Muhammadiyah Aktor Utama Pelopor Zakat Di Indonesia

SangPencerah.com- Menurut sejarahnya, sebagaimana dituturkan Muchtar Zarkasyi, SH, mantan pejabat senior Kementerian Agama dan Ketua Dewan Pertimbangan BAZNAS, sejak masuknya Islam ke Indonesia zakat sebagai salah satu rukun Islam telah tertata dengan baik, sejak masa kesultanan atau kerajaan Islam di Nusantara. Kesultanan Islam mengelola zakat dan mengatur pemanfaatannya untuk kepentingan umat Islam. Setelah lenyapnya kesultanan Islam karena satu demi satu dihancurkan oleh kolonialisme, terakhir Kesultanan Banten (1813), maka sejak itulah zakat diperankan oleh masyarakat melalui masjid-masjid dan ulama di tingkat lokal.

Karel A. Steenbrink dalam bukunya Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad Ke-19 (Bulan Bintang, 1984) mengungkapkan, pada 1866 pemerintah mengeluarkan peraturan (bijblad 1892) yang melarang keras kepala desa sampai bupati turut campur dalam pengumpulan zakat. Peraturan tersebut mengakibatkan penduduk di beberapa tempat enggan mengeluarkan zakat atau tidak memberikannya kepada penghulu dan naib, melainkan kepada ahli agama yang dihormati, yaitu kiyai atau guru mengaji.

Kolonialisme, kapitalisme dan feodalisme berabad-abad merusak tatanan kehidupan asli rakyat Indonesia. Dalam kegelapan zaman penjajahan, zakat dikelola secara individual oleh umat Islam. Awal abad ke-20 sebuah terobosan penting menyangkut perzakatan dilakukan oleh Muhammadiyah (1912) yang dipimpin oleh K.H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Muhammadiyah merupakan organisasi keagamaan pertama yang mengambil langkah mengorganisir pengumpulan zakat di kalangan anggotanya.

Setelah kemerdekaan, Kementerian Agama diperjuangkan oleh umat Islam dalam rangka pelaksanaan asas Ketuhanan Yang Maha Esa dalam ideologi negara Pancasila dan ketentuan pasal 29 UUD 1945. Kementerian Agama dibentuk dalam Kabinet Sjahrir II pada 3 Januari 1946 dengan Menteri Agama Pertama almarhum HM Rasjidi.

Dalam riwayat perjalanan pemerintahan sejak dari Menteri Agama H.M. Rasjidi, K.H. Fatchurrahman Kafrawi, K.H. Masjkur, K.H. Faqih Usman, K.H.A.Wahid Hasjim, K.H. Muchammad Iljas, K.H.Wahib Wahab, K.H. Saifuddin Zuhri, K.H.M. Dachlan, H.A. Mukti Ali, Alamsjah Ratu Perwiranegara, Munawir Sjadzali, Tarmizi Taher, dan seterusnya, masalah zakat dan wakaf menjadi perhatian dan kebijakan Kementerian Agama.

Menarik disimak Muhammad Daud Ali dalam Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf (UI Press, 1988) menulis bahwa setelah Indonesia merdeka terdapat juga “hambatan politis” dalam penyelenggaraan pengumpulan zakat. Padahal dalam perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan Barat, zakat terutama bagian sabilillah-nya merupakan sumber dana perjuangan.

Semasa Menteri Agama K.H. Saifuddin Zuhri, Kementerian Agama tahun 1964 menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Pelaksanaan Zakat dan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Pelaksanaan Pengumpulan dan Pembagian Zakat serta Pembentukan Baitul Mal. Akan tetap entah apa sebabnya rancangan produk legislasi tersebut batal diajukan ke DPR. Kementerian Agama tahun 1967 kembali menyiapkan Rancangan Undang-Undang Zakat. Tetapi karena tidak mendapat dukungan dari Menteri Keuangan sebagai kementerian terkait, maka pembahasannya dihentikan.

Setahun kemudian lahir Peraturan Menteri Agama No 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat dan Peraturan Menteri Agama No 5 Tahun 1968 tentang Pembentukan Baitul Mal di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kotamadya. Namun dalam waktu berdekatan Presiden Soeharto dalam acara Peringatan Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad Saw di Istana Negara 26 Oktober 1968 mengumumkan bahwa sebagai pribadi beliau bersedia untuk mengurus pengumpulan zakat secara besar-besaran.

Pernyataan Presiden Soeharto tahun 1968 menganulir pelaksanaan Peraturan Menteri Agama terkait dengan zakat dan baitul mal. Tidak lama kemudian Instruksi Menteri Agama No 1 Tahun 1969, menyatakan pelaksanaan Peraturan Menteri Agama No 4 dan No 5 Tahun 1968 ditunda sampai batas waktu yang tidak ditentukan.

Pada tahun 1969 pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No 44 tahun 1969 tentang Pembentukan Panitia Penggunaan Uang Zakat yang diketuai Menko Kesra Dr. KH Idham Chalid. Perkembangan selanjutnya di lingkungan pegawai kementerian/lembaga/BUMN dibentuk pengelola zakat dibawah koordinasi badan kerohanian Islam setempat. Di tingkat wilayah pelembagaan zakat dipelopori BAZIS DKI Jakarta yang dibentuk dengan keputusan Gubernur Ali Sadikin tanggal 5 Desember 1968 yang dilatarbelakangan rekomendasi pertemuan 11 orang alim ulama di ibukota yang dihadiri antara lain oleh Buya Hamka dan tanggapan atas pidato Presiden Soeharto 26 Oktober 1968. Keberadaan pengelola zakat semi-pemerintah secara nasional dikukuhkan dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No 29 dan No 47 Tahun 1991 tentang Pembinaan BAZIS.

Undang-Undang Pengelolaan Zakat (UU No 38 Tahun 1999) lahir di masa Presiden RI Ke-3 B.J. Habibie dan Menteri Agama H.A. Malik Fadjar. Undang-Undang Pengelolaan Zakat tahun 1999 diubah dengan Undang-Undang No 23 Tahun 2011 dan diterbitkan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2014. Pemerintah di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Instruksi Presiden No 3 Tahun 2014 tentang Optimalisasi Pengumpulan Zakat di Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, BUMN dan BUMD Melalui BAZNAS.

Dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo sekarang ini, diharapkan peran dan dukungan negara secara konkret terhadap pengelolaan zakat lebih meningkat, apalagi di tengah persoalan kemiskinan dan ketimpangan sosial yang masih terjadi di negara kita di waktu sekarang.

Sebagaimana kita tahu menurut pasal 34 UUD 1945, “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Ketentuan pasal ini tidak terlepas dari pesan syariat Islam. Para founding fathers negara kita menyelami makna negara kesejahteraan yang dicita-citakan Islam dengan konsep zakat. Pasal tersebut tak dapat dilepaskan dari substansi dan spirit pelaksanaan pasal 29 bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Dimensi berikutnya yang tak dapat dilupakan menyangkut peran negara dalam perzakatan, ialah Dekrit Presiden Soekarno tanggal 5 Juli 1959 tentang Kembali Kepada Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan, “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Konsideran Dekrit Presiden memperjelas jaminan negara terhadap aspirasi Islam dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk aspirasi memajukan perzakatan.

Demikian sekilas zakat dalam riwayat pemerintahan Indonesia. Sangat tepatlah apa yang dikatakan pahlawan nasional Mr. Sjafruddin Prawiranegara, “Sejarah sebagai pedoman untuk membangun masa depan.” (sp/baznas)Logo-LAZISMu