Spirit Ramadan Bangun Kepedulian Terhadap Anak Kurang Beruntung

Oleh: Jasra Putra M.Pd *

“Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan” — Soekarno, 1 Juni 1945 —

Bangsa Indonesia, terutama ummat muslim sedang menjalankan puasa Ramadan. Ramadan  merupakan momentum bagi ummat muslim meningkatkan amal ibadah. Namun ada esensi lebih jauh dari itu, yaitu bagaimana kesalehan pribadi yang digapai selama Ramdhan, bisa direfleksikan menjadi kesalahan sosial untuk kemajuan ummat dan bangsa.

Pasalnya, Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin, yang memiliki misi yang sangat komprehensif dan mulia untuk membangun values, yang bisa mengantarkan pada titik manusia yang paripurna (muttaqien). 

Maka, nilai-nilai Ramadan hendaknya bisa menguatkan dan mendekatkan kembali keluarga-keluarga Indonesia baik waktu berbuka, salat tarawih maupun sahur untuk saling bercengkerama antara satu dengan lainnya secara berkualitas (quality time). Sehingga kesibukan keluarga (ayah dan ibu) selama ini, bisa digantikan dengan waktu-waktu tersebut agar tercipta kelekatan dan kedekatan antara anak dan orang tuanya.

Namun tentu tidak semua anak-anak Indonesia merasakan hal yang sama, seperti keluarga normal lainya. Karena sejak lahir, mungkin anak tidak pernah bertemu siapa orang tuanya, atau anak mengalami ketelantaran yang disebabkan oleh berbagai macam persoalan, misalnya dipicu oleh persoalan ekonomi dan buruknya pengasuhan yang diberikan orang tua terhadap anak, sehingga mereka terpisah dari kehidupan keluarga intinya.

Dan hingga kini, perjalanan panjang dan berliku memperjuangkan kesejahteraan sosial anak di Indonesia, belum bisa diwujudkan secara baik. Data Unicef, Bappenas 2017 dan Kementerian Sosial (Kemensos) pada 2015 menunjukan, dari 83,99 juta jumlah anak Indonesia, sebanyak 14% anak masih hidup di bawah garis kemiskinan, 2,9 juta anak telantar, dan 1,2 juta balita telantar.

Kondisi kemiskinan yang dialami oleh keluarga anak, akan berdampak buruk bagi tumbuh kembang anak. Hak-hak anak tentu tidak bisa dipenuhi secara maksimal oleh keluarga yang miskin.

Maka, Ramadan ini kaum muslimin diharapkan bisa memberikan perhatian, baik immateri maupun materi kepada anak-anak Indonesia yang belum beruntung itu. Apalagi pahala ibadah saat Ramadan nilainya lebih banyak pahalanya dibanding bulan lain dalam melakukan kebaikan, termasuk memberikan kebaikan kepada anak-anak yatim (yatim biologis) atau mereka belum tersentuh melalui skema program pemerintah yang ada (yatim struktural).

Bulan Pendidikan  

Ramadan selain dipergunakan umat Islam untuk meningkatkan amal dan ibdahanya, sebenarnya juga merupakan bulan tarbiyah (pendidikan), tak terkecuali bagi anak-anak di Indonesia.

Semoga pengurus takmir masjid, musala dan langgar di manapun berada dipelosok negeri, bisa memberikan kesempatan dan edukasi keagamaan yang baik dalam penanaman nilai-nilai kesalehan bagi anak Indonesia. Dengan demikian, anak-anak bisa bergembira dan lebih bersemangat dalam memperoleh hak-hak mereka dalam beribadah secara baik.

Masjid, musala dan langgar ramah bagi anak, harus menjadi perhatian bagi pengelola agar hak-hak anak dalam menjalankan ibadah bisa terfasilitasi secara baik. Dibutuhkan komitmen bersama masyarakat untuk bisa membimbing secara kasih sayang generasi tersebut, melalui berbagai pendekatan, agar bisa ibadah berjalan secara baik. Anak usia 13-18 tahun, bisa dimintai partisipasi dalam mewujudkan masjid, musala dan Langgar yang ramah kepada anak.

Penulis yakin, model ini sudah banyak diterapkan di rumah-rumah ibadah di Indonesia. Mudah-mudahan tradisi baik tersebut, pada Ramadan ini bisa ditingkatkan eksitensinya. Semoga bulan suci ini memberikan keceriaan dan kedekatan anak Indonesia dengan keluarga, sekaligus menjadi momentum melakukan penanaman atau penguatan karakter kepada anak. (*)

*)Komisioner Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak pada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).