Muhammadiyah Lahirkan Jenderal Bintang 5 di Indonesia

Patung Jenderal Soedirman di Jepang

SangPencerah.id– Jika masyarakat kita menyebut tentang pahlawan, mesti yang terbersit selain nama Ir Soekarno dan Mohammad Hatta adalah Panglima Besar (Pangsar) Soedirman. Namanya tidak hanya dikenal luas manusia Indonesia di berbagai pelosok, tapi juga sudah mendunia.

Enggak percaya? Coba kalau berkesempatan jalan-jalan ke Jepang, tengoklah halaman depan Kementerian Pertahanan Jepang, di mana berdiri tegak patung Pangsar Jenderal Soedirman di sana.

Pangsar Jenderal Soedirman juga jadi satu tokoh militer Indonesia yang dikagumi dan diapresiasi karena “merintis” karier militernya di salah satu lembaga bentukan Jepang dulu. Adalah Pembela Tanah Air (PETA) yang menggembleng keperwiraannya hingga kini jadi satu-satunya jenderal bintang lima di Indonesia.

Pak Dirman, begitu acap Pangsar Jenderal Soedirman disebut, juga punya kharisma dan wibawa tersendiri. Soal dua kepribadiannya ini, setidaknya bukan saat merintis karier di PETA Pak Dirman memilikinya.

Sedikitnya, kali ini penulis ingin mengorek tentang di balik kharisma Pangsar Jenderal Soedirman. Bukan soal bagaimana beliau “menghajar” sekutu lewat taktik “Supit Urang” di Ambarawa (12-15 Desember 1945) atau tentang pengangkatan jabatan jadi Panglima Tentara Keamanan Rakyat (TKR, kini TNI) atau soal gerilyanya.

Melainkan soal kehidupan Pak Dirman yang sejak muda “membentuk” dirinya sebagai santri dan kader Muhammadiyah. Ya, tidak seperti beberapa perwira TNI di masa revolusi yang mengenyam pendidikan Koninklijke Militaire Academie (KMA) sebelum penjajahan Jepang, Pak Dirman justru aktif sebagai pengurus kepanduan dan menjadi guru.

Lahir di Purbalingga pada 24 Januari 1916 dari pasangan Karsid Kartawiraji, seorang mandor di sebuah pabrik gula dan Siyem, kerabat dari Wedana Rembang, Soedirman kecil diasuh dan diangkat anak Wedana (Camat) Rembang Raden Tjokrosoenarjo.

Sejak jadi anak angkat Asisten Wedana inilah, Soedirman kecil bisa “makan bangku sekolah” di HIS (Hollandsche Inlandsche School). Sekolah ini hanya bisa dinikmati anak-anak priyai Jawa.

Seperti dikutip dari buku ‘Sang Komandan’ karya Petrik Matanasi, selepas sekolah di HIS, pendidikannya lanjut ke Sekolah Taman Siswa dan HIK (Hollandsche Indische Kweekschool) Muhammadiyah, Solo, yang sayangnya, tidak sampai tamat karena kurang biaya.

Di masa-masa mudanya selain bersekolah, Soedirman muda sudah aktif di organisasi Kepanduan Hizbul Wathan (HW). Semacam “Pramuka-nya” Muhammadiyah.

Bahkan selain menjadi guru di Wirotomo pada usia 20 tahun hingga jadi kepala sekolah, Soedirman muda tercatat pernah jadi tokoh Pemuda Muhammadiyah dan memimpin Hizbul Wathan cabang Cilacap.

Pengabdiannya jadi guru dan aktif di Muhammadiyah tak luntur meski gajinya kecil. Sebagai kepala sekolah saja, disebutkan gaji Soedirman hanya 12,5 gulden.

Dari situlah kewibawaan dan kharismanya terbentuk, terutama ketika Soedirman muda sudah terlibat aktif di Hizbul Wathan. Kepanduan Muhammadiyah ini sendiri sudah berdiri sejak 1918 yang awalnya bernama Padvinder Muhammadiyah.

Sebagai kader Hizbul Wathan Muhammadiyah ini, Soedirman muda ditempa militansinya dan sudah mulai tertanam nilai-nilai cinta tanah air. Situasi mulai berubah sesudah Belanda menyerah pada Jepang di Kalijati pada 1942.

Ketika Jepang membuka PETA, Soedirman muda mulai “berkenalan” dengan kemiliteran. Karena latar belakangnya sebagai kepala sekolah, Soedirman bisa masuk sekolah perwira PETA di Bogor.

Militansi dan kedisiplinannya kian ditempa selama tiga bulan untuk kemudian menjadi Chudancho (Komandan Kompi, setara Kapten). Pendidikannya diteruskan hingga mencapai tingkatan Daidancho (Komandan Batalyon, setara Mayor/Letnan Kolonel).

Selepas gemblengan keras di sekolah perwira PETA di Bogor, lahirlah “Soedirman baru” yang sudah mengerti betul sejumlah metode-metode perang ala Jepang dan menjadi komandan Daidan (Batalyon) di Kroya, Cilacap.

Namun PETA dibubarkan seiring menyerahnya Jepang pada sekutu. Pasca-Proklamasi 17 Agustus 1945, Soedirman meleburkan dirinya ke Badan Keamanan Rakyat (BKR, cikal bakal TKR/TNI) di Banyumas dengan pangkat Kolonel.

Prestasi” pertamanya sebagai salah satu perwira tentara republik, adalah sanggup mengklaim sejumlah senjata Jepang setelah melakukan pelucutan tanpa pertumpahan darah di Banyumas. Pelucutan “damai” yang termasuk jumlahnya sedikit jika dibandingkan dengan beberapa tempat lain dengan cara kekerasan.

Namanya kian meroket pasca-Pertempuran Ambarawa 12-15 Desember 1945. Kendati dididik di kemiliteran PETA bentukan Jepang, Pak Dirman tak serta-merta selalu menggunakan taktik Jepang.

Dalam Pertempuran Ambarawa menghajar Inggris, Pak Dirman mengombinasikan taktik modern dengan taktik klasik Kerajaan Majapahit. Jadilah dia menggagas taktik “Supit Urang”. Taktik menekan, menjepit dan menggempur lawan dengan serentak dari berbagai sektor.

Namun sayangnya panglima muda yang kita cintai ini tak berumur panjang. Penyakit TBC yang dideritanya tak kunjung pulih dan terus menderanya saat bergerilya. Pak Dirman akhirnya tutup usia pada 29 Januari 1950, atau lima hari setelah genap berulang tahun di usia 34. (sp/oz)