Perjuangan Dai Khusus Muhammadiyah di Pedalaman Kotawaringin

“Sewaktu bertugas sebagai dai khusus, lebih Sering motornya naik saya, alias didorong, dari pada saya naik motor”, ujar Aprah Tamroh, dai khusus yang bertugas kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.

“Kalau bukan karena panggilan jihad Islam, Saya sudah memilih pulang ke kampung halaman di Padang Sumatera Barat” ujarnya menambahkan. Atas kerja kerasnya membina masyarakat pedalaman, Aprah Tamroh dipercaya sebagai wakil rakyat di DPRD Kab Kotawaringin Timur selama 10 tahun alias dua periode. Dan sekarang menjadi ketua PDM Kotawaringin Timur.

“Saya menjadi dai karena ada tugas dan amanah dari lembaga dakwah khusus PP Muhammadiyah”, kata Khoirul Huda dai khusus asal Lamongan, yang bertemu seusai shalat Jumat di masjid Al muhajirin Komplek perguruan Muhammadiyah di Sampit Kalimantan Tengah. “Selama lebih dari 10 tahun, saya menekuninya dengan penuh kesungguhan. Alhamdulillah sekarang saya sudah menjadi PNS dan bertugas sebagai guru SD”, ujar Khairul menambahkan.

Lain halnya dengan Tukijo, Penasehat Muhammadiyah cabang Parenggean, Kotawaringin Timur, beliau menekuni sebagai dai karena memang tidak ada dai khusus yang datang ke desanya. Awal tahun 80-an, ia menjadi transmigran dari kampung halamannya di Kendal Jawa Tengah bersama istri dan tiga orang anaknya. “Awalnya saya takut, karena rumah yang akan ditempati ketutup rumput setinggi 3 meter, tetangga jauh dan mau shalat tidak ada masjid atau mushola”, kata Tukijo. “Akhirnya, saya dirikan mushola dengan atap alang-alang dan dinding bambu. Alhamdulillah sekarang sudah menjadi masjid Al Muhajirin, sekaligus tempat berkumpulnya ranting Muhammadiyah Desa Karang Tunggal, Parenggean.

Siang itu, sesuai menyerahkan bantuan Alat shalat, Al Quran dan buku doa kepada 11 masjid dan mushola di balai desa karang tunggal, bersama kepala desa, yang juga warga Muhammadiyah, penulis shalat dhuhur berjamaah di masjid Al muhajirin yang cukup megah. Kemudian dilanjutkan dengan makan siang bersama di rumah Pak Tukijo. “Saya waktu diajak orang tua transmigran umurnya masih 3 tahun, dari Bantul DI Yogyakarta”, tutur Rohmad, Kepala desa karang tunggal. “Alhamdulillah sekarang kehidupan keluarga lebih baik, dan anak saya bisa kuliah di Yogyakarta, ujar Rohmad menambahkan.

Di akhir kunjungan ke Kotawaringin Timur, penulis diajak blusukan ke lahan tanah seluas 1 hektar yang akan dijadikan pesantren agrobisnis Muhammadiyah Sampit. “Dulunya lahan kosong mas. Sekarang sudah ada tanaman cabe, bawang, tomat, Labu dan sayuran lainnya”, ujar Ramadhansyah, ketua PD pemuda Muhammadiyah Kotawaringin Timur yang mendampingi penulis “Tanah ini dijaga oleh Ahmad yang hidup sebatang kara.

Kita buatkan gubuk dan belikan sepeda motor, tapi sayang ada yang mencuri”, ujar Ramad menambahkan. Alhamdulillah dinas pertanian siap mendukung pesantren pertanian ini, kata Ramad yang bekerja sebagai PNS di Bappeda Kotawaringin Timur. Tapi saya masih kesulitan mencari orang yang akan mengasuh pesantren ini. Karena itu bagus sekali kalau LDK PP Muhammadiyah mengirim dai lagi sekaligus mengelola pesantren, ujar Rahmad penuh harap.

Jika Aprah Tamroh, Khairul Huda dulunya dai khusus yang mendapatkan bantuan nafkah dari LDK, sekarang mereka telah menjadi dai mandiri. Mereka telah mapan secara ekonomi dan menjadi penggerak muh di Sampit. Sedangkan Tukijo, yang awalnya transmigran, sekarang telah menjadi tokoh Muhammadiyah.

Mereka adalah dai-dai tangguh yang yakin dan percaya bahwa kerja kerasnya akan mendapatkan balasan Allah SWT. Kini Kotawaringin Timur telah memiliki amal usaha dari mulai TK sampai perguruan tinggi. “Saya berharap LDK mengirim dai lagi ke Kotawaringin Timur ini, karena memang sangat dibutuhkan.

Terutama di daerah terpencil”, ujar Apuanur, ketua STKIP Muhammadiyah Sampit. Saya selalu terjunkan mahasiswa saat KKN ke desa sekaligus berdakwah. Tapi kan waktunya hanya sebulan. Andaikan ada dia khusus, tentu akan lebih bagus lagi” ujar Apuanur menambahkan.

Dai khusus tak hanya mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran (amar Ma’ruf nahi munkar), tetapi yang terpenting mereka juga adalah perekat persatuan bangsa. Mereka mengajarkan Islam dengan menggunakan bahasa Indonesia, bahkan menikah dengan penduduk lokal sehingga ia pun menjadi warga di daerah tempat tugasnya sebagai Dai dengan meninggalkan kampung halaman. Dan yang menarik untuk dicatat, para dai itu kehidupan ekonominya membaik serta menjadi tokoh masyarakat di daerah tempatnya bertugas.

Sungguh menjadi Dai itu suatu tugas mulia yang penuh dengan tantangan dan mengasikan. Wallahualam

Tulisan : Faozan Amar, S.Ag, MM

(Sekretaris Lembaga Dakwah Khusus PP Muhammadiyah dan Dosen Studi Islam UHAMKA)