pada 1187, ia berhasil merebut Yerusalem dan mengakhiri kekuasaan kaum Nasrani di sana selama 88 tahun. Pasukannya juga harus berhadapan dengan kekuatan paling besar yang dikomandoi Raja Inggris Richard, Raja Perancis Philip Augustus serta Raja Jerman Frederick Barbarosa.

Pada 2 Nopember 1192, Salahuddin -tokoh terbesar Kurdi (bangsa yang sekarang terbelah di tanah yang menjadi wilayah Irak, Syria, Turki dan Iran)-menandatangani perjanjian dengan musuhnya. Ia akan memberi kemudahan kaum Nasrani berkunjung ke Yerusalem. Namun pihak Kristen, yang dikomandoi Raja Jerman Frederick II, kemudian mengincar kembali Yerusalem. Mereka berhasil merebut wilayah Dimyar, pada 1219. Pengganti Salahuddin, Malik al-Kamil, kemudian menukar Dimyar dengan Yerusalem.

Kalangan Nasrani sempat menguasai kembali Baitul Maqdis sekitar seperempat abad. Namun, angin kembali berubah. Di Mesir, kekuasaan kekhalifahan Ayyubiyah diakhiri oleh dinasti Mamluk. Malik al-Shalih, pemimpin Mamluk merebut kembali Baitul Maqdis, pada 1247. Setelah itu, perang Islam-Kristen masih terus terjadi sampai kota Akka direbut lagi pihak Islam pada 1291.

Perang Salib kemudian mereda di abad ke-16. Tapi sebenarnya tak pernah berhenti benar. Karena sesudah itu ada Perang Salib gaya baru berupa ekspedisi kolonialisme bangsa Eropa ke daerah Timur yang diprakarsai Portugis dan Spanyol.

Dengan semboyan “gold, glory, and gospel”, mereka mencari kekayaan dari negeri-negeri di dunia Timur seraya melakukan upaya Kristenisasi dengan jalan paksa pada penduduk setempat yang dijumpai. Semboyannya adalah “Katolik atau mati!” Sampai abad ke-20, semangat seperti itu tak pernah padam. Bagi orang Indonesia yang dijajah 3,5 abad, kolonialisme Belanda di negeri ini tak lepas dari nuansa penaklukan orang Kristen Eropa ke dunia Islam.

Satu bukti lebih jelas adalah ketika Jenderal Gouraud memadamkan pemberontakan Siria yang melawan Perancis, 1919-1920, ia pergi ke makam Shalahudddin al-Ayyubi di Damaskus, lalu menyepaknya sambil berkata, “Kami telah kembali, Hai Saladin!”

Begitu pula ketika Perang Dunia I terjadi penaklukan Jerusalem oleh kekuatan Eropa yang dipimpin Jenderal Allenby, sang jenderal ini berkata, “Sekarang Perang Salib telah berakhir”. Sebuah teriakan yang menunjukkan, dendam Perang Salib belum hilang benar dari benak orang Kristen.

Perang Salib telah mengantarkan orang-orang Eropa dalam jumlah besar untuk berinteraksi dengan masyarakat Islam. Interaksi tersebut membuat mereka banyak mengadopsi peradaban dari kalangan muslim.’Bath-up’ yang menjadi tempat mandi masyarakat Barat sekarang ini, kabarnya diadopsi dari bejana tempat berwudhu orng-orang Turki muslim. Namun Perang Salib juga melahirkan provokasi kebencian terhadap Islam di lingkungan masyarakat Barat.

IV. Kolonialisme Barat  I

Perang Salib terjadi berkali-kali antara bangsa Barat dengan Arab dan umat Islam. Meskipun perang ini telah membawa keberhasilan Barat menguasai dunia Islam selama dua abad (abad ke 12 dan 13 M), dan misi Barbar ini juga telah membantai ratusan ribu kaum muslimin, memporakporandakan negeri dan membuat kehancuran di muka bumi. Tetapi suatu yang tidak dapat dilakukannya adalah menghapuskan pola berpikir ideologi sosiokultural berlabel Islam.

Suatu hal yang menyebabkan dominasi Barat tetap berada di luar masyarakat Islam meskipun kekuatan persenjataan mereka telah demikian jauh bergerak dalam masyarakat adalah perlawanan umat Islam yang terus menerus sehingga membuat lawan sekuat apapun dianggap tak berarti dan temporal. Perlawanan gigih tersebut dikobarkan karena Islam telah menghujam di dalam hati dan kehidupan masyarakat. Perlawanan itu semakin kuat ketika tentara Salib memperoleh kemenangan secara gemilang atas Arab, dilanjutkan oleh kemenangan Tartar dan Mongol.

Sejak abad keenam belas, Barat mulai menjajah berbagai belahan dunia. Penjajah pertama adalah bangsa Spanyol di bawah pimpinan Christopher Columbus. Menyusul Spanyol, Portugis, Belanda dan Inggris turut ambil bagian dalam memperebutkan daerah jajahan.

Semenjak itu Barat mulai membentur pagar-pagar negara Islam selama lebih dari tiga abad, namun tak berhasil menghancurkannya. Hal inilah yang menghalangi Barat untuk mendominasi dunia. Sebab, tanpa menghancurkan pagar-pagar tersebut, tak mungkin ia mengubah jalan sejarah. 

Kelemahan ini bukan karena faktor militer saja, tetapi terutama karena dilema menghadapi masyarakat Arab-Islam. Inilah yang dialami Napoleon ketika mengadakan ekspansi ke Mesir, ia kesulitan menembus ke bagian dalam wilayah umat Islam. Karena itu, ia memasang strategi berpura-pura masuk Islam sehingga ia memperoleh simpati masyarakat, yang memudahkannya menguasai wilayah tersebut.

Hal ini juga menjelaskan mengapa para imperialis selalu menitikberatkan perhatian pada penghancuran masyarakat tradisional secara berlebihan. Setelah pemusnahan tersebut, mereka menggantinya dengan masyarakat baru di wilayah mereka yang berlindung pada pilar-pilar Islam serta pola kemanusiaan, ekonomi, dan sosial Islam. Meskipun pola tersebut telah menunjukkan gejala-gejala kemunduran, tradisi-tradisi, dan rasionalitas jahiliah, namun pada saat yang sama, ia tetap membawa prinsip-prinsip dasar Islam.

Ketika pasukan kolonial berhasil menginjakkan kaki di kawasan pantai negara-negara Islam, mereka segera menghadapi berbagai pemberontakan kebangsaan di bawah panji-panji Islam. Pemberontakan-pemberontakan tersebut melibatkan mereka ke dalam pertarungan sengit yang tidak seimbang. Perlawanan tersebut menggelora di Sudan, Mesir, dan seluruh pantai Arab bagian Barat, semenanjung Arab, hak, serta semua negara Arab dan Islam.

Sejarah mencatat sikap heroik para pejuang Islam seperti Abdul Qadir al-Jazairi (Aljazair), Abdul Karim al-Khitabi (Maroko), Sayid Muhammad Sanusi dan Umar Mukhtar (Libya), Muhammad Ahmad al-Mahdi (Sudan), para tokoh ulama Revolusi Dua Puluh, Ahmad Syahid (India), Sayid Hassan al-Madras (Iran), dan begitu banyak ulama –yang tak dapat ditulis nama mereka semua dalam kesempatan yang terbatas ini– di Arab, Turki, Iran, Afghanistan, India, Uzbekistan, Tajikistan, Indonesia, dan berbagai wilayah Islam lainnya.

Posisi Barat belum juga mantap dengan berbagai peperangan kecuali setelah menenggelamkan masyarakat tradisional ke dalam lautan darah dan menderita karena pembantaian. Walau demikian, kekuatan militer tidak mampu memaksa masyarakat tradisional menyerah, bahkan membuat mereka semakin gigih menahan benturan dari luar dalam rangka memelihara jati diri, kemerdekaan, pola kehidupan, sosiokultural, dan produk-produknya.

Masyarakat tradisional tetap berpegang teguh pada nilai-nilai, norma-norma, dan konsep-konsep Islam yang dipahami secara dinamis untuk menolak tuntutan-tuntutan kebudayaan Barat. Akan tetapi, karena terlalu kuatnya dominasi, reaksi itu menyulut peperangan yang menyeluruh di berbagai bidang. Peperangan yang dilancarkan Barat kemudian berkembang dalam bentuk propaganda sains dan kemajuan (yang dipahami hanya secara materialistik dan sekularistik) serta pemikiran-pemikiran yang memuat tujuan imperialisme, sehingga menimbulkan berbagai kesulitan di negeri-negeri Islam. Hal itu terjadi karena keterbelakangan kita dalam bidang pemikiran dan sosio-Islam.

Adapun faktor-faktor penghambat proses kemerdekaan (revolusi) terhadap kolonialisme Barat di negara-negara Islam, yaitu :

Pertama, kaum imperialis sejak semula telah membawa program memecah belah negara-negara Islam umumnya dan negara-negara Arab khususnya. Ini disebabkan kesatuan negara-negara ini menghasilkan kekuatan ideologis-kultural yang mantap. Upaya memecahbelahnya akan membuat negara-negara tersebut lemah sehingga mudah ditundukkan agar berkiblat pada jejak imperialis. Kaum imperialis menyadari bahwa memukul masyarakat tradisional di negara-negara Arab adalah tidak mungkin kecuali umat Islam khususnya dan bangsa-bangsa Arab khususnya berada dalam kondisi berpecah belah.

Kedua, para imperialis berusaha keras menghancurkan tanaman-tanaman tradisional, usaha-usaha yang telah ada, sistem pemilikan, pertukaran, produksi, dan pekerjaan umum yang dilakukan oleh masyarakat tradisional. Upaya ini merupakan salah satu strategi menghalangi kemerdekaan yang mengakibatkan negeri-negeri jajahan mengekor pada Barat.

Mereka menuntut agar pribumi berpakaian, makan-minum, membangun rumah, berproduksi, membina anak, dan lain-lainnya dengan cara Barat. Sehingga disulutlah peperangan secara umum di tengah-tengah masyarakat tradisional untuk melawan teknik-teknik pertanian, produksi, bangunan, pola berpakaian, makan, minum, pendidikan, rumah tangga, serta nilai-nilai moral dan sosial.

Kemudian mereka melancarkan perang psikologis untuk menghadapi kelompok pribumi yang menentang Eropa dalam berbagai aspek. Usaha ini dilakukan dengan mengubah konsep-konsep kebudayaan tradisional ke konsep Eropa. Misalnya konsep sains dan kemajuan yang diperkenalkan oleh kelompok modernis di negara-negara Islam. Perubahan ini akhirnya mengakibatkan tumbuhnya pemahaman dan sikap masyarakat yang baru tentang negerinya dan Barat, yaitu Barat identik dengan peradaban maju, kebebasan, dan kebesaran, sedangkan negara Islam sebaliknya.

Demikianlah proses terbentuknya masyarakat modern. Kemudian masyarakat baru ini berusaha memperkokoh eksistensinya di sisi masyarakat tradisional yang berupaya sekuatnya tetap mempertahankan jati diri.

Ketiga, kaum imperialis memfokuskan perhatiannya untuk menghancurkan peranan ilmu-ilmu keislaman dan lembaga-lembaga pendidikan tradisional yang bercorak kebangsaan dan tradisi. Mereka mengubah pola kehidupan kultural yang dihayati masyarakat tradisional serta melecehkan dan menghinanya secara berlebihan. Kemudian mereka membangun sekolah-sekolah modern dan memberi semangat pada para siswa untuk memasuki universitas-universitas Eropa.

Setiap parameter mereka dijadikan sebagai ukuran yang berlaku pada masyarakat modern, serta para pegawai, pembuat hukum, kalangan profesi, intelektual, pendidik, sastrawan, dan budayawan dijadikan sebagai pelopornya. Padahal ukuran-ukuran baru yang ditawarkan tidak relevan dengan realitas masyarakat tradisional, dan hanya relevan dengan alumni sekolah-sekolah dan universitas-universitas mereka, serta orang-orang yang mengambil program dan metodologinya dalam bidang-bidang tersebut.

Demikianlah, tugas-tugas dan posisi-posisi di dalam negara, tentara, koperasi, bank, dan lembaga-lembaga kebudayaan merupakan bagian dari proyek alumni perguruan tinggi Barat atau hasil modernisasi ala Barat. Sedangkan lapisan terdidik dari kelompok masyarakat tradisional tidak memperoleh kesempatan dalam proyek ini.

Keempat, kaum imperialis sengaja menciptakan intrik terhadap kaum minoritas (non muslim) dan pertentangan mazhab di kalangan masyarakat tradisional, padahal kaum minoritas lebih dekat dengan masyarakat tradisional. Untuk memudahkan proses pembentukan masyarakat modern, usaha tersebut harus mereka lakukan. Sebagai contoh, orang-orang Kristen Arab sebenarnya memiliki akar-akar kesejarahan dan pembentukan jati diri kultural-ideologis (sejarah, tradisi, moral, dan jalan hidup) yang lebih dekat dengan masyarakat tradisional.

Eropa merasa kesulitan ketika ingin memisahkan dua unsur tersebut karena ia harus berhadapan dengan jaringan yang kokoh di dalam negara Arab, akan tetapi, hal itu tidak menghambat keberhasilan Eropa pada kurun waktu belakangan ini, khususnya ketika sebagian pribumi (non muslim) mulai mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah misionaris yang menyebarkan pengaruh modernisasi. Akibatnya, kelompok minoritas ini semakin jauh dari masyarakat tradisional dan semakin dekat dengan masyarakat modern.

Kebangkitan Islam kemudian hadir dan menjadi fenomena sejarah nasional yang menumbuhkan kembali semangat iman, stagnasi pemikiran dan fikih, serta gerakan (harakah) dan jihad. Kebangkitan ini juga membawa ujian-ujian bagi umat Islam sehingga mendorong mereka mencari sebab-sebab kejatuhan dan kehinaan yang menimpa. Beranjak dari kesadaran ini, mereka menemukan kesadaran baru, yaitu: menghidupkan iman, mengaktifkan pemikiran, dan menggairahkan gerakan Islam. Dalam hal ini, Al-Qur’an telah mengisyaratkan melalui kisah perjalanan Bani Israel (awal surat al-Isrâ’) dan al-Hadits yang menjelaskan tentang lahirnya pembaharu setiap satu abad. Sejarah Islam pun membuktikan isyarat ini.

Kebangkitan ini semakin mengakar dalam organisasi-organisasi Islam yang membawa kesadaran baru. Berdirilah misi-misi Islam yang mengembalikan kepercayaan mengenai kebenaran Islam dan kebesaran sejarahnya. Kebangkitan Islam mengambil bentuk aktivitas sosial yang mendidik generasi muda, memakmurkan masjid, dan membersihkan sifat-sifat tercela. Selain itu, kebangkitan Islam bergerak dalam bidang politik untuk menempatkan Islam dalam politik dan jihad. Mungkin sebagian besar perhatian ditujukan kepada al-Ikhwan al-Muslimun dan Jihad Islam, namun sebenarnya kebangkitan ini digerakkan oleh banyak organisasi Islam, meskipun tidak seluruhnya menarik untuk diperbincangkan.

Bahkan, gerakan kebangkitan Islam tidak bisa hanya dihubungkan dengan pemikiran para pionir aktivis yang terorganisir, melainkan harus pula melihat kecenderungan-kecenderungan pemikiran yang lain. Fenomena sosial yang luas dan kesadaran membaja untuk memisahkan diri dari gaya hidup Eropa dan kembali ke pangkuan Islam telah mendorong umat untuk menerapkan nilai-nilai Islam dalam realitas kehidupan.

Persoalan kebangkitan tidak terbatas pada gerakan kebangsaan, sebab disetujui atau tidak, sistem pemerintahan pun ikut memainkan peran tertentu dalam konteks kebangkitan. Peran tersebut tampak pada perilaku politik, apalagi dalam dunia pers dan pendidikan hukum, serta terutama dalam upaya menerapkan syariat Islam. Dapat ditarik suatu hipotesis bahwa kebangkitan Islam telah menjadi kekuatan sejarah yang sempurna.

Kebangkitan Islam menimbulkan berbagai pengaruh bagi Dunia Arab. Kebangkitan merupakan respon terhadap berbagai tantangan dan bekerja sama dengan kekuatan sejarah lain yang bergerak di negeri-negeri lain. Dalam pengertian, kebangkitan Islam tidak hanya bergumul dengan ideal-ideal Islam saja, melainkan juga dengan realitas serta berbagai aliran dan paham. Karenanya, kita terkadang masih perlu mengembalikan wacana tentang kebangkitan Islam kepada akar-akar pemikiran Arab secara keseluruhan. Ini karena esensi kebangkitan tidak dapat dipahami tanpa mengembalikannya kepada akar-akar ini.

Negara-negara Arab tidaklah terputus dari lingkungan sekitarnya. Demikian pula kebangkitan Islam tidak hanya mengakar di bumi Arab. Islam merupakan agama mayoritas masyarakat Arab, Afrika, dan Asia. Dalam perspektif historis, gerakan-gerakan Islam saling berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain.

Dewasa ini, kebangkitan Islam merupakan fenomena internasional dengan berbagai macam topik diskursus yang menantang. Hal ini disebabkan oleh eksistensi Islam yang mencoba merespon situasi yang dihadapi dunia, yaitu: imperialisme politik, serangan kebudayaan Barat, kegagalan sistem sekular yang ditinggalkan kaum imperialis kepada negeri-negeri Islam, dan revolusi kebangkitan Islam dalam bentuk revolusi hubungan elite. Kebangkitan Islam-Arab bekerja sama secara revolusioner dan intelektual dengan kebangkitan-kebangkitan di berbagai tempat dan situasi. Realitas Dunia Arab berhubungan dengan realitas Dunia Islam dan internasional. Berbagai kendala dan situasi kebangkitan Islam tak dapat dipahami tanpa menyinggung dimensi internasional.

Kebangkitan yang telah kita perbincangkan tersebut merupakan fase kesadaran baru yang sedang marak di Dunia Islam pasca fase kehinaan akibat kolonialisme. Kebangkitan Islam yang mulai muncul menjelang Perang Dunia II pecah, semakin kokoh pada era sesudahnya hingga mencapai momentum perkembangan yang paling spektakuler sejak akhir dasawarsa 1970-an.

V. Kolonialisme Modern

Beberapa tahun semenjak revolusi kemerdekaan di berbagai negara-negara muslim, gejolak panas yang terjadi dengan negara-negara Barat agak sedikit mereda. Semua pihak merasakan bahwa peperangan selama ini telah menghancurkan seluruh aspek kehidupan dan membutuhkan pemulihan kembali di berbagai bidang. Negara-negara muslim yang baru merdeka mulai melakukan perbaikan dan pengembangan. Di lain pihak, negara-negara Barat sudah lebih maju bila dibandingkan dengan negara-negara muslim.

Pada tanggal 11 September 2001, dua buah pesawat penumpang menabrak gedung pencakar langit kebanggaan Amerika, gedung WTC (World Trade Center). Sebanyak 2801 jiwa orang tewas dalam insiden tersebut sebagaimana yang diumumkan oleh pihak otoritas Amerika. Beberapa saat kemudian Presiden Amerika Georde W. Bush mengeluarkan pernyataan bahwa aksi penyerangan tersebut dilakukan oleh organisasi teroris al Qaidah pimpinan Usamah bin Laden. Tuduhan ini bertentangan dengan etika hukum yang berlaku secara global (etika praduga tak bersalah) sebab tidak dilakukan penyelidikan terlebih dahulu dan tanpa disertai bukti-bukti nyata.

 Pasca penyerangan 11 september tersebut, Amerika mengeluarkan pernyataan yang menggembar-gemborkan terorisme sebagai suatu ancaman bagi keamanan dunia. Dan mereka mengajak seluruh negara untuk bersatu menghancurkan terorisme. Namun teroris yang dimaksudkan Amerika tersebut diidentikkan dengan umat Islam.

Reaksi negatif muncul lantaran dipicu oleh pemberitaan media-media AS dengan perspektif miring terhadap Islam. Dampaknya, perlakuan buruk terhadap ummat Islam dan simbol-simbol Islam semakin hari semakin bertambah, yang kemudian diikuti dengan berbagai reaksi rakyatnya, mulai dari sikap diskriminatif, perlakuan kekerasan, intimidasi, pelecehan seksual sampai rasa simpati yang begitu besar terhadap umat Islam.

Menurut laporan Council on American-Islamic Relation (CAIR), kekerasan dan diskriminasi yang menimpa umat Islam Amerika semenjak kasus WTC sampai bulan Februari 2002 lalu telah mencapai 1717 kasus. Bentuknya macam-macam; meliputi penyerangan fisik (289 kasus), pembunuhan (11 kasus), diskriminasi di tempat kerja (166 kasus), diskriminasi di bandara (191 kasus), perlakukan diskriminasi yang dilakukan oleh aparat baik polisi maupun FBI (224 kasus), intimidasi di sekolah (74 kasus), perlakuan kebencian yang lewat e-mail (315 kasus). Yang terbanyak adalah pelecehan seksual terhadap para Muslimah (372 kasus). Salah seorang yang menjadi korban adalah Samar Kaukab (22). Seperti diungkap Sahid edisi Februari lalu, mahasiswi Ohio State University ini dipaksa telanjang untuk digeledah oleh petugas bandara AS, hanya lantaran ia berjilbab. Mereka mencurigai setiap wanita berjilbab berpotensi memiliki hubungan dengan terorisme

Setelah itu, dengan dalih menghancurkan terorisme, Amerika mengirim ribuan pasukan ke perbatasan Afghanistan. Hal ini disertai dengan pernyataan bahwa teroris al Qoidah pimpinan Usamah bersarang di Afghanistan dan memberikan ultimatum kepada pemerintah Afghanistan untuk menyerahkan Usamah dan pengikutnya.

Merasa kurang mendapat tanggapan yang positif dari pemerintah Afghanistan, pada tanggal 7 oktober 2001, Amerika memulai agresinya terhadap Afghanistan. Dalam agresi ini Amerika di bantu sekutu. “Kami dibantu dalam operasi ini oleh teman dekat kami, Inggris Raya. Teman dekat lainnya, termasuk Kanada, Australia, Jerman dan Prancis, telah menjanjikan bantuan pasukan begitu operasi dilaksanakan,” ujar Bush dalam sebuah siaran televisi nasional di Washington, DC.

Serangan Amerika Serikat ke Afghanistan tersebut mendapat dukungan penuh dari Uni Eropa. “Pada saat negara-negara yang bersekutu tersebut melancarkan operasi militer di Afghanistan, sebagai presiden dari Uni Eropa, kami memberikan dukungan penuh kepada Amerika Serikat, demikian juga kepada Inggris, dan negara-negara lain yang terlibat dalam operasi ini,” ujar Perdana Menteri Belgia, Guy Verhofstadt di Brussel.

 Rudal-rudal pun dihujankan ke berbagai daerah di Afghanistan, seluruh peralatan perang dan pasukan dikerahkan. Negara yang baru saja menderita setelah peperangan panjang dengan Uni Soviet ini terpaksa harus banting tulang lagi melawan Agresi Amerika. Tercatat sekitar ratusan ribu orang meninggal dunia dan ribuan lainnya luka-luka. Inilah wujud emosional barat terhadap umat Islam yang tak mengenal belas kasih. Sifat emosional ini mengakibatkan tersendatnya hubungan Islam dan Barat yang berusaha dipupuk oleh semua pihak.

Adapun badan yang selama ini diharapkan mampu membina  keharmonisan antara negara-negara Islam dan Barat, yaitu PBB (United Nation), tidak lain hanya boneka mainan negara-negara Barat. Hal itu terlihat dari kemandulannya dalam menghentikan agresi Amerika terhadap Afghanistan.

Setelah berhasil menaklukkan Afghanistan dan membentuk pemerintahan boneka di sana, Amerika kemudian menuduh bahwa gerakan teroris tersebar di berbagai negara-negara Islam seperti : Irak, Iran, Suriah, Arab Saudi, Yaman, Pakistan, Sudan, dll. Pernyataan ini menyusul permintaan Amerika kepada pemerintah yang berada di negara tersebut khususnya dan negara-negara di dunia secara umum supaya bekerja sama dengan Amerika dalam membasmi teroris. Tidak beberapa lama kemudian, para penguasa di berbagai negara tersebut seperti mendapatkan titah dari bapaknya, menangkapi tokoh-tokoh Islam yang mereka tuduh dengan istilah kebohongan “teroris”.

Penangkapan tokoh-tokoh Islam tersebut tentu saja membuat keresahan bagi umat Islam di seluruh dunia. Apalagi penangkapan tersebut tidak disertai dengan bukti-bukti yang jelas. Bahkan banyak dari kasus-kasus penangkapan tersebut tidak disidangkan melalui pengadilan. Di sini terlihat ketakutan para penguasa di negara-negara Islam terhadap Amerika.

Babak kedua dari drama kolonialisme Barat kedua dimulai. Amerika kembali mengejutkan dunia dengan opini yang mengatakan bahwa Irak menyimpan senjata kimia pemusnah Massal. Kembali media-media Barat berperan aktif dengan menakut-nakuti dunia akan bahaya senjata kimia. Tanpa ada mandat dari PBB, Amerika kembali menunjukkan kekerasannya dengan mengirim ribuan pasukan dengan persenjataan perang yang lengkap ke perbatasan Irak.

Ternyata Dunia tidak yakin sepenuhnya bahwa Irak memiliki senjata kimia. Hal ini terbukti  dengan dibentuknya tim inspeksi senjata ke Irak oleh PBB. Irak kemudian mengijinkan tim inspeksi ini untuk memasuki Irak. Namun tidak ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Irak memiliki senjata kimia.

Sebelum ada pernyataan resmi dari tim inspeksi senjata PBB yang bertugas di Irak, Amerika kemudian menyatakan akan menyerang Irak dan mengintruksikan kepada semua tim infeksi PBB agar segera keluar dari wilayah Irak. Pernyataan perang ini mungkin sebagai wujud ketakutan Amerika akan terbongkarnya kebohongan tuduhan mereka terhadap Irak.

Tepatnya tanggal 20 Maret 2003, pasukan Amerika yang bergabung dengan pasukan sekutu dari Inggris, Spanyol, Italia, Portugal, Denmark dan Belanda secara membabi buta membom dan memporak-porandakan negeri seribu malam tersebut. Sungguh tragis memang penderitaan yang dialami negara seribu satu malam ini. Setelah berakhir perang saudara dengan Kuwait dan Iran, kemudian diembargo oleh Amerika yang menewaskan hampir 1,5 juta penduduk Irak (sesuai dengan laporan PBB) karena masalah kesehatan seperti kurang nutrisi. Kini harus kembali mengalami agresi Amerika. Kembali yang menjadi korban adalah rakyat sipil yang tak berdosa. Tercatat sekitar 7000-an orang tewas dalam serangan ini sebagaimana yang disebutkan John Sloboda, salah seorang pakar bagian korban agresi di Irak. Belum lagi jumlah korban luka-luka dan kerugian moril yang tak terhingga.

Terakhir, kita akan bahas perkembangan terakhir di Palestina. Negara yang telah bertahun-tahun mengalami penindasan dari negara Zionis Israel. Jumlah korban tewas sejak dimulainya intifada September 2000 menjadi 3.273 orang, termasuk 2.471 warga Palestina dan 742 warga Israel. Dan berdasarkan sumber data yang diungkap oleh Kepala negosiator Palestina, Saeb Erekat, jumlah korban yang jatuh selama agresi Israel terhadap Palestina sejak tanggal 29 Maret 2003 hingga hari ini tercatat kurang lebih 500 orang Palestina tewas di Jenin dan Nablus. Jadi total korban hingga saat ini berjumlah 2.971 orang Palestina. Sedangkan jumlah pengungsi terus mengalami peningkatan, berdasarkan data PBB sekitar 3.000 penghuni kamp pengungsi Jenin kehilangan tempat tinggal, sementara diperkirakan jumlah keseluruhan pengungsi warga  Palestina hingga hari ini sekitar 3,6 juta orang.

 Ternyata keberhasilan Israel tidak lebih karena mendapat dukungan dari negara-negara Barat khususnya Amerika. Amerika adalah donatur terbesar bagi Israel. Jutaan dolar Amerika dalam bentuk persenjataan diberikan oleh Amerika kepada Israel. Kembali umat Islam dicemoohkan. Walaupun demikian umat Islam Palestina tetap berjuang memperebutkan tempat suci ketiga umat Islam tersebut. Perjuangan mereka dikenal dengan nama intifadho. Berbagai macam perundingan yang dimotori Amerika hanya menguntungkan Israel saja. Dari dukungan besar Amerika bagi Israel tersebut menjadi bukti  bahwa Amerika ingin menjadikan Israel sebagai penguasa tunggal di Timur-Tengah sebagai mana yang dikatakan oleh pakar sejarah Prof. Dr. Abdul Halim Uwais.                                                 

Pelanggaran hak-hak asasi manusia Israel terhadap kaum Palestina serta pendudukannya yang tidak legal selama 25 tahun, telah memberi stimulus lahirnya kelompok keras Hamas, Hizbullah, serta militan-militan lain

Melalui jutaan penduduk Palestina yang kalah dalam berbagai perang dan intifada, Israel telah melumpuhkan harapan masyarakat Palestina untuk menentukan nasib sendiri. Berbagai peristiwa yang menyakitkan bangsa Arab dan umat Islam inimengalami bias geografis, diskriminatif, dan terjerat dalam eufimisme modern.

Dari berbagai peristiwa yang terjadi pasca tragedi 11 September tersebut, kita bisa melihat bagaimana retaknya hubungan Islam dan barat. Kenapa tidak, Barat  dengan kekuasaannya menjadikan umat Islam sebagai bulan-bulanan melalui agresi-agresi yang di komandoi oleh Amerika, ditambah lagi tuduhan-tuduhan bohong yang di lontarkan orang-orang barat terhadap umat Islam bahwa Islam adalah teroris sudah sangat keterlaluan. Sebuah tragedi yang mendidik umat Islam untuk bangkit melawan kolonialisme barat.

VI. Masa Depan Hubungan Islam dan Barat

Dari kronologis sejarah yang telah disebutkan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa hubungan Islam dan Barat mengalami masa keharmonisan ketika dunia berada di bawah kepemimpinan Daulah Islamiyah. Masyarakat Barat merasakan kenyamanan dan keadilan di bawah kepemimpinan Daulah Islamiyah. Tercermin dengan adanya kebebasan beragama, keadilan dan kesejahteraan. Bahkan Barat mulai mengalami kemajuan ketika berada di bawah pemerintahan Daulah Islamiyah (Daulah Andalusia), khususnya perkembangan di bidang ilmu pengetahuan dan Pertanian. Hal itu karena Daulah Islamiyah berpegang teguh terhadap ajaran-ajaran Islam yang menghormati kebebasan  beragama dan berpikir, menjunjung keadilan dan menunjang kesejahteraan.

Sebaliknya, hubungan Islam dan Barat mengalami kehancuran ketika Barat menguasai kepemimpinan dunia. Hal itu terlihat semenjak berakhirnya perang salib. Banyak terjadi peperangan, penindasan dan kolonialisme terhadap Umat Islam sampai sekarang. Tidak ada lagi kebebasan beragama bagi umat Islam, melainkan pembantaian oleh para penguasa Barat. Ini semua sebagai wujud dari prinsip orang Barat yang tidak jauh dari G3 ( God, Glory and Gospel) yaitu agama, kekayaan dan kekuasaan. Berdasarkan prinsip ini Barat menginginkan agar dunia di bawah agama yang satu (Kristen), kemudian kekayaan dunia berada di bawah otoritas mereka, dan terakhir mereka menginginkan kekuasaan dunia mutlak di tangan mereka. Prinsip ini sangat jauh dari kebebasan, keadilan dan kedamaian.

Hubungan antara Islam dan Barat yang memburuk akibat peristiwa serangan 11 September 2001 menjadi semakin buruk setahun setelah peristiwa itu. Makin meningkat rasa tidak percaya antara negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat (AS), terhadap negara-negara Muslim, dan sebaliknya negara-negara Muslim terhadap AS.

Dari pihak negara-negara Muslim, ada semacam peningkatan rasa kejengkelan terhadap AS, terutama ketika AS mengungkapkan adanya kelompok-kelompok teroris di negara-negara Muslim tertentu. Sementara itu, AS sendiri gagal memberi bukti-bukti yang meyakinkan tentang tuduhan atau sinyalemen yang dimaksud.

Pihak Barat, khususnya AS dan Inggris, bersikap setengah hati terhadap negara-negara Muslim, terutama negara Muslim yang dinilai kurang kooperatif dalam membantu AS dan sekutunya dalam perang melawan terorisme.

Ada dua masalah yang membuat hubungan negara-negara Muslim dan Barat menjadi semakin tidak menguntungkan sebagaimana yang dikatakan Din Syamsuddin, Wakil Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dalam sebuah seminar di Jakarta. Pertama, masalah Israel dan Palestina, di mana Arafat dan Palestina berada pada posisi yang sangat sulit karena AS tampaknya hanya mengutamakan kepentingan Israel, sementara kepentingan Palestina kurang diperhatikan. Kedua, sementara masalah Israel-Palestina belum selesai, AS dan Inggris membuka front baru dalam memberantas terorisme yang ditandai dengan agresinya terhadap Afghanistan dan Irak.

Menurut Din, setelah Peristiwa 11 September 2001, muncul gejala bipolarisasi yang mengkristal menjadi dua kubu dalam kehidupan umat manusia, yakni dunia Islam dan dunia Barat. Din memandang polarisasi semacam ini sebagai suatu perkembangan yang tidak positif, bahkan akan merugikan kehidupan umat manusia dan perkembangan peradaban dunia. Karena di satu sisi, dunia Barat menjadi pemegang supremasi peradaban dunia saat ini, dengan segala kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan ekonomi. Sementara di sisi lain, dunia Islam-terdiri dari sekitar 60 negara berdaulat-juga merupakan dunia yang tidak dapat dianggap remeh, karena selain didukung oleh lebih dari satu milyar penduduk dunia, juga memiliki sumber daya alam yang kaya.

Din menambahkan, tuduhan negara-negara Barat kepada dunia Islam sebagai pangkal dan ladang terorisme sangat menyakitkan umat Islam di banyak negara. Jika pandangan ini tidak segera dihentikan, akan mendorong munculnya fundamentalisme dan radikalisme di kalangan umat Islam, sebagai bentuk perlawanan atau reaksi terhadap Barat.

“Polarisasi yang terjadi ini dikhawatirkan akan menjadi the clash of civilizations, perbenturan peradaban antara Barat dan Islam, seperti tesis Huntington. Benih-benih ke arah itu dapat ditunjukkan dengan timbulnya saling curiga dan kebencian antara negara Barat dan dunia Islam. Perkembangan ini harus segera dihentikan dan diarahkan kepada yang lebih positif, misalnya dalam bentuk kerja sama dan kemitraan untuk membangun dunia yang damai,” papar Din.

Amerika Serikat sebagai “kiblat” demokrasi dan kebebasan yang kebijakan luar negerinya oleh banyak pengamat dikatakan selalu mencampuri urusan rumah tangga negara lain, terutama yang banyak berpenduduk muslim.

Salah satu contoh adalah lontaran Noam Chomsky dalam Pirates and Emperors, yang menggambarkan standar ganda AS dalam memperlakukan terorisme internasional.

Setelah kita menelaah sejarah mulai dari sejarah perang salib, kolonialisme Barat sampai Kolonialisme Modern, dapat kita simpulkan bahwa dendam perang salib masih ada dalam diri orang-orang Barat. Dan sekarang dendam tersebut menjelma dalam bentuk yang lain, tapi tetap mempunyai tujuan yang sama yaitu menghancurkan Islam. Bentuk lain yang digunakan Barat sekarang ini adalah memerangi teroris.

Dari kronologis sejarah dan realita sekarang ini memang membawa kita untuk tidak menolak anggapan bahwa hubungan Islam dan Barat tidak akan harmonis. Namun, bukan suatu yang mustahil kalau seandainya hubungan Islam dan Barat malah semakin membaik di masa yang akan datang. Semuanya tergantung partisipasi keduanya dalam usaha membina hubungan tersebut. Semakin besar kesungguhan keduanya dalam membina hubungan tersebut, semakin besar pula harapan akan terciptanya hubungan yang harmonis.

PENUTUP

Dendam perang salib ternyata belum berakhir. Perang salib dalam kemasan baru telah diproduksi oleh orang-orang Barat. Dengan rapi mereka kemas dalam bungkusan memerangi teroris yang notabene ditujukan kepada umat Islam. Banyak umat Islam terkecoh dengan bungkusan tersebut. Sedangkan orang-orang Barat tersenyum-senyum sumbing di balik layar.

Demikian juga dengan motto ekspansi mereka yang lebih dikenal dengan 3G (God, Gold and Gospel), masih sarat dalam berbagai langkah mereka. Dengan motto ini mereka menggabungkan 3 kekuatan : motivasi agama, kekayaan dan kekuatan politik, untuk mendapatkan 3 tujuan : penyebaran agama, hak monopoli kekayaan dunia dan hak otoritas kekuasaan dunia.

Pemecahan dari permasalahan sekarang ini menuntut sense of urgency (kesadaran akan situasi yang sangat mendesak) dari Umat Islam. Lalu diikuti tindakan yang tepat sasaran, dan mengutamakan prioritas. Meskipun kita menyetujui, dewasa ini bangsa dan umat mengalami krisis dekadensi moral yang akut, tetapi titik-berat prioritasnya terletak pada tiadanya pemimpin yang memiliki akhlaqul karimah, integritas moral, tidak mampu mengemban amanah, ketiadaan kepekaan yang kesemuanya terefleksi pada tiadanya keteladanan sebagai panutan. Maka langkah-langkah yang harus diambil adalah:

1. Islam pada hakikatnya adalah agama jamaah. Menurut sabda Rasulullah Saw. kekuatan umat terletak pada kohesifnya jamaah kaum Muslimin. Karena itu pada saat ketika umat terpecah-belah ke dalam firqah-firqah, kita wajib merapatkan shaf kembali, membangun kekuatan kejamaahan umat yang bersifat lintas organisasi, serta paham dalam keagamaan. Pembangunan kekuatan jamaah harus berbasis pada masjid, mulai dari jaringan masjid kecamatan, kabupaten, propinsi, sampai kepada jaringan masjid nasional.

Jaringan yang didasarkan pada organisasi kemasyarakatan dan politik akan memecah-belah kembali ke dalam kepentingan sempit program partai atau ormas. Jaringan berdasarkan masjid tidak untuk membubarkan partai-partai atau ormas-ormas Islam. Yang dituju adalah pembangunan kekuatan ummah, ke dalam umat yang utuh dan kohesif. Keluar (boleh saja) membawa bendera partai atau ormas masing-masing.

2. Kekuatan kejamaahan seperti yang dikehendaki itu hanya dapat dibangun dengan semangat ukhuwah. Ukhuwah atau solidaritas adalah lem perekat bagi kekuatan kejamaahan. “Tidak diterima iman seorang Muslim sebelum ia memperlakukan muslim lainnya sebagai saudaranya,” demikian firman Allah Swt dalam al-Qur’an. Untuk dapat membangun semangat ukhuwah, ada empat syarat yang harus terpenuhi; (1) Tidak boleh ada su’udzan, berburuk sangka terhadap sesama Muslim. (2) Bila ada hal-hal yang dianggap salah paham yang dapat menimbulkan perbedaan atau bahkan konflik, seorang Muslim harus segera melakukan tabayyun (klarifikasi). (3) Dalam proses tabayyun atau taushiyah itu setiap Muslim dituntut menghadapinya dengan sikap tawaddu, rendah hati, yaitu kesediaan untuk mendengarkan pendapat orang lain meski berbeda. (4) Bila perbedaan itu tidak berhasil mencapai kesepakatan, tidak boleh sampai memutuskan silaturrahim. Untuk itu maka orang-orang Muslim hendaknya bersikap tasâmuh atau toleran yaitu bersepakat untuk tidak sepakat.

3. Jamaah tidak akan memiliki kemampuan dan kekuatan tanpa adanya imamah. Rasulullah Saw. bersabda, “Bila ada tiga orang Muslim, maka diwajibkan seorang di antaranya menjadi pemimpin mereka.” Oleh karena itu, kita harus mengembangkan mekanisme untuk menyeleksi pemimpin di lingkungan komunitas umat berdasarkan azas musyawarah terhadap tokoh-tokoh panutan yang memang memperoleh pengakuan dari umat. Pengakuan itu tertuju kepada sifat-sifat kepemimpinannya, memiliki kewibawaan, mampu memikul amanah, dan memiliki kecakapan administrasi-manajerial sebagai pemimpin umat.

4. Kekuatan kejamaahan umat harus mampu menjadi moral force umat untuk melakukan moral pressure kepada lapisan elit umat secara konsekuen,konsisten, dan sanksional, dalam rangka mengembangkan lapisan imamah yang berakhaqul karimah dan amanah.

5. Mengembangkan masjid sebagai basis dan pusat kegiatan bagi pengembangan sosial-budaya, sosial ekonomi, dan penguasaan ilmu dan teknologi umat.

6. Memulai upaya bagi pemberdayaan ekonomi umat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam usaha pemberdayaan politik umat.

7. Pengembangan jumlah dan mutu sumber daya manusia umat sebagai perwujudan ketaqwaan kepada Allah Swt..

Itulah langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menangkis serangan-serangan Barat terhadap umat Islam.

Sayyid Qutb berkata: “Pada dasarnya inti dari berbagai macam bentuk ma’rakah yang telah dilancarkan oleb Yahudi dan Nasrani dalam memusuhi umat Islam di segala penjuru dunia dan setiap waktu adalah bertendensikan pada AQIDAH, walaupun terkadang terjadi perbedaan dan perselisihan di antara mereka, namun mereka akan bertemu selamanya di setiap ma’rakah dalam memusuhi Islam dan muslimin. Di dalam ma’rakah ini terkadang mereka menampilkan berbagai macam panji-panji yang beraneka warna dan coraknya sebagai makar dan kamuflase, karena mereka telah mencoba bagaimana semangat orang-orang muslimin terhadap aqidah dan dinnya, manakala mereka diperangi dengan panji-panji Aqidah. Berawal dari sinilah mereka memunculkan berbagai macam slogan, Lalu mereka memasukkan berbagai slogan terhadap para penjilat yang tertipu dari kita, bahwasanya cerita panjang tentang Aqidah telah menjadi legenda masa lalu yang tiada punya arti, serta tidak boleh diangkat ke permukaan dengan berbagai syiar lainnya, dan mereka pun menyelinap di berbagai ma’rakah yang lain. Namun seandainya umat Islam tertipu dengan makar dan tipu daya mereka, janganlah menyesal dan mengeluh kecuali pada diri sendiri yang semakin jauh dari taujih Allah Swt. terhadap Rasulullah Saw. dan umat-Nya.”

Umat Islam perlu disadarkan tentang bahaya yang akan ditimbulkan oleh permusuhan Yahudi dan Nasrani, karena saat ini merekalah pelaku penindasan yang terjadi di dunia Islam, pemicu berbagai macam ma’rakah yang beraneka ragam, sumber kerusakan dan kejahatan yang menimpa generasi Islam. Dan perlu diingat bahwa Barat tidak akan pernah berhenti sebelum umat Islam mengikuti agama mereka. Allah Swt. berfirman : “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah : sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya). Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”. (QS. al-Baqarah: 120).


Globalisasi dunia yang transparan dan serba membingungkan membuat mereka menang dan di atas angin, hal ini menuntut kita untuk menengok berbagai peristiwa yang barangkali dapat mengingatkan umat terhadap Aqidah Islamiyah dan bangkit kembali dari tidur yang panjang, yang akhirnya akan segera terlihat para Yahudi itu bersembunyi ketakutan, dan berkatalah Sebongkah batu : “Ya Muslim ke sinilah, di belakangku ada Yahudi, bunuhlah dia”.

Daftar Pustaka

  1. Al-Qur’an dan Terjemahan, Semarang, Toha Putra, 1989.
  2. Al-‘Asqolani, Ibnu hajar, Fathul Bari, Kairo, Dar at Taqwa, 2000.
  3. Katsir, Ibnu, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, Kairo, Dar ‘Ilmi, 2000.
  4. ‘Imarah, Muhammad, Al-Gharb wal Islâm, Kairo, Dar Nahdhah, 1997.   
  5. ‘Imarah, Muhammad, Al-Shahwatul Islam fi ‘Uyûn Gharbiyyah, Kairo, Dar Nahdhah, 1997.
  6. ‘Imarah, Muhammad, At-Ta’addudiyatur Ru’yatul Islâmiyyah wal-Tahdiyatul Gharbiyyah, Kairo, Dar Nahdhah, 1997
  7. ‘Imarah, Muhammad, Al-Ushûliyyah bainal Gharb wal Islâm, Kairo, Dar Syuruq, 1998.
  8. ‘Imarah, Muhammad, Al-Hiwariyyûn bainal Islamiyyîn wal ‘Ilmaniyyûn, Kairo, Dar Nahdhah, 2000.
  9. Salim al-‘Awwa, Muhammad, Al-I’lûnul Islâmi li Huqûqil Insân, Kairo, Dar Nahdhah, 2000.
  10. Nafi’, Ibrahim, Infijâr September baina al-‘Aulamah wal Amrika, Kairo, Maktabah al-Usrah, 2002.
  11. ‘Abdul Fatah, Fathi, ‘Alam Mutaghayyar, Kairo, Maktabah al Usrah, 1999.
  12. Gaudah, Muhammad Gharib, Maûjuz Târikh al-‘âlam, Kairo, Maktabah al-Usrah, 2000.
  13. Al-‘Alamiyah Al-Muttahidah, al-Afaq, al-Ma’lûmât, Kairo, Maktab al-Afaq al-Muttahidah, 1991.
  14. Isa, Ibrahim Sulaiman, Dr, Mu’amalah Ghaira, Al-Muslimîn fi Daulah al-Islâm, Cairo, Dar al-Manar.
  15. Al-Qardhawi, Yusuf, Dr, Ummatunâ baina Qarnain, Cairo, Dar al-Syuruq, 2000.
  16. Sardar, Ziauddin, The Future of Muslim Civilisation, London, Croom Helm, 1997.
  17. Wahyudi, Nurhasan, Kontekstualisasi Islam dalam Peradaban, Cairo, FOSGAMA, 2002.