Konflik Patani : Saat Identitas Melayu Tak Diakui di Thailand

Sangpencerah.id – Tiga belas tahun pasca tindakan kekerasan di Tak Bai, Thailand Selatan, konflik antara warga Patani dengan pemerintah masih terus berlangsung.

Peneliti Wahid Institute Ahmad Suaedy menjelaskan akar kekerasan di Patani terjadi karena konsep nasionalisme yang belum selesai. Pemerintah Thailand belum bisa menerima keberagaman di Thailand Selatan yang berbasis muslim.

“Ketika identitas dan Bahasa Melayu tak diakui, orang-orang Patani selalu kalah berkompetisi dengan masyarakat Thailand,” jelas Suaedi dalam diskusi Peringatan 13 Tahun Tragedi Tak Bai: Memahami Konflik Di Balik Tragedi Kemanusiaan di Patani (Thailand Selatan) pada Senin di Jakarta.

Suaedy, yang pernah melakukan penelitian selama tiga bulan di Patani, menilai perlakukan serupa tak terjadi pada penganut Budha. Di Thailand, kelompok biksu dan raja berada dalam posisi sejajar dan saling melindungi.

“Biksu mendapatkan perlakuan khusus seperti tak membayar pajak,” kata dia.

Tapi, kata Suaedi, konflik di Patani tak selalu dipicu masalah agama. Dia menilai ada versi yang menyebut konflik di Tak Bai terjadi karena faktor politis. Saat itu, Perdana Menteri Thaksin Shinawatra mengalihkan tanggung jawab Thailand Selatan dari tentara ke polisi.

“Tentara tak terima, mereka dinilai berada di balik desain peristiwa Tak Bai,” ujar Suaedi.

Suedy menilai wilayah Thailand Selatan di bawah kekuasaan Thaksin berada dalam kondisi lebih baik. Pembangunan juga banyak dilakukan Taksin untuk memajukan Patani.

“Pesantren dan madrasah juga diberikan beasiswa,” ujar dia.

Situasi masih tegang

Mahasiswa Patani di Indonesia, Adam, mengatakan situasi Patani kini lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Meski demikian pergerakan tentara masih terlihat dan konflik skala kecil masih terjadi.

“Ketegangan terjadi antara pemerintah dengan Barisan Revolusi Nasional (BRN),” ujar dia kepada Anadolu Agency.

Dia mengharapkan proses perdamaian di Patani bisa terwujud dengan jalan dialog. Pihak internasional diharapkan mau menjadi mediator perdamaian, tidak sekedar fasilitator.

“Kemarin Malaysia terlibat tapi hanya jadi fasilitator. Itu tidak cukup, harus ada peran lebih besar,” kata mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati, Bandung ini.

Dia pun menyesalkan kekerasan masih terus terjadi hingga memakan korban antara pemerintah dan warga sipil.

“Tentara yang tewas pun banyak dari golongan rendah,” jelas Adam.

Indonesia perlu terlibat

Untuk menyelesaikan konflik di Patani, Direktur Pusat Studi Timur Tengah dan Perdamaian Global sekaligus akademisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Badru Soleh mendorong peran aktif Indonesia untuk meinginisiasi rekonsiliasi konflik.

“Indonesia belum secara sistematis melakukan proses rekonsiliasi, baik dari kalangan pemerintah maupun civil society,” jelas Badru yang aktif meneliti konflik Patani.

Badru menilai salah satu problem besar di Patani adalah minimnya lapangan pekerjaan. Dia mengapresiasi banyaknya mahasiswa Patani di Indonesia, namun sayangnya saat mereka pulang belum tentu mendapatkan pekerjaan.

“Ekonomi Thailand Selatan perlu ditumbuhkan,” ujar dia.

Peran ini, harap dia, tidak melulu harus dilakukan pemerintah. Namun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga memiliki punya tanggung jawab menciptakan perdamaian di Thailand Selatan.

Peristiwa Tak Bai terjadi 13 tahun lalu. Saat itu, sejumlah warga Patani mendatangi kantor polisi untuk membebaskan 6 (enam) orang sukarelawan yang ditahan tanpa bukti oleh pemerintahan Thailand. Keenam orang itu ditangkap karena dituding merampas senjata aparat Thailand.

Aksi protes damai masyarakat Patani itu dibalas dengan tindakan represif aparat hingga menewaskan puluhan warga sipil dan ribuan lainnya di penjara.(sp/aa.com.tr)