Muhammadiyah, Ormas Islam yang Mampu Bertahan lebih 100 tahun

Islam Agamaku, Muhammadiyah Gerakanku

Begitu sulit menentukan jumlah warga Persyarikatan Muhammadiyah. Mungkin orang dengan mudah mengatakan “Hitung saja warga Muhammadiyah yang memiliki NBM”, namun pada kenyataannya banyak juga warga Muhammadiyah yang tidak memiliki NBM. Bahkan simpatisan warga Muhammadiyah baik di dalam AUM maupun di luar AUM juga bisa dikatakan insiders dari Persyarikatan Muhammadiyah. Berdasarkan hasil survey Lingkaran Survey Indonesia (LSI) tahun 2010 tercatat bahwa total warga Persyarikatan Muhammadiyah adalah sekitar 7% dari seluruh penduduk Negara Indonesia. Jika jumlah total penduduk Indonesia total tahun 2010 sekitar 237 juta jiwa, artinya total jumlah warga Persyarikatan Muhammadiyah hanya 16,6 juta jiwa.

Jumlah yang sangat banyak ini belum sebanding dengan banyaknya warga NU yang mencapai kurang lebih 40% dari total penduduk Indonesia (sumber: hasil survey LSI). Namun ada sedikit yang membanggakan dari jumlah yang hanya 7% ini. Bayangkan saja, hanya dengan 7%, Muhammadiyah mampu berperan aktif dalam pembangunan negeri ini. Tercatat dalam bidang pendidikan saja Muhammadiyah sudah memiliki SD/MI berjumlah 2.604 sekolah, SMP/MTs 1.772 sekolah, SMA/SMK/MA 1.143 sekolah, Perguruan Tinggi 172 perguruan tinggi. Kemudian dalam bidang kesehatan, Muhammadiyah memiliki 457 rumah sakit dan klinik kesehatan.

Sejak awal didirikannya, persyarikatan ini memang sudah berkhidmat untuk kepentingan sosial masyarakat. Melalui teologi Al-Ma’un yang dibawa oleh Founding Fathers-nya, Muhammadiyah tergerak secara ikhlas untuk membantu mensejahterakan masyarakat. Dalam riwayatnya, KH Ahmad Dahlan ditanya oleh salah satu muridnya “Kiyai, kita sudah empat kali mengkaji surat Al-Ma’un, apa tidak bosan Kiyai ?”, KH Ahmad Dahlan menjawab “Sudah berapa banyak fakir miskin yang kalian bantu ?”, spontan saja murid-murid beliau tergerak untuk mengamalkan isi dari Al-Ma’un tersebut. Inilah modal sosial (sosial capital) yang dibangun oleh KH. Ahmad Dahlan. Selanjutnya menjadi doktrin keagamaan dalam Muhammadiyah.

Peran Muhammadiyah dalam membangun Negeri ini tak lepas dari modal sosial yang ‘batu pertamanya’ diletakkan oleh pendirinya. Kesadaran akan kondisi sosial masyarakat harus menjadi doktrin tetap sekaligus ciri khusus yang melekat dalam hati sanubari warga Muhammadiyah. Hal ini jua diajarkan oleh Rasulullah SAW melalui banyak haditsnya. Rasul pernah bersabda: “Bukan seorang yang beriman, yaitu orang yang tidur nyenyak sementara tetangganya kelaparan” (HR. Bukhari). Hal ini menujukkan bahwa Islam sangat menekankan kepedulian sosial. Islam bukan saja menuntut kesalehan pribadai, tapi juga kesalehan sosial. Bahkan kesalehan sosial ini lebih kita kedepankan. Beberapa syariat Islam justru lebih banyak mengajarkan kepedulian sosial ketimbang ibadah yang bersifat ritual individual.

Krisis Modal Sosial

Tulisan ini bukan bermaksud benostalgia dengan masa lalu. Muhammadiyah saat ini sedang mengalami tren negatif jika dilihat dari perkembangan AUM-nya. Tanpa sadar kebanggaan kita terhadap banyaknya AUM menyebabkan gerakan ini semakin stagnan bahkan mengalami penurunan. Lihat saja di beberapa cabang dan ranting, ada beberapa AUM yang tutup akibat tak diminati lagi oleh masyarakat. Walupun banyak juga berdiri AUM yang lain, namun orientasi pembangunannya sedikit melenceng dari doktrin awal persyarikatan ini berdiri. Pengalaman penulis yang pernah aktif di suatu AUM, ternyata manusia-manusia yang berada di dalamnya hanya mementingkan bisnis semata. Penulis merasa hal ini juga banyak terjadi di AUM yang lain. Ini sebuah krisis yang tengah dialami Muhammadiyah. Krisis modal sosial.

Unsur penting dalam membangun modal sosial adalah trust (kepercayaan). Hilangnya minat masyarakat untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah Muhammadiyah disebabkan karena hilangnya trust. Beda sekali dengan dahulu sejak KH. Ahmad Dahlan mendirikan sekolah berbasis madrasah. Madrasah masih asing pada saat itu, tanpa mementingan profit (keuntungan), KH. Ahmad Dahlan mampu meyakinkan masyarakat bahwa madrasahnya adalah solusi untuk membangun masyarakat Islam. Hal ini tidak dimiliki oleh sekolah Muhammadiyah pada masa sekarang. Banyak AUM saat ini yang hanya mementingkan profit (keuntungan) materi. Tak ayal, inilah yang menyebabkan penurunan trust. Keluhan-keluhan tentang mahalnya biaya pendidikan di sebuah PTM juga banyak penulis jumpai dalam media sosial. Penurunan trust ini menjadi negative campaign terhadap Muhammadiyah. Jika hal ini terus dibiarkan, Muhammadiyah bisa saja hanya menjadi sebatas plang nama karena sudah kehilangan ‘ruh’-nya.

Krisis ini diperparah dengan keengganan kaum muda Muhammadiyah untuk bergerak membenahi kondisi internal Muhammadiyah. Keengganan ini disebabkan -salah satunya- oleh ketertarikan dalam dunia politik praktis. Organisasi otonom kepemudaan, sebut saja Pemuda Muhammadiyah, IMM, IPM, NA, lebih tertarik untuk mensukseskan salah satu anggotanya yang terjun dalam dunia politik praktis. Begitu ‘gandrungnya’ mereka terhadap dunia ini, bahkan sampai membanggakan diri dengan menyebut langkah ini sebagai bentuk transformasi kader. Pernyataan ini menurut penulis adalah sebuah pernyataan ahistoris. Muhammadiyah sejak lahir sudah berkomitmen untuk tidak menjadi partai politik. Adapun tarik-tarikan ke ranah tersebut hanyalah sebatas kedekatan emosional antar warga persyarikatan Muhammadiyah. Belajar dari sejarah, gerakan dakwah tak akan mampu bertahan lama ketika berafiliasi, penyatuan organik, atau penjelmaan menjadi sebuah partai politik.

Muhammadiyah mampu bertahan lebih dari 100 tahun dikarenakan langkah dewasanya dalam menyikapi perpolitikan negeri ini. Anak muda memang memiliki syahwat politik yang tinggi, namun hal ini harus diimbangi dengan orientasi dakwah Muhammadiyah bukanlah ke ranah tersebut. Muhammadiyah berjuang melalui jalur kultural namun tetap acuh terhadap persoalan politik. Kecenderungan ke ranah politik ini –jika dibiarkan- bisa menjadikan penurunan trust, baik bagi internal maupun masyarakat pada umumnya. Karena orientasi politik adalah tarik-tarikan kepentingan. Pada saatnya berkuasa, maka ada saja kelompok yang tidak senang, dan pada saatnya kalah maka kita akan dibuang. Hal ini dapat menghilangkan rasa saling percaya, membelokkan orientasi, dan yang terakhir adalah hilangnya modal sosial yang sudah dibangun sejak 100 tahun yang lalu.

Oleh: Amrullah Khusain, M.Kom.I

(Ketua Bidang Dakwah PDPM Kabupaten Pringsewu – Lampung)