Karena Semangat Siti Hayinah, Suara ‘Aisyiyah Yang Mati Suri Hidup Kembali

SangPencerah.com- Sudah tidak khilaf lagi bahwa damai, persatuan itulah suatu perkara, perkara mana tentulah semua manusia mengakui akan kebaikannya, karena memang persatuan ini adalah suatu alat yang dapat menghasilkan maksud yang besar” –Siti Hayinah

1928, dalam kongres perempuan pertama, duduk dua perempuan berkerudung diantara peserta kongres. Pertama berperawakan hitam manis, kedua perempuan bertubuh ramping dengan kulit kuning langsat. Dialah Siti Munjiyah dan Siti Hayinah. Keduanya duduk bersanding dengan R.A. Soekanto, Ismoediati (Wanita Oetomo), Soenarjati, Soejatin (Poetri Indonesia), Siti Soekaptinah (Jong Islamieten Bond), Nyai Hajar Dewantara (Taman Siswo), R.A. Harjadiningrat (Wanito Katholik), dan Moerjati (Jong Java). Dalam kongres ini, Siti Hayinah hadir menyampaikan pidato yang cukup fenomenal. Dia mengangkat isu persatuan dengan tema “Persatuan Manusia”. Menurutnya, persatuan merupakan alat pertama untuk mencapai tujuan utama seperti kebahagiaan dan kesejahteraan.

Siti Hayinah lahir di Yogyakarta pada 1906. Tahun 1953, dalam usia 29, Siti Hayinah menikah dengan Mohammad Mawardi Mufti. Seorang pria asal Banjarmasin yang aktif di Muhammadiyah dan berprofesi sebagai guru. Dari pernikahannya ini, Siti Hayinah dikaruniai 7 orang anak. Siti Hayinah termasuk generasi kedua yang mendapat pendidikan di sekolah netral untuk dikaderkan di organisasi. Selain itu, Siti Hayinah juga menempuh pendidikan di dua tempat lainnya di Holland Inlandsche School (HIS) dan Fur Huischoud School di Yogyakarta. SIti Hayinah mulai aktif di ‘Aisyiyah dari masa kecilnya. Pada tahun 1925, saat umurnya menginjak 19 tahun, Siti Hayinah mendapat kepercayaan sebagai sekretaris mendampingi Nyai Ahmad Dahlan. Kegemarannya menulis dan membaca ini yang menempatkannya sebagai sekretaris. Bahkan, dia menjabat sebagai Pimpinan Redaksi majalah Suara ‘Aisyiyah. Dalam kongres ‘Aisyiyah ke-21 di Medan, dia mengobarkan kembali semangat anggota untuk menghidupkan Suara ‘Aisyiyah yang kala itu mati suri dengan pidatonya yang lantang.

“Marilah Soeara ‘Aisjijah itu kita hidupi betul-betul,…. Kalau tidak, baiklah kita bunuh saja mati-mati dan kita tanam dalam-dalam…”

Siti Hayinah memiliki perhatian khusus pada pendidikan bagi kaum perempuan. Dalam pidatonya di kongres ke-21 tersebut, Siti Hayinah mengatakan siapa saja yang menghaang-halangi kaum perempuan mendapatkan pendidikan adalah orang jahat dan durhaka. Sepak terjangnya dalam memberikan ruang belajar bagi perempuan direalisasikan melalui usulan berdirinya bibliothek atau perpustakaan bagi kaum perempuan dan leeskring atau mengusahakan berdirinya badan penerbitan majalah khusus untuk kaum ibu. Dia mengajak kaum ibu untuk gemar membaca.

Di ‘Aisyiyah, Siti Hayinah lima kali didaulat sebagai ketua yaitu pada 1946, 1953, 1956, 1959, dan 1962. Siti Hayinah memegang amanahnya sebagai ketua untuk pertama kali didapat dalam kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta. Selain aktif di ‘Aisyiyah, Siti Hayinah juga aktif di Badan Penasehat Perkawinan Perselisihan dan Perceraian (BP4), Gabungan Wanita Islam Indonesia (GOWII), Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI). Di BP4 karirnya melejit, dari anggota sampai menjadi ketua dalam beberapa periode. Siti Hayinah menjadi perempuan aktifis yang sangat menghargai kreatifitas dan amal. (sp/aisyiyah.or.id)