Ibnu Taimiyah dan Gerakan Salafiyah (Bagian XII)

 

Matan HPT

اَمَّا بَعْدُ فَاِنَّ الفِرْقَةَ النَّاجِيَةَ (1 (مِنَ السَّلَفِ اَجْمَعُوا عَلَى الإِعْتِقَادِ بِأَنَّ العَالَمَ كلَّهُ حَادِثٌ خَلَقَهُ االلهُ مِنَ العَدَمِ وَهُوَ اَىِ العَالَمُ) قَابِلٌ لِلفَنَاءِ (2 (وَعَلَى اّنَّ النَّظْرَ فِى الكَوْنِ لِمَعْرِفَةِ االلهِ وَاجِبٌ شَرْعًا (3 (وَهَا نَحْنُ نَشْرَعُ فِى بَيَانِ اُصُولِ العَقَائِدِ الصَّحِيْحَةِ.

Kemudian dari pada itu, maka kalangan ummat yang terdahulu, yakni mereka yang terjamin keselamatannya (1), mereka telah sependapat atas keyakinan bahwa seluruh ‘alam seluruhnya mengalami masa permulaan, dijadikan oleh Allah dari ketidak-adaan dan mempunyai sifat akan punah (2). Mereka berpendapat bahwa memperdalam pengetahuan tentang ‘alam untuk mendapat pengertian tentang Allah, adalah wajib menurut ajaran Agama (3). Dan demikianlah maka kita hendak mulai menerangkan pokok-pokok kepercayaan yang benar.

 

Syarah:

Kata Kunci:  الفِرْقَةَ النَّاجِيَةَ (Kelompok yang selamat)

Shaikh Islam Taqyuddin ibnu Taimiyah, lahir di Hiran pada hari senin 10 Rabiul Awal 661 H.  Ia hidup di lingkungan keluarga yang cinta ilmu pengetahuan. Kakeknya terkenal sebagai seorang Ahli Hadis terkemuka, sementara ayahnya adalah serang Mufti. Lingkungan yang sangat kondusif seperti ini tentu berpengaruh terhadap pemikiran Ibnu Taimiyah. Sejak kecil, ia sudah terbiasa dengan pemikiran dari berbagai cabang ilmu keislaman. Tidak heran, jika Ibnu Taimiyah menjadi ulama ensiklopedi. Ia menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan, seperti tafsir, logika, bahasa, hadis, fikih, ushul fikih, sejarah, filsafat dan kalam dan lain sebagainya. Ia juga terkenal sebagai seorang yang tegas dan berani. Masa hidupnya dihabiskan untuk mengabdikan diri pada ilmu pengetahuan. Ia seorang ulama yang zuhud, berani mengatakan kebenaran meski bertentangan dengan pandangan masyarakat atau pemerintah.

Ia sangat kritis terhadap berbagai aliran pemikiran, seperti filsafat, tasawuf, ilmu kalam, fikih dan lain sebagainya. Sikap kritis tidak hanya pada sesuatu yang bersifat keilmuan, namun juga pada kondisi sosial masyarakat yang dianggapnya sangat lemah. Masyarakat mengalami beban psikologis yang sangat mendalam akibat serangan tentara Mongolia yang meluluh lantakkan berbagai wilayah Islam. Bahkan Bagdad sebagai ibu kota Khilafah Islamiyah dapat dihancurkan. Keputusasaan ternyata tidak hanya berkembang dalam masyarakat, namun merasuk pada tokoh penguasa kerajaan. Hal ini diperparah dengan kondisi wilayah Islam yang sudah menjadi berbagai negara kecil yang saling bertikai.

Ibnu Taimiyah berusaha membangkitkan semangat juang umat Islam. Ia yakin bahwa kemenangan pasti akan berada tangan umat Islam. Namun kemenagan hanya dapat diraih manakala masyarakat mengikuti generasi pertama Islam yang dianggap sebagai generasi terbaik dalam sejarah dunia. Ibnu Taimiyah tidak hanya berteori, namun juga menjadi pelopor perlawanan umat Islam. Ia ikut bergabung dengan tentara Islam melawan Tatar. 

Umat Islam pada masa Ibnu Taimiyah juga sedang mengalami masa kemunduran. Hasil kreasi dan produktifitas ulama menurun. Bid’ah, Khurafat, Taqlid dan bahkan berbagai praktek syirik berkembang dalam masyarakat. melihat kondisi seperti ini, Ibnu Taimiyah merasa terpanggil untuk mengadakan pembaruan, meluruskan akidah Islam yang dianggap sudah menyeleweng dan mengembangkan kembali upaya ijtihad. Ibnu Taimiyah menyeru umat Islam agar merujuk langsung pada al-Quran dan al-Sunnah serta meninggalkan taklid buta yang akan menimbulkan kejumudan dalam masyarakat. 

Sebagai gerakan baru yang menentang berbagai praktek sosial dalam kemasyarakatan yang dianggapnya bertentangan dengan ajaran Islam, tentu mendapat banyak tantangan. Reaksi balik bermunculan dari masyarakat. Ide-ide pembaharuan banyak ditentang. Meski demikian, semangat Ibnu Taimiyah tidak surut. Akibat sikap kritis Ibnu Taimiyah ini dan pemikirannya yang bertentangan dengan pemikiran yang umum pada masanya, ia sering keluar masuk penjara. Dalam penjara, waktu digunakan untuk menulis dan membaca. Ibnu Taimiyah meninggal pada malam hari Senin, 29 Dzul ka’dah 728 H.


Prinsip Dasar Gerakan Salafiyah

Salafiyah adalah gerkan pembaharuan yang menginginkan umat Islam kembali kepada al-Quran dan sunnah. Untuk memahami keduanya, mereka sering mengatakan dengan cara merujuk kepada generasi awal Islam, yaitu generasi salaf dari kalangan sahabat, tabiin dan tabiit tabiin.[1]

Kelompok ini sering menamakan diri sebagai gerakan salaf atau gerakan sunnah. Mereka juga dikenal dengan istilah salafi. Mereka punya ulama rujukan yaitu Syaih Usaimin, Syaih bin Baz dan Syaih Albani. Jadi, meski mereka selalu mengatakan bahwa pemikirannya merujuk kepada quran dan sunnah serta contoh generasi sahabat, namun pada prakteknya sesungguhnya mereka merujuk pada tiga ulama tersebut.

Ada beberapa pokok pikiran gerakan salafiyah, di antaranya adalah:

  1. Ajaran agama baik terkait dengan ilmu ushuludin atau furu’ fikih telah diterangkan dalam al-Quran dan sunah Rasulullah saw. Segala amal perbuatan harus berpedoman pada dua hal tersebut. Hal-hal yang tidak pernah diterangkan, harus dihindari karena ia merupakan perbuatan bidah.
  2. Menurut mereka bahwa generasi awal Islam merupakan generasi terbaik. Hal ini mereka sandarkan dari firman Allah:

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Artinya: Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (QS. Al Taubah: 100)

Serta hadis nabi berikut:

  • خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

“Sebaik-baik manusia ialah pada generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 3651, dan Muslim, no. 2533)

  1. Keika berdakwah sarana terbaik adalah menggunakan argumentasi dan dialog sebagaimana yang digunakan oleh al-Quran. Mengekspresikan tentang keimana akan lebih baik jika menggunakan ungkapan al-Quran. Karena ini merupakan sarana yang digunakan oleh para Rasulullah saw ketika mereka berdialog dengan bangsanya masing-masing.
  2. Sesungguhnya ayat-ayat Allah seluruhnya sesuai dengan akal. Maka tidak ada benturan antara akal dengan nakal. Hal ini karena akal sebagai tempat ditetapkannya hokum bagi seorang mukallaf (manatul hukmi). Jika akal hilang, maka seluruh hokum Islam yang dibebankan kepada manusia, menjadi hilang. Karena tidak ada benturan antara akal dengan naql, maka banyak ayat al-Quran yang menyeru manusia agar menggunakan akalnya. Akal menjadi sarana manusia untuk mengenal Tuhan. Akal menjadi sarana manusia untuk menggali berbagai putusan hokum dari alQuran dan sunah nabi Muhammad saw.
  3. Mendahulukan naql di atas akal. Hal ini sesuai dengan tradisi salaf saleh dalam memahami dan menafsiran nash. Mengenai sifay Tuhan, mereka tetap mempercayainya namun tanpa menetapkan bentuknya bagaimana. Demikian juga dalam berbagai persoalan kalam lainnya, mereka menjadikan salaf saleh sebagai teladan dalam berfikir dan beramal.

Poin ini yang menjadi pembeda kalangan salafiyah dengan kelompok Mutazilah. Nas tetap menjadi pijakan awal sebelum akal. Andai ada nas yang tidak dapat dipahami akal, maka akal yang harus tunduk dengan nas, bukan sebaliknya.

Hal ini, sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa Muktazilah menempatkan akal di atas nas. Karena menurut kelompok Muktazilah, nas tidak akan dapat dipahami selain dengan akal manusia. Akal sebagai tempat hokum, menjadi sentral dalam memahami nas al-Quran.

Salafiyah dan Gerakan Politik

Salafiyah sebagai sebuah kelompok Islam, juga mempuninyai pandangan dan konsep politik. Apalagi kemudian kelompok ini bergabung menjadi sebuah gerakan politik.  Kelompok ini mempunyai konsep terkait dengan sistem pemerintahan, baik mengenai kepemimpinan, keadilan ataupun ekonomi.

Sebagai orang yang sering dirujuk dalam kelompok salafi, bahkan bisa dikata sebagai Imamnya ulama salafi, Ibnu Timiyah menulis banyak buku di berbagai bidang keilmuan, di antaranya terkait dengan politik dan ekonomi, seperti yang beliau tulisi dalam karyanya, al-Siyâsah al-Syar’iyah”. Buku ini sering dijadikan rujukan kelompok salafiyah dalam konsep kepemimpinan. buku ini cukup komperhensif, berbicara terkait dengan kepemimpinan, syarat seorang pemimpin, peradilan, peperangan, sistem perekonomian, amar makruf dan nahi mungkar dan lainnya.

Pertama, Kepemimpinan.

Mengenai kepemimpinan, Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa keberadaan pemimpin dalam dunia Islam nya wajib. Tidak boleh suatu bangsa kosong dari kepemimpinan, karena ini sangat berbahaya dan dapat menimbulkan huru-hara serta kekacauan sosial. Karena pentingnya seorang pemimpin ini, Ibnu Taimiyah pernah mengatakan, enam puluh tahun berada dalam kekuasaan pemimpin yang zhalim, jauh lebih baik dari pada satu malam tanpa seorang pemimpin”.

Benar bahwa pemimpin yang zhalim memberikan mudarat bagi masyarakat. Hanya saja menurut Ibnu Taimiyah, masyarakat yang tidak memipiki pemimpin, justru akan tertimpa mudarat yang lebih besar. Tidak ada aturan hokum, tidak ada pengadilan, tidak ada Negara yang megatur tatanan masyarakat. Hal ini sangat berbahaya dan dapat menimbulkan perang suadara. Hak dan kewajiban antar sesame kelompok masyarakat bisa saling langgar dan tidak ada lembaga yang dapat menyelesaikan persoalan.

Pemimpin dalam pandangan Ibnu Taimiyah ibarat wakil Tuhan di muka bumi. Dalam ungkapan lain, pemimpin adalah pembantu bagi rakyat. Ia harus melayani apa yang dibutuhkan rakyat. Ibnu Taimiyah menyetir sebuah hadis yang mengatakan sebagai berikut:

أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ , وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ , فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ , وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ , وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ , وَعَبْدُ الرَّجُلِ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ , أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Artinya: “Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpin, penguasa yang memimpin manusia dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, seorang lelaki (kepala keluarga) adalah pemimpin keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, dan seorang perempuan (istri) adalah pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, dan budak juga pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya. Ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari)

Oleh karena pemimpin bertanggungjawab kepada rakyatnya, maka seorang pemimpin harus tahu hak dan kewajiban dia sebagai pemimpin dan rakyat sebagai orang yang dipimpin. Pemimpin bertugas menerapkan dan mengawasi realisasi syariat Islam.

Pemimpin menjadi penanggungjawab utama terhadap kemaslahatan masyarakat. Baik-buruk kondisi rakyatnya, sepenuhnya berada di pundak pemimpin. Karena tugas seorang pemimpin tidak ringan, maka Ibnu Ttaimiyah memberikan beberapa syarat kepemimpinan. Pertama, seorang pemimpin harus amanah Dan kedua, seorang pemimpin harus kuat. 

Mengenai syarat pertama, yaitu bahwa seorang pemimpin harus amanah, karena tugas utama pemimpin  adalah menciptakan keadilan. Sementara keadilan alan sulit terealisasikan jika tidak dipegang oleh orang yang amanat. Menurutnya, pemimpin yang amanah, akan memberikan hak dan kewajiban sesuai dengan apa yang digariskan Islam. Sikap amanah akan tumbuh jika seorang pemimpin selalu bertakwa dan takut kepada Allah swt., tidak menjual ayat-ayat Allah guna mendapatkan harta dunia, serta berani dan tidak takut dalam menghadapi siapapun yang menentang hukum syariat. 

Mengenai sifat amanah, Ibnu Taimiyah menukil sebuah hadis Rasulullah saw sebagai berikut:

القُضَاةُ ثَلاَثَةٌ: قَاضِيَانِ فِي النَّارِ، وَقَاضٍ فِي الجَنَّةِ، رَجُلٌ قَضَى بِغَيْرِ الحَقِّ فَعَلِمَ ذَاكَ فَذَاكَ فِي النَّارِ، وَقَاضٍ لاَ يَعْلَمُ فَأَهْلَكَ حُقُوقَ النَّاسِ فَهُوَ فِي النَّارِ، وَقَاضٍ قَضَى بِالحَقِّ فَذَلِكَ فِي الجَنَّةِ

“Hakim itu ada tiga: dua di neraka dan satu di surga. Seorang hakim yang memutuskan hukum tidak berdasarkan kebenaran padahal ia mengetahuinya, maka di neraka. Seorang hakim yang memutuskan hukum tanpa ilmu sehingga hilanglah hak-hak manusia, maka ia di neraka. Dan seorang hakim yang memutuskan berdasarkan kebenaran, maka ia di surga.” (HR. Tirmidzi)

Syarat kedua, yatu seorang pemimpin haruslah seorang yang kuat, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa seorang pemipmpinharus kuat. Pemipmpin harus memiliki sikap tegas. Hal ini akan snagat dibutuhkan terutama jika negara dalam keadaan kritis, atau dalam kondisi perang. Kuat sendiri memiliki banyak bagian. Kekuatan dalam medan perang diperoleh dari sikap berani yang telah tertanam dalam hatinya serta dari pengalaman di medan perang. Kekuatan dalam memimpin rakyat tumbuh akibat pengetahuan atas keadilan sebagaimana yang ditunjukkan oleh al-Quran maupun as-Sunnah. 

Hanya yang menjadi problem adalah ketika tidak ada pemimpin yang memiliki dua syarat tersebut. Menurut Ibnu Taimiyah, jika memang tidak ada orang yang memenuhi syarat, maka kondisi sosial kemasyarakatan akan sangat menentukan priorotas antara amanah dengan kekuatan atau ketegasan. 

Jika negara dalam keadaan tidak stabil, seperti dalam perang, maka seorang yang tegas meski ia tidak amanah harus didahulukan. Ia menyetir apa yang dikatakanoleh imam ahmad yang mengatakan, “ketegasannya untuk kemaslahatan umat Islam, sementara akibat yang akan ditimbulkan dari sikap tidak amanah akan ditanggung sendiri”.

Jika negara dalam kondisi stabil, dan rakyat lebih memerlukan pemimpin yang amanah, maka amanah yang harus didahulukan. 

Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa jika tidak ada yang memiliki dua sifat tersebut, dapat dilakukan dengan cara penggabungan, yaitu, pemimpin dari orang yang memiliki ketegasan, sementara wakil dari seorang yang memiliki sikap amanah. Atau, jika pemimpin amanah,maka ia juga dapat mengangkat wakil dari orang yang memiliki sikap tegas.

Dalam membentuk kabinet, atau mengangkat para gurbenur, Ibnu Taimiyah melarang pemimpin memilih berdasarkan kerabat dekat atau sahabatnya sendiri. Menurutnya, kabinet harus dipilih berdasarkan standar kemampuan atau kelayakan (al-ashlah). Standar kelayakan adalah jika ia dianggap mampu untuk mengatur kehidupan sosial kemasyarakatan (urusan dunia), dan juga mampu menjaga eksistensi pelaksanaan ajaran agama. Jika kerabat dijadikan standar, ditakutkan akan berpengaruh dalam memberikan berbagai keputusan kenegaraan.[2]

Kedua, Amar Makruf dan Nahi Munkar

Amar makruf dan nahi mungkar memiliki posisi yang sangat penting dalam aliran kelompok salafiyah. Sebagaimana telah disinggung sebelunya bahwa pembentukan sebuah negara dimaksudkan untuk menciptakan keadilan dan menegakkan amar makruf dan nahi mungkar. Negara diharapkan dapat menerapkan syariat Islam secara kafah. Yang dimaskdu dengan makruf adalah segala amal perbuatan yang dianggap baik oleh syariat.[3] 

Menurut Ibnu Qayim bahwa syariat semuanya bersifat baik. Jika ada hal yang bertenangan dengan kebaikan, berarti itu bertentangan dengan syariat dan termasuk dalam golongan kemungkaran. Hal ini karena syariat Islam selalu sesuai dengan fitrah manusia yang selalu concong pada perbuatan baik. Menurut Ibnu Taimiyah bahwa keistimewaan umat Islam adalah karena posisi amal makruf dan nahi mungkar ini. Dalam sejarah umat Islam, akan selalu ditemukan para ulama dan umat yang berdiri tegak untuk mengajak kepada kebaikan, melawan kezhaliman serta memerangi kemungkaran. Berbeda dengan umat lain yang sering cuek dan acuh tak acuh dengan kemungkaran yang terjadi dalam masyarakat. Ajaran agama sekadar diajarkan da nada dalam tempat peribadahan saja, tidak lebih dari itu.

Secara tegas, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa amar makruf dan nahi munkar hukumnya wajib kifayah. Jika sebagian orang telah melakukannya, berarti akan menggugurkan dosa bagi umat Islam. Menurut Ibnu Taimiyah bahwa melarang terhadap tindak kemungkaran dibebankan pada setiap komponen masyarakat (mukallaf), sesuai denga kemampuan dan kadarnya masing-masing. Ia bisa melakukan perubahan dengan kekuatan, ucapan atau jika tidak mampu, bisa dengan doa dan inkar dalam hati. Segala bentuk nahi munkar tersebut akan berimplikasi positif dalam masyarakat. 

Menurut Ibnu Taimiyah bahwa sebab terjadi kerusakan dan kehancuran peradaban umat terdahulu adalah karena amar makruf dan nahi mungkar tidak ditegakkan dalam tatanan masyarakat. Oleh karenanya, kerusakan meraja lela. Pada ahirnya, umat-umat terdahulu tersebut binasa. Jika hal itu juga terjadi pada umat Islam, tidak menutup kemungkinan bahwa umat Islam juga akan binasa. Namun Allah menjaga umat ini sehingga akan selalu ada dari umat Islam yang berani untuk beramar makruf dan nahi munkar.

Kaitannya dengan amar makruf dan nahi munkar, sesungguhnya posisi negar asangat vital. Negara mempunyai kekuatan dan berbagai sarana, sehingga ia dapat menangkap orang atau memenjarakan pelaku kriminal yang melanggar hokum syariat. Setiap pelaku tindak kemungkaran akan dikenakan sansi, baik berupa hukuman hudud dan qishas, ataupun berupa sangti ta’zir (penjara). Ibnu Taimiyah dalam kitabnya siyasah syariyah menjelaskan secara rinci bentuk pelanggaran serta apa yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam menindak pelanggaran tersebut. Menurnya negara dapat menutup segala sarana yang kiranya dapat menjerumuskan umat islam pada tindakan kemungkaran.

Sebaliknya negara bisa membangun berbagai sarana dan prasarana yang memberikan manfaat dan maslahat bagi masyarkat luas. Karena kemaslahatan pada dasarnya adalah sesuatu yang makruif dan baik. Ia harus selalu didukung dan dikembangkan sehingga masyarakat dapat merasakan keadilan dan kemakmuran. Dengan demikian, akan terbentuk sebauh masyarakat yang adil dan makmur, baldatun thayibatun wa rabbun ghafur.[4]

Persoalan muncul ketikan tindakan mungkar justru dilakukan oleh pemerintah sendiri, apa yang harus dilakukan oleh rakyat? Seperti halnya Negara yang melindungi pabrik minuman keras, atau prostitusi. Ibnu taimiyah mengatakan bahwa tugas rakyat memberikan nasihat dan mengingatkan pemerintah agar berhenti dari tindakan mungkar tersebut. Ia dapat melakukannya dengan cara baik-baik sesuai dengan tingkatan kemampuan masing-masing. Jika ternyata pemerintah tidak mau mendengarkan, karena pemerintah sangat otoriter dan diktator, lantas apakah yang harus dilakukan partai oposisi? 

Di sini nampak sekali perbedaan antara prinsip politik gerakan salafiyah dengan Muktazilah. Jika Muktazilah menyerukan pada revolusi bersenjata, maka sebaliknya, salafiyah memerintahkan rakyat agar bersabar. Menentang pemerintah apalagi sampai mengangkat senjata tidak diperbolehkan. Alasan yang dikemukakan Ibnu Taimiyah adalah bahwa revolusi bersenjata hanya akan menimbulkan madharat yang lebih besar.  Fitnah merupakan kondisi yang kacau balau dan kondisi seperti ini banyak terjadi kezaliman yang jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan kondisi stabil meski pemeriontah bersikap zalim.

Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa rakyat tidak boleh melakukan pemberontakan terhadap pemerintah islam. Jika ia melakukan pemberontakan dan mati, maka ia mati dalam kondisi jahiliyah. Tugas masyarakat sekadar memberikan nasihat kepada pemerintah, tidak lebih dari itu. Hal ini didasarkan kepada hadis nabi berkut:

من خرج من الطاعة وفارق الجماعة فمات مات ميتة جاهلية

Siapa yang keluar dari ketaatan dan meninggalkan jamaah lalu meninggal dunia, maka matinya mati jahiliyah. (HR. Muslim).

Dengan berpegang kepada hadis nabi di atas serta pernyataan Ibnu Taimiyah tersebut, maka kelompok salafi biasanya mengaharamkan demonstrasi. Bagi kelompok ini, demonstrasi adalah salah satu bukti pembangkangan rakyat kepada pemerintah yang dilarang agama. Tugas rakyat sekadar mengingatkan, tidak sampai keluar untuk melakukan demonstrasi.

Tiga, Prinsip Syura 

Bagi salafiyah, pemeritahan Islam tidak boleh bersifat otorier. Pemerintahan harus berlandaskan pada prinsip musyawarah. Secara jelas Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa pemerintah (ulul amri) dibagi menjadi dua, yaitu umarah sebagai pemerintah dan ulama. Menurutnya, jika ulama dan umara baik, maka rakyat semuanya akan baik. Namun sebaliknya, jika pemerintah dan ulamanya bobrok, dipastikan rakyatnya akan sengsara.

Musyawarah dilandaskan pada iktikad bersama, bahwa pemerintahan Islam dalam segala hal harus sesuai dengan al-Quran dan al-Sunnah. Dalam musyawarah, ketika ada berbagai pendapat, maka yang harus dipilih adalah pendapat yang paling sesuai dengan tuntunan al-Quran  sunnah Nabi Muhammad saw.[5]

Empat, Baiat

Salafiyah mengaggap bahwa pemimpin umat harus mendapatkan dukungan dan legalitas dari masyarakat. Salah satu bentuk dari legalitas tersebut adalah pengakuan masyarakta melalui baiat seperti yang dicontohkan oleh para sahabat dan generasi awal Islam. Pemerintah yang tidak mendapatkan dukungan masyarakat, adalah pemerintah yang inkonstitusional.


Bagi yang ingin wakaf tunai untuk pembangunan pesantren Almuflihun yang diasuh oleh ust. Wahyudi Sarju Abdurrahmim, silahkan salurkan dananya ke: Bank BNI Cabang Magelang dengan no rekening: 0425335810 atas nama: Yayasan Al Muflihun Temanggung. SMS konfirmasi transfer: +201120004899


[1] Abdullah bin Abdul Karim al-Ibadi, Madkah Lidirasati al-Aqidah al-Islamiyyah, Maktabah as-Sawadi Littauzi, hal. 150

[2] Ibnu Taimiyah al-Harrani, Majmu Fatawa hal 147.

[3] Ibid jilid 28, hal. 71

[4] Ibid jilid 28 hal 71

[5] Ibnu Taimiyah,  jilid 28, Op. cit, hal 214