‘Pak AR’ : Cermin Harga Diri Muhammadiyah

AR Fachruddin

Namanya Abdul Rozak Fachrudin. Orang Yogya memanggilnya Pak AR. Tubuhnya gemuk, mukanya agak bundar. Suaranya berat, tapi enak didengar. Saya pernah kos di “rumah”-nya di Jl Cik Ditiro 19 A, selama hampir dua tahun.

Di awal-awal kos, sungguh aku tidak tahu siapa itu Pak AR. Saya nglamar kos di situ karena diberitahu oleh sobat Ikhsan Haryono, mahasiswa matematika UGM, teman sekelasku.

Saya baru “ngeh” siapa itu Pak AR ketika Supodo — saat mahasiswa Fak Teknik Kimia UGM — memberitahu siapa gerangan beliau.

Waktu itu saya tanya, kok banyak sekali kartu lebaran dari orang besar sih Pak Podo, siapa sebenarnya Pak AR? Aku lihat di meja depan kamarku kartu lebaran dari Pak Harto, Pak Wapres Umar Wirahadikusuma, Menteri Agama Alamsjah, Menteri Sosial, dan banyak lagi.

“Simon, Pak AR itu orang besar. Pak harto saja sangat hormat kepada Pak AR,” kata Pak Podo. Pak AR itu Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah — tambah Pak Podo.

Oh, saya baru tahu siapa Pak AR setelah pemberitahuan Pak Podo tersebut. Kenapa demikian? Karena keseharian hidup Pak AR sangat sederhana. Seperti orang biasa lainnya dan sama sekali tak memoles citra atau ingin memberi tahu kepada orang lain bahwa dirinya ‘orang penting’.

Ke mana-mana dia naik sepeda motor Yamaha mungil warna oranye engkel tahun 70-an. Suaranya sudah kretek-kretek karena terlalu tua. Apalagi kalau boncengan sama Bu AR, joknya gak cukup sampai bokong Bu AR nyaris menduduki lampu belakang motor.

Ya, hanya motor Yamaha butut itulah kendaraan miliknya. Makanan keluarga Pak AR juga sama dengan anak-anak kos seperti saya. Tahu tempe sayur lodeh, sesekali ada telur dan ikan. Anak-anak kos yang orang tuanya kaya seperti Bang Udin (Mahasiswa Fakultas Kedokteran UGM) jarang makan di rumah. Ia memilih lebih banyak makan di Warung Padang yang ada di kawasan Terban.

Selain itu di depan rumah Pak AR yang kini menjadi Gedung PP Muhammadiyah, berdiri sebuah kios bensin eceran. Kalau saat itu ketika hendak melintas ujung jalan Cik Di Tiro (sebelum sampai di bundaran UGM), motor anda kehabisan bensin dan ingin beli di kios itu, maka jangan heran bila dilayani Pak AR.

Suatu ketika, saat kultum usai salat Maghrib, Pak AR bercerita bila ada orang dari PT ASTRA datang mau memberi hadiah mobil Toyota Corolla DX tahun terbaru (1980) untuk Pak AR.

Piye iki (bagaimana ini,red), nyopir mobil saja nggak bisa. Parkirnya sulit. Repot kalau bawa mobil apalagi kalau harus masuk ke kampung-kampung di pinggir Kalicode untuk ceramah. Jalannya sempit gak bisa untuk mobil,” kata Pak AR. Saya terpaksa menolaknya, ungkapnya enteng.

Di lain waktu, Pak AR juga pernah bercerita ditawari jabatan Menteri Agama berkali-kali oleh Pak Harto. Pak AR tetap menolaknya. “Saya sudah cukup ngurusi Muhammadiyah saja Pak Harto, terimakasih,” katanya.

Meski demikian bukan berarti Pak AR tidak pernah minta bantuan kepada Pak Harto. Sehabis kultum Subuh, Pak AR bercerita. Beberapa hari lalu saya kirim surat ke Pak Harto. Isi suratnya sedikit atau pendek sekali.

“Pak Harto, Muhammadiyah akan bangun universitas di Yogya. Menawi Bapak kerso monggo (Kalau bapak berkenan menyumbang ya silahkan,red),” itulah surat Pak AR kepada Pak Harto.

Tak lama kemudian, Pak AR ditelpon ajudan presiden. Ada titipan dari Pak Harto untuk Pak AR. Benar, ada titipan cek yang cukup besar. Cek itu semua diserahkan ke kepada Panitia Pembangunan UMY.

Pak AR juga bercerita sering mendamaikan konflik antara militer dan tokoh-tokoh Islam. “Mendamaikannya cukup memakai tata krama Jawa yang halus,” kata Pak AR.

Kalau mentok, lanjutnya, ya ngomong ke Pak Harto. “Kalau sudah ke Pak Harto semuanya selesai,” tuturnya.

Hubungan Pak AR dan Pak Harto memang sangat dekat. Komunikasinya pakai bahasa Jawa (Jawa krama/halus,red). Pak Harto sangat menyukai Pak AR karena beliau tak pernah meminta apa pun untuk kepentingan pribadinya.

Tawaran menteri, jabatan, komisaris, mobil, rumah dari Pak Harto selalu ditolaknya. Kecuali untuk Muhammadiyah. Pak AR selalu ingat pesan KH Ahmad Dahlan: Hidup-hidupkan Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah.

Pak AR tak pernah mau dikasih amplop kalau ceramah di mana pun. Beliau paling suka kalau diundang orang-orang kecil di lembah Kali Code.

 “Kalau bukan saya yang ke Kali Code siapa lagi,” ungkapnya.

Selain itu, aku juga selalu ingat pesan Pak AR. “Belajarlah untuk tidak mencintai dunia. Allah itu sangat pencemburu,” ujar Pak AR.

Pesan lain dari Pak AR yang juga terngiang sampai sekarang: “Kalau hatimu dipenuhi cinta dunia, lalu di mana tempat Allah di hatimu?”

Oleh: Saefudin SimonPenulis/Mantan Redaktur Harian Republika