Mereka Belum Tentu SALAFI

Oleh: Afif Amriza Makkawy

Bismillah,
Dulu, saat kami berguru langsung dengan para sesepuh Pimpinan Pusat Muhammadiyah seperti Pak Rosyad Sholeh, pak Mukhlas Abror, Pak Sukriyanto AR, Ust. Syamsul Hidayat dll, beliau semua ketika mendidik kami tentang ke-Muhammadiyahan, manhaj dakwah Muhammadiyah dan tantangan dakwah Muhammadiyah, belum pernah sekalipun para sesepuh tersebut menyampaikan kehawatirannya tentang pemahaman & pemikiran sebagian kader maupun pengurus aktif Muhammadiyah yang dalam kesehariannya seperti seakan “Salafi” tapi sejatinya bukan “Salafi”.

Beliau semua justru fokus mendidik kami tentang way of life dalam ber-Muhammadiyah bahwa: “Kita ber-Muhammadiyah bukan untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai tujuan hidup melainkan sebagai wasilah perjuangan dakwah menuju masyarakat muslim yang sebenar-benarnya”.

Masih ingat juga pesan KH. Ahmad Dahlan; “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, Jangan mencari hidup di Muhammadiyah.” Maknanya sangatlah luas, bukan sekedar dimaknai tentang masalah salahkah seseorang mencari dan mendapat gaji atau tidak dari AUM Muhammadiyah, melainkan lebih untuk jangan pernah menjadikan Muhammadiyah sebagai tujuan hidup.

Adalah Ustadz Dr. Syamsul Hidayat guru kami di pondok dalam satu iftitah pembukaannya di acara yang bertajuk pelatihan Ilmu Falak (Hisab) di Auditorium Moch. Djazman yang mengundang berbagai elemen kelompok Islam lainnya pernah menyampaikan satu statement tentang posisi Muhammadiyah ditengah-tengah umat Islam dan kelompok Islam yang ada di Indonesia.

Dengan ciri pembawaan beliau yang tenang, beliau sampaikan: “menjadi sebuah realita bahwa Muhammadiyah menjadi “naungan” untuk perjuangan kelompok-kelompok Islam manapun, di Muhammadiyah ada kader-kader tarbiyah, ada Jamaah Tabligh, ada kelompok Salafi Haroki, ada Salafi Jihadi, dlsb.,” dari statement tersebut memang Muhammadiyah terkesan terasa dimanfaatkan eksistensinya dan seakan menjadi Induk yang menaungi banyak kelompok Islam lainnya, namun sedikitpun beliau tidak membahas adanya kesan bahaya dari realita itu. Tentu selama gerakan-gerakan kelompok tersebut tidak menjadi “parasit” bagi Muhammadiyah dan memiliki prinsip-prinsip dasar perjuangan yang tak berbeda dengan Muhammadiyah.

Tidak sedikit dari kader Muhammadiyah yang berpenampilan seperti Salafi namun pikiran, hati, pemikiran dan gerakannya selalu ada buat Muhammadiyah untuk agamanya, ambil saja contoh ke gurunda al-Ustadz Dr. Syamsul Hidayat yang slalu bercelana cingkrang dan berjenggot & jambang. Siapa yang bisa dan punya alasan untuk men-judge beliau sebagai Salafi? Adakah diantara kita para kader muda Muhammadiyah yg sudah ber-Muhammadiyah seperti beliau?

Kalaupun faktanya memang banyak kader-kader Muhammadiyah yg berpenampilan seperti kelompok Salafi maka sekali lagi kita tidak perlu risau yang berlebihan (lebay).

Begini, kita mesti mengenal mereka “Kelompok Salafi” dalam tataran praksisnya, jika mereka memang benar sungguh-sungguh ikut “Salafi” dan lebih cenderung mengikuti pemahaman Salafi maka kemungkinan terbesarnya adalah mereka tidak akan pernah mau main organisasi atau ormas walau ormas berlabel dakwah, sebab bagi mereka berorganisasi dianggap sebuah perkara baru yg diada-adakan yang tidak ada contohnya dari Nabi shallallohu’alaihi wasallam.

Lalu bagaimana dengan fenomena kader berpenampilan Salaf?

Sebijaknya jika ada kader-kader Muhammadiyah yg berpenampilan ala salaf tapi aktif berorganisasi di Muhammadiyah maka selayaknya mereka patut diberi apresiasi dan di support untuk terus semangat ber-Muhammadiyah bukan malah dianggap seakan-akan “hantu-hantu organisasi” yg mestinya diusir dan diwaspadai eksistensinya. Bagaimanapun penampilan, pemahaman, dan pemikiran mereka, selama mereka tetap mau ber-Muhammadiyah, punya semangat menjaga kemurnian tauhid sebagaimana ajaran KH. Ahmad Dahlan dan juga memiliki sikap berkemajuan dalam hal-hal yg dibolehkan agama dan tidak stagnan plus juga tidak kaku dalam masalah-masalah fiqih wa amaliyah dunyawiyah maka apalagi yg harus diwaspadai dari mereka?

Maka disini perlunya support dan diskusi kepada mereka merupakan cara yg tepat ketimbang fokus menjadi peng-gembar gembor “bahayanya” mereka, padahal faktanya mereka adalah para aktivis Muhammadiyah, namun sadar tidak sadar kalian sering menganggapnya kelompok Salafi hanya karena sudut pandang kalian yang cenderung men-judge dari penampilan fisik (simbol Islam), atau mungkin ada agenda lain? Wallohu a’laam.

Kalaupun kemudian yang menjadi masalahnya adalah sebagian dari mereka para aktivis Muhammadiyah yang dituduh Salafi tidak mengambil sebagian fatawa (fatwa-fatwa) Tarjih Muhammadiyah sebagai panduan fikih kehidupan sehari-hari maka masalah ini adalah masalah yang umum terjadi, selain mereka yg dimaksud, masih banyak kader dan pengurus aktif dan pendidik di AUM Muhammadiyah yang terlihat non Salaf namun sangat banyak yang tidak ikut fatwa-fatwa Majelis Tarjih & Tajdid Muhammadiyah (MTT), contoh satu hal saja tentang haramnya merokok, berapa banyak dari kader-kader Muhammadiyah yang masih lanjut jadi ahlul hisap tanpa mengindahkan himbauan PP Muhammadiyah untuk mengikuti fatwa-fatwa tarjih?

Dan kalaupun berikutnya yang menjadi masalah adalah masjid-masjid Muhammadiyah dikuasai mereka yang berpenampilan Salaf bisa jadi itu karena ente kader-kader yang mengaku berpikir progresif malas untuk berjamaah sholat dimasjid dan tidak menganggap masjid sebagai pusat perjuangan dakwah Muhammadiyah. Maka cobalah untuk mawas diri, bisa jadi Muhammadiyah terpuruk bukan sebab orang luar Muhammadiyah melainkan kita sendiri yang mengaku kader-kader Muhammadiyah yg menjadi penyebabnya.

Darisini, sejatinya kita mesti lebih bijaksana dan komprehensip memahami apa, siapa dan bagaimana mereka (aktivis Muhammadiyah) yang dituduh “Salafi”, bukan sekedar berdasar atas sudut pandang kita yang melihat mereka hanya dari sisi tampilan.

Namun dari semua itu (sebagai reminder saja), sejatinya yang semestinya harus kita siaga dan wajib waspadai adalah: “Pemahaman dan pemikiran kader liberal Cs yang sudah menyusup berseliweran cukup akut dikalangan kader-kader muda Muhammadiyah. Jika ditimbang secara aqidah dan pemikiran, kelompok tersebut justru lebih sangat berbahaya dunia akhirat bagi perkembangan Islam & ke-muhammadiyahan kita jika dibandingkan dengan pemahaman dan pemikiran segelintir orang yg secara simbolis menampakan keislaman yg hakikatnya belum tentu ikut kelompok Salafi namun berusaha kokoh diatas agama dan organisasi dakwahnya.”

Jikalau ada yang berpendapat KH. Ahmad Dahlan juga pernah berpikir “liberal”, itu hanyalah dalam hal yang tidak membawa madhorot keburukan dari sisi keimanan (beliau berijtihad dengan kondisi yg ada). Kalau kita pelajari pemahaman pemikiran KH. Ahmad Dahlan, beliau lebih dominan banyak mengambil pendapat dan pemikiran Syaikh Rasyid Ridha yg cenderung memiliki pemikiran manhaj salaf ketimbang pemikiran dari guru Syaikh Rashid Ridha sendiri, yaitu Syaikh Muhammad Abduh. Bahkan Syaikh Rashid Ridha sendiri mengklaim ia akan hidup dan mati mengikut salaf dalam masalah-masalah esotoris.

Jadi boleh waspada, namun waspadalah kepada yg berhak diwaspadai. Kalaupun boleh mencurigai tetaplah ditimbang-timbang dari sisi kebaikan dunia akhirat dan maslahat agama & organisasi kita, apakah layak atau tidak.

Jangan dilupakan bahwa manhaj Muhammadiyah memiliki dua pengertian, yaitu Salafiyah dan Tajdidiyah, dari segi akidah, Muhammadiyah adalah salafiyah yang tidak berafiliasi dengan aliran manapun apalagi aliran liberal Cs, dan dari segi fikih, Muhammadiyah bukan organisasi yang berorientasi fikih madzhabi tetapi fikih manhaji, tanpa menafikan madzhab-madzhab fikih lainnya kecuali fikih liberal (klo memang ada, hehe..). Darisini kayaknya kata “Salaf” lebih familiar buat Muhammadiyah daripada kata “liberal”. Jadi kepada kader-kader dakwah Muhammadiyah jangan tergiring opini bahwa salaf dan liberal merupakan dua istilah berbahaya bagi Muhammadiyah sebab sejatinya yang berbahaya bagi Muhammadiyah hanyalah “worldview liberalisme”. Wallohu a’laam.

Selamat berpikir dan Salam berwawasan.

(Sekilas info: Penulis bukan oknum kelompok “Salafi”, hanya seorang alumni Pondok Kader ‘Ulama & Zu’ama Muhammadiyah, Hj. Nuriyah Shobron, Solo).