Audit BPK, Ada Kejanggalan Pengelolaan Duit Liga Santri 2017

Achsanul Qosasih, anggota Badan Pemeriksa Keuangan, merekomendasikan agar Liga Santri Nusantara, turnamen sepakbola yang dibuat oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga, tak perlu lagi digelar. Alasannya, audit BPK menemukan ada kejanggalan dalam pengelolaan anggaran Liga Santri 2017.

Audit BPK menemukan ada sisa anggaran Rp2,04 miliar pada rekening Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) per 31 Desember 2017. Temuan lain ada transaksi terindikasi fiktif senilai Rp392 juta. Totalnya, Rp2,4 miliar.

RMI adalah lembaga Nahdlatul Ulama berbasis pondok pesantren di seluruh Indonesia. RMI adalah pelaksana Liga Santri Nusantara. 

Temuan BPK, masih ada penarikan uang dari rekening RMI pada 2018. Terhitung, per Februari 2018, ada tiga kali penarikan uang dengan total Rp812 juta dari anggaran Liga Santri 2017, sehingga sisa uang tinggal Rp1,22 miliar. 

Soal transaksi terindikasi fiktif senilai Rp392 juta dipakai untuk pemalsuan nota penyewaan bus senilai Rp194 juta dan Rp151 juta. Selain itu, ada penggelembungan biaya sewa penginapan di Wisma Pussenif Bandung, sebuah markas pendidikan dan latihan TNI Angkatan Darat, sebesar Rp47 juta. BPK juga menemukan bunga giro Rp8 juta.

Total dana Rp2,4 miliar dari Liga Santri 2017 itu belum dikembalikan ke negara. BPK meneruskan temuan ini agar RMI dan Kemenpora mempertanggungjawabkannya. 

“Jadi sekarang saya minta mempertanggungjawabkan. Artinya melengkapi dokumen. Kalau tidak bisa, baru mengembalikan,” kata Achsanul.

Temuan BPK bermula dari kucuran dana Rp8 miliar dari Kemenpora untuk pelaksanaan Liga Santri Nusantara 2017. Anggaran itu diberikan kepada Rabithah Ma’ahid Islamiyah.

Liga Santri digelar sejak 2016. Muasalnya, pada Agustus 2015, Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi menandatangani Nota Kesepahaman dengan Ketua PBNU Said Aqil Siradj terkait pelaksanaan Liga Santri. Ia menjadi dasar kerja sama dan pengucuran dana Liga Santri untuk RMI pada tahun selanjutnya.

Ketua RMI Abdul Ghaffar Rozin membenarkan temuan BPK. Namun, ia membantah uang Rp2,4 miliar itu bermasalah. Versi Rozin, uang itu sudah dialokasi untuk “membayar utang” Liga Santri.

Manipulasi Nota

Muasal utang yang disebut Rozin terkait pencairan anggaran Rp8 miliar yang dibagi dua tahap. Tahap pertama cair sebelum pelaksanaan Liga Santri sebesar 70 persen atau Rp5,6 miliar pada 28 Agustus 2017. Sisanya baru cair pada 11 Desember 2017.

“Tahap kedua cair setelah pelaporan yang 70 persen dana itu selesai 100 persen,” kata Rozin.

Pencairan anggaran yang mepet itu membuat panitia Liga Santri terpaksa mencari pinjaman uang, ujar Rozin. 

Pengakuan Rozin, panitia pelaksana Liga Santri harus meminjam uang kepada sejumlah orang untuk menalangi “uang pangkal” kebutuhan kegiatan. Usai kegiatan, sisa uang yang disebut BPK masih ada pada rekening RMI itu digunakan untuk membayar utang.

“Untuk DP, pakai dana dari RMI, dari luar, sehingga dana dari Kemenpora itu terlihat utuh. Itu alokasi untuk membayar tagihan-tagihan. Pembayaran tagihan itu belum tuntas, BPK masuk. ‘Kok masih ada segitu?’ Ya masihlah, karena harus bayar utang,” kata Rozin.

Tapi, logika meminjam uang yang disebut Rozin tidak sejalan dengan laporan Kemenpora ke BPK. Laporan Kemenpora memang mencantumkan pinjaman uang Rp2,5 miliar, tapi BPK meragukannya.

Pinjaman uang itu didapatkan dari empat orang dengan jumlah berbeda. Pinjaman pertama sebesar Rp400 juta diberikan tunai pada 23 Oktober 2017; pinjaman selanjutnya Rp500 juta ditransfer pada 26 Oktober; dan dua pinjaman terakhir masing-masing Rp1,5 miliar dan Rp100 juta diberikan tunai pada 27 Oktober.

Di situ letak kejanggalannya. Pinjaman uang dengan dalih menalangi “uang pangkal” tidak dilakukan sebelum anggaran kegiatan cair, tapi setelah kegiatan hampir selesai. Merunut pengakuan Rozin, uang dari Kemenpora sudah cair sejak Agustus 2017.

Meski ada bantahan dan penjelasan tentang sisa dana yang disebut BPK, Kemenpora dan RMI sama-sama mengakui ada masalah dengan nota-nota kegiatan. 

Kemenpora dalam penjelasannya ke BPK mengakui membuat nota fiktif untuk menyewa bus dengan menggunakan bendera salah satu perusahaan bus di Jawa Barat.

Rozin juga mengakui itu. Namun, ia membantah jumlah uang yang dimanipulasi sebesar Rp392 juta seperti yang disebut BPK. 

Ia tidak menghafal persis jumlah uang yang akhirnya tak bisa dipertanggungjawabkan oleh RMI. Menurutnya, antara Rp150 juta sampai Rp200 juta.

“Itu akhirnya kami wajib balikin. Tapi kalau Rp2,4 miliar, enggak,” kata Rozin.

Infografik HL Indepth Liga Santri

Klaim RMI dan Kemenpora Dimentahkan BPK

Seperti yang ungkapkan Rozin, RMI sudah menindaklanjuti temuan BPK dengan memberikan penjelasan. RMI juga mengklaim sudah mengembalikan sejumlah uang kepada negara. 

Namun, jumlah uang yang dikembalikan itu ada dua versi. 

Rozin menyebut uang yang dikembalikan ke negara antara Rp150 juta sampai Rp200 juta. Jumlah ini berbeda dari versi Kemenpora.

Bayu Rahadian, asisten Deputi Pengembangan Olahraga Tradisional dan Layanan Khusus Kemenpora, mengatakan jumlah uang yang akhirnya dikembalikan ke negara sekitar Rp300 juta.

Meski menyebutkan angka, Bayu menolak memberikan bukti bahwa uang itu sudah dikembalikan ke negara. 

“Enggak boleh,” katanya. “Itu sudah diserahkan. Nanya ke pusat. Saya jamin ada buktinya. Sekitar Rp300 juta. Kami menindaklanjuti apa yang menjadi perhatian.”

Dua klaim dari Rozin dan Bayu itu dimentahkan oleh anggota BPK Achsanul Qosasih. Sampai akhir Januari 2019, Achsanul yang bertanggungjawab atas pemeriksaan keuangan Kemenpora mengatakan belum menerima buktinya.

“Buktinya belum masuk,” kata Achsanul.

BPK sebetulnya tidak terlalu mempermasalahkan uang yang tidak jelas pertanggungjawabnya itu. Menurutnya, sejauh pelaksanaan Liga Santri benar-benar berjalan, “masalah administrasi” itu masih bisa diperbaiki sejauh tidak menyalahi aturan. Namun, bila ada dana yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, memang harus dikembalikan ke negara. 

Achsanul menyarankan Menpora Imam Nahrawi mengevaluasi program Liga Santri. Selain bermasalah dalam pertanggungjawaban, ia menilai Liga Santri tidak memiliki target yang terukur.

“Ini enggak produktif. Goals-nya enggak ada,” ujar Achsanul.

“Klaimnya, kan, menghasilkan Rafli. Rafli bukan hasil Liga Santri. Dia memang sudah main di Indonesia Muda. Itu, kan, dia ikut SSB,” tambahnya, merujuk Rafli Mursalim, top scorer Liga Santri 2016, yang bermain untuk Timnas U-19 dalam satu seleksi mewakili Sekolah Sepakbola Villa 2000.

sumber : https://tirto.id/kejanggalan-pengelolaan-duit-liga-santri-2017-df3D