Dilema Politik Islam ; Antara ‘Masyumi Reborn’, PAN-Reformasi, PKS dan Gelora

Melihat realitas politik yang melanda partai-partai Islam belakangan ini sungguh memprihatinkan. Seluruh partai Islam bisa dikatakan sudah terpecah belah. Dimulai dari konflik internal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang melahirkan Ormas GARBI yang kemudian melahirkan Partai Gelora.

Kemudian terjadi ketidakpuasan di internal Partai Bulan Bintang (PBB) atas manuver politik Yusril Ihza Mahendra yang pada pemilu 2019 mendukung pasangan Jokowi – Ma’ruf Amin yang mengakibatkan suara PBB turun drastis. Bahkan belakangan sebagian kader PBB yang didukung DDII sebagai ormas pendukung mewacanakan ‘Masyumi Reborn’ sebagai wadah pembentukan parpol baru pewaris Masyumi, karena PBB dianggap sudah tidak lagi membawa spirit Masyumi.

Terakhir Partai Amanat Nasional (PAN) juga mengalami masalah yang sama pasca kongres terakhir yang mengantarkan Zulkifli Hasan kembali menjadi orang nomor satu PAN. Terpilihnya Zulhas mengundang polemik, karena kubu Mulfachri Harahap yang didukung sesepuh PAN, Amien Rais tidak menerima hasil kongres yang dituding penuh kecurangan. Zulhas sendiri dipandang terlalu kompromistis terhadap penguasa. Hal ini dianggap bertentangan dengan keinginan mayoritas kader dan simpatisan PAN yang menginginkan PAN berada di luar kekuasaan. Ditambah lagi mulai nampak upaya-upaya untuk menyingkirkan sosok Amien Rais sebagai simbol dan sesepuh partai yang membuat tersinggung warga Muhammadiyah. Karena, bagaimanapun sosok Amien Rais adalah pengikat emosional antara warga Muhammadiyah dengan PAN. Puncaknya adalah pengunduran Hanafi Rais dari PAN yang melahirkan wacana pembentukan PAN-Reformasi sebagai wadah politik baru bagi warga Muhammadiyah.

Jauh sebelumnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sudah lebih dulu terbelah. Mirisnya, sebagai parpol Islam tertua, PPP kini mengalami penurunan suara yang sangat signifikan, bahkan pada pemilu terakhir nyaris tak lolos parlementary treshold (PT).

Kondisi parpol-parpol Islam hari ini tentu sangat memprihatinkan. Sehingga muncul pertanyaan, dengan asumsi PT 4%, apakah pada pemilu 2024 parpol Islam yang dalam kondisi terpecah belah masih mampu bertahan di parlemen?

Masyumi Reborn, mungkinkah?

Partai Masyumi adalah  partai Islam terbesar pada masanya. Pada awal berdirinya Partai Masyumi memiliki Anggota Istimewa yang terdiri dari ormas-ormas Islam yang diantaranya adalah Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Syarikat Islam (SI), serta Perti. Dan seiring berjalannya waktu, ormas-ormas Islam yang mendukung Masyumi semakun bertambah.

Namun sebelum pemilu 1955, Masyumi mengalami konflik internal, sehingga NU, SI dan Perti keluar dari Masyumi dan mendirikan parpol sendiri. Namun demikian pada pemilu 1955 Masyumi tetap menjadi partai Islam terbesar. Hal itu dikarenakan Partai Masyumi dahulu memiliki basis massa yang jelas, terutama dari kalangan Muhammadiyah.

Sayangnya, umur Masyumi tidak panjang, karena penguasa waktu itu menuding Masyumi terlibat pemberontakan PRRI/Permesta, sehingga penguasa waktu itu mengultimatum Masyumi untuk membubarkan diri atau dibubarkan dengan konsekuensi menjadi partai terlarang. Dan para pimpinan Masyumi waktu itu lebih memilih opsi pertama, yakni membubarkan diri.

Pasca runtuhnya rezim Orde Lama, upaya merehabilitasi Partai Masyumi pernah dilakukan. Ormas-ormas Islam, diantaranya yaitu Muhammadiyah, Wanita Islam, HSBI, Al-Wasliyah, Persatuan Islam Nahdlatul Wathan, Mathlaul Anwar, Sarekat Nelayan Islam Indonesia, Kesatuan Buruh Islam Merdeka, dan Persatuan Umat Islam mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk merehabilitasi Partai Masyumi, namun ditolak.

Namun demikian pemerintah waktu itu mengizinkan untuk mendirikan parpol baru yang tidak memiliki keterkaitan dengan Masyumi, termasuk melarang tokoh-tokoh Masyumi terlibat didalamnya. Maka berdirilah Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Namun dalam perjalanannya Parmusi pun tidak lepas dari infiltrasi pemerintah, sehingga para tokoh Masyumi menarik dukungan dari Parmusi. Demikian hingga pemerintah mengambil kebijakan menggabungkan partai-partai Islam kedalam satu wadah menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Setelah reformasi tahun 1998, para generasi penerus Masyumi kembali menggulirkan ide membangkitkan membali Partai Masyumi Digawangi oleh Prof. Anwar Harjono, maka berdirilah Partai Bulan Bintang (PBB) yang dinisbatkan sebagai pewaris Masyumi.

Namun PBB tidak seperti Masyumi dahulu yang memiliki basis massa yang kuat. Jika dulu Masyumi masih didukung oleh ormas Muhammadiyah yang merupakan ormas Ialam mainstream, kini PBB hanya didukung oleh ormas-ormas Islam non-mainstream. Sementara warga Muhammadiyah lebih memiliki keterikatan emosional dengan PAN. Adapun warga Nahdliyin sudah memiliki wadah politik sendiri lewat PKB dan PPP. Belum lagi muncul Partai Keadilan (PK, sekarang PKS) yang memiliki kaderisasi kuat dan terbukti mampu menciptakan basis massa sendiri.

Fusi partai-partai Islam baru, mungkinkah?

Mungkin akan sulit membayangkan Masyumi Reborn akan berfusi dengan PKS atau Gelora, karena keduanya memiliki latar belakang dan corak yang berbeda. Demikian juga antara PAN-Reformasi dengan PKS, nampaknya akan sulit terwujud, karena PKS memiliki sistem kaderisasi sendiri yang sudah mapan. Apalahi PKS nampaknya masih cukup percaya diri meskipun sebagian kadernya menyeberang ke Gelora.

Adapun fusi PAN-Reformasi dengan Gelora masih mungkin dilakukan. Karena meskipun Gelora didirikan oleh eks kader-kader PKS, namun nampaknya Gelora lebih bersifat inklusif.

Namun Fusi Masyumi Reborn dan PAN-Reformasi, nampaknya yang paling realistis, tetapi mungkinkah?

Secara hitung-hitungan rasional Masyumi Reborn, yang bisa dikatakan sebagai ‘pecahan PBB’ mungkin bisa mengungguli suara PBB yang sudah kehilangan basis massanya. Namun Masyumi Reborn akan tetap akan sulit bersaing meraih ‘parlementary treshold’ (dengan asumsi PT 4%), mengingat sebelum PBB pecah pun untuk meraih 2% suara saja sulit. Oleh karena itu berfusi dengan kekuatan politik yamg memiliki basus massa menjadi hal yang perlu dipertimbangkan. Dan yang paling realistis adalah berfusi dengan PAN-Reformasi.

Kenapa PAN-Reformasi? Karena PAN-Reformasi sangat potensial menarik dukungan warga Muhammadiyah, khususnya warga Muhammadiyah yang selama ini menjadi konstituen PAN. Disisi lain PAN-Reformasi juga membutuhkan dukungan untuk menarik simpati alumni 212 yang nampaknya menjafi pendukung utama Masyumi Reborn.

PAN-Reformasi sendiri boleh merasa cukup percaya diri, karena mayoritas simpatisan PAN, terutama yang berlatar Muhammadiyah masih sangat loyal kepada sosok Amien Rais. Namun demikian hal tersebut tetap tidak menjamin PAN-Reformasi akan debgan mudah lolos PT. Maka dari situ diperlukan fusi dengan kekuatan potensual lain.

Selain itu hubungan historis antara Masyumi dengan Muhammadiyah juga cukup kuat, mengingat Muhammadiyah adalah basis utama Masyumi di masa lalu.

Amien Rais sendiri, meski sebagai tokoh Muhammadiyah namun dikenal dekat dengan tokoh-tokoh Masyumi seperti M. Natsir dan Anwar Harjono. Meskipun antara Amien Rais dan PBB dahulu memiliki konflik, namun melihat kondisi terkini dan dengan komunikasi yang baik, saya kira konflik di masa lalu bisa dilupakan, demi kepentingan bersama.

Namun kendalanya adalah masalah asas partai. Pastinya para penerus Masyumi di Masyumi Reborn tidak akan bisa menerima jika Islam tidak dijadikan asas partai. Jangan sampai ada lagi pandangan bahwa ‘partai Islam ibarat pajaian kekecilan’.

Namun yang perlu diperhatikan para elit parpol Islam adalah, hendaknya keinginan mendirikan partai politik baru dipikirkan dengan matang. Jangan sampai partai-partai Islam baru justru menggembosi suara partai Islam yang sudah mapan.

Tentu menjadi sebuah musibah besar manakala partai-partai Islam seluruhnya tidak lolos ‘parlementary treshold’. Jika demikian, siapa yang akan menjadi penyalur aspirasi umat ini?

oleh : Faisal Rahman