Tentang Aksi 411, Kritik Buya Syafii Untuk Ahok dan Jokowi Yang Harus Anda Ketahui

SangPencerah.id- Sehari pasca 411, tepatnya tanggal 5 Nopember 2016 seusai makan tengkleng di Kronggahan, saya sempatkan salat maghrib di masjid Nogotirto, Sleman. Sengaja. Sekaligus untuk bertemu Buya. Siapa tahu Buya ada di rumah. Jika iya, hampir bisa dipastikan salat jamaah di masjid meskipun kondisi kesehatan sedang tidak bersahabat. Dan Alhamdulillah, Buya tampak salat di shaf belakang, duduk di atas kursi.

Usai salat sunnah ba’diyah, saya salami Buya sambil tanya kabar. “Eh, Anda dari mana?” Tanya Buya. “Dari nengkleng, Buya. Di Kronggahan.” Jawab saya. Saya biasa makan di warung sate kambing ini bersama Buya. Meskipun batang usia sudah berkepala delapan, selera makan tidak bisa dilawan.

Selanjutnya, obrolan kami agak serius soal demo 411

“Ini demo besar-besaran. Namun tertib. Kita apresiasi mereka. Mereka semua orang baik. Tulus. Datang dari banyak penjuru.” Ungkap Buya

Dengan raut muka serius, Buya melanjutkan: “Ahok ini mulutnya memang kasar. Berbisa. Dia tidak bisa hifzullisan. Tapi menurut saya dia tidak punya niat melecehkan Al-Qur’an dan ulama. Dalam hal ini saya beda pendapat dengan fatwa MUI. Saya tidak membela Ahok. Buat apa? Coba Anda buka Al-Maidah ayat 8. Orang tetap harus berlaku adil kepada siapa saja yang dibencinya.”

Bagi orang-orang yang dekat dengan Buya, mereka akan tahu, beda pendapat pasti jadi hal yang biasa. Buya akan kukuh pendirian yang ia yakini benar dan pasti ada alasan kuat. Ya seperti inilah Buya. Jika tidak seperti ini, bukan Buya namanya. Buya manusia merdeka.

“Buya, Buya akan melawan arus deras. Buya akan membuat kecewa banyak orang. Buya akan dicela dan dimaki di sana sini.” Kataku sambil berharap agar Buya tidak masuk dalam pusaran polemik ini.

Namun di luar dugaan, Buya justru menjawab: “Urat takut saya sudah lama putus. Saya yang setua ini akan bersuara jika yang muda tiarap semuanya.”

Dalam hati, malu rasanya jadi anak muda. Kalah dengan yang tua. Namun di sisi lain, sedih rasanya melihat Buya dihantam dari kanan dan kiri. Khususnya di medsos.

Buya melanjutkan: “Saya menyayangkan sikap Jokowi yang tidak menemui demonstran. Ini sikap pengecut.”

Tuan dan puan yang budiman, kritik Buya tidak hanya ditujukan ke MUI, namun juga ditujukan ke Ahok, bahkan Presiden. Hanya saja yang mengemuka seolah-olah Buya bersikap tendensius kepada MUI saja dan membela Ahok. Orang sudah keburu emosi. Penyakit hati yang bernama su’uzan dan ghadzab lebih dikedepankan dibanding ajaran agama soal husnuzan dan tabayun.

Masih dalam raut muka serius, Buya mengatakan: “Saya tidak membela Ahok. Proses hukum tetap harus jalan. Jika diputuskan bersalah. Ahok harus siap menerima hukumannya. Tapi jika tidak dinyatakan bersalah, ya kita hormati proses hukum.”

Hingga tulisan ini dibuat via HP android, 10 Nopember 2016 jam 06.00, situasi batin masyarakat soal Ahok masih terasa panas. Saya menyadari, tulisan ini tidak akan luput dari hantaman bagi yang kontra. Tidak masalah. Saya tetap harus menyampaikan apa yang saya tahu. Ini bukan soal bela-membela.

Jika boleh jujur, saya pun telah biasa beda pendapat dengan Buya. Termasuk dalam kasus Ahok ini. Sekalipun tidak ada niat melecehkan Al-Qur’an, Ahok sudah kurangajar. Melukai hati umat Islam. Namun dalam hati kecil ini mengatakan; su’uzan, amarah, cacian, hinaan, ancaman, dan yang sejenis dengan itu bukan ajaran autentik agama Islam. Kita boleh berbeda. Namun tetap bersaudara. Berbeda dalam persaudaraan dan bersaudara dalam perbedaan.

Wallahua’lam.

Oleh : Erik Tauvani Somae (Alumni Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta)