Kisah Ustadz Adi Hidayat Ketika di Pesantren Muhammadiyah Garut

sangpencerah.id – Perawakannya kecil, namun suaranya lantang. Setiap kali ia hendak naik ke podium, para santri bertanya-tanya kali ini ia akan menyampaikan materi apa. Termasuk saya. Karena selalu ada hal baru dalam ceramah-ceramahnya. Itulah A Adi yang saya kenal semasa di pondok. Orang kini menengalnya sebagai Ustadz Adi Hidyat. Seorang dai, seorang ustadz, seorang hafiz, dengan kaliber ulama Quran dan Hadits yang mumpuni. Ribuan jamaah melingkar untuk menyimak tausiyah dan dedahan ilmunya.

Di pondok, saya dan Ust. Adi Hidayat terpaut dua angkatan. Saya adik kelasnya sewaktu kami nyantri di Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut. Saya tahu waktu itu banyak santri yang tak suka pada A Adi, termasuk saya kadang-kadang (hehehe). Tetapi itu bukan karena perangainya yang buruk… Lebih karena ia begitu baik, taat beribadah, berprestasi, dekat dengan guru dan pembina… Dan tentu saja karena ia sangat “ngustad”. Banyak orang tak suka padanya jelas karena iri alias cemburu pada keilmuan dan akhlaknya. Soal bahwa mengapa banyak santri putra enggan bertemu dan mengobrol dengannya, mungkin karena takut diceramahi. Siapa sih yang suka diceramahi? Padahal, seandainya mereka tahu, selalu ada mutiara dalam nasihat-nasihatnya.

Saat tumbuh di pesantren, saya menjadikan A Adi sebagai salah satu benchmark dalam menggapai prestasi, di bidang apapun. Bagaimana tidak, sejak saya masuk sebagai santri kelas 1, semua orang sudah membicarakan Adi Hidayat (santri kelas 3) yang bisa berprestasi di berbagai bidang: Ranking 1 pelajaran umum, ranking 1 pelajaran pesantren, juara aneka lomba dari debat hingga cerdas cermat, bahkan kompetisi olahraga.

Then I grew up by looking up at him as one of my role models. Saya berusaha menyusulnya dengan meraih prestasi yang pernah diraihnya juga, ranking 1 pelajaran umum maupun ranking 1 pelajaran pesantren pernah saya raih. Urusan lomba-lomba juga saya tak mau kalah, saya ikuti puluhan lomba dari tingkat pondok hingga tingkat nasional dan menjuarai beberapa di antaranya. Di bidang olahraga, saya juara tenis meja dan masuk ke dalam tim elit basket pesantren. Saya berusaha mengamalkan apa yang dinasihatkan Kiai Miskun, kiai kami di Pondok, sebagaimana tercantum dalam Al-Quran, “Wa likulli wijhatun huwa muwalliha,” bahwa setiap sesuatu termasuk setiap orang memiliki kebelihannya masing-masing. Dan yang harus kita lakukan adalah, “Fastabiqul khairat,” berlomba-lomba dalam kebaikan.

Sampailah saya pada satu titik di mana saya dan A Adi sudah sama-sama duduk di bangku Aliyah. Ia kelas 3 dan saya kelas 1. Kami sudah sama-sama tumbuh dengan rekam jejak masing-masing… Dan persaingan, kompetisi, untuk tak menyebutnya rivalitas, menjadi tak terhindarkan lagi. Kami sering terlibat dalam debat terbuka yang disaksikan banyak santri, bersaing dalam lomba bahtsul kutub, dan lainnya. Saya berusaha “mengalahkan” semua prestasi yang pernah diraihnya di aneka level, Provinsi maupun Nasional. Di beberapa bidang saya berhasil menang dan membuat rekor yang lebih baik, di sejumlah bidang yang lain A Adi tak mungkin terbendung lagi.

Tetapi, satu hal yang tak bisa saya susul darinya dengan cara apapun adalah ketakwaan dan budi pekertinya. Saya tahu diri soal itu. Ia sepertinya tak pernah merasa tersaingi, itulah yang membuat saya menarik diri dari “persaingan” dengannya. Dan juga karena ternyata kami pada akhirnya memilih jalur dan peminatan yang berbeda. Jika Kiai Miskun punya dua pilihan untuk para santrinya: Mau jadi intelektual yang ulama atau ulama yang intelktual? Saya lebih tertarik pada jalur yang pertama sementara kelihatannya A Adi fokus di pilihan yang kedua.

Saya ingat setelah “islah” itu semua jadi berubah. Saya mulai dekat dengan A Adi. Di masjid, saya mulai sering berdiskusi dan tak malu untuk bertanya hal-hal yang tidak saya mengerti. Sayangnya waktu itu A Adi sudah akan keluar dari pondok… Di satu sisi saya menyesal mengapa “pengakuan” saya datang terlambat, sementara seandainya saya “bersahabat” dengannya sejak lama mungkin saya bisa belajar lebih banyak darinya–sejak kelas 1. Tetapi di sisi lain saya juga bersyukur, semua “kompetisi” saya dengannya bagaimanapun telah membentuk siapa diri saya hingga saat ini.

Saya ingat hal yang paling mengesankan adalah selanjutnya kami sering berada dalam satu kontingen, terutama untuk lomba debat bahasa. Suatu kali kami berada dalam satu tim dan bekerjasama untuk memenangkan perlombaan… dan menang.

Kini, Ust. Adi Hidayat telah tumbuh menjadi sosok ulama yang intektual dengan kapasitas yang luar biasa. Saya sudah bisa menduganya sejak lama. Sejak kami pertama bertemu di masjid di tahun 1999. Kini ceramahnya ditunggu banyak orang, ilmunya menerangi ummat. Saya memang berjuang di “jalan dakwah” dan “medan jihad” yang lain, tetapi tentang A Adi saya selalu punya stock kekaguman dan rasa bangga yang cukup untuk ingin bisa bersama-sama dengannya.

Semalam kami bertemu. Usai mendengarkan kajiannya di Al-Ihsan PTM Bekasi, kami berbincang tentang banyak hal: Tentang tentang tantangan dakwahnya, tentang pihak-pihak yang berusaha menjatuhkannya, tentang komitmennya pada masa depan ummat, tentang rencana-rencana sinergi dan kolaborasi. Tak lupa juga sejumlah cerita nostalgia.

Dari sejumlah nasihatnya semalam, saya catat baik-baik satu hal, bahwa perjuangan untuk memberikan manfaat pada umat bukan hal gampang dan bisa dilakukan sendirian. Mulai hari ini, kita harus melakukannya bersama-sama…

Ditulis oleh Fahd Pahdepie