MENGURAI JERAT KETIMPANGAN

Nafasku berjeda, tatkala memelototi angka2 yg sungguh memiriskan hati. Data dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang diolah teman2 IDEAS mengonfirmasi, per Januari 2018, dari sekitar 246 juta rekening di perbankan, 98,1% dimiliki nasabah yang simpanannya di bawah Rp100 juta. Komposisi dana simpanan ini hanya 14.1% dari total simpanan perbankan. Bandingkan, kelas terkaya yg hanya 1,9% jumlah nasabahnya, justru menguasai 85,9 persen dari total simpanan. Yang lebih menyakitkan, jika direratakan simpanan di bawah Rp100 juta, ternyata mereka memiliki simpanan di bawah Rp 3,1 juta.

Sementara kelompok kaya di atas Rp100 juta, terutama yg di atas Rp 5 milyar simpanannya, ternyata rerata memiliki Rp 27,7 milyar. Ini ada kontras luar biasa antara Rp 3,1 juta dan Rp 27,7 milyar. Kekontrasan ini belum menghitung jumlah aset tetap dan bergerak yang dimiliki oleh lapisan atas, terutama aset lahan, properti, dan simpanan (investasi) dlm bentuk lain (saham, obligasi, dll). Maka, rasio gini yg hanya 0,39 sejatinya itu “ngibul”, karena hanya menghitung aspek pengeluaran, bukan aspek pendapatan dan penguasaan aset-aset yang lain. Saya agak yakin rasionya 0,75.

Tidak mengherankan, pasca krisis global 2008, kekayaan 40 org terkaya Indonesia terus terdongkrak dari US$20,6 milyar (2008) menjadi US$119 miyar (2017). Demikian pula konsentrasi sumberdaya materi meterial power index (MPI) juga menganga lebar dalam rentang 10 tahun. MPI-40 artinya, membandingkan rerata kekayaan 40 org terkaya dgn rerata pendapatan per kapita. Pada 2008, MPI-40 hanya 1:1 juta maka pada 2017, MPI-40 menjadi 1:8 juta. Ini mengirim pesan, 1 orang terkaya kekayaannya berbanding 8 juta orang. Maka, saya agak yakin, 4 orang paling kaya dari 40 orang terkaya ekuivalen kekayaannya sama dengan 100 juta orang.

Mengapa ketimpangan ini makin menganga lebar. Boleh jadi dipicu (1) liberalisasi kontestasi politik. Saya menduga, liberalisasi politik hanya memproduksi kebijakan ekonomi yang makin memuluskan pemilik modal raksasa. Hampir pasti, pemilik modal raksasa inilah yang sesungguhnya menyuplai kebutuhan material para kontestasi politik. Mereka melakukan perselingkuhan yang makin dahsyat, terutama pada lingkaran elit politik, apapun partainya.

(2) Geliat dunia perbankan, apapun mereknya, business as usual, yakni mengawetkan ketimpangan. Tidak ada industri perbankan yang mau rugi, bank bukanlah usaha biasa tapi semacam drakula yang hanya menghisap kekayaan, apalagi setelah bank-bank asing bebas masuk menguasai 99% saham perbankan nasional. Sepanjang masyarakat masih bertransaksi dgn perbankan, jangan harap ketimpangan pendapatan dan aset akan mengecil. Karena itu, bagi umat Islam, instrumen-instrumen zakat, infak, shodaqah (ZIS), menghidupkan baitul maal, koperasi rakyat, optimalisasi waqaf, hingga Sukuk, yang bisa menggerakkan pemerataan dan menyapa rakyat.

MUKHAER PAKKANA
President of Economic School of Ahmad Dahlan, Jakarta
Pembina Wiramuda Indonesia