Kisah Mbah Farid, Da’i Muhammadiyah Saat Menjadi Juru kunci Tempat Keramat

ilustrasi

SangPencerah.com- Keprihatinan akan lunturnya kebudayaan yang menjadi ciri khas dan jati diri bangsa Indonesia dengan sifatnya gotong royong, ramah, jujur, beretika dan agamis sudah merata luntur di berbagai kalangan. Kondisi ini memunculkan pemikiran kreatif dari Mbah Farid Syafii untuk memperkuat strategi dakwah melalui kebudayaan yang arif, bijaksana dan cerdas.

Kelak diharapkan berfungsi melestarikan kekayaan budaya nusantara, kekayaan sumber daya alam, kerukunan antarwarga, mencerdaskan kehidupan bangsa terhadap kelestarian alam, dan yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana sttategi dakwah itu bisa diwariskan pada dai sesudahnya untuk bisa diterapkan pada latar kebudayaan yang masih penuh dengan paham kesyirikan di masyarakat, tanpa melukai hati masyarakat pendukungnya.

Itulah kehebatan Mbah Farid Syafii, pria kelahiran Gresik mantan Hakim Pengadilan Agama Negeri Pacitan beberapa tahun silam, seperti yang dituturkan oleh Bu Nur istrinya. Beliau sangat intens berdakwah ke pelosok daerah Kebonagung Pacitan. Hingga akhirnya dia memilih lokasi tempat tinggalnya di daerah yang masih berlatar budaya kesyirikan tersebut.

Alasannya adalah –sebagai dai Muhammadiyah- dirinya ingin membuktikan bahwa Muhammadiyah bisa diterima dan bisa menjadi pencerah masyarakat melalui dakwah yang arif bijaksana dan cerdas, tanpa harus melukai perasaan masyarakat sekitarnya. Kata pepatah Jawa, nyekel iwake ojo nganti buthek banyune. Menangkap ikan tanpa membuat keruh airnya.

Di sela-sela kesibukannya sebagai hakim agama, Mbah Farid juga sebagai dai Muhammadiyah yang selalu menjadi jujugan pertanyaan para warga Dusun Wudal, Desa Kebonagung Pacitan dan sekitarnya. Karena ilmu agamanya mumpuni, dan cara berkomunikasinya penuh keteladanan, maka oleh warga beliau dijadikan tokoh desa yang selalu diikuti semua petunjuknya.

Hingga akhirnya beliau ditunjuk oleh warga sebagai ‘jurukunci’ Danyangan ( tempat yang dikeramatkan warga) berupa pohon besar yang mengeluarkan sumber air yang setiap hari menghidupi warga Dusun Wudal dan sekitarnya. Tugas sebagai jurukunci itu dianggapnya tugas mulia yang amat strategis untuk memberikan pencerahan kepada warga. Beliau tidak menolak dan tidak apriori terhadap istilah jurukunci yang melekat dipundaknya. “Inilah kesempatan emas untuk meluruskan akidah warga yang selama ini menyimpang” kisahnya.

Tahun pertama yang ditargetkan Mbah Farid adalah membersihkan akidah terhadap keyakinan adanya roh jahat penunggu pohon besar tersebut. Ketika warga berkumpul diundang dirumahnya beliau mengatakan. “Sedulur-sedulur, saya sudah memeroleh kabar dari penunggu pohon danyangan, bahwa mulai hari ini, dia tidak membutuhkan lagi kemenyan panjang ilang ataupun dupa.

Cukuplah warga selalu membersihkan pohon dan sekitarnya dari sampah-sampah yang mengganggu akar dan sumber air. Oleh karena itu setiap seminggu sekali mari kita bersihkan sampah-sampah itu sehingga danyang penunggu pohon itu menjadi senang. “Ya, Mbah” yang diikuti oleh seluruh warga.

Tahun kedua, di tempat yang sama Mbah Farid kembali menyampaikan kepada warga “Sedulur semuanya, saya kembali mendapat amanah. Bahwa danyang penunggu pohon kembali meminta, mulai hari ini jangan lagi ada kenduri yang dipersembahkan untuknya. Dia hanya berpesan bahwa ungkapan syukur itu tidak boleh disampaikan kepada pohon, batu, dan kayu.

Tetapi bersyukur itu kepada Alloh yang mencipta dan menugaskan pohon besar ini untuk mengeluarkan air dari bumi ini. Sehingga kita bisa mandi, mencuci dan minum sepuasnya. Oleh karena itu, marilah kita jaga kelestarian pohon ini dengan cara memelihara dan meremajakan kembali dengan menanam pohon yang sama, sehingga tempat kita kelak, tidak mengalami kekeringan” pungkasnya. Yang diikuti oleh seluruh warga.

Begitulah dakwah cerdas, arif, bijak dari Mbah Farid beberapa tahun silam. Mudah-mudahan bisa menjadikan bekal bagi dai Muhammadiyah ke depannya. (sp/nmo)