Ki Bagus Hadikusuma, Penggagas Utama Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”

Dalam sidang Konstituante di Bandung, Kasman Singodimedjo (Fraksi Masyumi) menyampaikan pidato yang menyentuh hati.Ia mengingatkan Konstituante akan janji Bung Karno kepada Ki Bagus di awal kemerdekaan, “Saudara Ketua, saya masih ingat bagaimana ngototnya almarhum Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Umum Pusat Muhammadiyah yang pada waktu itu sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempertahankan Agama Islam untuk dimasukkan ke dalam Muqaddimah dan Undang Undang Dasar 1945. Begitu ngotot Saudara Ketua, sehingga Bung Karno dan Bung Hatta pun tidak dapat mengatasinya…. Hanya dengan kepastian dan jaminan bahwa 6 bulan lagi sesudah Agustus 1945 itu akan dibentuk sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Majelis Pembuat Undang-Undang Dasar Negara guna memasukkan materi Islam itu ke dalam Undang-Undang Dasar yang tetap, maka bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo itu untuk menanti!.”

Lebih lanjut Kasman Singodimedjo menyatakan,“Saudara Ketua, kini juru bicara Islam Ki Bagus Hadikusumo itu telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya, karena telah pulang ke Rahmatullah. Beliau telah menanti dengan sabarnya, bukan menanti 6 bulan seperti yang telah dijanjikan kepadanya. Beliau menanti, ya menanti sampai dengan wafatnya. Beliau kini tidak dapat lagi ikut serta dalam Dewan Konstituante ini untuk memasukkan materi Islam, ke dalam Undang-Undang Dasar yang kita hadapi sekarang ini. Saudara Ketua, di manakah kami golongan Islam dapat menuntut penunaian ‘janji’ tadi itu? Di mana lagi tempatnya?” (Hidup Itu Berjuang Kasman Singodimedjo 75 Tahun, Jakarta: Bulan Bintang, 1982).

Perkembangan yang terjadi kemudian pada bulan Juni 1959 mayoritas anggota Konstituante, terutama fraksi-fraksi non-Islam menolak untuk menghadiri lagi sidang-sidang Konstituante. Menghadapi situasi krisis konstitusional tersebut Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden “Kembali Kepada Undang-Undang Dasar 1945”. Konstituante dibubarkan. Dalam Dekrit Presiden, Piagam Jakarta ditempatkan sebagai salah satu butir pertimbangan, yaitu, “Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”

Umat Islam berdamai dengan sejarah sebagai realitas yang harus diterima, tetapi tidak dapat melupakan sejarah. Kaum Muslimin, kata Mr. Mohamad Roem, “…wajib melaksanakan Hukum Islam, terlepas dari apakah Piagam Jakarta tercantum atau tidak dalam Pembukaan UUD 1945.”

Dalam kaitan ini H. Alamsjah Ratu Perwiranegara semasa menjabat Menteri Agama menegaskan, “Pancasila adalah pengorbanan dan hadiah terbesar umat Islam untuk persatuan dan kemerdekaan Indonesia.” Salah satu pemimpin Islam yang memiliki peran utama terkait dengan pengorbanan umat Islam untuk persatuan dan kemerdekaan ialah Ki Bagus Hadikusumo.

Ki Bagus Hadikusumo hidup dalam keluhuran sebagai pejuang yang ikhlas sampai akhir hayatnya. Menurut cucunya, setiap rapat BPUPKI di Jakarta, Ki Bagus pakai biaya sendiri. Bekal yang dibawa hanya batik, yang dijualnya di jalan untuk keperluan biaya pulang-pergi ke Jakarta. Bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam etnik dan agama ini “berhutang” kepada Ki Bagus Hadikusumo. Hutang budi yang tidak dapat dibayar dengan apapun.

Ki Bagus contoh pemimpin yang tidak mau dikultuskan. Semua telah diberikannya untuk umat dan Tanah Air. Salah satu putranya mengatakan kepada penulis beberapa waktu lalu bahkan kuburan Ki Bagus Hadikusumo di TPU Kuncen Wirobrajan Yogyakarta sudah diberikan untuk dipakai orang lain.

Semoga amal ibadah dan perjuangan Ki Bagus Hadikusumo dalam membela agama Allah, menegakkan kebenaran dan keadilan, serta jasa-jasanya kepada bangsa dan negara diterima oleh Allah SWT dan diampuni segala dosanya. (sp/bikemenag)

Oleh : Fuad Nasar, Pemerhati Sejarah