Amien Rais, Dari Bapak Reformasi, hingga Sengkuni dan Sri Krishna

Rabu, 5 Mei 1998,
Sejumlah tokoh sudah hadir lebih dulu di Gedung DPR/MPR-RI yang sudah diduduki mahasiswa. Di antaranya, Adnan Buyung Nasution, Permadi, AM Fatwa, Emil Salim. Mereka kemudian menelpon Amien bahwa massa menunggunya. Amien, yang saat itu tengah di Masjid Al-Azhar, Jakarta, dijemput dengan mobil.

Tiba di kompleks parlemen, ribuan mahasiswa itu terus mengengumandangkan ‘Amien, Amien, Amien’.

Lalu seorang kawan memeganginya, berkata memperingatkan, ‘Mas Amien, istighfar, jangan jadi sombong’.”

Sejak saat itu, julukan ‘Bapak Reformasi’ melekat padanya.

4 Mei 1998, Amien Rais bersama 50 tokoh cendekiawan dan budayawan mendirikan Majelis Amanat Rakyat (MARA).

Saat itu, Amien Rais selaku juru bicara membacakan tuntutan agar Presiden Soeharto mundur dari jabatannya agar proses reformasi bisa berjalan.

Maka jika ada tokoh yang diakui sebagai ‘Bapak Reformasi’, tidak bisa dibantah lagi bahwa Amien Rais lah orangnya.

Bukan beliau yang meminta gelar tersebut, melainkan media, para tokoh cendikiawan, serta para aktivis mahasiswa ’98 yang menisbatkan status tersebut kepada beliau.

Meski hari ini sebagian tokoh dan aktivis mengingkari hal tersebut, namun sikap mereka tetap tidak bisa membantah realitas yang terjadi 22 tahun yang lalu.

Adalah fakta yang tidak terbantahkan, bahwa sosok Amien Rais adalah salah satu dari sedikit orang yang berani bersikap kritis terhadap kebijakan penguasa orde baru. Mulai dari kritik soal Freeport, tambang emas Busang, bisnis keluarga penguasa, hingga mewacanakan suksesi kepemimpinan. Sesuatu yang sangat tabu untuk diungkapkan pada masa itu.

Penguasa Orde Baru, Soeharto pun punya beragam cara, dari yang lunak hingga keras, untuk membungkam kritik Amien. Mulai dari bicara secara personal di belakang panggung Muktamar Muhammadiyah di Aceh (1995), mengirim pesan lewat kolega, upaya kriminalisasi, diajak bergabung ke ICMI, hingga teror gelap. Namun semua itu tak menciutkan nyali seorang Amien Rais untuk tetap bersikap kritis kepada penguasa.

(Baca; https://m.cnnindonesia.com/nasional/20180518141238-20-299253/usaha-soeharto-bungkam-amien-beri-kode-hingga-kriminalisasi)

Yusril Ihza Mahendra yang merupakan kawan sekaligus rival pun mengakui sikap kritis dan keberanian seorang Amien Rais. Yusril menyebut bahwa Amien memang sudah vokal sejak dekade 90-an.

Ketika itu, Amien sudah ceramah dari kampus ke kampus untuk bicara soal beberapa dugaan penyimpangan yang dilakukan oleh Rezim Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Ia pun menepis anggapan bahwa Amien mendompleng gerakan mahasiswa di era 1998.

“Enggak, beliau memang, sebelum mahasiswa turun ke jalan, sudah sering mengkritik Pemerintah dimana-mana,” ungkap Yusril.

Namun, seiring berjalannya waktu, ketika arah politik mulai berubah, sebagian kawan seperjuangan berubah menjadi lawan politik. Sosok Amien Rais yang tadinya dielu-elukan sebagai lokomotif reformasi, kini dituding oleh sebagian orang sebagai pengkhianat reformasi.

Salah satu tudingan itu dikarenakan MPR dibawah kepemimpinan Amien Rais melakukan amandemen terhadap UUD ’45, dimana didalamnya terjadi beberapa perubahan.

Namun sesungguhnya amandemen UUD ’45 merupakan sebuah keniscayaan. Sejak awal pembentukan UUD 1945 (sebelum perubahan), para perancangnya, baik dalam rapat BPUPK maupun dalam rapat PPKI telah menyadari bahwa UUD yang akan dibentuk ini hanya bersifat sementara.

Dalam rapat BPUPK tanggal 11 Juli 1945, anggota Soemitro Kolopaking mengatakan “… seperti dalam pembicaraan saya kemarin, saya mengatakan, bahwa semua susunan pada waktu ini amat dipengaruhi oleh peperangan, maka saya usulkan kepada panitia yang didirikan, supaya UUD itu disusun demikian, sehingga gampang diubah dan disesuaikan dengan zaman yang akan datang…”

Soekarno sebagai ketua rapat/sidang sekaligus ketua PPKI dalam rapat pengesahan UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945, mengemukakan bahwa:
” …Tuan-tuan semua tentu mengerti, bahwa Undang Undang Dasar yang kita buat sekarang ini, adalah Undang Undang Dasar Sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan: ini adalah Undang Undang Dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang Undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna…”

Jadi perubahan UUD 1945 bukan hal yang ditabukan atau dilarang oleh para pendiri bangsa ini, justru mereka menyadari bahwa untuk kemajuan bangsa Indonesia dibutuhkan UUD yang sesuai dengan perubahan jaman.

Artinya keliru dan terlalu dipaksakan jika Amien Rais dituding sebagai pengkhianat reformasi. Karena amandemen UUD ’45 itu dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh fraksi di MPR, dimana Fraksi Reformasi yang merupakan fraksi gabungan antara PAN dan PK hanya memiliki tidak lebih dari 8% kursi di MPR. Lalu mengapa Amien Rais yang disalahkan? Bukankah gabungan suara Fraksi PDIP dan Golkar saja sudah melampaui 50% suara.

Serangan kepada sosok Amien Rais semakin lama semakin hebat, bahkan mulai mengarah pada pembunuhan karakter. Sikap Amien Rais yang selalu kritis dan bicara blak-blakan menjadikan dirinya dituding sebagai sosok oportunis dan ambisius terhadap kekuasaan.

Tapi benarkah Amien Rais sosok yang haus kekuasaan?

Hanum Rais dalam bukunya “Persembahan Seorang Putri untuk Ayah Tercinta” menceritakan,

Malam itu, sebuah telepon berdering untuk bapak. Telepon penting nan genting. Bapak yang saat itu berada dalam perjalanan, diminta segera datang ke rumah Pak Habibie.

Hampir semua pimpinan partai politik dan pimpinan fraksi telah berada disana. Termasuk diantaranya adalah Akbar Tanjung, Ginanjar Kartasasmita, Hamzah Haz dan Yusril Ihza Mahendra.

Selain para politisi dari Poros Tengah dan Golkar, ada juga perwira tinggi TNI. Setiba di kediaman Habibie, bapak langsung didaulat.

Jenderal Wiranto spontan menepukkan tangannya di bahu bapak.

“Bismillah Pak Amien, TNI ada di belakang anda, jika Pak Amien bersedia dicalonkan menjadi presiden”, demikan kata kata Jenderal Wiranto, yang saat itu merupakan panglima tinggi ABRI. Sebuah daulat yang diamini oleh semua orang yang berada dalam ruangan tersebut.

Bapak berkisah padaku, ia sungguh berada dalam sebuah dilemma. Bapak berkonsultasi dulu dengan ibunda tercintanya tentang tawaran ini, namun nenekku kemudian memberi nasehat, “Mien, tanggung jawabmu di MPR baru saja dimulai. Kamu telah disumpah menjadi ketua MPR untuk masa bakti 5 tahun. Jangan berbelok di tikungan. Itu tidak bagus. Aku tidak setuju”.

Bapak dengan halus menampik tawaran Habibie, Wiranto, dan segenap politisi yang berkumpul di rumah Habibie malam itu.

Demikian Hanum Rais mengisahkan peristiwa tersebut.

Kisah diatas menunjukkan bahwa sosok Amien Rais bukanlah sosok yang ambisius terhadap kekuasaan. Karena seorang yang ambisius terhadap kekuasaan tidak akan mungkin akan melepaskan kesempatan meraih kekuasaan yang secara matematis sudah dalam genggaman, hanya karena pertimbang moral dan etika.

Setelah menjabat sebagai Ketua MPR dan setelahnya, Amien Rais tidak berubah. Dia tetap bersikap kritis kepada pemimpin, siapapun orangnya. Mulai dari Gus Dur hingga Jokowi, semua tak lepas dari kritiknya. Amien tetap konsisten dengan kritik-kritiknya, baik ketika PAN berada didalam kekuasaan maupun diluar kekuasaan.

Hal ini nampaknya membuat sebagian orang tidak senang. Kritik tanpa tandeng aling-aling yang dilontarkan Amien, bagi sebagian orang rupanya tidak sekedar memanaskan telinga, tapi juga sampai menusuk ke jiwa. ‘Serangan balik’ terhadap Amien pun mulai banyak dilakukan. Apalagi di zaman medua sosial, para elit dengan mudah menjadi influenzer bagi simpatisannya. Para buzzer politik pun dikerahkan untuk membunuh karakter lawan politik. Dari sinilah muncul julukan ‘Sengkuni’ yang dinisbatkan keoada Amien Rais.

Alasannya karena Amien Rais dipandang sebagai sosok yang provokatif dan licik dalam berpolitik. Biasanya hal ini dikait-kaitkan dengan keberhasilan Amien Rais dan poros tengahnya dalam menjegal Megawati, juga perannya dalam melengserkan Gus Dur. Jadilah dua kelompok ini (Gusdurian dan loyalis PDIP) ditambah loyalis Jokowi dan Ahok yg tokoh idolanya sering menjadi sasaran kritik Amien menumpahkan kebenciannya kepada Amien.

Tapi apakah tepat menjuluki Amien Rais sebagai Sengkuni? Kita perlu melihat kembali siapa sosok Sengkuni ini dalam kisah Mahabharata.

Sengkuni atau Shakuni adalah tokoh antagonis dalam.kisah Mahabharata. Sengkuni dikenal sebagai sosok yang licik dalam berpolitik. Sengkuni diketahui menyimpan dendam kepada Bhisma yang menyunting adiknya Gandari untuk diperistri oleh Drestarastra, anak tertua Raja Hastina. Sejatinya sebagai putra tertua, Drestarastra adalah putra mahkota Hastina. Namun karena matanya yang buta menjadikan tahta Hastina diberikan kepada adiknya, Pandu. Ironisnya, Pandu tewas karena kutukan, sehingga terpaksa Drestarastra diangkat sebagai Raja hingga Yudhistira, putra Pandu kembali ke Hastina. Namun rupanya Duryodhana, anak Drestarastra dan Gandari pun memiliki ambisi menjadi raja. Disinilah Sengkuni memainkan perannya.

Sengkuni terus menghasut para Kurawa untuk membenci Pandawa. Sengkuni juga lihai dalam memanfaatkan kelemahan Raja Drestarastra. Dia terus menempel dan mempengaruhi Drestarastra agar membuat kebijakan sesuai kepentingannya.

Jadi bisa disimpulkan, sosok Sengkuni adalah sosok yang licik, yang selalu menempel dan menjilat kepada raja dan memikiki pengaruh yang kuat terhadap kebijakan istana. Segala kebijakan istana diarahkan agar mendukung krpentingannya dan kepentingan negerinya Gandara. Jadi Sengkuni bisa dikatakan sebagai agen asing.

Tentu hal tersebut sangat bertolak belakang dengan sosok Amien Rais yang justru tak pandai menjilat, selalu bersikap kritis dan menjaga jarak dengan kekuasaan. Amien Rais juga sosok yang sangat nasionalis, terlihat dari kritik-kritiknya berkaitan dengan Freeport, Busang, investasi asing, dan lain-lain menunjukkan bahwa beliau bukanlah antek asing seperti Sengkuni.

Tentu banyak yang jauh lebih layak untuk disamakan dengan karakter Sengkuni dibanding Amien Rais. Terutama mereka yang berada didalam lingkar kekuasaan, pandai menjilat dan terindikasi pro kepentingan asing.

Namun demikian, dengan segala cacian dan pembunuhan karakter yang ditujukan padanya, Amien sendiri mengaku tak risau atas tudingan-tudingan miring terhadapnya. Baginya, ia hanya bekerja untuk menjalankan ajaran Tuhannya.

Amien mengatakan,
“Saya dikatakan brengsek, diejek, ditipu, saya ketawa aja. Kalau kamu suka, alhamdulillah, enggak suka, ya enggak apa-apa,”

Bahkan kalaulah mau dibandingkan, kenapa tidak dengan Sri Krishna?
Bukankah Sri Krishna dimata Kurawa juga sosok yang dianggap provokatif dan lihai berpolitik? Bahkan Sri Krishna adalah aktor utama dibalik terjadinya Baratayudha. Dan yang terpenting, Sri Krishna merupakan tokoh oposisi yang membawa misi merubah tatanan kehidupan dan tradisi lama.

Tentu jika dibandingkan, sosok Amien Rais lebih dekat kepada sosok Krishna ketimbang Sengkuni. Namun Amien Rais bukanlah Krishna, apalagi Sengkuni. Amien Rais adalah Amien Rais, seorang hamba Allah dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

BalasTeruskan