Jalan Lain Politik Muhammadiyah

Muhammadiyah merupakan organisasi gerakan Islam yang berada di Indonesia sejak sebelum Indonesia merdeka. Gerakan Muhammadiyah yang pada saat itu sudah menggunakan sistem organisatoris sebagai pelembagaan kerja amal shaleh. Dengan waktu yang relatif singkat penyebaran organisisai ini meluas.

Dakwah gerakan Muhammadiyah yang sejak awal berkomitmen pada gerakan sosial yang diterjemahkan dari spirit wahyu ke praktik nyata, seperti dalam dunia pendidikan Muhammadiyah mendirikan sekolah, dalam bidang kesehatan mendirikan PKO, dalam bidang sosial mendirikan panti-panti, (panti asuhan dan panti jompo) banyak memberikan kontribusi nyata dalam hal ketahanan nasional terutama dalam aspek pemberdayaan sumber daya manusia (SDM).

Sejak kelahirannya Muhammadiyah telah mengikrarkan diri sebgai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar yang ditujukan pada perseorangan dan kelompok atau masyarakat. Dalam perjalanan dakwahnya Muhammadiyah tidak pernah terlepas dari dinamika politik bangsa. Meskipun demikian, Muhammadiyah senantiasa istikomah dalam memainkan peran politiknya dengan fokus aktivitas pada penguatan pengaruh politik Muhammadiyah melalui artikulasi pendapat, pemikiran dan pandangan Muhammadiyah. hal inilah yang kemudian disebut sebagai ”high politik”.

Secara normatif Muhmmadiyah bukanlah organisasi politik yang menggunakan jalur struktural dalam mengartikulasikan gagasannya. Muhammadiah lebih memilih jalur kultural dalam merealisasikan ajaran-ajaran Islam dalam berbagai aspeknya. Hal ini dapat dilihat dalam kandungan Muqadimah anggaran dasar Muhammadiyah, pokok pikiran ke 6 poin poin ke 11 tentang Muhammadiyah dengan masalah politik. Namun secar historis dalam babak tertentu Muhammadiyah pernah terjun dalam kancah politik atau jalur struktural, khususnya pada zaman Masyumi walaupun pada akhirnya Muhammadiyah kembali menempuh jalur dakwah kultur hingga saat ini.

Atas dasar ini Muhammadiyah bukanlah organisasi politik melainkan sebuah organisasi kemasyarakatan (Civil Society). Sebuh organisasi yang memiliki cita-cita masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Dalam mewujudkan cita-citanya tidak mungkin Muhammadiyah apolitik. Muhammadiyah lebih memilih peran kultur dalam berpolitik. Aktualisasi Muhaammadiyah dapat digulirkan memalui opini publik yang secara terus menerus mendiskusikan kepentingan bersama. Misi aktualisasi ini meliputi: mendemokrasikan negara, moderasi, yaitu menegakkan pluralitas dan menghargai multikulturalitas dalam kehidupan bersama, menjaga tegaknya Rule of Law (Hukum) dalam mengatur kehidupan bersama.

Jika dianalisa lebih mendalam dalam praktek politik kultur, Muhammadiyah memiliki 3 peran strategis. Hal tersebut telah disampaikan oleh sekertaris umum PP Muhammadiyah saat ini, Abdul Mukti.

Pertama, opinion maker. Muhammadiyah dapat memberikan sumbangan pemikiran dan gagasan kenegaraan. Dengan kekuatan SDM dan intelektualnya Muhammadiyah aktif memberikan masukan, ide-ide cemerlang dan gagasan-gasan terhadap pemerintah, lembaga-lembaga negara dan lembaga penyelenggara negara melalui media masa, kebijakan-kebijakan dan forum-forum resmi.

Kedua, political lobbist. Dengan posisinya yang netral, muhammadiyah dapat melakukan komunikasi politik lintas partai dan menyampaikan aspirasi secara leluasa terhadap semua kekuatan politik. Pada umumnya partai politik dan pengambil kebijakan lebih apresiatif terhadap ide dan pemikiran yang disampaikan langsung secara tertutup, dibandingkan dengan kritikan melalui media masa secara terbuka yang dapat menimbulkan polemik berkepanjangan, kegaduhan politik juga kontraproduktif.

Ketiga, Preasure Group. Sejarah telah mencatat bahwa Muhammadiyah melalui para tokoh dan jaringannya tampil sebagai preasure group yang sangat berpengaruh. Tekanan politik Muhammadiyah melalui Amin Rais dengan gerakan reformasi yang dimulai pada tahun 1993 dengan menggulirkan isu “suksesi nasional” memaksa presiden suharto mengundurkan diri pada tahun 1998. Jihad konstitusi yang dimotori oleh Din Syamsudin memaksa pemerintah untuk penyusunan undang-undang migas dan sumberdaya air yang baru. Hasil dari judisial review yang dilakukan Muhammadiyah, BP migas tinggal sejarah dan para mantan pemimpinnya mendekam di penjara.

Tahun 2019 Indonesia kembali akan melaksanakan pesta demokrasi. Pemilu 2019 yang akan dilaksanakan pada ini menjadi ujian kembali bagi Muhammadiyah dalam mempertahankan khitah serta dakwahnya di bidang politik. Pasalnya pada saat ini dengan nama besarnya, secara otomatis suara Muhammadiyah menjadi rebutan para calon Legislatif dan Eksekutif. Mereka yang akan berkompetisi memperebutkan kursi, tentu secara otomatis akan mendekat dan berusaha mendapatkan legitimasi suara dari Muhammadiyah secara kelembagaan.

Memang benar, sampai saat ini Muhammadiyah secara keorganisasian tidak pernah menyatakan sikap mendukung salah satu calon, namun dengan bertahannya Muhammadiyah pada khittahnya menjadikan kader-kader Muhammadiyah yang memiliki minat di ranah politik menyebar ke berbagai partai politik dan memberikan dukungan terhadap mereka yang bertarung di pemilu 2019.

Hal tersebut bisa menjadi sebuah kerugian apabila kader-kader Muhammadiyah tidak dewasa dalam berpolitik. Pertarungan dukung mendukung calon menjadi sebuah momok baru di internal Muhammadiyah yang dapat dengan mudah menimbulkan perpecahan. Perbedaan pilihan politik terkadang menjadikan para kader menjadi saling bermusuhan dan alhasil para kader Muhammadiyah tidak bisa bekerja sama lagi dalam gerakan dakwah Muhammadiyah.
Kader Muhammadiyah selaknya sudah dewasa dalam berpolitik dan tak perlu risau dalam menghadapinya. Pasalnya siapapun yang terpilih nanti, Muhammadiyah akan tetap tegak berdiri dan berjalan dalam rel dakwahnya, hal ini seperti yang disampaikan oleh ketua PWM Jawa Timur Dr. Saad Ibrahim bahwa Muhammadiyah besar dari dana hibah para anggotanya, sejarahpun membuktikan di 20 tahun awal berdiri dan berkembangnya Muhammadiyah, 40% anggotanya adalah saudagar yang senantiasa menafkahkan hartanya untuk gerakan Muhammadiyah.

Hal ini harus disadari bersama oleh para kader yang sedang terlena dalam pertarungan dukung mendukung pada pemilu 2019. Tak perlu terlalu fanatik terhadap calon yang didukung, dan tak perlu juga memusuhi kader Muhammadiyah lain yang berbeda dukungan. Lebih baik memilih fokus politik jalan lain Muhammadiyah yakni gerakan politik kultur dan maksimalkan dakwah high politik Muhammadiyah dengan cara opinion makker, politikal lobist dan preasure group.

Dalam kancah politik, tanpa harus menjadi partai politik atau berafiliasi dengan partai politik, Muhammadiyah tetap dapat menjelma menjadi kekuatan politik yang besar dan kuat. Muhammadiyah dapat memainkan peran politik kebangsaan sebagai penggawa dan penjaga moral bangsa.

*Oleh: Adi Irfan Marzuki S. Pdi., (Peace Literary Network).

dimuat modernis.co