Larangan Berjilbab di RS Siloam Dinilai Diskriminatif

Rumah Sakit Siloam Makassar

SangPencerah.com – Manajemen Rumah Sakit (RS) Siloam Makassar menerapkan aturan yang dinilai diskriminatif terkait jilbab pada karyawan wanita. Larangan berjilbab diberlakukan hanya kepada karyawan yang bukan petinggi dan dokter tetap. Hal tersebut diungkapkan salah seorang calon karyawati dan karyawati yang telah bekerja di RS Siloam Makassar.

“Di Siloam, tidak diperbolehkan bergabung jika memakai jilbab,” kata M, kepada rakyatku.com yang meminta namanya diinisialkan. M sehari-harinya bekerja sebagai perawat di salah satu rumah sakit swasta di Makassar dan ingin hijrah ke Siloam. Namun, ia terganjal dengan aturan berjilbab. Hal itu diungkapkan M saat ditemui rakyatku.com di Gang Babussalam, Jl. Batua Raya Makassar beberapa waktu lalu.

Pantauan langsung rakyatku.com, di rumah sakit ternama dunia ini, memang tak menunjukkan satu pun pegawai yang berjilbab. Salah seorang karyawan, W tidak membantah aturan tersebut. W mengakui hal itu sudah lumrah di rumah sakit yang terletak di Jl Metro Tanjung Bunga Makassar ini. “Boleh saja berjilbab tapi kalau masuk jam kerja harus dilepas. Yang boleh berjilbab di sini, cuman petinggi dan bukan dokter tetrap,” tutur W. Soal alasan peraturan tersebut. W menjelaskan bahwa Siloam adalah rumah sakit internasional. Sehingga, mau tidak mau harus mengikut aturan dari pusat di Singapura. “Sudah standarisasi dari pusat. Mungkin untuk terlihat seragam dengan yang lain,” pungkasnya. Rakyatku.com yang mencoba  mengkonfirmasi perihal tersebut ke manajemen RS Siloam Makassar mendapatkan jawaban sumir.

Humas Siloam Makassar, Amelia Putri menjelaskan, peraturan haruslah sesuai kesepakatan atasannya. Ia mengaku tak bisa berbicara banyak tentang kebijakan Siloam. “Kalau soal itu mungkin harus bicara sama atasan.” Komunikasi pun lalu terputus, dan tak ada lagi penjelasan setelahnya. Saat coba kembali dihubungi, Amelia terus mengarahkan ke atasan. Dirut RS Siloam Makassar yang coba dikonfirmasi langsung melalui Humas belum juga menyempatkan untuk ditemui. Bahkan, sedikitnya lima kali upaya rakyatku.com untuk bertemu langsung tak membuahkan hasil.

Ketua Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Makassar, Rosmiati Sain cukup menyayangkan fakta tersebut. “Sudah jelas dan diatur oleh undang-undang kalau tidak boleh ada diskriminasi pekerja. Setiap orang punya hak untuk bekerja.” Soal hal-hal klinis antara perawat nonjilbab maupun berjilbab, Dhini Alfiandari salah seorang mahasiswi kedokteran Universitas Hasanuddin mengatakan tidak ada kekurangan apabila perawat berjilbab. “Saya pribadi tidak ada masalah. Malah lebih steril yang memakai jilbab. Rambutnya tidak bakal kemana-mana. Tergantung kenyamanan juga,” papar perempuan berjilbab ini.

Mengenai sikap pemerintah, Kepala Dinas Tenaga Kerja Kota Makassar, A Bukti Djufri mengaku telah mengecek kebenaran tersebut namun tak ada tanda-tanda bahwa informasi itu benar. “Saya sudah tugaskan anggota ke sana. Tapi tidak ada tanda-tanda kalau perawat dilarang pakai jilbab,” tutup Bukti. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada Pasal 5 dan 6 dijelaskan setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Jika perusahaan masih tetap kukuh untuk melanggar. Maka sesuai wewenang pemerintah, usaha tersebut akan ditutup. Namun, pada dasarnya harus ada musyawarah terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan. (sp/rakyatku)