Dari Relasi Kebencian Ke-Koelsotensi; Upaya Merentang Kembali Hubungan Islam dan Barat Pasca ketegangan

 Romli Syarqowi, Lc. M.A

I. Pendahuluan

Salah satu persoalan yang disisakan oleh tragedi 11 September 2001 di Washington dan New York, AS, adalah “nasib” hubungan Islam dan Barat. Tragedi tersebut telah memunculkan dua asumsi yang memposisikan Islam dan Barat dalam posisi konfrontatif. Asumsi pertama mengatakan bahwa Barat, secara khusus Amerika Serikat (selanjutnya AS), sangat memusuhi Islam dan melihat tragedi itu sebagai serangan Islam terhadap Barat. Sementara, asumsi kedua menganggap bahwa Islam membenci AS dan Barat secara umum serta memandang serangan balasan AS terhadap Afghanistan dan serangan “misi demokratisasi” di Irak sebagai serangan Barat terhadap Islam. Asumsi semacam ini tak urung memunculkan asumsi lanjutan bahwa perseteruan yang terjadi antara AS dengan Afghanistan dan Irak adalah perseteruan antara Islam dan Barat. Asumsi-asumsi ini menempatkan Islam dan Barat dalam pola “relasi kebencian”.

Kesan seperti itu memang sulit dihindari, karena pada kasus tragedi 11 September 2001, sejak menit pertama pemerintah AS telah menuduh pihak-pihak yang notabene Muslim sebagai pelaku serangan WTC dan Pentagon di negara adikuasa itu. Hanya dalam waktu yang relatif singkat, para pejabat AS mem-“vonis” Usamah bin Ladin—tanpa menunjukkan bukti-bukti (to produce evidences) kepada publik dunia—sebagai mastermind di balik serangan tersebut. Selain itu, beberapa nama arab dari orang-orang yang berasal dari Timur Tengah juga disebut terlibat dalam terorisme tersebut dan dianggap memiliki jaringan dengan kelompok Usamah bin Ladin. Tindakan pemerintah AS ini berimplikasi lebih lanjut pada menguapnya logika klasik publik AS—juga Barat pada umumnya—yang  menempatkan Islam sejajar dengan terorisme, fundamentalisme, dan kosa kata “menyeramkan” lainnya. Logika mereka kira-kira; Pelaku terorisme di AS adalah Usamah bin Ladin. Ia beragama Islam. Maka Islam adalah sumber, atau identik, dengan terorisme.

Selain itu, jargon yang mengemuka pasca terorisme itu sarat dengan nuansa sentimen keagamaan. Kita mungkin masih ingat, tak lama setelah penyerangan WTC dan Pentagon terjadi, Presiden George W. Bush mengeluarkan pernyataan politik yang justru kontraproduktif dengan momentum yang semestinya digunakan untuk membangun koalisi global anti terorisme. Pernyataan sentimentilnya tentang Crussade telah mengalihkan persoalan terorisme yang sejatinya merupakan persoalan kriminalitas politik, menjadi persoalan yang bernuansa keagamaan. Maka tidak mengherankan bila reaksi yang dimunculkan pihak Usamah bin Ladin dan Taliban Afghanistan serta beberapa belahan dunia Muslim lainnya juga menggunakan jargon keagamaan, seperti jihâd fi sabîlillâh, dâr al-harb, dâr al-Islâm, dan  jargon-jargon lain yang melambangkan pemerangan terhadap kaum  kafir.

Demikian pula pada kasus serangan AS dan sekutunya terhadap Irak. Dengan dalih demokratisasi dan pembebasan rakyat Irak dari otoritarianisme rezim Saddam Husein, AS dan sekutunya dengan semena-mena menyerang Irak, walaupun tanpa mengantongi “izin” dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Terlepas dari pro dan kontra terhadap rezim Saddam, Irak adalah sebuah negara yang berpenduduk mayoritas Muslim dan merupakan salah satu simbol dari pusat peradaban Islam. Karena itu, tak mengherankan bila serangan AS dan sekutunya terhadap Irak dianggap sebagai wujud permusuhan Barat terhadap Islam.

Kondisi ini tentu tidak menguntungkan bagi masa depan hubungan Islam dan Barat. Hubungan “harmonis” yang selama ini terjalin antara Islam dan Barat terancam rusak, karena terbukanya kembali kotak pandora yang menyimpan prasangka dan permusuhan satu sama lain. Stereotype tentang Islam, seperti identik dengan kekerasan, ekstrem, radikal, fundamentalis, otoriter, dan lain-lain, menjadi “aksioma” yang telah mengakar dalam pikiran bawah sadar masyarakat Barat. Sebaliknya, prasangka kalangan Islam bahwa Barat dan jaringan zionismenya selalu menyusun konspirasi untuk menghancurkan Islam, menjadi “virus” yang menggurita dalam memori umat Islam. Prasangka-prasangka “laten” semacam itu kini muncul ke permukaan menyusul peristiwa 11 September 2001 di AS dan penyerangan semena-mana AS terhadap Afghanistan dan Irak.

Akankah rangkaian peristiwa-peristiwa tersebut menjadi tengara suram atau berakhirnya keharmonisan hubungan Islam dan Barat, atau bahkan menjadi prolog “benturan antar peradaban”? Lalu, Bagaimana membangun kembali hubungan Islam dan Barat pasca ketegangan tersebut?

II. Pembahasan

A.     Islam dalam Perspektif Barat

John L. Esposito, Guru besar Politik Islam di Universitas Georgetown, AS, mengemukakan beberapa pertanyaan menarik berkaitan dengan hubungan Islam dan Barat: “Apakah benturan Islam dan Barat adalah sebuah kemestian? Apakah fundamentalisme Islam adalah kaum fanatik abad Tengah yang mengancam stabilitas di dunia Islam dan kepentingan-kepentingan Barat? Apakah Islam tidak compatible dengan demokrasi?”

Demikian beberapa pertanyaan yang dikemukakan John L. Esposito dalam pengantar bukunya, The Islamic Threat: Myth or Reality.[1] Esposito mengatakan bahwa sejak kemunculan Imam Khomaini di Iran, Saddam Husein di Irak, dan Taliban di Afghanistan, citra Islam sebagai agama militan, radikal, fundamentalis, ekspansionis, dan anti-Barat telah merasuki pikiran para pemimpin negara-negara Barat dan media massanya. Kecaman Khomaini terhadap Amerika sebagai setan terbesar (al-syaithan al-akbar), pekikan-pekikan “matilah Amerika” hingga seruan Saddam Husein untuk jihad melawan kaum kafir asing, semakin mengukuhkan citra Islam di mata Barat sebagai agama yang sangat terang dan jelas mengancam Barat.

Ketakutan Barat terhadap Islam dan kaum Muslim bukanlah sesuatu yang mengada-ada. Bagi masyarakat Barat, Islam menjadi simbol dari segala tindak kekerasan dan anarkis yang menakutkan. Mereka menjadi sensitif dan alergi terhadap segala hal yang berbau Islam. Sayangnya, Umat Islam seperti tidak menyadari hal ini dan menganggap semua itu semata igauan dan sikap “iseng” untuk mengusik kaum Muslim. Umat Islam seakan menutup mata bahwa citra buruk terhadap Islam telah meluas dan mempengaruhi tindakan serta kebijakan para pemimpin-pemimpin Barat di dunia Muslim khususnya.

Dalam persepsi Barat, Islam identik dengan kekerasan, terorisme, fundamentalisme, otoritarianisme, dan proklamasi perang terhadap Barat. Islam dianggap satu-satunya ancaman bagi Barat dan peradabannya. Dan kaum Muslim dianggap berambisi menguasai dunia dan menggugurkan pencapaian-pencapaian modernitas serta mengembalikannya pada abad pertengahan yang terbelakang dan tidak berpengetahuan. Bila Islam menguasai dunia, seluruh kemajuan yang telah dicapai oleh Barat, baik ilmu pengetahuan, teknologi, industri dan lain-lain, terancam musnah dan digantikan oleh praktek-praktek mistik yang irrasional. Pada gilirannya, tingkat kehidupan manusia yang penuh dengan kreativitas dan produktivitas akan tersingkirkan oleh kehidupan yang statis, rigid, dan anti-progresif. Demikian gambaran yang berkembang selama ini di masyarakat Barat tentang Islam. Hal ini, menurut Esposito, merupakan akumulasi dari sejarah panjang relasi Islam dan Barat yang didasari rasa benci, saling tidak percaya, dan penuh pertentangan.[2]

Citra buruk Islam ini, unfortunately, tidak hanya meluas di kalangan masyarakat umum, tapi juga di kalangan akademisi Barat. Beberapa kajian yang dilakukan oleh para akademisi Barat meneguhkan citra Islam sebagai the next enemy bagi Barat. Francis Fukuyama, adalah satu di antara para akademisi AS yang pemikiran-pemikiran politiknya banyak mendapat sambutan luas di kalangan masyarakat Barat. Dalam bukunya, The End of History and The Last Man[3], Fukuyama mengemukakan bahwa sejarah manusia terbangun atas dasar benturan atau pertentangan (clash/shirâ’). Setiap siklus pertentangan itu selalu diakhiri dengan kekalahan sebuah sistem dan kemenangan sistem lainnya. Dan kini, pertentangan sudah mencapai babak akhirnya dengan kemenangan liberalisme Barat atas komunisme sebagai pesaing terakhirnya. Kemenangan liberalisme ini merupakan evolusi terakhir pemikiran ideologis manusia. Ia akan menjadi satu-satunya sistem yang menguasai dunia, baik dalam bidang ekonomi maupun politik. Setelah liberalisme, tak akan ada lagi perkembangan ideologi. Ia akan menjadi ideologi tunggal yang menguasai dunia.[4]

Namun, lanjut Fukuyama, di masa depan, peradaban Barat masih akan berhadapan dengan satu musuh ( the next enemy) lagi, yaitu Islam. Islam adalah sebuah sistem yang didasarkan pada keyakinan. Sebab itu ia menjadi ideologi yang akan berdiri vis a vis ideologi Barat. Karenanya, salah satu di antara keduanya mesti ada yang menang dan kalah, sebab dunia tak dapat  terus berlangsung dalam keadaan pertentangan antara dua ideologi; Barat dan Islam.[5]

Samuel Huntington, adalah akademisi Barat lain yang mengemukakan tesis serupa dengan Fukuyama. Sejarah kehidupan di bumi ini, menurut Huntington, adalah sejarah benturan antar peradaban (clash of civilizations). Setelah kemenangan liberalisme atas komunisme, pada masa berikutnya pertentangan tak akan lagi berupa pertentangan ideologi maupun ekonomi, melainkan pertentangan budaya yang menjadi pemisah masing-masing peradaban.

Sebenarnya tesis Huntington mengandung maksud untuk memetakan kembali pengelompokan negara-negara di dunia pasca perang dingin yang dinilai tidak relevan lagi. Ia mengelompokkan negara-negara dalam suatu entitas budaya, yaitu Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Ortodox Slavia, Amerika Latin, dan Afrika. Tidak hanya berhenti pada pengelompokan itu, ia kemudian membuat suatu prediksi yang kemudian menimbulkan polemik di kalangan masyarakat akademik, yaitu munculnya konflik baru sebagai reproduksi konflik pasca Perang Dingin. Bedanya, konflik di masa yang akan datang, menurut Huntington, akan terjadi sepanjang garis pemisah budaya (cultural fault lines) yang saling memisahkan peradaban-peradaban. Dengan kata lain, peradaban—bukan ekonomi, politik, dan ideologi—tegas Huntington, yang akan memicu clash of civilizations.[6]

Yang menarik dari pengelompokan Huntington itu adalah perhatiannya terhadap peradaban Islam sebagai salah satu kelompok peradaban yang paling potensial menimbulkan benturan, terutama dengan peradaban Barat. Hal ini, menurut Huntington, karena peradaban Islam dan peradaban Barat memiliki beberapa perbedaan mendasar—selain perbedaan agama—yang secara umum terdapat pada masing-masing kelompok peradaban, seperti sejarah, bahasa, budaya, dan tradisi. Selain itu, sejarah juga telah menunjukkan bahwa di sepanjang garis pemisah antara peradaban Islam dan Barat telah terjadi konflik selama + 1300, seperti yang secara spektakuler ditunjukkan oleh perang salib (Crussade). Tegasnya, sejauh ini Barat belum terbebas dari ancaman peradaban lain, bahkan sebaliknya akan mendapatkan ancaman serius dari new enemy, yaitu peradaban Islam dan Konfusionisme.

Karena itu, Huntington memberikan warning kepada Barat akan munculnya fundamentalisme Islam yang semakin agresif. Fundamentalisme Islam, tegas Huntington, menjadi ancaman nomor wahid bagi Barat. Mereka akan memaksakan keyakinannya dengan kekerasan, teror, dan cara-cara lain untuk menghancurkan peradaban Barat.[7] Singkatnya, Huntington menjelaskan kepada dunia Barat bahwa Islam adalah ancaman berikut—setelah runtuhnya Komunisme—bagi masa depan peradaban Barat.

Terlepas dari kritik yang dilontarkan banyak pakar, pandangan Huntington dan Fukuyama ini diapresiasi secara luas oleh masyarakat Barat. Bahkan analisis keduanya seakan menjadi rujukan paling absah bagi Barat dalam memandang Islam. Pengaruh tesis kedua akademisi Barat ini tidak hanya tampak pada masyarakat umum, tapi juga dijadikan pertimbangan bagi para pemimpin Barat dalam menyusun strategi politik dan kebijakan luar negerinya.

Islam sebagai ancaman, seakan sudah menjadi kebenaran yang tak terbantahkan bagi masyarakat Barat. Asumsi ini dianggap menemukan kebenarannya ketika terjadi peristiwa kekerasan yang melibatkan orang-orang muslim sebagai pelakunya. Sejauh ini, asumsi ancaman Islam telah mengakar di alam bawah sadar masyarakat Barat, sehingga setiap peristiwa kekerasan dengan mudah dialamatkan kepada kelompok muslim sebagai penyebab dan pelakunya.

Bisa jadi, persepsi tentang Islam di Barat tidak didasarkan pada pengetahuan yang memadai tentang Islam. Diakui Esposito bahwa masyarakat AS sendiri tidak banyak tahu tentang Islam. Citra mereka tentang Islam lebih bersifat negatif, misalnya karena poligami, jilbab perempuan, dan beberapa peristiwa tragis yang para pelakunya melibatkan orang-orang Islam. Mereka sama sekali tidak melihat adanya keragaman dan kekayaan pemikiran serta gerakan dalam Islam.

Dari itu, tidak heran jika pandangan Barat terhadap Islam tampak simplistis. Hal ini setidaknya disebabkan dua hal. Pertama, di Barat, studi-studi dan buku-buku yang ditulis secara obyektif sangat terbatas jumlahnya, hingga Islam tidak dapat dipahami secara baik oleh masyarakat Barat. Kedua, media massa Barat hanya mengedepankan pemberitaan yang mengedepankan potret Islam sebagai agama yang kolot, menganjurkan poligami, “doyan” perang dan menggunakan cara teror bersenjata untuk melawan Barat. Islam dipandang sebagai fenomena yang statis, baik budaya, keyakinan maupun masyarakatnya. Islam juga dipandang sebagai agama yang anti-modernitas, konservatif, dan anti-rasionalitas, karena menolak setiap kerja-kerja kreatif-inovatif  (ijtihad), sejak beberapa abad yang lalu.[8]

Penggambaran Islam seperti di atas diterima luas tidak hanya oleh masyarakat Barat, tetapi masyarakat di seluruh dunia. Melalui penguasaannya terhadap sarana komunikasi dan media massa, Barat dengan leluasa dapat membentuk citra Islam di hadapan publik internasional sesuai dengan kehendaknya.

Secara umum, cara pandang Barat terhadap Islam dapat dibedakan dalam beberapa kelompok.[9] Pertama, simplifikatif dan generalistik. Islam sering digunakan Barat dalam bentuk penyamarataan yang kurang cermat. Begitu juga kaum Muslim sering dilihat sebagai masyarakat yang monolitik. Seolah-olah dengan menyebut Islam atau muslim, maka sudah mewakili keanekaragaman geografis, negara, etnis, budaya, dan sejarah dari suatu masyarakat yang membentang dari Afrika sampai Asia, yang penduduk muslimnya sekitar satu milyar.

Demikian pula ketika menjelaskan gerakan-gerakan yang muncul di dunia Islam, khususnya Timur Tengah, generalisasi juga dilakukan terhadap seluruh gerakan-gerakan muslim. Mulai dari gerakan-gerakan yang muncul di Aljazair, Libanon, Iran, Libya, Mesir, Yordania, Arab Saudi dan lain-lain, bagi Barat selesai dijelaskan dengan satu istilah; Islamic Fundamentalism (fundamentalisme Islam). Ketidaksanggupan masyarakat Barat dalam mengungkapkan spektrum pemikiran dan gerakan-gerakan Muslim menyebabkan mereka terjebak pada simplifikasi dan generalisasi yang pada akhirnya menimbulkan kesalahpahaman.

Kedua, etnosentris dan rasis. Di masyarakat Barat, Islam bukan hanya tidak digambarkan secara akurat, tapi juga sering dicampuradukkan dengan etnosentrisme dan kebencian rasial. Dalam banyak kasus, Arab—yang dianggap Barat sebagai representasi Islam—sering dianggap sebagi kaum fanatik relijius yang mengabdi pada agama perang dan anti-Barat. Warisan mereka hanya perang suci (jihad) dan pembunuhan terhadap kaum kafir. Mereka merasa betul-betul taat dan semakin dekat kepada Tuhan setelah memenggal manusia lain yang dianggap musuhnya.

Bagi Barat, Islam identik dengan Arab, sehingga apa yang menjadi ciri, sikap dan karakter orang Arab dianggap Islam par excellent. Padahal, masyarakat muslim Arab tidak begitu besar bila dibanding kaum muslim di luar Arab, seperti Asia, maupun negara-negara muslim pecahan Uni Soviet. Kebencian Barat terhadap Islam, seringkali disebabkan tindakan dan sikap orang-orang Arab, karena bagi mereka Arab itu Islam atau sebaliknya.

Ketiga, terbelakang dan anti kemajuan. Dalam pandangan Barat, Islam atau negara-negara muslim tidak dianggap sebagai bagian dari Eropa atau Amerika yang merupakan negara maju. Negara-negara muslim dipandang sebagai bagian dunia ketiga yang terbelakang. Karena itu, setiap upaya-upaya muslim untuk melaksanakan agamanya dengan baik sering dianggap sebagai wujud nyata keterbelakangannya. Ekspresi-ekspresi politik kaum muslim yang dalam banyak hal bertitik tolak dari ajaran Islam dianggap pelestarian dan upaya mengembalikan dunia modern ke abad pertengahan. Kaum muslimah yang mengenakan jilbab karena pertimbangan-pertimbangan religius, dianggap sebagai wanita yang terbelenggu, terampas hak-haknya, konservatif, tidak tersentuh modernisasi dan sebagainya.

Keempat, pelabelan dan pemberian image negatif. Dalam pandangan umum masyarakat Barat, Islam sering dipandang sebagai agama yang penuh kekerasan, intoleran, dan anti-demokrasi. Rujukan mereka adalah beberapa kejadian tragis dan politis yang terjadi di beberapa negara muslim. Pembunuhan terhadap presiden Sadat dan orang-orang asing di Mesir, revolusi Islam di Iran, serta beberapa upaya pemimpin Islam untuk menggunakan Islam sebagai alternatif sistem kenegaraan dianggap sebagai ancaman serius totalitarianisme terhadap demokrasi. Barat sering melihat seluruh kejadian itu semata sebagai sebuah fenomena fanatis dan fundamentalisme Islam tanpa melihat proses politik yang melatarbelakanginya.

Kelima, asumsi Islam sebagai ancaman (green menace). Cara pandang inilah yang paling banyak digunakan Barat dalam melihat Islam. Berdasarkan pada asumsi negatif terhadap Islam dan fenomena perkembangan gerakan-gerakan muslim yang berorientasi politik di belahan dunia muslim, Barat  menganggap Islam adalah ancaman terbesar yang dihadapi masyarakat Barat. Argumen yang berkembang di Barat relatif sama, yaitu gerakan-gerakan yang bertujuan menegakkan syariat Islam, baik di Mesir, Aljazair, Iran, Tunis, Afghanistan, Pakistan dan lain-lain cenderung melegalkan penggunaan kekerasan dan teror atas nama syariat. Mereka menghalalkan pembunuhan terhadap sesama, baik sama ataupun beda keyakinan,  atas nama jihad di jalan Tuhan. Maka wajar Barat merasa terancam bila dunia dikuasai oleh gerakan-gerakan semacam itu. Bagi Barat, gerakan yang demikian bukan hanya mengancam dunia Barat, tapi mengancam umat manusia secara keseluruhan.

Pandangan-pandangan semacam inilah yang menjadi latar pembacaan Barat terhadap banyak peristiwa yang melibatkan Islam dan kaum muslim, termasuk tragedi 11 September 2001, rezim Taliban di Afghanistan, dan rezim Saddam Husein di Irak.

B. Tragedi 11 September 2001 dan Clash of Civilizations

Sebagian kalangan, baik di Barat maupun di dunia Islam, memandang tragedi AS, perang Afghanistan dan Irak ini sebagai aktualisasi dari tesis yang pernah dikemukakan oleh Huntington pada dasawarsa 90-an tentang “benturan peradaban” (clash of civilizations). Dalam hal ini khususnya peradaban Barat dan Islam. Tampaknya, kemunculan kembali tesis yang notorious itu—setelah perdebatan tentangnya mereda pada paruh ke dua era 90-an—sulit dielakkan. Apalagi ketika publik Barat, khususnya AS, terlanjur mengklaim kelompok Islam sebagai pelaku tragedi 11 September 2001 di AS, tesis Huntington itu menjadi “kutipan wajib” di mana-mana. Dalam persepsi benturan peradaban ini,terutama ditekankan hanya ada dua kubu peradaban; AS dan negara-negara Eropa sekutu-sekutunya di satu pihak yang merepresentasikan dunia Barat, dan dunia muslim secara keseluruhan pada pihak lain.

Banyak pihak yang tidak setuju bahkan mencibir tesis Huntington ini. Tesis Huntington dianggap sebagai ilusi atau fantasi belaka. Tetapi tidak sedikit pula yang memberikan pembenaran terhadapnya. Setiap peristiwa tragis di dunia Islam yang bersangkutan dengan Barat, atau peristiwa tragis di dunia Barat yang berkait dengan Islam, kerap kali dianggap sebagai konfrontasi total antara Islam dan Barat. Lebih jauh peristiwa itu dianggap sebagai bukti nyata dari “petuah” Huntington tentang benturan peradaban itu. Ketika muncul terorisme di AS, kemudian ada “fatwa” bahwa otak pelakunya adalah Usamah bin Ladin yang muslim, disusul dengan serangan balasan AS terhadap Afghanistan dan Irak, maka banyak kalangan kembali melirik pada tesis Huntington itu.

Berkaitan dengan tragedi AS, Afghanistan, Irak dan isu benturan peradaban, kiranya perlu diajukan pertanyaan: Apakah Usamah bin Ladin dan rezim Taliban Afghanistan serta rezim Saddam Husein, bisa dikatakan representasi Islam? Atau katakanlah kita mengamini tesis Huntington, apakah rangkaian tragedi itu bisa dikatakan sebagai bentuk dari—atau minimal telah memenuhi syarat—benturan  antara peradaban Barat dan Islam?

Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Sebagian kalangan cenderung melihat persoalan ini secara hitam-putih, sehingga tanpa sadar terjebak dalam—meminjam istilah Azyumardi Azra—simplifikasi (simplification) dan generalisasi (generalization) yang berlebihan.[10] Karena itu, kita perlu mempertegas masing-masing variabel yang terlibat dalam konflik itu, bukan hanya untuk menghindari pandangan simplistis atau generalis, melainkan untuk menempatkan masing-masing variabel pada proporsinya. Di samping itu, diperlukan juga pengujian ulang terhadap validitas tesis Huntington tersebut.

Menurut Azra, pada level wacana teoritis, argumen Huntington ini telah banyak mendapat gugatan penolakan dan argumen bantahan dari kalangan ahli Barat maupun Islam. Kontra-argumen itu pada intinya menyimpulkan bahwa Huntington telah melakukan sweeping generalizations dan gross simplifications, generalisasi dan simplifikasi berlebihan terhadap dinamika hubungan Islam dan Barat. Padahal hubungan di antara kedua peradaban ini tidaklah sesederhana seperti yang dipersepsikan Huntington, tapi sebaliknya sangat kompleks dan multi facetted, di masa lalu, apalagi di masa kini. Lagi pula, masih menurut Azra, istilah civilizations, yang menurut Huntington mengalami perbenturan, mengandung aspek dan dimensi yang sangat luas, mulai dari kebudayaan (culture), sosial, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan sains, teknologi, kemiliteran, dan lain-lain. Bertolak dari luasnya aspek-aspek peradaban ini, maka jika memang ada “perbenturan”, hal itu terutama terjadi pada bidang politik dan militer yang dalam kasus-kasus tertentu berasal dari, atau melibatkan faktor agama, dalam hal ini Islam dan Kristen.[11]

Pada sisi yang lain, sebagai sebuah kerangka analisis, tesis Huntington ini agak mengalami kesulitan pada level praksisnya. Terlebih bila dihadapkan pada persoalan-persoalan kongkret yang mengitari peristiwa di seputar dunia Barat dan Islam. Dalam banyak kasus, konflik yang melibatkan unsur Islam di satu pihak, dan Barat di pihak lain, terlalu sulit untuk disebut sebagai benturan antara peradaban Barat dan Islam. Dalam kasus perang teluk, sekadar menyebut contoh, sulit dikatakan sebagai benturan Barat-Islam, karena realitasnya beberapa negara Islam, termasuk Saudi Arabia, cenderung pro-Barat dan bahkan meminta perlindungan terhadap Barat, dalam hal ini AS.

Hal yang kurang lebih sama terjadi juga pada beberapa kasus yang berkembang dewasa ini, mulai dari kasus terorisme di AS hingga perang di Afghanistan dan Irak. Bisa dipastikan, negara-negara Islam di Timur Tengah dan beberapa negara yang penduduknya mayoritas Islam mengalami polarisasi dalam menyikapi peristiwa-peristiwa tersebut. Tentang aksi terorisme yang meminta banyak korban sipil tak berdosa itu, tentu dapat dikatakan mayoritas negara di dunia—untuk tidak mengatakan semuanya—sama-sama sepakat untuk mengutuknya. Tetapi serangan balik AS terhadap Afghanistan dan Irak tidak mendapat respon serupa. Alih-alih menyetujuinya, sebagian masyarakat Barat, bahkan sebagian masyarakat AS sendiri menganggap keputusan pemerintahnya itu keliru. Dengan demikian, hemat penulis, sulit menyimpulkan adanya benturan Islam-Barat pada setiap peristiwa yang melibatkan pihak Barat dan Islam.

Kesulitannya terletak pada setidaknya dua hal. Pertama, identifikasi pihak “Barat” dan pihak “Islam” yang tidak pernah jelas dan tepat pengertiannya. Seringkali banyak orang terjebak pada kecenderungan generalisasi ketika berbicara siapa itu “Barat” dan siapa itu “Islam”. Padahal, pada masing-masing variabel itu memiliki karakteristik yang sering tidak sama.

Dalam pengertian yang populer, “Barat” kerap kali diidentikkan dengan bangsa Eropa dan Amerika. Sementara jelas ada perbedaan yang amat besar dan mendalam antara bangsa-bangsa yang hidup di dua benua tersebut. “Barat” juga seringkali diidentikkan dengan AS, padahal AS sendiri terdiri dari berbagai negara bagian yang masing-masing memiliki karakter unik dan beragam pandangan-pandangannya. Jadi jelas tidak tepat memandang masyarakat Barat sebagai sebagai sebuah komunitas bangsa yang tunggal. Demikian juga tidak arif menilai masyarakat AS sebagai himpunan orang-orang yang seragam pendapatnya, apalagi mengidentikkannya dengan segala kebijakan pemerintahannya.

Demikian pula yang terjadi pada Islam. Apa yang sering disebut kelompok “Islam” sebenarnya juga tidak begitu jelas. Sebab, Islam sebagai sebuah agama telah mengalami “sosialisasi”, mewujud dalam komunitas masyarakat dalam frame historis yang panjang. Karena itu, pengertian pihak “Islam” menjadi sama sekali sosiologis, dalam arti wujud kongkret masyarakat yang hidup dalam ranah sejarah tersebut. Pada tataran ini, pihak “Islam” tidak bisa dibaca secara tunggal, karena bertentangan dengan realitas kongkret masyarakat Islam itu sendiri yang plural dan tidak seragam. Sebagai contoh, dalam menyikapi beberapa peristiwa yang tersebut di atas, pandangan umat Islam sangatlah beragam.[12]

Jadi, menyebutkan Usamah bin Ladin, Kaum Taliban maupun rezim Saddam Husein sebagai representasi Islam sangatlah tidak tepat, walaupun mereka kebetulan beragama Islam dan hidup di negara yang seolah-olah menerapkan Syariat Islam. Bahwa kita harus menentang aksi perang AS terhadap Afghanistan dan Irak, itu sah saja, karena AS memang tidak mampu menunjukkan alasan-alasan yang kuat untuk melegitimasi tindakannya itu. Begitu pula bahwa kita harus simpati terhadap penderitaan rakyat Afghanistan dan Irak yang tak putus dirundung malang, juga suatu kelaziman, bukan hanya karena mereka bagian dari Islam, tapi juga karena mereka bagian dari manusia seluruhnya yang berhak menghirup kedamaian dan menikmati kesejahteraan. Namun, menyamakan serangan AS ke Afghanistan dan Irak sebagai serangan Barat terhadap Islam, adalah penyikapan yang sangat simplistis.

Kedua,  dalam beberapa kasus, konflik antara salah satu negara Barat dengan negara Islam itu lebih menampakkan konflik kepentingan—terutama politik dan ekonomi—daripada konflik agama. Kalaupun ada unsur agama, maka ia hanya dijadikan mask dari kepentingan yang sebenarnya untuk menggugah sentimen masing-masing pihak maupun menarik dukungan publiknya masing-masing.

Dalam kasus konflik AS dan sekutunya dengan Afghanistan maupun Irak, hemat penulis, lebih tepat disebut sebagai pertarungan kepentingan antara kepentingan politik-ekonomi Barat dengan kelompok Islam Politik. Apa yang disebut sebagian orang sebagai “benturan antara Islam dan Barat” sebenarnya lebih tepat disebut sebagai benturan kepentingan yang sama sekali tak bersangkut paut dengan pertentangan agama, dalam hal ini Islam dan Kristen. Barat, dalam hal ini AS, dikenal sangat ambisius dalam upaya mengukuhkan hegemoninya di seluruh dunia. Sebagai satu-satunya negara adikuasa (super power) di dunia saat ini, AS merasa berkepentingan untuk meneguhkan dominasinya di dunia internasional, sehingga dengan leluasa dapat intervensi dalam urusan sistem sebuah negara sesuai dengan kepentingannya. AS perlu meyakinkan dirinya bahwa tidak ada kombinasi kekuatan lain yang mampu mencegah maupun menentang kebijakan-kebijakannya. Sebab itu, AS merasa perlu “menaklukkan” dunia internasional untuk melempangkan jalan politiknya dan mengeruk keuntungan ekonomi sebanyak-banyaknya. Sebagaimana diketahui, negara-negara muslim, memiliki kekayaan yang sangat dibutuhkan oleh Barat, dan pada saat yang sama negara-negara muslim bersama negara-negara lainnya merupakan pasar strategis bagi produk-produk Barat.

Kepentingan Barat di dunia Islam, khususnya Timur Tengah, sangat jelas. Timur Tengah memiliki cadangan minyak sangat besar yang dibutuhkan dunia Barat. AS dan Barat secara umum tidak mempunyai cadangan minyak yang cukup untuk mesin-mesin produksinya. Karena itu AS berkepentingan untuk menguasai wilayah itu. Hanya saja, langkah AS tidak selalu berjalan mulus, karena ada beberapa penguasa di Timur Tengah yang enggan “diatur” oleh AS. Inilah yang menumbuhkan kegusaran AS terhadap beberapa negara Muslim, seperti Irak, Afghanistan, Iran, Libya dan lain-lain. Kegusaran AS ini sebenarnya tidak disebabkan keislaman para pemimpin di negara-negara tersebut, tapi karena mereka dianggap menghambat kepentingan ekonomi-politik AS. Agama dan pencitraan buruk terhadapnya hanyalah dijadikan alat untuk melegitimasi tindakan represif AS terhadap dunia Islam.

Dari sini, gerakan-gerakan Islam muncul lebih sering dimotivasi oleh penolakan terhadap kebijakan-kebijakan Barat, terutama AS. Kehadiran dan kebijakan AS seringkali merupakan kekuatan pendorong paling utama di balik tindakan-tindakan yang menyerang kepentingan-kepentingan pemerintahan, bisnis, dan militer negara adikuasa itu. AS sering dipandang tidak konsisten dalam sikapnya berkaitan dengan banyak kasus, khususnya di dunia muslim.

AS, misalnya, tidak menyejajarkan kelompok-kelompok ekstremis Yahudi dan Kristen dengan Yahudi dan Kristen secara keseluruhan. Demikian pula, pemerintah AS tidak mengecam pencampuran antara agama dan politik yang berlangsung di Israel, Polandia, Eropa Timur, dan Amerika Latin.[13] Ketika berhubungan dengan kasus Islam, tingkat diskriminasi dan pemilahan-pemilahan yang sama tidak terjadi. Perjuangan bangsa muslim Palestina membebaskan bangsanya dianggap Barat sebagai terorisme Muslim, sementara julukan yang sama tidak diberikan kepada para agresor Yahudi. AS mengecam dan menghalangi pengembangan persenjataan nuklir di beberapa negara Muslim, seperti Iran, Pakistan, Irak, Libya dan lain-lain, sementara AS diam saja ketika hal itu terjadi di Israel dan India.

Bahkan dalam banyak kasus, AS lebih menunjukkan dorongan kepentingannya daripada konsistensinya terhadap demokrasi yang selalu didengungkannya.  Hal ini tampak dalam dukungan AS terhadap rejim tiranik, diktator, dan otoriter di negara-negara muslim. Dukungan terhadap negara-negara yang non-demokratis itu berlaku bila rejim penguasa negara tersebut dapat “bekerja sama” dengan Barat dan mampu menekan keras gerakan-gerakan muslim. Demokrasi tidak berlaku di dunia Islam jika hanya akan memunculkan kekuatan Islam atau melahirkan sebuah pemerintahan muslim. Sebaliknya, kediktatoran didiamkan bahkan diam-diam didukung bila ia mampu memelihara kepentingan-kepentingan Barat. Akhirnya, demokrasi dan anti- demokrasi, pada beberapa kasus menjadi kabur maknanya, karena terkait dengan sejauh mana sikap korporasi-akomodatif  suatu negara terhadap kepentingan Barat.

Dukungan Amerika terhadap rezim-rezim represif inilah yang mengintensifkan gerakan-gerakan anti-Amerikanisme secara khusus dan anti-Barat secara umum. Tidak adanya respon resmi dan tegas AS terhadap semua peristiwa penindasan maupun dukungan ekonomi dan politik mereka terhadap regim-regim yang otoriter dan represif, dipandang sebagai bagian dari skenario mereka dan bukti standar ganda AS dalam pelaksanaan demokrasi dan HAM yang selalu mereka dengung-dengungkan.[14]

Nah, gerakan Usamah bin Ladin, rezim Taliban, dan rezim Saddam Husein, di mata pemerintah AS sejak lama dipandang sebagai kelompok radikal yang secara jelas dan tegas menunjukkan keberaniannya dalam menantang dan melawan arogansi Barat, terutama AS.  Hal ini tentu dapat menghambat mereka dalam menancapkan panji-panji kepentingan  ekonomi-politiknya, terutama di negara-negara yang strategis dan potensial secara ekonomi seperti Afghanistan, Irak, dan negara-negara sekitarnya di Timur Tengah. Negara-negara ini memang dikenal memiliki kekayaan alam sangat besar, yang sangat dibutuhkan oleh peralatan teknologi industri Barat. Tak heran jika AS begitu “semangat” melibas setiap kekuatan yang dianggap dapat mengganggu eksistensi jaring kekuasaannya di negara-negara ini, seperti Usamah bin Ladin, kelompok Taliban, dan rezim Saddam Husein. Peristiwa terorisme yang meruntuhkan WTC dan Pentagon menjadi momentum bagi AS untuk mulai menghabisi kekuatan penghambat itu. Bahkan tidak tertutup kemungkinan target berikutnya adalah beberapa negara yang memiliki sikap kurang lebih sama dengan Usamah, Taliban, dan Saddam dalam menentang hegemoni Barat, seperti Iran, Suriah, Libya, dan lain-lain.

Karena itu, sekali lagi, tampaknya lebih arif bila kita menghindari kesimpulan yang simplistis atas persoalan konfrontasi antara AS dengan beberapa negara muslim. Tidak tepat mempersepsikan serangan terorisme di AS sebagai serangan muslim dan Islam secara keseluruhan terhadap Barat, sebagaimana juga tidak benar mempersepsikan serangan AS ke Afghanistan dan Irak sebagai serangan Barat terhadap kaum Muslim dan Islam secara keseluruhan. Lebih tidak tepat lagi apabila mengidentikkan dua peristiwa tersebut sebagai bentuk dari “benturan peradaban”.

Jika pandangan simplistis seperti itu dipertahankan, maka berarti kita membentangkan suasana psikologis yang kondusif bagi benturan kekerasan berikutnya. Padahal kekerasan tidak menyumbangkan apa-apa terhadap peradaban, kecuali luka-luka yang mendalam dan menganga sepanjang sejarah.

C. Ke Arah Dialog dan Koeksistensi Peradaban

Selain fenomena konflik dan konfrontasi antara AS dan sebagian dunia Islam itu, sebaiknya kita tidak mengabaikan fenomena lain dalam dinamika relasi Islam-Barat, yaitu adanya proses take and give dalam interaksi kultural yang telah memberikan kontribusi besar dalam peradaban. Pola saling memberi-menerima di antara peradaban-peradaban merupakan norma sejarah, sebagaimana dibuktikan oleh sejarah peradaban-peradaban itu sendiri.

Kalau kita mau jujur, sesungguhnya yang banyak terjadi antara Barat dan Islam sejauh ini adalah “dialog peradaban” dalam bentuk pertukaran ilmu pengetahuan, sosial, dan kultural. Betapa banyak pelajar atau mahasiswa dari belahan dunia muslim yang setiap tahun pergi untuk menimba berbagai ilmu “modern” di dunia Barat. Bahkan beberapa “pengeritik keras” Barat adalah mereka yang meraih gelar kesarjanaannya atau minimal pernah menimba ilmu di dunia Barat.[15] Demikian pula tak terhitung para sarjana Barat yang melakukan “rihlah intelektual” ke dunia muslim untuk mengkaji Islam.[16] Terlepas dari motif apapun yang melatarbelakanginya, yang jelas ada kemauan pihak lain untuk turut serta menampilkan Islam dalam pelbagai dimensi dan seginya. Fenomena ini menunjukkan betapa selama ini antara Islam dan Barat terjalin hubungan “mesra” yang konstruktif dan produktif bagi gerak laju peradaban.

Berbagai kajian mutakhir tentang ilmu pengetahuan dan sains juga menyimpulkan, kemajuan dalam bidang ini tidak terlepas dari kontribusi berbagai tradisi keilmuan yang dikembangkan masyarakat tertentu. Dengan kata lain, kemajuan suatu peradaban merupakan hasil dialektika antara satu peradaban dengan peradaban-peradaban lainnya. Sudah menjadi “takdir” bahwa sepanjang hamparan sejarah, peradaban-peradaban yang ada saling mempengaruhi dan mentransformasi.

Pada masa puncaknya, Islam memang  pernah berhasil mempertemukan banyak peradaban besar dengan embrio peradaban modern. Tapi dalam perjalanannya Islam “gagal” memasuki dunia modern tersebut. Justru Baratlah yang mampu memulai eksisistensi peradaban modern yang hingga saat ini mendominasi dan memancarkan bayangannya ke seluruh dunia.

Akan tetapi, meskipun abad modern kebetulan dimulai oleh Barat, dalam hal ini Eropa Barat Laut, namun sesungguhnya piranti pembentuk kemodernan itu berasal dari pengalaman hampir seluruh umat manusia, mulai dari Cina di Timur sampai Spanyol di Barat. Oleh karena rentang daerah peradaban pra-modern itu berpusat di kawasan Timur Tengah dengan budaya Islam-nya,maka yang paling banyak memberi kontribusi bahan-bahan klasik bagi timbulnya abad modern itu ialah peradaban Islam. Dalam kosa kata ilmu pengetahuan modern dapat kita temukan berbagai “jejak” yang menunjukkan bahwa sumbangan Islam itu terutama berujud berbagai bahan yang merupakan high culture umat manusia saat itu—dan sampai batas-batas tertentu—sampai saat sekarang.

Namun demikian, tidak seluruh peradaban Islam itu dihasilkan oleh kreasi umat Islam sendiri. Selain berkreasi, umat Islam klasik juga mengembangkan sikap terbuka terhadap peradaban dan ilmu pengetahuan umat-umat lain. Sikap ini melahirkan sikap-sikap lebih lanjut yang mendorong perkembangan ilmu dan peradaban, seperti tidak segan mengambil sesuatu yang baik dan bermanfaat dari umat-umat lain. Realitas historis menunjukkan bahwa pada awal-awal Islam, khususnya pada masa pemerintahan al-Makmun, terjadi adopsi tradisi intelektual secara besar-besaran dari tradisi Yunani ke dalam dunia Islam. Dari pergulatan dengan tradisi Yunani inilah Islam kemudian memainkan peran sentral dalam memperkenalkan Bangsa Eropa kepada hasil-hasil pemikiran dan filsafat Yunani.[17]

Dus, kemajuan ilmu pengetahuan dan sains yang ada di Barat saat ini melewati proses panjang dalam pengembangan dan tranmisi dialektis sejak masa Yunani, Kristen, Islam, dan Eropa. Karena itulah, kemajuan peradaban Barat saat ini berhutang pada tradisi keilmuan Judeo-Christian-Islamic. Ada pertukaran intelektual dan keilmuan yang intens di antara ketiga tradisi keagamaan, sosial, dan kultural ini.[18]

Dengan demikian, kemajuan peradaban baru (baca: Barat) saat ini tidak dapat dikatakan sama sekali baru dalam artian sejati, karena mereka tumbuh dengan memanfaatkan berbagai pencapaian dari peradaban-peradaban sebelumnya. Tidak ada peradaban yang mampu melepaskan diri seutuhnya dengan pengaruh peradaban yang mendahuluinya. Sebab, watak manusia tidak memungkinkan tercerabutnya pengalaman dan pengetahuan mereka secara tiba-tiba dan total dari masa lalunya. Peradaban baru ini hanya menerima, mencerna, mengembangkan—dan pada tingkat tertentu—“menciptakan” sesuatu yang “baru” dari pengalaman peradaban-peradaban sebelumnya.

Hal yang hendak ditunjukkan dengan penjelasan ini adalah ternyata “dialog peradaban” itu lebih sering terjadi daripada “benturan peradaban”. Realitas historis menjelaskan kepada kita bahwa “watak asli” dari peradaban adalah “dialog”, bukan “benturan”, sebagaimana ditunjukkan dalam ranah sejarah peradaban-peradaban besar di dunia.

Karena itu, dalam konteks relasi Islam-Barat belakangan ini, tantangan yang kita hadapi bukan sekadar menghindari setiap peluang yang mengarah pada benturan peradaban, melainkan bagaimana terlibat dalam dialog peradaban itu. Untuk itu, diperlukan prakarsa, baik pada tataran wacana maupun praksis, untuk saling mendukung keberadaan masing-masing peradaban dan kehendak untuk membangun saling pengertian (mutual understanding), sehingga memungkinkan hidup berdampingan (co-existence/al-ta’ayusy) secara damai dengan semangat toleransi dan kesetaraan.

Satu-satunya jalan yang dapat kita tempuh untuk mencapai hal tersebut adalah dialog. Kita mesti sepakat untuk menghindari kekerasan, karena langkah kekerasan hanya akan menjadi lahan subur bagi persemaian “benturan peradaban”. Kita harus merajut relasi hubungan Islam-Barat melalui dialog dengan menekankan dua hal.

Pertama, kesadaran akan kesetaraan. Pada tahap ini masing-masing pihak harus bersedia memposisikan diri setara dengan pihak lain. Barat, khususnya AS, hendaknya menyudahi sikap “superior”-nya dan membangun relasi yang setara dengan pihak lain, termasuk dunia Islam. Dialog dan kerjasama hanya akan bermakna bila didasarkan pada keseimbangan kepentingan dan bebas dari sikap hegemonik. Karena Bagaimanapun, struktur politik global tidak bercorak unipolar dalam arti berkekuasaan tunggal, walaupun AS saat ini menjadi satu-satunya negara super power.

Kedua, kemauan untuk memahami pihak lain (the otherness). Pada tataran ini, Islam hendaknya bersikap open minded terhadap terhadap pihak lain, terutama Barat. Demikian pula sebaliknya, Barat tidak menutup mata terhadap Islam, peradaban Timur, dan peradaban lainnya. Masing-masing harus membangun kesediaan untuk belajar dan berusaha memahami pihak lain dalam kerangka standar dan nilainya sendiri. Karena, kehidupan yang aman dan damai hanya bisa terwujud jika masing-masing pihak sepenuhnya memahami bukan hanya budaya dan pemikiran, tapi juga kepentingan, jalan dan pola hidup masyarakat atau pihak lain. Untuk memahami secara mendalam tentang budaya dan moral bangsa lain tentu meniscayakan pengukuhan dialog dengan mereka. Dan sebuah dialog yang bermakna hanya dapat terjadi bila pihak-pihak yang berkepentingan memposisikan diri mereka masing-masing pada kerangka budaya dan frame moral yang genuine dan original.

Dengan dialog, diharapkan dapat menghilangkan, atau minimal mengurangi, berbagai prasangka “miring”, kesalahpahaman (missunderstanding), citra distortif dan keliru (false and distorted image) satu sama lain yang terbukti dalam banyak kasus, mengantar pada “benturan peradaban”.

III. Penutup

Demikianlah, “relasi kebencian” yang terbangun antara Islam dan Barat seperti ditampakkan oleh peristiwa 11 September 2001 di AS, perang AS dan Taliban di Afghanistan, dan serangan AS dan sekutu terhadap rezim Saddam Husein di Irak, diakibatkan oleh faktor-faktor kompleks pada dua entitas budaya ini. Ketidaktahuan yang berujung pada kesalahpahaman dan dorongan kepentingan ekonomi politik adalah dua hal mendasar yang menjadi pemicu kecurigaan dan ketakutan, baik pada Islam (baca: kaum muslim) maupun Barat.

Karena itu, dialog menjadi yang sangat penting dilakukan demi menciptakan kondisi saling mengerti dan memahami. Melalui dialog, Islam perlu membuka diri untuk memahami Barat dengan segala rancang bangun peradabannya. Demikian pula Barat mesti membuka mata untuk mengerti Islam dengan keanekaragaman dan kompleksitasnya. 

Namun demikian, dialog bukanlah tujuan akhir dalam kaitan dengan hubungan Islam dan Barat, karena dialog hanya merupakan sarana untuk saling mengenal dan memahami perbedaan pada masing-masing peradaban. Tujuan yang mesti dicapai melalui dialog adalah kesiapan bersama untuk hidup berdampingan (koeksistensi) secara damai serta kesediaan untuk bekerja sama dalam mencapai kesejahteraan dan kemajuan.   Wallâhu a’lam bi al-shawâb.


[1] Edisi Arabnya berjudul , Al-Tahdîd al-Islâmîy: Khurâfah am Haqîqah?, terj. Qasim Abduh Qasim, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 2002), cet II, hal. 17

[2] Lihat Rajab al-Banna, Al-Gharb wa al-Islâm, (Kairo: Maktabah al-Usrah, 2002), terutama Bab I dan II; Juga bukunya yang lain, Al-Ummiyyah al-Dîniyyah wa al-Harb Dlid al-Islâm, (Kairo: Al-Hai’ah al-Mishriyyah li al-Kitâb, 1997), terutama Bab I; Lihat juga Mahmud Hamdi Zaqzuq, Humûm al-Ummah al-Islâmiyah, (Kairo: Dâr al-Rasyâd, 1998), terutama Bab III; Lihat juga bukunya, Al-Islâm wa al- Gharb, (Kairo: Al-Majlis al-A’lâ li al-Syu’ûn al-Dîniyyah, 2003), terutama Bab II.

[3] Edisi Arabnya berjudul Nihâyah al-Târikh wa Khâtam al-Basyar, terj. Husain Ahmad Amin, (Kairo: Markaz al-Ahrâm, 1993). 

[4] Ibid., hal. 57

[5] Ibid.

[6] Samuel  Huntington, Shadâm al-Hadlârât: I’âdah Shan’i al-Nizhâm al-‘Âlam, terj. Thala’at al-Syaib, (Kairo: Suthûr, 1998), hal. 25. Lihat juga ulasan M. Shahid = = Alam, “Theory on Demand”, dalam Al-Ahram Weekly, (Edisi 14 – 20 Maret 2002), h. 11

[7] Samuel Huntington, loc.cit.

[8] Lihat wawancara dengan John L. Esposito dan John O.Voll, “Perspektif Kebangkitan Islam Abad ke-21”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, (Vol. II, No. 7, 1990), hal. 26

[9] Lihat Satrio Arismunandar, “Islam di Mata Media Massa Barat” dalam Jurnal Islamika, (No. 1, Juli-September 1993), hal. 65

[10] Lihat Azyumardi Azra, “Menimbang Ulang “Benturan Peradaban”, dalam Koran Tempo, (25 September 2001), h. 14

[11] Ibid.

[12] Ridla Hilal, Amrîkâ wa al-Islâm: Shadâm am Ta’âyusy, (Kairo: Al-Hai’ah al-Mishriyyah li al-Kitâb, 2002), hal. 7-8. Lihat juga ulasan Ulil Abshar Abdalla, “Dialog Bukan Konfrontasi”, dalam www.islamlib.com

[13] John L. Esposito, Al-Tahdîd al-Islâmîyop.cit. hal. 370

[14] Ulasan menarik tentang bagaimana Barat menyikapi demokrasi di dunia Islam lebih jauh dapat dirujuk dalam John L. Esposito, Al-Tahdîd al-Islâmîyibid. Lihat juga Daniel Eckelman dan James Piscatori, Ekspresi Politik Muslim, (Bandung: Mizan, 1999).

[15] Tipe-tipe ini misalnya dapat dilihat pada, misalnya, profil Sayyid Qutb di Mesir, atau Prof. HM.Rasyidi di Indonesia, dan lain-lain.

[16] Lihat Mahmud Hamdi Zaqzuq, Humûm al-Ummah…, op.cit., hal. 143 dan seterusnya.

[17] Tentang interaksi intelektual antara “Islam” dan “Barat” ini banyak sekali mendapat perhatian, terutama dalam kajian-kajian sejarah ilmu pengetahuan dan peradaban modern. Tak sedikit sarjana, baik dari Barat maupun Islam, yang “mengakui” pengaruh tradisi intelektual Islam terhadap Barat, juga pengaruh tradisi intelektual Barat terhadap “peradaban modern” Islam. Misalnya dapat dilihat dalam ulasan Mahmud Hamdi Zaqzuq, Al-Islâm fi `Ashr al-`Awlamah, (Kairo: Maktabah al-Syurûq, 2001) cet. I, h. 36 dan seterusnya; Abbas Mahmud al-Aqqad, Atsr al-Arab fi al-Hadlârah al-Aurubbiyah, (Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1984); Halah Mustafa, Al-Islâm wa al-Gharb: Min al-Ta’âyusy ila al-Tashâdum, (Kairo: Al-Hai’ah al-Mishriyyah li al-Kitâb, 2002).

[18] Azyumardi Azra, loc. cit.