Pernah Dicap Kafir, Berikut Tantangan Masa Depan Pendidikan Muhammadiyah

Kampus UMY

“Education is the most powerful weapon which you can use to change the world” (Nelson Mandella)

Menurut data tahun 2015, jumlah lembaga pendidikan Muhammadiyah terhitung lebih dari 10 ribu, tepatnya 10.381. Terdiri dari TK, SD, SMP, SMA, pondok pesantren dan perguruan tinggi. Untuk TK atau PTQ berjumlah 4623; SD/MI 2.604; SMP/MTS 1772; SMA/sMK/MA 1143; Ponpes 67; dan perguruan tinggi 172. Keseluruhan amal usaha yang dimiliki Muhammadiyah dalam bidang pendidikan ini tersebar di seluruh wilayah Indonesia dari Aceh hingga Papua. Data ini belum termasuk perkembangan sampai tahun 2017. Jika ada yang mengatakan “Muhammadiyah sebagai Raksasa Pendidikan”, hal tersebut tidak keliru rasanya. Kuantitas lembaga pendidikan yang dimiliki Muhammadiyah adalah modal untuk berkontribusi bagi umat dan bangsa.

Pernah Dicap “Kafir”

Sejak awal berdiri, Muhammadiyah percaya bahwa pendidikan adalah salah satu instrumen untuk kehidupan yang lebih bermartabat. Pendidikan adalah aspek fundamental dalam melakukan reformasi kebudayaan. Hal ini disadari karena pendidikan bukan saja dianggap sebagai institusi yang mempunyai wibawa moral dan intelektual, melainkan juga karena memiliki kekuatan dalam mentransformasikan nilai-nilai tradisi, kearifan, spiritualitas dan akhlaq al-karimah. Selain itu, pendidikan adalah juga fasilitator dalam pengembangan konsep diri, watak atau karakter kemanusiaan yang siap menghadapi tuntutan dan perkembangan nalar zaman.

Keyakinan Muhammadiyah itulah yang dipegang betul oleh KH. Ahmad Dahlan ketika pertama kali mendirikan lembaga pendidikan Muhammadiyah. Untuk mewujudkan keyakinan itu, KH. Ahmad Dahlan rela dicap “kafir” karena mendirikan model lembaga pendidikan yang berbeda dengan lembaga pendidikan mainstream yang ada pada waktu awal-awal perkembangan Muhammadiyah. Faktanya, seiring perkembangan, lembaga model pendidikan Muhammadiyah inilah yang kemudian menjadi mainstream dan banyak diterapkan oleh banyak lembaga. Seperti kata Amin al-Khûli, “Pemikiran mula-mula dianggap sebagai kekafiran. Bersama dengan berjalannya waktu dan berlalunya zaman, ia kemudian diikuti, dan tidak jarang menjadi “mazhab”.” Pemikiran KH. Ahmad Dahlan tentang pendidikan pada masa itu benar-benar melampaui zamannya.

Tantangan Masa Depan

Dalam usia yang ke 105 tahun (dalam hitungan masehi), pendidikan Muhammadiyah dihadapkan pada tantangan yang tidak kecil. Secara internal, kelembagaan pendidikan Muhammadiyah belum merata secara keseluruhan, baik struktur maupun infrastruktur. Lembaga pendidikan Muhammadiyah ada yang sudah sangat maju, tapi tidak sedikit yang masih tertatih-tatih. Hal ini berpengaruh terhadap bagaimana lembaga pendidikan Muhammadiyah menjawab tantangan eksternal, terutama dalam melahirkan inovasi, menjawab kebutuhan masyarakat hingga menghadapi serbuan pemikiran (ideologi) yang meluber tak terbatas. Dengan begitu mudahnya akses informasi, Muhammadiyah dihadapkan pada tantangan menguatkan ideologi gerakan di lembaga pendidikannya yang terkadang dipenetrasi oleh pemikiran yang tak selaras dengan raison d’etre Persyarikatan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam moderat. Dalam konteks kebangsaan, lembaga pendidikan Muhammadiyah juga ditantang bagaimana mengkontekstualisasi gagasan Islam Berkemajuan dalam bingkai keindonesiaan atau sebaliknya.

Dalam konteks masyarakat, pendidikan Muhammadiyah hari ini berkembang pada kondisi pertumbuhan kelas menengah Indonesia dan juga (adanya) kelas bawah. Dalam catatan Bank Dunia—yang akan meluncurkan laporan Aspiring Indonesia: Expanding the Middle Class pada awal 2018—saat ini satu dari lima orang Indonesia masuk dalam kelompok kelas menengah. Sementara itu, 45 persen penduduk lainnya merupakan kelompok yang ingin menjadi kelas menengah yakni mereka tidak lagi miskin atau rentan jatuh miskin (kelas beraspirasi).

Aspirasi kelas menengah dan kebutuhan pendidikan kelas bawah tentu saja relatif berbeda. Dalam hal ini, lembaga pendidikan Muhammadiyah dituntut berkreasi lebih keras untuk bisa memberikan layanannya. Keberpihakan Muhammadiyah terhadap masyarakat marginal (mustadh’afun)—sebagaimana gagasan awal pendidikan Muhammadiyah—harus berjalin berkelindan dengan bagaimana Muhammadiyah melayani kebutuhan pendidikan masyarakat kelas menengah yang terus berkembang. Karena keduanya adalah subjek dakwah yang harus terakomodasi.

Dalam konteks internal pendidikan sendiri (kurikulum), lembaga pendidikan Muhammadiyah ditantang juga untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan perkembangan zaman. Gagasan tentang multiple intelligences (kecerdasan majemuk), 21st Century Learning Skills hingga bagaimana mendesain lingkungan dan sarana-prasarana sekolah yang kondusif untuk pembelajaran adalah sebentuk tantangan yang memerlukan pemikiran mendalam. Tanpa—tentu saja—meninggalkan karakternya sebagai lembaga pendidikan Islam. Hal-hal strategis dalam praktik pendidikan di sekolah memerlukan konsentrasi dan keseriusan para pengelola pendidikan Muhammadiyah untuk memberikan layanan terbaik bagi masyarakat.

Usia 105 tahun adalah benar-benar harus disyukuri. Tidak banyak organisasi yang bisa bertahan dalam rentang tersebut. Dalam konteks pendidikan, kesyukuran itu harus ditunjukkan dengan inovasi, kreasi, konsistensi, resiliensi dan persistensi para pengelola pendidikan Muhammadiyah. Jika dulu KH. Ahmad Dahlan rela dicap “kafir” karena inovasi dalam bidang pendidikan, para pengelola pendidikan Muhammadiyah sekarang dituntut memunculkan inovasi dalam lembaga pendidikannya, meskipun itu dinggap aneh. Sejak awal Muhammadiyah adalah pelopor. Semangat kepeloporan itu yang harus terus dijaga dan dikembangkan. Jangan sampai lembaga pendidikan Muhammadiyah hari ini hanya mencukupkan diri sebagai pengikut dan cukup dengan kata-kata “yang penting ada murid”.

Pendidikan adalah instrumen terbaik menuju kemajuan, karena seperti kata Mandella ia adalah senjata terkuat untuk mengubah dunia. Selamat Milad Muhammadiyah 105. Wa Allâh a’lam.

Oleh : Taofik Yusmansyah (Kepala SMP Muhammadiyah 8; Anggota Majelis Tabligh PDM Kota Bandung)