Kader Muhammadiyah, Ber-IMM Secara Kaffah

SangPencerah.id-IMM atau Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi otonom di lingkup persyarikatan Muhammadiyah. Dimana organisasi itu tumbuh dan berkembang, maka kultur yang dibawa pun sangat beragam sekali. Apabila adik dari IMM sendiri dalam persyarikatan yaitu IPM memiliki kultur administratif dan pergerakan di sekolah – sekolah, maka IMM lebih memilih untuk terjun ke sosial masyarakat. Ini adalah titik poin perbedaan antara IPM dan IMM walaupun mereka secara berturut – turut merupakan jenjang perkaderan yang ada di Muhammadiyah.

Mungkin banyak dari kader IPM yang ketika pertama kali menjejakkan kaki di IMM memiliki tanda tanya besar seperti halnya saya, bagaimana IMM tidak bisa secemerlang IPM di mata menteri pemuda dan olahraga Indonesia lewat ajang penganugerahan OKP (organisasi kepemudaan terbaik). Karena memang tema besar atau ranah gerak yang digalang oleh IMM murni untuk sosial kemasyarakatan. Sehingga tidak jarang administrasi IMM tidak sebagus IPM. Padahal perlakuan administratif sendiri merupakan salah satu poin dalam penilaian OKP terbaik. Sehingga biarlah IPM selaku adik di persyarikatan bersinar lewat penghargaan administratifnya sedangkan IMM cemerlang di hati masyarakat lewat aksi sosialnya.

Setiap kampus pastilah memiliki cerita yang berbeda mengenai eksistensi dari organisasi ini. Apabila kita menengok ke PTM (perguruan tinggi Muhammadiyah) – PTM yang tersebar di Indonesia, maka tak jarang IMM telah diakui legalitasnya sekaligus menjadi organisasi internal kampus setara dengan BEM atau badan eksekutif mahasiswa. Lain halnya apabila kita melihat kondisi di kampus – kampus negeri. IMM masuk ke dalam kategori organisasi ekstra kampus (ormec) bersanding dengan HMI, HTI, KMNU, hingga KAMMI. Selain basis massa yang relatif lebih sedikit, juga sumber dana yang harus digalang secara swasembadaya.

Namun bukan sebuah jaminan apabila basis massa yang besar mampu mempengaruhi kebesaran dari organisasi tersebut. Percuma saja memiliki massa besar namun peneguhan ideologi organisasi tidak tertanam secara massif di setiap kader. Lebih baik kuantitas sedikit namun kualitas—dalam hal ini idealisme gerakan—sangat ditekankan. Begitu pula dengan ber-IMM, diperlukan jenjang kepemilikan dan keikutsertaan secara kaffah atau menyeluruh.

Untuk ber-IMM secara kaffah kita harus melalui beberapa tahapan secara berurutan. Jenjang pertama pemahaman mengenai keislaman. Yang paling mendasar adalah kita harus bisa mendefinisikan tuhan serta kaidah ketuhanan dengan singkat, padat, dan menyeluruh tanpa berbelit – belit hingga membuat orang bingung. Jenjang selanjutnya adalah pemahaman ber-Muhammadiyah. Memamahi arah gerak dan tujuan besar yang dimiliki oleh Muhammadiyah hingga menanamkan di dalam hati nurani bahwa Muhammadiyah bukanlah sebuah alat untuk mencari penghidupan apalagi jabatan, sesuai dengan yang diutarakan oleh founding father Muhammadiyah, kyai haji Ahmad Dahlan. Hidup – hidupilah Muhammadiyah jangan mencari hidup di Muhammadiyah.

Setelah dua jenjang tersebut berhasil dilampaui, maka kini giliran jenjang ketiga siap untuk ditapaki. Yaitu menghayati dan menyelami makna baik yang tersurat maupun tersirat yang terkandung dalam trilogi IMM sekaligus ruh dari pergerakan IMM sendiri. Religiusitas, Intelektualitas, dan Humanitas. 3 hal inilah yang nantinya akan meneguhkan idealisme setiap kader yang berkecimpung di lingkup IMM untuk tidak mudah terbawa arus sekaligus memperdalam skill berpikir kritis dalam berorganisasi maupun bermasyarakat.

Saya kira trilogi inilah yang menurut pandangan saya secara subjektif berbeda dengan organisasi – organisasi lainnya. Selain karena maknanya yang cukup dalam, 3 hal tersebut juga hampir mirip atau menyerupai tri dharma perguruan tinggi yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Dan apabila kita melakukan telaah secara mendalam maka antara trilogi IMM dan tri dharma perguruan tinggi berkesinambungan. Intelektualitas sangat erat kaitannya dengan pendidikan, begitu pula dengan pengabdian tak terlepas dari yang namanya Humanitas. Lantas bagaimana dengan Religiusitas apakah sama dengan Penelitian.

Menurut jawaban objektif saya, iya. Karena penelitian seolah – olah menjadi sebuah “ibadah” wajib yang harus dilakukan minimal sekali oleh setiap mahasiswa yaitu saat penelitian skripsi. Seorang yang beragama akan ditanya religiusitasnya apabila ia tidak melakukan ibadah, begitu pula dengan seorang mahasiswa akan ditanya “religiusitas” keilmuannya apabila ia tidak melakukan penelitian. Namun sayang, di tengah dalamnya makna tri dharma perguruan tinggi seolah – olah hanya digunakan sebagai pemanis dalam penjelasan ketika masa ospek.

Karena realita yang ada di lapangan sangat kontras bertolak belakang. Mahasiswa yang mana di masa orde baru dan masa reformasi benar – benar menjadi agen perubahan. Mereka di elu – elukan oleh masyarakat kecil kala itu karena memperjuangkan hak yang telah lama terenggut oleh rezim otoriter. Bahkan salah satu mahasiswa yang meninggal di masa pergerakan kala itu, Arif Rahman Hakim pun namanya diabadikan sebagai nama jalan di beberapa daerah di Indonesia. Namun, kini prediket mahasiswa gaungnya mulai meredup di kalangan masyarakat. Mereka tidak hanya menjadi gurun – gurun kesiangan, tetapi sudah menjadi gurun – gurun kematian.

Cap apatis seolah – olah sudah terbiasa disematkan kepada mahasiswa. Mereka mengaku sosialis hanya dan hanya jika ada even – even besar. Selebihnya hanya dia dan tuhan yang tahu. Sungguh sebuah anomali yang sangat membingungkan. Sehingga dengan adanya pandangan dasar yang terkonsep dalam trilogi IMM membuat organisasi ini sedikit banyak akan menyadarkan peran sebenarnya seorang mahasiswa sebagai harapan masyarakat dan sadar bahwa dirinya ada sebagai agent of change.

Namun tidak seharusnya juga kita bertindak sosialis humanis secara totalitas dengan melupakan kewajiban sebagai seorang mahasiswa untuk menuntut ilmu. Karena apatis yang sesungguhnya tersemat pada mereka yang tidak memperhatikan kehidupan perkuliahannya, kepada mereka yang tidak bisa membagi waktu antara belajar dan organisasi, itulah yang dinamakan sebagai apatis kepada diri sendiri. Mengutamakan kepentingan orang lain namun tidak bertanggung jawab atas kepentingan pribadi.

Oleh. Moh. Wahyu Syafi’ul Mubarok    
Jamaah dan aktivis Muhammadiyah, Mahasiswa S1 Fisika Universitas Airlangga