Gegap Gempita Kongres Muhammadiyah 1930 di Bukittinggi

Bermula dari Kongres ke-18 di Solo Siapa pernah menduga, perhelatan akbar Hoofdbestuur Muhammadiyah bisa diselenggarakan di luar Jawa pada tahun 1930.Kisahnya dimulai di arena Kongres ke-18 di Solo. Haji Fakhruddin mengusulkan agar Minangkabau ditunjuk sebagai pelaksana kongres selanjutnya. Ia beralasan, daerah ini merupakan negeri yang mampu memenuhi cita-cita Muhammadiyah, sekaligus pelopor pengembangan persyarikatan di seluruh Sumatera, bahkan seluruh Hindia Timur (Hamka, 1960:2).
Usulan Fakhruddin rupanya mendapat sambutan hangat dari M.Joenoes Anis dan seluruh utusan dari daerah. Ketika pimpinan sidang meminta kesediaan utusan Minangkabau, mereka pun meminta waktu untuk membicarakannya di Konferensi Daerah. Namun, jawaban utusan itu ditanggapi Fakhruddin dengan penuh semangat.”Kalau Muhammadiyah Minangkabau tidak sanggup mengadakan Kongres ke-19, Pengurus Besar akan mengadakan juga Kongres di Minangkabau, dan minta bantu kepada saudara-saudara di Minangkabau untuk jadi panitia!”
Hamka yang turut hadir masa itu, tidak kuasa menahan keharuannya. Sebab, Muhammadiyah di Minangkabau baru memiliki tujuh groep, yakni Sungai Batang, Padang Panjang, Simabur, Bukittinggi, Payakumbuh, Kuraitaji Pariaman dan Simpang Haru Padang Luar Kota, tiba-tiba memperoleh kehormatan menyelenggarakan kegiatan pertama di luar Jawa. Hamka membatin, ditunjuknya Minangkabau merupakan penghargaan yang diberikan oleh Hoofdbestuur, mengingat pesatnya sebaran Muhammadiyah, dibanding Jawa sendiri
Pasca-Kongres ke-18 dan Konferensi Daerah di Simabur–memutuskan perhelatan akbar akan dilaksanakan tanggal 14-21 Maret 1930 di Bukittinggi, para pimpinan Muhammadiyah bekerja keras untuk menambah jumlah groep. Hamka mengisahkan, untuk ‘salingkaran’ Maninjau telah berdiri groep Tanjung Sani, Pandan, Galapung, Batu Nanggai, Muko Jalan, Sigiran, Airikir Koto Panjang, dan seluruh nagari-nagari di Bukittinggi. Pengurus Muhammadiyah Cabang Bukittinggi, kemudian ikut merintis groep Sibolga dan Sipirok. Hamka sendiri berjibaku merintis groep Lakitan Pesisir Selatanm bersama Samik Ibrahim. Sehingga jelang kongres, untuk Minangkabau telah tersebar di 27 daerah.

Diguncang Depresi Ekonomi
Praperhelatan akbar, pengurus Muhammadiyah sibuk mendirikan cabang dan groep, juga gencar menyebar berita Kongres ke-19 di perantauan. Tujuan akhirnya supaya para perantau Minang mengajak pulang bersama, sekaligus memeriahkan kongres. Dan perlu dicatat, Kongres ke-19 dilaksanakan dalam kondisi finansial yang berat, karena seluruh tanah Hindia Timur ditimpa depresi ekonomi tahun 1930–atau dikenal zaman malaisie.
Panitia Kongres ke-19 Minangkabau yang diketuai Saalah Yusuf Sutan Mangkuto menyadari tidak bisa berbuat banyak. Anggota panitia dikerahkan mencari donasi sebanyak-banyaknya di perantauan. Rupanya, panitia berhasil mendapatkan dana segar dari saudagar besar di Padang, Pariaman, Fort de Kock, Fort van der Capelen, dan Padang Panjang. Depresi ekonomi yang mendera Hindia Timur, juga tidak menyurutkan langkah Muhammadiyah menggelar kongres. Di tengah gegap gempita suasana jelang kongres, panitia dibuat sibuk untuk menyambut kedatangan Hoofdbestuur, utusan dari Jawa, Celebes, dan sekitar Sumatera Barat.
Hoofdbestuur yang menyatakan kesediaannya untuk hadir di Sumatera Barat antara lain: KH Ibrahim, KH Moechtar, Ki Bagus Hadikusumo, KH Hasjim, KH Moh Wazirnaru, KH Mas Mansoer, KH M Basiran, KH Nawawie Bjs, KH Wasool, Haji Soedja, KH Dahlan MS, Raden Haji Duri, Siraad Dahlan, Rusli, S. Sastrosuwito, Haji Abdul Hamid, M Aslam Z, dan M. Joenoes Anis (Tjatetan Persidangan Congres Besar Moehammadija Minangkabau ke-19 tahun 1930: 1).

Euforia Jelang Kongres ke-19 Bukittinggi
Suasana penantian perhelatan empat tahun, juga dirasakan orang Minang. Tiap-tiap kampung di luar basis utama Muhammadiyah, sibuk membicarakan harapan dan keinginan mereka. “Bagaimanakah gembiranya kongres besar itu dan alangkah ramainya? Banyaklah yang menunggu dan berbesar hati.”

Animo besar juga datang dari ibu-ibu pengurus Aisyiyah. Mereka menunggu dikabulkannya pendaftaran oleh panitia Kongres, setelah mengantongi surat izin dari suaminya. Bahkan, kepada anak-anak di perantauan, seorang ibu menulis surat, meminta anaknya agar lekas pulang kampung. “Pulanglah anak dahulu, jelanglah rumah ibu-bapa, kok mati sekarang memekiklah di dalam kubur, menyesal anak di akhirat. Kongres ke-19 ta dapat anak lihat.”

Sehari jelang kapal uap rombongan Hoofdbestuur bersandar di Pelabuhan Emmahaven, pengurus Cabang Padang gugup memikirkan cara menyambut tamu. Demikianlah suasana hati orang Minang, bila tamu penting yang dinanti-nantinya datang. Saalah, selaku voorzitter hoofdcomite van Ontvangst menugaskan Hamka dan A Wahid untuk menyampaikan undangan Kongres ke Malaya dan Singapura.

Para perantau dari Aceh, Medan, Bengkulu, Palembang, dan Lampung sangat ingin menghadiri kongres. Mereka yang sedang bekerja mencoba mencari alasan, agar diizinkan pulang kampung. Pengurus cabang daerah yang pernah pulang kampung setahun, atau beberapa bulan sebelum Kongres, harus memutar akal dan alasan.

Kerinduan mengikuti kongres, rupanya melebihi kesulitan ekonomi yang mendera. Sehingga, ada-ada saja alasan mereka, agar secepatnya sampai di kampung halaman. “Saya pulang yang sekali ini tidak membawa uang, hanya menjadi utusan Muhammadiyah,” ungkap seorang utusan dari daerah kepada Hoofdcomite.

Depresi ekonomi bukan lagi menjadi halangan, terutama utusan luar Sumatera Barat. Mereka yang berasal dari Jawa, malah nekat berangkat. Sebagian utusan malah berkata,”Jangankan hanya jauh dan ongkos mahal, meskipun dengan berenang saya mesti datangi kongres besar kita itu!” (Tjatetan Persidangan Congres Besar Moehammadija Minangkabau ke-19 tahun 1930: 1).

Di Yogyakarta menjelang H-7 pelaksanaan kongres, beberapa agen travel perjalanan menyediakan ongkos murah untuk utusan Muhammadiyah dan Aisyiyah yang ingin menghadiri acara.Entah dari ulah siapa, tiba-tiba Minangkabau menjadi booming di tanah Jawa. Sampai-sampai orang yang menggalas (dagang) kaki lima menawarkan dagangannya bertemakan Minangkabau, mulai dari kain, tikar, baju kaus, hingga pisang goreng. Ketika hari keberangkatan tiba, stasiun-stasiun di Yogyakarta dan Solo jadi sesak, mirip ketika para pengunjung mengantarkan keluarga mereka naik haji. Sesampai di Stasiun Gambir, rombongan disambut oleh Hizbul Wathan cabang Batavia, untuk diantarkan ke Pelabuhan Tanjung Priok.

Sibuk Menyambut Tamu Kongres
Tanggal 10 Maret 1930, Saalah mengerahkan semua pengurus Muhammadiyah dan Hizbul Wathan cabang Padang Panjang, Padang, Bukittinggi, Simabur, Batipuh, Kuraitaji, dan Talu untuk menyambut rombongan peserta Kongres ke-19 di pelabuhan Emmahaven (baca: Teluk Bayur).

Penunggu tamu yang berasal dari unsur Muhammadiyah, Aisyiyah dan barisan Hizbul Wathan, telah menyemuti Emmahaven tanggal 13 Maret 1930. Teriknya matahari dan dalam keadaan berpuasa, tidak menghalangi mereka menunggu tamu yang menumpang kapal Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) yang terlambat membuang sauh. Cuaca hujan, badai, dan ombak besar membuat sebagian penumpang mabuk laut.

Di siang hari yang terik, beragam busana mendominasi dalam acara penantian peserta kongres. Mulai dari setelan jas, baju kerah tinggi, kemeja, dan baju guntiang cino. Belum lagi laki-laki yang memakai pantalon hingga kain sarung yang beragam corak dan warnanya. Menghindari terik matahari, sebagian laki-laki memakai topi gabus, kopiah beludru, turban, dan ada juga yang memakai payung hitam.

Ketika kapal KPM bersandar, penumpang yang menempuh perjalanan berhari-hari itu, terkejut melihat lautan manusia. Belum lagi atap gerbong kereta api, juga disesaki penunggu tamu dari Jawa. Suasana Emmahaven pada Jumat kedua Ramadhandisesaki lautan manusia.

Penumpang yang menuruni tangga kapal, tidak sempat berjabatan tangan. Sampai-sampai gerbong kereta api disesaki penumpang, mobil yang disiapkan di tepian dermaga telah siaga mengantar ke Bukittinggi (Tjatetan Persidangan Congres Besar Moehammadija Minangkabau ke-19 tahun 1930, 2-3).

Pada tanggal 13 Maret 1930, di beberapa masjid, surau, kedai, bahkan mobil dan bendi sudah dipasang bendera Muhammadiyah. Demikian halnya di setiap tanggul, tonggak, persimpangan jalan, parkir kendaraan di Jam Gadang, bahkan jalan menuju ke ngarai Sianok sudah terpasang kain spanduk bertuliskan “Membahagiakan Kongres”.

Massa Tumpah di Open Ceremony Kongres ke-19
Pada 15 Maret 1930, Kongres ke-19 resmi dibuka di Lapangan Rookmakerplein, terletak di atas Ngarai Sianok. Untuk tempat duduk para pimpinan, panitia kongres mendirikan openbare gebouw–yang dibuat dari bambu, beratap daun rumbia persis dengan balai adat Minangkabau, dihiasi dengan tabir kain songket.

Seluruh utusan yang menghadiri acara pembukaan, diperkirakan sebanyak 20 ribu orang dengan perincian: 17 ribu orang undangan resmi dan 3 ribu utusan penggembira. 17 ribu undangan resmi duduk di tribun openbare gebouw terdiri dari: 19 orang Hoofdbestuur Muhammadiyah, 24 daerah perwakilan cabang dan groep, dan 24 ulama yang berasal dari daerah.

Perwakilan pemerintah kolonial Belanda yang hadir antara lain: Dr de Vries (Adv Internal Zaken), Wedana gewestelijke Recherche Padang, demang, asisten demang, wedana, commissaris van politie Fort de Kock, demang Maninjau, demang, dan asisten demang Sawahlunto, asisten demang Sarik, dan asisten demang IV Koto (Tjaja Sumatra, tanggal 1 Agustus 1930).

Untuk Sumatera Barat, cabang dan groep dihadiri utusan dari: Padang (14 orang), Padang Panjang (8 orang), Bukittinggi (3 orang), Simabur (14 orang), Batipuh (3 orang), groep Kuraitaji (6 orang-dua orang di antaranya Sidi Mhd. Ilyas dan Kasim Munafy), dan groep Talu (2 orang), ditambah ribuan orang penggembira.

Tidak hanya itu, 20 utusan persyarikatan ikut memeriahkan pembukaan kongres yang terdiri dari: 11 perwakilan Sumatra Thawalib, Sarekat Islam Sungai Batang, tiga wakil PMDS (Padang Panjang, Bukittinggi, isteri Padang Panjang), SIAP Sungai Batang, PPO Padang, Pemuda Sumatra Bukittinggi, Muzamudin Padang, SKIS Koto Gadang Bukittinggi.

Acara pembukaan juga menjadi perhatian pers, yang berkontribusi selama Kongres, di antaranya Utusan Sumatra, Radio, Sinar Sumatra, Tjaja Sumatra, Pompai, Bintang Timur, Pewarta Deli, Pewarta, Pemberitaan Makasar, Keng Po, AGG, Suluh Rakyat Indonesia, Sumatra Bode, Bende, Panji Pustaka, Suara Muhammadiyah, Bintang Islam, Menara Kudus, Suara Aisyiyah, Muhammadi, Suryo, dan Sinar Deli.

Demikianlah, Kongres ke-19 terbesar dan termeriah pada masa Kolonial Belanda telah menjadi lautan manusia, sejak resmi dibuka oleh KH Ibrahim– voorzitter Hoofdbestuur Hindia Timur pukul 09.35. Euforia penggembira dan utusan memang luar biasa. Bahkan, sejam menjelang acara dibuka, penggembira sudah memasuki gerbang bertuliskan “Medan Kongres Moehammadijah”.

Lihat saja nuansa modernis di luar gebang memang kental. Peserta memakai stelan jas, kemeja, dasi, pantalon, ataupun berkain sarung berseliweran menuju arena kongres. Hampir seluruh utusan–baik berasal dari utusan Muhammadiyah, Aisyiyah, maupun Hizbul Wathan menunjukkan mimik wajah bahagia.

Perasaan gembira juga singgah di hati tokoh-tokoh Islam modernis Sumatera Barat. Sebut saja HAKA, maupun Syekh Moh. Djamil Djambek yang didaulat sebagai pembicara.

Meski keduanya tidak pernah menjadi anggota persyarikatan, namun mereka sudah menjadi orang tua yang ‘duduk sehamparan’ dan ‘tegak sepematang’ dengan Muhammadiyah. Dua pembicara lainnya, turut menjadi buah bibir peserta kongres. Saalah dilabeli ‘pers trompet’ Muhammadiyah, dan Hamka digelari ‘Chaplin Muhammadiyah’.

Sebutan pers trompet disematkan pada diri Saalah, karena ia menjadi corong informasi untuk peserta kongres maupun P.B Muhammadiyah. Hamka yang digelari Chaplin karena faktor energiknya putra Haji Rasul itu, di samping kegemarannya menghibur peserta kongres.

Dimeriahkan Pawai HW dan Anak Yatim

Pasca acara pembukaan, tanggal 16 Maret 1930 pukul 07.00 pagi–lima ribu murid berkumpul di depan kantor Muhammadiyah cabang Bukittinggi (dekat Pasar Ateh).

Pawai ta’aruf itu dimulai dengan barisan Hizbul Wathan, disisipi murid-murid sekolah, dan diakhiri dengn arak-arakan Hoofdbestuur Hindia Timur, cabang, hingga groep.

Seluruh peserta yang memegang bendera hijau Sang Surya, memulai arakan dari Bioscoopstraat (jalan bioskop), kampung Cina (Chinese kampweg), Pasar Teleng Aur Tajungkang, depan Penjara Residensi, Stasiun Kereta Api, Kerkstraat (Jalan Kerk), Kampementstraat (Jalan Kampemen), Hospitaal (rumah sakit). kemudian langsung menuju ke Medan Kongres di atas Ngarai Sianok.

Selain aktivitas yang digelar Muhammadiyah dan Aisyiyah, acara paling ramai dihadiri massa adalah stan bazar Tentoonstelling yang dikelola A. Ghaffar Djambek. Pameran barang-barang hasil kerajinan asal Sumatera Barat, juga disuguhi kain-kain songket Minangkabau yang memikat, mulai dari Pandai Sikek, Kubang, hingga Silungkang.

Suasana kebatinan utusan, penggembira, dan masyarakat Bukittinggi tentu mudah ditebak, sepanjang Kongres ke-19 berlangsung. Hanya, bagi massa simpatisan-terutama Aisyiyah yang tidak bisa menghadiri acara Openbare, akan memendam rasa penyesalan (Tjaja Sumatra tanggal 1 April 1930).

Kongres Ditutup Penuh Haru

Pada hari ketujuh, Kongres ke-19 pun ditutup. Suasana penutupan kongres Muhammadiyah penuh haru dinarasikan Hamka. Utusan tiap-tiap daerah, diminta panitia mengenakan pakaian adat masing-masing (Hamka, 1986: 24-28). Seruan itu pun dipatuhi seluruh utusan.

Hamka menulis,utusan Kuala Kapuas memakai pakaian adat Dayak, Haji Yunus Jamaluddin dari Bengkulu memakai Saluk Timba, Sutan Perpatih dari Muara Aman memakai pakaian Rejang, dan utusan dari Makasar memakai lenso celana pendek, sarung bugis disisipi sebilah badik.

Namun, berbeda dengan rombongan Hoofdcomite Hindia Timur yang telah disediakan pakaian khas Minangkabau. Demikianlah, ketika KH Mochtar dan M Joenoes Anis dengan senang hati memakai pakaian khas penghulu, sementara panita penyelenggara kongres, seperti Sutan Mansur memakai kopiah bulat berkerut hitam. Hamka sendiri memakai busana adat penghulu Batipuh. Panitia Kongres ke-19 Minangkabau yang diketuai Saalah Yusuf Sutan Mangkuto menyadari tidak bisa berbuat banyak menghadapi situasi sulit itu. Melalui panitia yang telah dibentuk, mereka diserahi tugas mencari donasi sebanyak-banyaknya di perantauan. Dan, usaha yang dirintis itu berhasil. Panitia Kongres mampu menerima serapan dana yang bersumber dari berbagai kalangan di Hindia Timur– termasuk dari saudagar besar yang berada di Padang, Pariaman, Fort de Kock, Fort van der Capelen, dan Padang Panjang.

Hoofdbestuur Muhammadiyah menorehkan sebuah catatan penting, terutama berani menanggung risiko pada saat krisis ekonomi melanda Hindia Belanda. Belum termasuk catatan Ketua Panitia mengumpulkan donasi untuk menyukseskan perhelatan akbar itu.

Laporan pantia Kongres ke-19, diketahui bahwa donasi terbesar untuk harlah Muhammadiyah itu diperoleh dari para saudagar besar baik di Sumatera Barat, maupun di perantauan. Pemasukan kas itu berasal dari pendapatan perusahaan dan tentoonstelling dan iklan yang berjumlah f 2562,23. Catatan penting lainnya, Kongres ke-19 Muhammadiyah mengambil satu keputusan penting, yakni tiap-tiap daerah Keresidenan dibentuk Wakil Pengurus Besar yang diberi nama Konsul. Setelah struktur pengurus terbentuk, pimpinan Konsul Muhammadiyah yang dipimpin Sutan Mansur– membeli Hotel Merapi seharga f.250 di Guguk Malintang. Kompleks Hotel Merapi terdiri dari bangunan dan tanah seluas dua hektar itu, sekarang dikenal dengan nama Kompleks Perguruan Muhammadiyah Kauman Padang Panjang (Mardjohan, 2006: 4).

*Fikrul Hanif Sufyan, Pemerhati Sejarah Lokal dan Ketua Litbang PUSDAKUM Muhammadiyah Sumatera Barat.

dimuat di sindonews