6 Poin Idealitas Gerakan Dakwah dan Politik Islam

Oleh : Faisal Rahman

Sebuah gerakan Islam, baik itu gerakan sosial maupun politik sudah seharusnya memiliki corak yang khas dibanding gerakan lainnya. Sebab tanpa kekhasan tersebut tentu menjadi tidak ada bedanya dengan gerakan sosial-politik lainnya.

Dalam politik misalnya, ketika partai-partai berhaluan nasionalis-kebangsaan memiliki program dan solusi untuk mensejahteraan rakyat, maka partai-partai Islam pun dituntut untuk bergerak mencari solusi dan membuat program kesejahteraan rakyat, tentu solusi yang diusung oleh partai-partai Islam harus dilandasi oleh ajaran Islam, misalnya tidak boleh riba.
Artinya suatu gerakan Islam harus memiliki idealismenya sendiri, sehingga betapapun pragmatisnya realitas yang dihadapi, pemikiran, sikap, dan strategi yang digunakan tetap tidak boleh keluar dari garis-garis pokok idealisme itu sendiri, diantaranya adalah,

1) Menjaga aqidah, menghindari kultus individu, serta pentingnya kaderisasi
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya guna (menjalankan) agama yang lurus, supaya mendirikan shalat dan menunaikan zakat; yang demikian itulah agama lurus.” (QS Al-Bayyinah; 5).
Tauhid kepada Allah adalah benteng dari kultus individu. Berapa banyak cita perjuangan yang hancur karena kultus individu. Sejarah mencatat, pengkultusan sosok pemimpin tidak pernah membawa pada jalan kebaikan, baik untuk rakyat, maupun pemimpin yang dikultuskan itu sendiri. Kultus individu melahirkan kediktatoran pemimpin dan kebodohan bagi rakyat.
Di zaman kuno kita mengenal Fir’aun sebagai sosok pemimpin diktator yang dikultuskan. Bahkan Fir’aun mengaku dirinya adalah tuhan,”Fir’aun berkata, “Aku adalah rabb kalian yang paling tinggi”. (QS : An Nazi’at; 24).

Maka ketika Nabi Musa mengajaknya untuk beriman kepada Allah, dia menolak. Bahkan jauh sebelum itu Fir’aun membunuhi semua bayi laki-laki Bani Israel karena dia mendapat mimpi kekuasaannya akan hancur ditangan seorang dari kalangan Bani Israel.
Di dunia modern sejarah mencatat Adolf Hitler sebagai pemimpin yang dikultuskan. Seluruh rakyat Jerman dan rakyat di wilayah pendudukan NAZI diwajibkan memberikan salam penghormatan khusus ‘heil Hitler’, layaknya ‘assalamualaikum warahmatullah’ bagi umat Islam. Hitler dianggap ‘maha mengetahui’, sehingga segala sabdanya tak pernah dibantah, meski yang dusabdakan otu bukan bidang keahliannya. Hingga para perwira Jerman merasa kebingungan ketika Hitler malah memerintahkan pasukannya yang sudah mengepung pasukan Inggris dan Prancis menarik diri dan membiarkan pasukan Inggris di Dunkirk menyelamatkan diri. Bahkan Hitler semakin dikultuskan setelah beberapa kali lolos dari upaya pembunuhan berencana, bagi sebagian pendukung fanatiknya, Hitler juga dipercaya ‘tidak bisa mati’. Meski akhirnya Hitler mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.
Namun jiwa diktator yang dikultuskan itu akan sulit menerima kritik. Kritik dianggapnya sebagai pembangkangan, sehingga dia merasa berhak menghukum siapa saja yang dianggap tidak loyal.

Adapun dalam Islam, kultus individu sama sekali tidak dibenarkan, tidak juga kepada Rasulullah. Itulah mengapa ketika Umar bin Khathab, yang dalam keadaan duka mendalam atas wafatnya Rasulullah mengancam siapapun yang mengatakan Rasulullah telah mati, Abu Bakar dengan tenang mengingatkan Umar dengan firman-Nya;”Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? “ (QS. Ali Imran; 144)
Ayat diatas menunjukkan bahwa cita perjuangan Islam tidak akan selesai pada satu generasi, melainkan akan terus berlanjut dari generasi ke generasi. Maka kaderisasi menjadi sangat penting dalam perjuangan menegakkan Islam. Karena Islam berlaku sepanjang zaman, dan di setiap zaman selalu ada para penentangnya.Begitulah, bagi para pejuang Islam hendaklah meluruskan niat dalam berjuang karena Allah. Oleh karena itu, segala kecintaan kepada pemimpin, cinta pada tanah air, partai, organisasi, dan lain-lain itupun hendaklah dilandasi rasa cinta kepada Allah. Pemimpin bisa mati, namun cita perjuangannya tidak lekang oleh waktu.

2) Percaya diri dengan identitas ke-Islaman dan cita-cita perjuangan
Allah berfirman,”Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih, dan berkata : “Sesungguhnya aku termasuk kaum muslimin (orang-orang yang berserah diri)” (Fushshilat; 33)
“Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani lsrail) berkatalah dia: “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?” Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: “Kamilah penolong-penolong (agama) Allah, kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang Islam (yang berserah diri)” (Ali Imran; 52)

Menegaskan identitas diri itu penting. Jika kita mengaku berjuang karena mengharap ridho Allah, mengapa kita harus takut dan tidak percaya diri menyatakan secara tegas bahwa Islamlah yang menjadi asas perjuangan kita? Buya Hamka mengisahkan betapa tegarnya tokoh-tokoh PKI ketika menghadapi sidang vonis di pengadilan, beliau mengatakan,”Kalau orang komunis seperti Sudisman berdiri tegak dengan muka tenang menunggu hukuman mati. Kalau Nyono masih sempat bersyair seketika mendengar vonis, padahal mereka hendak menghancurkan agamamu, hendak menukar masjid dengan garasi mobil, mengapa kamu yang mempertahankan Tuhan, menjaga agama pusaka nebek moyangmu akan ragu menghadapi segala kemungkinan didalam keyakinan?”

Dalam konteks hari ini, jika kalangan sekular berani secara tegas menolak segala aturan yang dijiwai oleh nilai-nilai dan syariat agama, mengapa kita kita takut dan ragu mengatakan secara tegas bahwa Islamlah yang kita perjuangkan. Dalam konteks ke-Indonesian yaitu dengan mentransformasikan nilai-nilai dan syariat Islam kedalam UU atau Peraturan Daerah itulah yang hendak kita perjuangkan.

Memang rasa inferior yang melanda sebagian aktivis Islam ini juga tidak lepas dari upaya-upaya pengkerdilan Islam secara terorganisir yang dimulai sejak lebih daru seabad lalu, tepatnya sejak zaman kolonial melalui politik etisnya, yang dilanjutkan pendangkalan secara sistematis, terstruktur dan terorganisir dimasa Orde Baru melalui jalur pendidikan dan penyiaran. Sehingga orang Islam sendiri terdoktrin bahwa agama harus dipisah dari politik.
Buya Hamka mengatakan,”Di negeri kita Indonesia inipun, salah satu isu yang dibangkitkan ialah bahwa Islam itu sudah kolot, dan Islam.itu sudah sangat mundur, kekuatannya tidak ada lagi. Dalam politik dia sudah didiskreditkan sehingga tidak akan bangkit lagi, dan yang salah orang Islam sendiri karena mereka tidak mau dan tidak pandai menyesuaikan diri”
Maksudnya umat Islam tidak pandai menyesuaikan diri adalah umat Islam masih saja berpegang pada agamanya, baik yang ushul maupun yang qath’i.

Jadi kalau umat Islam masih saja ngotot bahwa agamanyalah satu-satunya yang benar, atau jika para wanitanya masih saja menutup aurat sesuai ketentuan syariat, atau masih saja meributkan haramnya menjadikan non muslim menjadi pemimpin di wilayah mayoritas muslim, maka ia dipandang belum bisa menyesuaikan diri.

Beliau melanjutkan,”Dan karena kelemahan-kelemahan yang tampak dari luar sekarang ini, terutama tidak ada satu partai Islampun yang kuat, atau partainya besar tapi pemimpin-pemimpinnya tidak mempunyai kekuatan karakter, lalu orang menyangka bahwa umat Islam sekarang lemah. Itu sebabnya secara terorganisir orang hendak membungkam mulut kaum muslimin yang masih menyebut Jakarta Charter, malahan dicemooh dan dihina, sampai umat Islam tidak berani menyebut-nyebutnya kelak”.

Kemudian beliau mengatakan,”Inilah yang dihembus-hembuskan, sampai hendaknya orang Islam sendiri percaya bahwa dia memang lemah, dia mundur, agamanya tidak cocok lagi dengan zaman”

3) Tahan banting dari segala celaan dan fitnah
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas pemberian-Nya, lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Maidah: 54)

“Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.” (Ali Imran; 186)

“Senantiasa ada dari umatku sekelompok orang yang menegakkan kebenaran, tidak merugikannya orang yang menghina sampai datang hari kiamat dan mereka dalam keadaan demikian” (HR. Muslim)

Sudah sunatullah ketika orang hendak menyerukan manusia ke jalan Allah, akan muncul segala rintangan dihadapan. Itulah yang dihadapi oleh para Nabi dan Rasul dahulu, yang tentu saja tantangan yang mereka hadapi jauh lebih hebat lagi.

Bagi aktivis pejuang Islam, selama meyakini perjuangannya berada diatas jalan kebenaran, maka segala cela dan fitnah bukanlah sesuatu yang mengendorkan ghirah perjuangan. Semakin tinggi cita-cita perjuangan, konsekuensinya semakin keraslah ujian yang dihadapi.
Maka jika hari ini ada yang mempropagandakan bahwa orang yang memperjuangkan nilai-nilai dan syariat Islam sebagai kaum radikal, fanatik, hendak makar, dan lain-lain, maka para pendahulu kitapun demikian.

Ingatlah bagaimana Nabi Ibrahim hendak dibakar hidup-hidup karena membela tauhid. Ingatlah bagaimana penderitaan Rasulullah ketika harus berhijrah meninggalkan tanah airnya demi menegakkan agama Allah. Ingatlah bagaimana KH. Ahmad Dahlan bersusah payah menghadapi celaan karena hendak melakukan perbaikan umat. Ingatlah bagaimana Natsir, Hamka, Kasman dan kawan-kawannya menderita didalam bui karena hendak mempertahankan kebenaran.

Itulah teladan-teladan kita dalam memperjuangkan agama demi tegaknya ‘baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”
Buya Hamka mengatakan,”Jika engkau populer lantaran menegakkan citamu, dan engkau insyaf, bahwa kepopuleran tegak teguh diatas dua tonggak, tonggak simpati kawan dan kebencian lawan, ketahui pulalah bahwa usia kepopuleran itu amat panjang, sampai ke zaman badan telah hancur dalam kubur dan nama masih tetap harum karena jasa”—

4) Membekali diri dengan ibadah, membentuk karakter
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya” (Al-Baqarah; 45-46)
Buya Hamka mengatakan,”Binalah diri terlebih dahulu dengan memperdalam aqidah dan ibadah, petteguh hubungan dengan Tuhan, siang-malam, petang-pagi. Dengan pertalian yang teguh dengan Tuhan, hadapilah tugasmu dalam hidup”
Pendekatan diri kepada Allah bagi seorang mukmin bukanlah sekedar kewajiban belaka. Melainkan sebuah pengharapan atas pertolongan dari Dzat Yang Maha Kuasa sebagai wujud dari keyakinan bahwa tidak ada usaha, kekuatan dan upaya selain dengan kehendak Allah.
Rasa kedekatan dengan Tuhan itulah yang menyebabkan sahabat Khubaib bin Adiy meminta diberi kesempatan untuk shalat sunnah dua rakaat terlebih dahulu sebelum menghadapi eksekusi mati. Bahkan beliau mengatakan, Usai shalat, Khubaib berkata, “Sungguh seandainya kalian tidak menganggap aku takut (menghadapi kematian), tentu aku akan menambah jumlah rakaat shalatku. Ya Allah, hitunglah jumlah mereka, binaskanlah mereka satu per satu, jangan biarkan satu pun di antara mereka hidup.”
Buya Hamka sangat menekankan mengenai pentingnya kekuatan karakter ini, beliau mengatakan,”Yang pertama dan utama dalam menegakkan suatu ideologi tidaklah mesti bergelar alim, tidak mesti ahli fiqih, semua itu hanya kulit luar.”
“Orang yang mampu menghapal qala Ta’ala, qala Rasulullah, menurut Imam Syafii demikian, menurut Imam Hanafi begitu, belum tentu dapat mempertahankan agama kalau karakternya tidak ada. Orang yang demikian mudah saja disuruh membuatkan fatwa guna menghalalkan yang haram oleh seorang diktator”
“Ketika menjilat yang diatas orang seperti ini selalu kalah dan mengalah. Tetapi kepada kawannya sendiri mereka sanggup menang berpolitik…”
Beliaupun berpesan kepada generasi penerus,”Kamu angkatan muda, jauhilah hal-hal seperti ini. Inilah yang merugikan kita bertahun-tahun lamanya, sehingga cita-cita Islam tidak bisa tegak, karena kita kekurangan manusia yang berkarakter”.

5) Menjaga adab dan tidak anarkis
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl; 125)
Dalam banyak kasus, dakwah dengan keteladanan itu lebih utama dan lebih efektif ketimbang berdakwah dengan lisan.

Seorang salafusshalih berkata,“Kami lebih butuh nasihat dengan (contoh) amal perbuatan daripada nasihat dengan kata-kata.” Begitulah, sebaik apapun kata-kata terlontar jika tidak tercermin dalam perbuatan, maka dia tidak bernilai. Malah akan jadi bahan cemohan orang. Sebagaimana orang mengatakan, “lihat aktivis Islam itu, lulusan pesantren, berdakwah dimana-mana, tapi korupsi juga”.
Ada pula yang idealismenya tinggi, dia bersih dan tidak korupsi, namun dari lisannya banyak keluar cacian yang menyakitkan hati. Inipun orang akan sulit menerima, malah menimbulkan antipati.

Dalam perjalanan sejarahnya, upaya memperjuangkan nilai-nilai dan syariat Islam secara frontal seringkali terbentur perlawanaan, baik secara halus maupun kasar.
Di zaman Orde Lama, kelompok Islam yang tidak pandai menyesuaikan diri, tidak mau duduk bersama komunis dituduh kontra-revolusi. Tokoh-tokohnya ditangkapi tanpa diadili.
Di zaman Orde Baru lebih keras lagi. Semua gerakan Islam, baik yang mainstream-moderat maupun yang non-mainstream dipaksa ‘tiarap’ dibawah asas tunggal. Jika kritis bisa dituduh subversif, DI/TII, dan tuduhan-tuduhan lainnya.

Di zaman reformasi ini, secara formal umat Islam tidak lagi dihalang-halangi untuk memperjuangkan hak konstitusionalnya, termasuk upaya konstitusional mentransformasikan nilai-nilai dan hukum Islam ke dalam Undang-undang dan Peraturan Daerah. Namun kaum sekular pun tidak diam begitu saja. Mereka berusaha menghambat upaya umat Islam memperjuangkan hak konstitusionalnya dengan bermacam propaganda hitam dan penyesatan sejarah. Oleh karena itu diperlukan upaya keras dalam mengcounter berbagai fitnah dan propaganda hitam tersebut.

Di sisi lain, banyak dari kalangan kita sendiri melontarkan pernyataan-pernyataan yang kontraproduktif. Di era media sosial ini orang awam bebas bicara sesuai hati dan kadar pemikirannya. Sehingga maksud hati berjuang membela agama, namun yang keluar malah pernyataan-pernyataan yang merugikan perjuangan Islam sendiri. Kadang tanpa sengaja menyebar hoax dan ujaran kebencian. Kadang bicara diluar ‘garis komando’, sehingga yang dirugikan dari pernyataan awam itu adalah pemuka gerakan Islam itu sendiri.
Buya Hamka mengatakan,”Kita harus menjelaskan pendirian ini, baik kepada lawan maupun kalangan kita sendiri. Bahwa dalam menegakkan cita-cita ini kita tidak akan melakukan kekerasan, bahkan duduk didalam maupun diluar kabinet…”
“Terangkanlah secara ilmiah melalui diskusi atau seminar, secara dari hati ke hati apa yang dimaksud dengan syariat Islam, sampai engkau sendiri yakin dengannya, dan orang lainpun akan mengerti…”.
Jadi sikap kita jelas, yaitu mengambil jalur konstitusional. Artinya taat hukum, baik hukum formal maupun norma agama dan norma sosial yang berlaku. Sehingga tidak membuka ruang musuh untuk melontarkan segala fitnah dan propaganda sesat dalam upayanya melemahkan perjuangan kaum muslimin.

6) Menjaga ukhuwah dan persatuan umat
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu karena nikmat Allah, menjadilah kamu orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”. (Ali Imrân; 103)
“Siapa saja yang keluar dari ketaatan dan memecah belah jamaah lalu mati, dia mati dengan kematian jahiliyah. Dan siapa yang terbunuh di bawah bendera ashobiyah, dia marah untuk kelompok dan berperang untuk kelompok maka dia bukan bagian dari umatku. Dan siapa saja yang keluar dari umatku memerangi umatku, memerangi orang baik dan jahatnya dan tidak takut akibat perbuatannya terhadap orang mukminnya dan tidak memenuhi perjanjiannya maka dia bukanlah bagian dari golonganku-” (HR Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, an-Nasai).

Ashobiyah atau fanatik kelompok adalah penyakit akut yang telah meluluh lantakkan dunia Islam. Sudah banyak contoh suatu negeri hancur karena ashobiyah. Kekhalifahan Andalusia pun runtuh karena ashobiyah, karena wilayah-wilayah keamiran dibawahnya alih-alih bersatu melawan invasi pasukan salib, tetapi mereka cari selamat masing-masing, bahkan karena hasad kepada saudaranya malah berdekutu dengan pasukan salib itu untuk menaklukan wilayah muslim.

Dalam kaitannya dengan pentingnya persatuan umat, adalah sosok Salahudin Al-Ayubi yang bisa kita jadikan teladan.Buya Hamka mengisahkan, bahwa ketika Salahudin memegang tampuk kekuasaan di Damaskus, dunia Islam dalam keadaan terpecah belah. Masing-masing penguasa Islam itu saling hasad, bahkan sudi bersekutu dengan musuh.
Maka beliau berfikir, bahwa untuk merebut kembali Al-Quds dari kekuasaan kaum Nasrani perlu terlebih dahulu menaklukkan kerajaan-kerajaan Islam agar berada satu komando dibawahnya. Bahkan beliau berfikir bahwa antara dua kerajaan besar Islam, yaitu Damaskus dan Mesir mesti dipersatukan, meski dia sendiri harus berhadapan dengan Nuruddin Zanki yang telah mendidiknya sejak kecil. Namun qadarallah, sebelum maksud tersebut terlaksana, Nuruddin keburu wafat, sehingga Salahudin secara leluasa mengambil alih Mesir.
Cerita selanjutnya adalah kemenangan gilang-gemilang, ketika pasukan Islam.dibawah pimpinan Salahudin Al-Ayubi berhasil membebaskan Al-Quds.

Hari ini, dunia Islam bukan saja terpecah kedalam puluhan negara-bangsa. Bahkan di dalam negara-bangsa itu sendiripun banyak berdiri jamaah-jamaah Islam. Tentu hal tersebut tidak menjadi masalah ketika keberagaman yang ada dilandasi oleh semangat ‘fastabiqul khairat’, namun menjadi sangat berbahaya ketika ashobiyah sudah merasuki negeri dan jamaah-jamaah Islam, sehingga satu sama lain saling mendengki. Padahal orang-orang beriman itu satu tubuh. Rasulullah bersabda,”Perumpamaan orang-orang yang beriman di dalam saling mencintai, saling menyayangi dan mengasihi adalah seperti satu tubuh, bila ada salah satu anggota tubuh mengaduh kesakitan, maka anggota-anggota tubuh yang lain ikut merasakannya, yaitu dengan tidak bisa tidur dan merasa demam.” (HR Bukhari dan Muslim).

Namun berapa banyak kita melihat antar negeri muslim saling berperang. Sementara disisi lain mereka tak berdaya membebaskan Palestina dari cengkraman Zionis Israel.
Berapa banyak antara jamaah Islam saling hasad, sehingga ketika suatu jamaah Islam tertentu terzholimi, jamaah Islam yang lain malah bertepuk tangan. Dan berapa banyak berdiri partai-partai politik Islam berdiri di negeri ini, namun mereka sudah cukup merasa menang manakala lebih unggul dari sesama partai Islam, meski harus saling sikut, bahkan berkoalisi dengan sekularis.

Dari zaman Sultan Iskandar Muda hingga zamannya Raden Fattah. Dari zamannya Sultan Agung hingga Diponegoro dan Imam Bonjol. Dari zamannya Tjokroaminoto yang dilanjutkan oleh H. Agus Salim, KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, kemudian oleh KH. Mas Mansur, Sudirman, Natsir, Hamka, Wahid Hasyim dan kawan-kawan. Sampai hari ini estafet perjuangan menegakkan cita-cita Islam masih terus berlanjut.
Apakah kita termasuk yang menyambutnya?