Begini Akibatnya Jika Lembaga Pendidikan Sekadar Sebagai Amal Usaha

Ust. Wahyudi Abdurrahim, Lc, M.M:

Pendidikan di al-Azhar Cairo Mesir sejak pertama didirkan mempunyai tujuan yang cukup spesifik, yaitu kaderisasi ulama. Segala kegiatan yang dilakukan diarahkan agar dapat mencapai visi dan misi pendidikan tersebut. Para ulama ini kelak yang akan menjadi agen al-Azhar untuk menyebarkan paham keislaman moderat di dunia Islam. Meski sudah lebih dari seribu tahun, al-Azhar tetap konsistem dengan manhajnya tersebut.

sistem pendidikan di al-Azhar mempuntai dua model, formal dan non foral. Untuk pendidikan formal, al-Azhar mendirikan lembaga pendidikan dari TK sampai perguruan tinggi. Sementara untuk pendidikan non formal berupa pndidikan dengan siatem talaqi yang berada masjid azhar dan juga masjid-masjid binaan al-Azhar yang dikoordinir oleh kementrian Wakaf.

Karena orientasi utama sebagai sekolah kader ulama, maka azhar memberikan perhatian lebih dengan santrinya. Ada ikatan batin yang sangat kuat antara santri dengan para guru dan juga lembaga al-Azhar. Para santri dan masyayih mempunyai kebanggaan tersendiri dengan statusnya sebagai azhari.

Jika ada kader potensial, baik santri yang berada di dalam pendidikan formal atau non formal, santri ini akan mendapatkan binaat khusus. Tidak jarang para santri akan mendapatkn beasiswa sehingga bisa melanjutkan pendidikan di al-Azhar atau  di utus ke perguruan tinggi ternama di luar al-Azhar. Tatkala mereka pulang, maka mereka akan mengabdikan ilmunya ke lembaga tempat mereka bernaung.

Dengan sistem  kaderisasi seperti ini, tidak mengherankan jika al-Azhar mempunyai stok ulama yang berlimpah. Bahkan ulama Azhar diekspor dengam nenjadi pengajar di berbagai Universitas dunia. Para ulama Azhar menjadi rujukan pemikiran islam kontemporer,
.
Bukan hanya terkait dengan ilmu keagaan, sistem kaderisasi ulama ini juga berlaku dibidang ilmu umum. Hampir dipastikan para dosen di Universitas al-Azhar merupakan alumni dari Azhar sendiri.

Bagaimana dengan Muhammadiyah?

Muhammadiyah juga sangat mempethatikan masalah pendidikan. Muhammadiyah mempunyai ribuan sekolahan dan ratusan perguruan tinggi. Dari lembaga pendidikan ini, sudah banyak orang yang “tercerahkan”.

 

Berbeda dengan al-Azhar,  pendidikan di Muhammadiyah tujuan utamanya bukan sebagai kaderisasi ulama, intelektual atau ilmuan. Pendirian lembaga pendidikan itu lebih karena dorongan untuk melakukan amal baik sebagai bentuk amal usaha Muhammadiyah.

 

Implikasi dari tujuan tadi kentara dalam praktek pendidikan di Muhammadiyah. Hubungan antara murid dengan guru, juga dengan gerakan Muhammadiyah sangat tipis. Tidak serta merta mereka yang sekolah di Muhammadiyah mempunyai ikatan batin dengan Muhammadiyah.

 

 

Ini nampak sekali dari beberapa jurusan di universitas yang diisi oleh orang-orang non kader. Bagaimana mungkin non kader bisa masuk ke lembaga pndidikan Muhammadiyah? Menurut mereka bahwa dalam penerimaan pengajar baru, tidak ada kader Muhammadiyah yang mengajukan diri . Jika ada pun, kemampuannya tidak memenuhi syarat.

 

Sangat aneh dengan jumlah sekolahan dan universitas yang tersebar di seluruh Indonesia, dengan jumlah murid hingga ratusa ribu, namun sampai krisis pengajar. Kemana saja ratusan ribu murid Muhammadiyah tadi? Ya, itu karena tidak ada ikatan batin antara siswa dengan lembaga tempat mereka belajar. Tidak ada rasa memiliki dan kebanggaan sebagai “santri” di sekolah Muhammadiyah.

 

 

Dari sini akhirnya para guru pengajar yang masuk, belum tentu berasal dari kader Muhammadiyah. Bahkan di beberapa universitas atau sekolahan, ada pengajar yang antipasti dengan Muhammadiyah. Ada juga mayoritas pengajar yang bukan Muhammadiyah sehingga sekolahan tersebut terkesan bukan sekolah Muhammadiyah. Orang Muhammadiyah sendiri menyebutnya dengan istilah “infiltrasi” ke dalam pendidikan Muhammadiyah.

 

 

Anehnya lagi, untuk mengabdi di sekolah atau universitas Muhammadiyah ini, cukup unik. Belum tentu kader militan bisa masuk dengan mudah untuk mengabdikan ilmunya di lembaga pendidikan Muhammadiyah. Mereka harus melalui prosedur panjang yang statusnya disamakan dengan mereka yang sama sekali tidak pernah tau tentang Muhammadiyah. Sumbangsih ke Muhammadiyah, atau keaktifan di Muhammadiyah sama sekali tidak dijadikan sebagai pertimbangan seseorang untuk dapat masuk menjadi pengajar di lembaga pendidikan milik Muhammadiyah.

 

Akibatnya, mereka yang non kader karena dianggap kompeten, bisa mudah masuk. Padahal di kemudian hari, non kader ini suka membuat masalah. Sementara yang murni kader dan aktivis Muhammadiyah belum tentu bisa masuk. Bahkan kadang kader ini sangat potensial, yang pada akhirnya mengabdi di lembaga lain di luar Muhammadiyah.

 

Bagi saya sendiri, prestasi tinggi untuk menjadi guru dan dosen di Muhammadiyah bukan harga mati. Bahkan sebenarnya, loyalitas ke organisasi jauh lebih utama dibandingkan dengan nilai-nilai tersebut. Untuk apa menerima dosen atau guru pintar yang bukan kader, yang pada akhirnya hanya akan merusak sistem saja. Lebih baik menerima kader yang sudah jelas pengabdiannya ke Muhammadiyah meskipun secara prestasi akademik agak lebih rendah. Dengan demikian, nilai ke-Muhammadiyahan di lembaga pendidikan Muhammadiyah bisa diperjuangkan. “Inflitrasi” dan perubahan nilai di lembaga Muhammadiyah juga bisa diminimalisir. Wallahu alam