Penjelasan Muhammadiyah Terkait Dinamika Saat ini di Masyarakat

Umatan Wasathan telah menjadi pilihan gerakan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Pilihan itu bukan tanpa alasan. Wasathiyah merupakan gerakan tengahan yang berorientasi pada pencerahan.

Di mana perbedaan bukan berarti permusuhan yang menjadi halangan bagi upaya bersama membangun peradaban umat dan bangsa. Pandangan tersebut mengemuka dalam Pengkajian Ramadhan PP Muhammadiyah yang menghadirkan narasumber Dadang Kahmad Ketua PP Muhammadiyah, dan Abdul Mu’ti Sekretaris Umum PP Muhammadiyah.

Pengkajian Ramadhan PP Muhammadiyah berlangsung dari tanggal 12-14 Mei bertempat di kampus Institute Teknologi Bisnis Ahmad Dahlan, Ciputat, Jakarta, dengan tema “Risalah Pencerahan dalam Kehidupan Keumatan dan Kebangsaan: Tinjauan Ekonomi, Politik dan Sosial Budaya”

Menurut Dadang Kahmad, membangun masyarakat tengahan telah dilakukan oleh Nabi Muhammad dengan piagam Madinah yang isinya 47 pasal. Di sana sudah terdapat prinsip wasathiyah. Dalam konteks kekinian di Indonesia, prinsip wasathiyah tercermin dalam pedoman Muhammadiyah.

Lebih lanjut Kahmad menyebut Piagam Madinah mengandung delapan karakter, karakter tauhid, persatuan, persaudaraan, persamaan, pengakuan kebinekaan, toleransi, demokrasi, dan HAM. Sikap toleransi dan moderat ditunjukkan oleh Nabi dengan mengakui keberadaan Yahudi dan menyantuninya asal tidak berbuat dholim dan jahat.

“Jadi ada sistem sosial yang saling menopang, menjadi bangunan yang saling memperkuat, tidak saling memusuhi. Persoalan menyangkut kepentingan bersama diputuskan secara demokratis,” kata Dadang.

Dalam hal toleransi, Abdul Mu’ti melihat indeks kerukunan antar umat beragama di Indonesia sudah sangat maju, yaitu di atas angka 70. Namun, fenomena sebaliknya terjadi, yaitu gejala intoleransi yang tinggi di internal umat beragama.

Misalnya kata dia, konflik antar kelompok di dalam Islam. “Umat Islam kalau konflik sangat terbuka. Inilah tantangan yang dihadapi saat ini. Terdapat gejala di kalangan umat bergerak ke arah ekstrim, baik ke kanan maupun ke kiri. Ekstrim kanan beragama secara eksklusif dan menganggap orang diluar kelompoknya masuk neraka,” ungkapnya.

Sementara menurut Abdul Mu’ti, ekstrim kiri, menganggap teks tidak penting. Terjadilah kontestasi, pemenangnya kelompok tengahan yang tegas dan toleran. Walaupun kelompok ini sering dianggap lembek. “Jadi ada realitas keumatan cenderung ekstrim bahkan radikal,” jelas Mu’ti. 

Mengapa pola gerakan seperti itu cenderung konfrontatif. Mu’ti melihat ada lima penyebab.
Pertama, adanya akumulasi kekecewaan dan eskalasi berbagai masalah yang pemerintah tidak aspiratif, dan tidak protektif tehadap minoritas. 

“Kedua, aparat cenderung represif bahkan preemptif, termasuk dalam mengadili fikiran. Tokoh tertentu bergerak langsung ditersangkakan, dianggap makar,” tuturnya.

Sementara ketiga, parpol berbasis Islam kurang aspiratif terhadap umat. Menjadikan umat turun ke jalan, demo dengan simbol keagamaan. Keempat, umat sering diperalat oleh elit. Jumlah dukungan massa dijadikan dukungan politik. Elite merasa mendapat dukungan besar dari umat yang diperalat.

“Kelima, miskin strategi. Kalau dakwah selalu pendekatannya tradisional menggunakan mega phone, suara keras jamaahnya sedikit. Persaingan antara organisasi Islam yang sudah mapan seperti Muhammadiyah dan NU dengan organisasi yang baru bangkit sekarang ini, karena mereka tidak mau berorganisasi, tetapi bergerombol dan kemudian membuat organisasi baru, yang Abdul Mu’ti menyebutnya gerakan hibrida, yang memiliki ciri ustaz hibrida juga. Organisasi demikian rentan didomplengi orang politik. Gurunya tidak jelas, namun ganteng dan milenial, isinya tidak jelas,” pungkasnya.(sindo)