Dilema Sidang Isbat 1 Syawal 1437 H

Hasil Konferensi Penyatuan Kalender Islam, akhir Mei 2016 di Istanbul Turki memberi harapan untuk mengakhiri perdebatan seputar hisab dan rukyat dalam memulai dan mengakhiri Ramadhan. Dalam konteks Indonesia hasil konferensi tersebut masih perlu dikaji bersama antara pemerintah dan ormas-ormas yang ada di Indonesia.

Kaitannya dalam penentuan Idul Fitri 1437 Kementerian Agama RI akan menyelenggarakan sidang isbat pada hari Senin 4 Juni 2016. Lewat sidang isbat tersebut, Kementerian Agama RI akan menetapkan waktu berakhirnya Ramadan dan kapan Hari Raya Idul Fitri 1437 hijriah dimulai.

Selama ini yang menjadi acuan sidang isbat adalah rekapitulasi hasil hisab yang berkembang di Indonesia dan laporan rukyat dari Sabang sampai Merauke. Metode ini dianggap sebagai jalan untuk mengayomi pandangan keberagamaan yang berkembang di negeri ini antara pendukung hisab dan rukyat.

Hanya saja dalam kasus penentuan awal Syawal 1437 nanti berdasarkan data hisab dari berbagai aliran menunjukkan bahwa pada hari Senin 4 Juli 2016 posisi hilal masih di bawah ufuk (minus). Lalu masih relevankah sidang isbat menunggu hasil rukyat?

Kasus semacam ini bukanlah yang pertama. Pengalaman tahun 1433 H yang lalu dapat dijadikan renungan bersama. Ketika itu posisi hilal hampir sama dengan kasus awal Syawal 1437 masih di bawah ufuk dan hasil di Lapangan tidak ada yang berhasil melihat hilal. Data yang terkumpul selama sepuluh tahun (1427/2006-1436/2015) juga menunjukkan hal yang sama. Dengan kata lain Taqwim Standar Indonesia senantiasa bersesuaian dengan hasil observasi di Lapangan.

Menghadapi kasus semacam ini tentu saja Menteri Agama mengalami dilematis. Jika sidang isbat tetap menunggu hasil observasi akan mendapat kritik dari saintis seakan-akan Menteri Agama tidak memahami dan hanya memperhatikan salah satu kelompok. Sementara itu jika sidang isbat dilakukan tanpa menunggu hasil observasi kelompok pendukung rukyat akan merasa ditinggalkan.

Sebetulnya langkah-langkah yang dilakukan Menteri Agama RI Lukman Hakim Saefuddin dalam menyelesaikan problem hisab rukyat sudah tepat dan tidak bertentangan dengan pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945. Negara ingin hadir dan tidak intervensi dengan memberi porsi yang sama. Oleh karena itu dalam penetapan awal Syawal 1437 H dan tahun-tahun yang akan datang agar negara tidak “terbebani”, khususnya Menteri Agama RI maka perlu sifat kenegarawanan para elite ormas, khususnya para pendukung rukyat untuk memberi keleluasaan kepada Menteri Agama RI menetapkan awal Syawal 1437 merujuk pada pengalaman dan masukan para saintis dengan memperhatikan aspek syar’i dan sains. Dengan demikian semua komponen anak bangsa terayomi dan kebersamaan tetap terjaga.
Wa Allahu A’lam bi as-Sawab.

penulis : Dr. Susiknan Azhari