Catatan Kritis Muhammadiyah Terhadap Revisi RUU Terorisme

Muhammadiyah mengirimkan surat rekomendasi secara resmi terkait revisi Rancangan Undang-Undang Terorisme ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Senin 21 Mei 2018. Ada sejumlah poin yang disampaikan secara langsung ke Ketua DPR Bambang Soesatyo.

Ketua PP Muhammadiyah Bahtiar Efendi menuturkan, sudah menjadi kewajiban pihaknya untuk memberikan masukan sebagai bukti dukungan dalam perbaikan, peningkatan, dan penanganan terhadap terorisme.

“Mudah-mudahan dengan sumbangan dari Muhammadiyah itu, dalam lima tahun tidak ada teror lagi,” kata Bahtiar di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu 23 Mei 2018

Secara umum, ada lima hal yang direkomendasikan oleh Muhammadiyah untuk revisi RUU terorisme. Penjabaran pertama dipaparkan oleh mantan Komisioner Komnas HAM, Menejer Nasution.

Poinnya adalah perlu ada restrukturisasi kelembagaan dalam penanganan pencegahan tindak pidana terorisme. Dia menyinggung terkait penanganan tindak pidana terorisme oleh penegak hukum dianggap kurang memperhatikan due process of law. Hal itu berujung pada dikesampingkannya hak terduga atau pun tersangka teroris.

“Saya setidaknya membentuk tim dua kali evaluasi terorisme pertama 2012 sampai 2015 akhir. Komnas HAM melakukan penelitian pemantauan. Ada tim yang melakukan kajian terhadap terorisme. Setidaknya ada 9 pelanggaran HAM yang ditemukan selama penanganan terorisme,” kata Menejer.

Menurutnya, kewenangan penanganan terorisme perlu diserahkan kepada beberapa lembaga yang berintegrasi di bawah kementerian tertentu. Hal itu agar penanganan terorisme tidak bersifat parsial dan tanpa pengawasan.

“Tidak boleh ada lembaga yang memiliki kewenangan absolut karena cenderung menggunakan kekuasaan secara eksesif dan berpotensi melanggar hak warga negara,” ucap dia.

Kedua adalah soal lembaga kepengawasan. Perlu dibentuk lembaga pengawas independen pencegahan tindak pidana terorisme dengan melibatkan tokoh masyarakat, perguruan tinggi, ormas, hingga mantan polisi dan TNI.

“Terus terang penanganan terorisme kita itu relatif tidak terawasi dengan benar. Apa yang bisa kita lakukan untuk membuktikan ini benar terorisme atau tidak, orangnya sudah mati. Satu yang bisa kita lakukan autopsi. Komnas HAM tidak punya kewenangan itu. Polri bisa. Karena itu perlu ada lembaga pengawas independen yang mengawasi,” kata Menejer.

Sementara itu, Ketum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak menambahkan, poin ketiga bahwa pencegahan terorisme mesti dilakukan secara terpadu dengan melibatkan kementerian terkait.

Sedikit contoh, Kemenkopolhukam atau Komisi Nasional Penanggulangan Terorisme bisa mengkoordinasi kementerian sesuai aspeknya.

Misalnya saja aspek pencegahan menjadi kewenangan Kemenag, Kemendemikbud, Kemendagri, atau Kemenkumham. Kemudian aspek penindakan menjadi tanggung jawab Kepolisian dan aspek recovery korban ditangani oleh Kemensos.

“Di sini pentingnya kami menyampaikan masukan soal Revisi UU Terorisme. Terakhir dua hari lalu kami sampaikan 10 masukan. Masukan pertama terkait penindakan, kedua tentang pencegahan. Dari nama, kami usulkan namanya UU Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme,” kata Dahnil.

Kemudian, keempat, perlu adanya jaminan independensi keuangan dalam program tindak pidana terorisme. Pembiayaan Densus 88 Antiteror dan BNPT dalam penanganan terorisme mestinya hanya dari APBN. Jangan sampai ada korporasi lain atau bahkan pihak luar negeri alias asing yang ikut mendanai (viva/sp)