Merampas Tanah, Perusahan Milik Luhut Dituntut Kembalikan Hak Petani

Jika kita ingat, Presiden Jokowi pada 4 Januari tahun 2017 dalam rapat kabinetnya menekankan bahwa pada tahun 2017 ini pemerintahannya akan memfokuskan pada upaya pemerataan, menurunkan kesenjangan melalui kebijakan redistribusi asset dan akses rakyat atas tanah. Kita tahu, bahwa dalam pemerintah juga berjanji untuk menjalankan agenda reforma agraria. Selain berkomitmen terhadap pemerataan sumber-sumber agraria. Presiden dalam nawacita juga berkomitmen mewujudkan kedaulatan pangan.

Sayangnya, komitmen Presiden tersebut akan tersandung oleh jajaran di bawahnya. Faktanya di lapangan, pejabat publik yang menduduki kursi kabinet Menko Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan memiliki bisnis yang  pada prakteknya justru bertentangan dengan semangat dan komitmen Presiden. Luhut Binsar Panjaitan memiliki PT. Perkebunan Kaltim Utama (PT. PKU) I di 3 kecamatan yakni Kecamatan Muara Jawa, Loa Janan dan Sanga-Sanga Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur. Selain PT. PKU ini, Menko Kemaritiman ini juga memiliki perusahaan tambang batubara. PT. Kutai Energi yang berada di bawah bendera PT. Toba Sejahtera Group yang telah mencemari sungai, merampas dan menggusur sumber-sumber kehidupan kelompok tani.

Fatilda Hasibuan, Pengkampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besar Eksekutif Nasional WALHI menyatakan bahwa selama ini bisnis perkebunan dan pertambangan merupakan industri kotor yang dipraktekkan dengan cara-cara yang militeristik, melanggar hukum dan hak asasi manusia, termasuk yang dilakukan oleh PT. PKU dan PT. Kutai Energi ini”. Jika agenda reforma agraria pemerintah ingin berhasil, maka langkah pertama yang harus dilakukan oleh Presiden adalah dengan menertibkan jajarannya dari bisnis yang melanggar HAM dan merusak lingkungan hidup”, tegas Fatilda .

Bapak Akmal Rabbany dari Tim Bedah Kasus Koalisi Petani dan Nelayan Anti Mafia Sawit dan Tambang mengatakan “bahwa keinginan dan tuntutan warga, khususnya kelompok tani tidak berlebihan dan mengada-ada. Warga hanya menuntut kampung yang sebelumnya telah dirusak oleh perusahaan, dipulihkan. Kampung dan lahan pertanian masyarakat dikeluarkan dari HGU perusahaan, dan mengembalikan tanah dan kebun petani yang sebelumnya telah dirampas paksa oleh perusahaan. Bukannya dipenuhi, tuntutan warga justru berbuah kriminalisasi terhadap petani yang memperjuangkan hak-haknya”.

“Komitmen Presiden untuk mewujudkan reforma agraria dan mewujudkan kedaulatan panhan akan sulit tercapai jika kebijakan pembangunan ekonomi yang lainnya justru bertentangan. Bagaimana mungkin bisa mewujudkan kedaulatan pangan, jika tanah dan kebun petani dirampas dan sungai dicemari. Jangankan meredistribusikan tanah, tanah yang sebelumnya dimiliki oleh petani justru dirampas oleh perusahaan dan dilegitimasi oleh negara melalui kebijakan dan perizinan yang diberikan”, ujar Direktur WALHI Kalimantan Timur menutup siaran pers ini.

Jakarta, 30 Januari 2017

sumber : walhi.or.id