Memilih Ahok Adalah Bentuk Kemusyrikan Politik

Ma'mun Murod Al-Barbasy

Oleh : Ma’mun Murod Al-Barbasy (dosen Fisip Universitas Muhammadiyah Jakarta)

Kalimat tauhid: Laa ilaha illa-Allah adalah kalimat yang sederhana, namun sangat fundamental dalam Islam. Tauhid inilah yang dibangun Rasulullah Muhammad saw di Makkah selama 13 tahun. Tauhid secara sederhana diartikan bahwa tidak ada “tuhan” (sengaja pakai t kecil) kecuali Allah.

Bang Imad (sapaan akrab M. Imaduddin Abdulrahim) mengartikan “tuhan” sebagai sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia sedemikian rupa sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai (didominasi) olehnya (sesuatu itu). Sebuah pengertian yang menarik. Jadi kalau hidup seseorang sudah didominasi oleh “sesuatu”, maka menurut Bang Imad, orang tersebut sejatinya sudah menuhankan “sesuatu”. “Sesuatu” itu bisa apapun dan siapapun, bahkan hawa nafsu kita sendiri seperti disinggung dalam QS. Al-Furqon: 43, di mana Allah menyebutkan bahwa bukan cuma sesuatu yang “nyata” yang disembah (misalnya patung atau keyakinan agama lain soal Tuhan yang berbilang), melainkan juga hawa nafsu kita sendiri bisa menjadi Tuhan.

Jadi ketika “sesuatu” itu memang sudah bener-bener mendominasi hidup dalam diri seseorang, maka “sesuatu” tersebut sejatinya sudah menjadi “tuhan” dan pada saat bersamaan sejatinya pula orang tersebut telah jatuh pada penyekutuan terhadap Allah (syirik, musyrik orangnya). Sementara Islam tegas mengajarkan kepada umatnya hanya diperintahkan untuk menuhankan kepada Allah dan tak boleh menuhankan selain-Nya. Allah tidak mau “diduakan”!

Dalam konteks politik, kemusyrikan politik rumusnya sederhana, yaitu ketika politisi membuat atau berbuat “sesuatu” apapun yang bertentangan atau menabrak ketentuan yang sudah digariskan oleh Allah, itulah kemusyrikan politik yang nyata.
Orang yang berbuat atau membuat “sesuatu”, bisa berupa kebijakan politik, mengangkat pejabat, menjual aset negara, memilih pemimpin kafir yang dzalim, fasis, dan rasis, yang kesemuanya menabrak rambu-rambu larangan Allah, maka sejatinya orang tersebut telah musyrik.

Konsekuensi dari orang yang sudah mengucapkan kalimat tauhid maka harus berani mengatakan “tidak” kepada “sesuatu” atau “tuhan” selain Allah. Hanya Allah yang patut dipertuhankan, bukan “sesuatu” yang lainnya.  Dalam konteks politik praksis, praktek kemusyrikan politik begitu nyata, terang-terangan. Politisi yang suka menjilat, cari muka, menghamba pada ketua umum partai sekadar untuk mempertahankan kursi kuasanya di satu sisi, sementara di sisi lain diam lantaran takut ketika partainya membuat kebijakan yang bertentangan dengan nurani dan keinginan rakyat (sudah tentu bertentangan dan menyalahi kehendak Allah), diam ketika fraksinya di DPR membuat UU atau kebijakan lain yang menabrak dan bertentangan dengan kehendak, itulah kemusyrikan politik yang nyata. Mereka telah nyata menyekutukan Allah.

Ketika Allah melalui ayat-ayatnya dalam al-Qur’an sudah “mengharamkan” untuk memilih gubernur seperti Ahok, lalu ada seorang Muslim atau partai Islam yang dengan berbagai argumentasi, termasuk mencari pembenaran naqli dalam al-Qur’an secara ngawur, maka itulah kemusyrikan politik yang nyata. Mereka nyata telah menyekutukan Allah.
Ketika seorang kiai, ustadz atau tokoh Muslim lainnya latah ikut-ikutan mendukung calon presiden, gubernur, bupati/walikota dengan mengabaikan calon lainnya yang dari sisi keislaman dan keilmuan lebih baik, bahkan malah mendukung calon yang tidak seaqidah sekadar mendapatkan materi, maka sejatinya itulah kemusyrikan politik yang nyata. Mereka nyata telah menyekutukan Allah.

Ketika pengurus partai lebih takut, lebih menghamba, lebih mendukung kepada kepada ketua umumnya yang nyata-nyata kerap membuat kebijakan atau keputusan partai yang bertentangan dengan kehendak Allah yang berarti sama halnya “melecehkan” Allah, maka sejatinya itulah kemusyrikan politik yang nyata. Mereka nyata telah menyekutukan Allah.
Ketika para anggota DPR lebih memilih diam seribu bahasa lantaran takut dipecat partainya dan lebih memilih mengamini kebijakan pimpinan DPR atau ketua umum partainya yang nyata-nyata bertentangan dengan niali-nilai Islam, maka sejatinya itulah kemusyrikan politik yang nyata. Mereka nyata telah menyekutukan Allah.

Kemusyrikan politik inilah yang saya lebih suka menyebutnya sebagai “musyrik horisontal”, yaitu perbuatan musyrik yang dilakukan dalam relasi sesama manusia. Sementara saya lebih suka menyebut sebagai “musyrik vertikal” untuk menyebut siapapun yang meyakini Tuhan secara berbilang. Di mata saya, bila dibanding dengan “musyrik vertikal”, sejatinya “musyrik horisontal” lebih sangat berbahaya. “Musyrik vertikal” lebih terkait relasi vertikal atau hablun minallah, semuanya berpulang pada pribadi dan Allah. Sementara “musyrik horisontal” langsung bersentuhan dengan masyarakat, sehingga daya rusaknya pun langsung dirasakan oleh masyarakat.

Pejabat yang korup, pemimpin yang suka mengkhianati rakyatnya, wakil rakyat yang membuat kebijakan yang bertentangan dengan rakyatnya, rakyat yang pragmatis, yang berprinsip NPWP (Nomor Piro Wani Piro), yang memilih pemimpin karena uang, itu adalah contoh nyata dari produk kemusyrikan politik yang masuk kategori “musyrik horisontal”.
“Musyrik horisontal” inilah yang saat ini nyata menghiasai kehidupan politik Indonesia. Dan “musyrik horisontal” inilah yang harus kita perangi secara keras dan tegas.  SALAH SATU BENTUK PERANG ATAS KEMUSYRIKAN POLITIK ADALAH DENGAN KAMPANYE UNTUK DAN TIDAK MEMILIH AHOK. MEMILIH AHOK ADALAH BAGIAN DARI KEMUSYRIKAN POLITIK.