Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, menyesalkan pernyataan Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Jenderal TNI (Purn.) Moeldoko, terkait adanya potensi kerawanan menjelang sidang putusan sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketua Bidang Hukum, HAM dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah, Muhammad Busyro Muqoddas mengatakan, pernyataan ini terlalu berbahaya untuk disampaikan di ruang publik.
Seharusnya, kata dia, pemerintah dapat lebih berhati-hati dalam menyampaikan informasi ke masyarakat, dalam agenda politik seperti ini pemerintah baiknya lebih arif dan bijaksana dalam menciptakan suasana yang lebih kondusif.
“Sebagai Kepala KSP yang merupakan pejabat negara, seharusnya tidak terburu-buru dalam membuat pernyataan publik. Seharusnya Negara dapat melakukan analisis terlebih dahulu terhadap informasi tersebut melalui institusi BIN dan aparat terkait, untuk dilakukan pencegahan,” kata Busyro Muqoddas dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Kamis (27/6/2019).
Menurutnya, tidak semestinya informasi semacam itu disampaikan kepada masyarakat yang akan mengganggu psikologis publik dalam suasana agenda politik saat ini.
Ia mengatakan, pernyataan Moeldoko juga mencerminkan Negara gagal dalam mengevaluasi dan mencegah terjadinya terorisme dan kekerasan lainnya. Ia menjelaskna, stigma terorisme dan kekerasan selalu dilekatkan pada simbol-simbol Islam yang sudah mulai sejak era orde baru hingga era sekarang.
Tahun 1971, lanjutnya, dimulai oleh state terorism dengan label Jamaah Islam, Usroh, Komando Jihad. Sekarang dengan label-label Islam dan terduga pelaku yang selalu Islam.
“Dalam kurun waktu yang sudah terlalu panjang itu, apakah keberhasilan pemerintah dalam menangani terorisme. Akankan selalu melekatkan stigma terorisme pada kelompok muslim,” ujarnya.
Oleh karena itu, kata dia, agar stigmasasi terorisme terhadap kelompok muslim tidak menjadi teror psikologis kepada umat Islam, pemerintah dan negara sudah saatnya lebih jujur terbuka menjelaskan akar masalahnya.
Selain itu, PP Muhammadiyah mendesak presiden untuk mampu mengendalikan jajarannya agar adil dan terbuka dalam mengevaluasi pernyataan-pernyataan publiknya sambil melakukan koreksi bahwa problem sesungguhnya yang dirasakan masyarakat adalah dampak pemiskinan masif akibat korupsi politik yang melanda birokrasi negara yg sekaligus sebagai akar radikalisme dan konflik sosial.
“Hendaknya pemerintah semakin menyadari peran dan kontribusi umat Islam dalam proses-proses pilkada dan pemilu belakangan ini sebagai modal sosial yang otentik. Maka perlu semakin dilindungi hak-hak sosial politik ekonominya, dan dihindarkan dari kecenderungan sebagai komoditas politik musiman,” pungkasnya.[]
