Kupas Tuntas 7 Hadis Perempuan Lebih Baik Shalat di Rumah

Oleh : Ust.Muhammad Rofiq Muzakkir, Lc,MA
( Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah)

Tulisan ini adalah rangkuman dari buku penulis yang berjudul Problematika Fikih Perempuan yang diterbitkan oleh Penerbit Suara Muhammadiyah (2013). Dalam tulisan ini akan dipaparkan analisis terhadap hadis-hadis yang mendorong perempuan salat di rumah.  

Berangkat dari sejumlah hadis, mayoritas ahli hukum Islam merumuskan satu pandangan bahwa kaum perempuan lebih baik menunaikan ibadah wajib di rumah masing-masing. Hadis-hadis yang digunakan para ahli hukum tersebut ada yang berkualitas sahih namun bersifat khusus dan mengandung unsur inkohenrensi (hadis syâdz) dengan hadis lainnya. Berikut uraian tentang hadis-hadis tersebut:

    1. Hadis Ummu Salamah

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ : خَيْرُ مَسَاجِدِ النِّسَاءِ قَعْرُ بُيُوتِهِنَّ (رواه احمد)

“Dari Ummu Salamah, dari Rasulullah Saw. beliau bersabda: sebaik-baik tempat salat wanita adalah ruangan dalam rumah mereka”.

Hadis Ummu Salamah di atas selain diriwayatkan oleh Imam Ahmad juga diriwayatkan oleh empat orang kompilator hadis (Arab: mukharrij) lainnya, yaitu Ibnu Khuzaimah, al-Hakim, al-Baihaqi dan al-Tabrani. Hadis Ummu Salamah dari Imam Ahmad tersebut digunakan oleh banyak ahli hukum untuk mendasari pandangan mereka bahwa perempuan lebih utama menunaikan salat di rumah. Sejumlah ahli hadis seperti al-Syaukani dan al-Albani menilai hadis riwayat Ahmad di atas berada pada level hasan li ghairihi, yaitu hadis yang pada dasarnya berkualitas daif (lemah) dikarenakan faktor akurasi hafalan perawi, namun meningkat karena ada koroborator atau jalur lain yang menguatkannya. Al-Albani dan al-Syaukani menilai hadis di atas dlaif karena seorang perawi yang bernama Ibnu Lahiah.

Berdasarkan penelaahan terhadap jalur transmisi hadis, penulis sampai kepada satu pendapat bahwa al-Albani dan al-Syaukani sesungguhnya kurang akurat ketika mengangkat hadis di atas menjadi hasan li ghairihi. Karena pada kenyataannya hadis yang dijadikan sebagai koroborator sendiri adalah hadis yang berkualitas daif. Kedua orang ahli hadis tersebut, seperti akan ditunjukkan kemudian, tidak menyadari bahwa perawi yang harus diangkat kualitas hadisnya bukan hanya Ibnu Lahiah, tetapi justru perawi yang jauh lebih awal dan berada pada generasi tabiin atau tabiut tabiin. Berikut ini uraian tentang penilaian terhadap jalur transmisi (periwayatan) hadis di atas.

Screenshot_1

Hadis Ummu Salamah di atas oleh al-Syaukani dan al-Albani dianggap hanya memiliki kelemahan pada jalur Ahmad dan al-Thabrani melalui Ibnu Lahiah. Dalam kitab-kitab biografi perawi, memang figur satu ini cukup banyak mendapatkan sorotan negatif dari para penulis biografi perawi. Diantaranya penilaian Ibnu Hajar al-Asqalani bahwa Ibnu Lahiah adalah orang yang hafalannya tercampur karena bukunya pernah terbakar, sehingga ia dikualifikasikan sebagai perawi yang lemah. Selain pada jalur Ibnu Lahiah, sebenarnya pada jalur Ahmad yang satunya, juga terdapat seorang perawi yang lemah, yaitu perawi yang bernama Risydin. Al-Syaukani dan al-Albani tidak menyinggungnya karena tampaknya tidak menyadari adanya perawi yang lemah tersebut. Ibnu Hajar dalam Taqrîb al-Tahdzîb menarasikan penilaian para ulama terhadap sosok Risydin. Imam Ahmad menilainya lemah, bahkan lebih lemah daripada Ibnu Lahiah. Ibnu Main mengatakan bahwa hadisnya tidak dapat dtulis, Abu Hatim dan al-Nasai menilainya munkaru al-hadîst.

Karena menganggap kelemahan hanya pada Ibnu Lahiah, maka al-Syaukani dan al-Albani menyimpulkan bahwa hadis Ahmad di atas dapat dikuatkan oleh empat jalur lainnya, yaitu jalur al-Hakim, Ibnu Khuzaimah, al-Baihaqi dan al-Thabrani. Padahal kenyataannya di empat jalur mukharrij tersebut, juga terdapat seorang perawi yang lemah yang menjadi perawi tunggal pada tingkatannya, yaitu tokoh yang bernama Darraj atau sering dijuluki Abu al-Samh. Oleh Ibnu Hajar diterangkan penilaian para tokoh hadis tentang kualitas perawi tersebut. Imam Ahmad menilainya hadisnya diingkari (munkaru al-hadîst). Al-Nasai menyebutnya tidak kuat (laysa bi al-qawiy). Abu Hatim menyatakan dalam hadisnya ada kelemahan (fi hadîtsihi dla’fun). Al-Daruquthni menggunakan istilah dla’îf (lemah) dan terkadang matrûk (ditinggalkan). Ibnu Adi menyatakan bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Darraj tidak bisa diikuti (la yutâba’). Diantara contoh riwayat yang ia bawakan misalnya: “al-syitâ rabî’u al-mukmîn” (musim dingin adalah musim semi bagi orang yang beriman), “akstîru min dzikril’Lâh hatta yuqâla majnûn” (perbanyaklah menyebut Allah sampai dikatakan gila). Posisi Darraj disini tidak memiliki koroborator sama sekali alias dia seorang diri. Sehingga dengan demikian implikasinya adalah keseluruhan hadis Umu Salamah di atas yang diriwayatkan oleh lima orang mukharrij hadis menjadi bernilai lemah karena hanya melalui satu jalur Darraj. Penulis menduga keras Darrajlah yang menjadi perawi asal yang menyebarkan hadis daif tersebut ke generasi sesudahnya.

    1. Hadis Ibnu Umar

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ. (رواه احمد و أبو داود و الحاكم و البيهقي)

“Dari Ibnu Umar ia berkata. Rasulullah Saw. bersabda: Janganlah kalian melarang istri-isti kalian ke masjid. Akan tetapi rumah mereka lebih baik bagi mereka.”

Seperti hadis Ummu Salamah sebelumnya, hadis Ibnu Umar di atas juga digunakan untuk mendukung pandangan ahli hukum tentang salat perempuan di masjid. Penilaian terhadap hadis Ibnu Umar di atas akan dilakukan dari aspek kritik validitas hadis dan aspek koherensinya dengan hadis yang lain.

Para kritikus hadis umumnya menilai hadis Ibnu Umar di atas berkualitas sahih. Seperti halnya penilaian yang diberikan oleh al-Nawawi dan Ibnu Hajar dari periode pra-modern dan Abadi serta al-Albani dari periode modern. Dalam memberikan penilaian terhadap hadis di atas, beberapa ulama yang disebutkan tersebut umumnya hanya menyandarkan kepada otoritas tokoh-tokoh hadis sebelumnya. Misalnya Ibnu Hajar mengomentari hadis tersebut dengan mengatakan “akhrajahu Abû Dâwud wa shahhahahu Ibnu Khuzaimah (hadis tersebut ditakhrij oleh Abu Dawud dan disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah). Abadi mensahihkannya karena pertimbangan fitnah jika perempuan berangkat ke masjid. Al-Albani mensahihkannya karena melihat hadis tersebut memiliki banyak koroborator (syawâhid). Diantaranya adalah hadis Ummu Salamah yang telah didiskusikan sebelumnya, hadis Ibnu Masud dan hadis seorang perempuan dari Bani Saiidyyah yang akan didiskusikan nanti. Dengan mengutip satu sumber, tampaknya al-Albani juga menyadari bahwa hadis ini memiliki satu sisi kelemahan, yaitu pada sosok perawi yang bernama Habib bin Abi Tsabit.   

Mengenai sosok Habib bin Abi Tsabit, di dalam biografi perawi-perawi hadis kita menemukan banyak sekali pujian-pujian ulama hadis mengenai dirinya. Selain kredibel (tsiqah) dan jujur (shudûq), ia juga disebutkan sebagai salah satu dari tiga tokoh yang biasa memberikan fatwa di Kufah pada masanya. Namun demikian, selain pujian tersebut ada pula catatan negatif dari beberapa tokoh ahli hadis lainnya, seperti Ibnu Hibban dalam al-Tsiqât dan Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahih-nya yang menilai Habib sebagai perawi yang mudallis (julukan bagi perawi yang suka menyembunyikan kecacatan hadis). Dalam Tahdzîbu al-Tahdzîb Ibnu Hajar menerangkan bahwa ada beberapa hadis yang ia klaim telah ia dengar langsung dari seorang sahabat Nabi, padahal para ulama hadis meyakini betul bahwa tidak ada pertemuan antara Habib dan sahabat tersebut. Seperti klaimnya telah menerima hadis dari Urwah bin Zubair dan Ummu Salamah. Dalam Taqrîbu al-Tahdzîb, ia disebut selain suka menyembunyikan kecacatan hadis, juga sering meriwayatkan hadis secara terputus. Dalam ilmu hadis, syarat seorang mudallis dapat diterima hadisnya adalah ia tidak boleh menggunakan simbol periwayaan yang tidak pasti saat meriwayatkan hadis dari perawi sebelumnya, seperti simbol ‘an (dari). Kaedah yang berlaku dalam ilmu kritik hadis adalah jika seorang mudallis menggunakan redaksi ‘an, maka hadisnya adalah hadis yang daif dan tertolak. Dalam hadis yang sedang kita bicarakan ini, kenyataannya Habib justru menggunakan redaksi tersebut. Maka, dengan demikian, setelah melihat adanya kecacatan pada sosok Habib, tampaknya tepat jika dikatakan bahwa pada dasarnya hadisnya mengenai “salat perempuan sebaiknya di rumah” adalah hadis yang daif.

Sisi lain yang dapat digunakan sebagai alat ukur untuk melihat validitas hadis Habib di atas adalah melihat koherensinya dengan hadis yang lain. Dalam istilah teknis ilmu kritik hadis, koherensi antar sesama hadis disebut sebagai ‘adamu al-syudzûz. Jika kita melihat secara keseluruhan hadis Ibnu Umar di atas, hadis tersebut sebenarnya memiliki banyak sekali varian redaksi. Dalam perhitungan yang penulis lakukan setidaknya ada 16 redaksi yang mirip dengan redaksi yang dibawakan oleh Habib dan direkam dalam beberapa kitab hadis (lihat appendinx). Terkait dengan 16 variasi hadis tersebut ada beberapa catatan yang perlu dikemukakan:

Pertama, dari 16 varian redaksi yang ada, redaksi yang paling singkat dan memiliki banyak pendukung dari mukharrij lainnya adalah redaksi yang diriwayatkan oleh Bukhari. Kedua, redaksi Bukhari “Janganlah kalian melarang hamba-hamba Allah (perempuan) untuk berangkat ke masjid” menjadi titik titik temu dari semua riwayat redaksi lainnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa inilah bagian yang paling dapat dipastikan keotentikannya berasal dari Nabi.  Ketiga, semua jalur pemberitaan di tingkatan sahabat melalui Ibnu Umar, kecuali satu jalur yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah.  

Keempat, pertanyaan yang muncul terkait poin ke-3 di atas, apakah mungkin berbagai macam varian redaksi dalam hadis-hadis di atas berasal dari Ibnu Umar sendiri yang kemudian ia sampaikan secara berbeda dari satu tabiin ke tabiin lainnya, ataukah lebih logis untuk dikatakan bahwa tambahan tersebut berasal dari sisi para perawi setelah Ibnu Umar sendiri? Demikian pula tambahan redaksi “rumah perempuan lebih baik bagi mereka” pada jalur Habib yang menjadi topik pembahasan kita, apakah mungkin berasal dari Ibnu Umar, ataukah hanyalah tambahan dari Habib sendiri?  Kelima, banyaknya variasi pemberitaan di atas mengindikasikan bahwa telah terjadi periwayatan secara makna (bi al-ma’nâ) oleh para perawi. Dalam ilmu hadis disebutkan bahwa periwayatan secara makna dapat diterima di luar hal-hal yang berhubungan dengan ibadah mahdhah, seperti bacaan-bacaan salat, dan diterima jika periwayatan tersebut tidak melakukan perubahan pesan Nabi. Sedangkan dalam berbagai variasi hadis di atas telah terjadi perubahan pesan Nabi yang cukup signifikan.

Berikut ini adalah beberapa sampel redaksi hadis Ibnu Umar beserta dengan skema sanadnya:

Screenshot_1

Memperhatikan keseluruhan redaksi hadis terkait dengan hal ini, kita dapat mengetahui bahwa riwayat Habib memiliki inkoherensi (ketidakcocokan) dengan redaksi perawi-perawi lainnya yang beberapa diantaranya jauh lebih reliabel dan kredibel dari dirinya. Redaksi yang digunakan Habib “buyûtahunna khairun lahunna” (rumah mereka lebih baik bagi mereka) adalah redaksi yang kontroversial dan tidak terdapat pada perawi selain dirinya. Sehingga dapat dikatakan bahwa bagian yang otentik dari hadis Habib di atas hanyalah “janganlah kamu melarang istri-istri kamu ke masjid” karena berkesesuaian dengan redaksi lainnya yang lebih reliabel. Frasa kedua dari riwayat Habib besar kemungkinan adalah tambahan dari Habib sendiri yang muncul dari interpretasi personalnya.

    1. Hadis Ibnu Masud

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : صَلاَةُ الْمَرْأَةِ فِى بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِى حُجْرَتِهَا وَصَلاَتُهَا فِى مَخْدَعِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِى بَيْتِهَا (رواه أبو داود و ابن خزيمة و الحاكم و البيهقي)

“Dari Abdullah (bin Masud), dari Nabi Saw. beliau bersabda: salat perempuan lebih di rumahnya lebih baik dari pada salatnya di kamarnya. Dan salatnya di kamarnya yang lebih kecil lebih baik daripada salatnya di rumahnya”.

Kebanyakan kritikus hadis menilai hadis Ibnu Masud di atas sebagai hadis yang sahih. Tidak banyak yang memberi penilaian kritis terhadap hadis di atas. Adalah Nashiruddin Al-Albani  yang membuat pernyataan di dalam Shahih al-Targhîb wa al-Tarhîb bahwa hadis di atas telah diragukan otentisitasnya oleh Ibnu Khuzaimah. Namun di semua karyanya, secara konsisten al-Albani tetap mengatakan bahwa hadis Ibnu Masud di atas sebenarnya adalah hadis yang sahih. Pernyataan al-Albani telah menjadi petunjuk berharga yang membawa kita kepada data-data penting tentang hadis Ibnu Masud. Setelah dilakukan perujukan langsung ke Shahih Ibni Khuzaimah, ternyata memang benar Ibnu Khuzaimah meragukan otensitas hadis Ibnu Masud di atas. Keraguan secara persis terletak pada aspek kontinuitas periwayatan (ittishâlu al-sanad). Ia meragukan seorang perawi yang bernama Qatadah (generasi tabiin) apakah memang benar-benar menerima hadisnya dari perawi yang bernama Muwarriq. Karena di dalam beberapa jalur periwayatan lainnya, menurut Ibnu Khuzaimah, Qatadah beberapa kali menyelipkan nama Muwarriq di antara dirinya dan Abu al-Ahwash, agar hadis yang ia riwayatkan tampak bersambung (Arab: muttashil). Namun, satu hal yang dapat dipastikan oleh Ibnu Khuzaimah bahwa Qatadah tidak pernah menerima hadis secara langsung dari Abu al-Ahwash (satu generasi di atas Muwarriq).

Selain melalui pernyataan Ibnu Khuzaimah (yang merupakan data primer) di atas, untuk mengetahui kualitas Qatadah kita dapat pula memanfaatkan sumber-sumber biografi para perawi hadis. Di dalam Tahdzîb al-Tahdzîb misalnya, Ibnu Hajar menarasikan panjang lebar penilaian banyak ulama hadis tentang sosok Qatadah. Imam Ahmad menilai dirinya sebagai orang yang paling bagus hafalannya di kota Bashrah. Ibnu Main menilainya sebagai pribadi yang tsiqah. Ibnu Hatim mengatakan bahwa ia termasuk di antara sahabat Anas bin Malik yang terbaik. Ibnu Hibban mengatakan bahwa Qatadhah adalah ulama yang memahami al-Quran dan fikih. Namun, selain pernyataan dan penilaian positif di atas, ada juga beberapa catatan negatif mengenai dirinya. Diantaranya ia dituduh penganut faham Qadariah. Ibnu Hibban dalam al-Tsiqât menyatakan bahwa ia adalah seorang perawi yang mudallis. Imam Bukhari memastikan bahwa Qatadah tidak pernah mendengar hadis secara langsung dari beberapa orang yang ia klaim, seperti Basyar (yang sudah lebih dulu meninggal), Ibnu Buraidah dan Basyir. Abu Dawud bahkan mengatakan bahwa ada 30 orang perawi yang oleh Qatadhah diklaim bahwa ia menerma hadis dari mereka, padahal sebenarnya tidak ia mendengarnya secara langsung.

Dengan memperhatikan penilaian-penilaian di atas, dapat dibuat sebuah kesimpulan bahwa hadis Ibnu Masud tidak dapat diterima karena di dalamnya terdapat seorang mudallis yang meriwayatkan hadis dengan menggunakan simbol yang tidak pasti (‘an). Dengan demikian karena hadis ini bernilai lemah, ia tidak bisa digunakan, baik sebagai dalil maupun sebagai koroborator (syâhid) untuk menaikkan derajat hadis-hadis yang lain.

Berikut ini skema sanad hadis Ibnu Masud di atas:

Screenshot_1

    1. Hadis Imraah Saidiyyah

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سُوَيْدٍ الأَنْصَارِىِّ عَنْ عَمَّتِهِ أُمِّ حُمَيْدٍ امْرَأَةِ أَبِى حُمَيْدٍ السَّاعِدِىِّ أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى أُحِبُّ الصَّلاَةَ مَعَكَ. قَالَ : قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلاَةَ مَعِى وَصَلاَتُكِ فِى بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى حُجْرَتِكِ وَصَلاَتُكِ فِى حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِى دَارِكِ وَصَلاَتُكِ فِى دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ وَصَلاَتُكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِى. – قَالَ : فَأَمَرَتْ فَبُنِىَ لَهَا مَسْجِدٌ فِى أَقْصَى شَىْءٍ مِنْ بَيْتِهَا وَأَظْلَمِهِ فَكَانَتْ تُصَلِّى فِيهِ حَتَّى لَقِيَتِ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ (رواه احمد و ابن خزيمة و ابن حبان)

“Dari Abdullah bin Suwaid al-Anshariy dari bibinya Ummu Humaid istri Abu Humaid al-Saidiy bahwasanya ia datang kepada Nabi Saw. kemudian berkata. Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku menyukai salat bersama mu. Rasulullah menjawab: sungguh aku mengetahui bahwa engkau menyukai salat bersamaku. Akan tetapi salatmu di rumahmu lebih baik dari salat mu di kamarmu. Salatmu di kamarmu lebih baik daripada salatmu dari rumahmu. Dan salatmu di rumahmu di rumahmu lebih baik daripada salatmu di masjid kaummu. Salatmu di masjid kaummu lebih baik daripada salatmu di masjidku. Abdullah bin Suwaid al-Anshariy berkata, bibinya menyuruh (orang), maka kemudian dibangunkanlah untuknya satu tempat salat di tempat paling pojok dan paling gelap di rumahnya. Ia salat di situ, sampai ia bertemu dengan Allah (wafat)”.

Hadis Ummu Humaid di atas menurut Ibnu Hajar dan al-Albani berkualitas hasan li ghairihi, artinya sahih karena dikuatkan oleh hadis yang lain. Berarti jika berdiri sendiri pada dasarnya hadis tersebut adalah hadis yang lemah. Namun sayang sekali, baik Ibnu Hajar maupun al-Albani tidak menjelaskan di mana letak kelemahan asalnya. Dua orang kritikus hadis tersebut hanya menyebutkan bahwa hadis ini dinaikkan derajatnya oleh hadis Ummu Salamah, Ibnu Masud dan Ibnu Umar di atas yang sebelumnya telah diuraikan kelemahan-kelemahannya.

Menurut penelusuran penulis terhadap sanad hadis Ummu Humaid di atas, perawi yang cukup diperdebatkan adalah sosok Abdullah bin Suwaid sendiri, keponakan dari Ummu Humaid yang menceritakan kisah bibinya. Perdebatan mengenai dirinya berkisar pada pertanyaan, apakah dia seorang tabiin ataukah seorang sahabat. Namun dari beberapa kitab biografi perawi, tidak ditemukan penilaian lemah terhadap dirinya. Kecuali penilaian dari Ibnu Hazm dalam al-Muhalla yang mengatakan bahwa Abdullah bin Suwaid adalah tokoh yang majhûl (tidak diketahui). Pernyataan Ibnu Hazm tersebut sama sekali tidak dapat dipertimbangkan karena memang merupakan satu penilaian yang terburu-buru. Apalagi dalam Ilmu Rijal Hadis Ibnu Hazm memang dikenal sangat gampang memvonis seorang perawi sebagai majhûl. Selain Ibnu Hazm, tokoh hadis lainnya yang mempermasalahkan Abdullah bin Suwaid adalah Ibnu Hajar al-Haitami, ahli hadis dan ahli hukum bermazhab Syafii. Namun juga disayangkan tidak ada penjelasan yang memadai tentang penilaiannya tersebut.

Karena celah untuk melalukan kritik eksternal (kritik sanad) terhadap hadis di atas sulit, maka kritik akan dilakukan dari aspek internal (kritik matan). Ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian serius dari matan hadis Ummu Humaid tersebut:

Pertama, Nabi disebutkan telah memberikan nasehat kepada Ummu Humaid bahwa salatnya di rumah (bait) lebih baik daripada salatnya di kamar (hujrah). Kalimat ini sesungguhnya mengandung pernyataan yang membingungkan, karena bukankah kamar juga terletak di dalam rumah? Redaksi selanjutnya kemudian mengatakan bahwa salat Ummu Humaid di kamar (hujrah) lebih baik daripada salatnya di rumah (dar)nya. Pernyataan lanjutan ini telah menciptakan kontradiksi dengan pernyataan sebelumnya.

Kedua, redaksi terakhir yang dinisbahkan kepada Nabi dalam hadis tesebut adalah salat Ummu Humaid di masjid kaumnya lebih baik daripada salat di masjid nabawi. Hadis ini jelas sangat bertentangan dengan keterangan Nabi lain yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim bahwa salat di masjid nabawi lebih baik 1000 kali lipat dari pada salat di masjid-masjid lainnya, kecuali masjidil haram.

Ketiga, dalam hadis tersebut disebutkan bahwa di dalam rumah Ummu Humaid, di bagian paling pojok dan gelap, dibangunkan sebuah tempat ibadah baginya. Pertanyaan kita, mengapa harus diletakkan di paling pojok dan di tempat paling gelap? Bukankah jika ingin tertutup, salat di bagian manapun di dalam rumah sudah cukup bagi Ummu Humaid?

Keempat, besar kemungkinan (jika memang sahih) hadis ini merupakan hadis yang bersifat spesifik untuk kasus yang terjadi pada diri Ummu Humaid. Sebab, redaksi yang digunakan dalam hadis tersebut menunjukkan bahwa Nabi tampak sedang merespon kasus personal yang terjadi pada Ummu Humaid. Di dalam Ushul Fikih hal tersebut dimungkinkan terjadi di mana  pernyataan Nabi dapat dipahami sebagai fatwa yang bersifat spesifik, bukan sebagai irsyad (petunjuk yang berlaku general). Melihat alur cerita dalam hadis tersebut, sangat mungkin bahwa Ummu Humaid adalah wanita yang tinggal jauh dari masjid Nabi, sehingga kepergiannya ke masjid dianggap terlalu memaksakan diri. Kemungkinan lainnya adalah Ummu Humaid termasuk wanita yang, karena alasan khusus, dinasehati Nabi untuk tidak berada terlalu jauh dari rumahnya. Bisa jadi alasan tersebut adalah tugas beratnya menjaga rumahnya dalam situasi khusus seperti peperangan, atau karena Ummu Salamah menderita sakit yang beresiko bagi dirinya maupun obagi rang lain jika ia berada di tengah orang banyak. Alasan terakhir ini cukup beralasan, karena kenyataannya di dalam hadis memang disebutkan bahwa Ummu Humaid kemudian meninggal dunia.

Asumsi tentang kekhususan hadis ini untuk Ummu Humaid menjadi sangat beralasan karena di dalam hadis lain yang lebih pasti tingkat kesahihannya disebutkan bahwa perempuan-perempuan di zaman Nabi umumnya menunaikan salat wajib di masjid. Setidaknya ada tiga hadis yang menerangkan hal tersebut, yaitu:

  1. Hadis Aisyah dari Bukhari-Muslim

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ إِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُصَلِّي الصُّبْحَ فَيَنْصَرِفُ النِّسَاءُ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ مَا يُعْرَفْنَ مِنْ الْغَلَسِ (متفق عليه)

“Dari ‘Aisyah ia berkata, Jika Rasulullah Saw. melaksanakan salat subuh, maka para wanita yang ikut berjama’ah datang dengan menutup wajah mereka dengan tanpa diketahui oleh seorangpun karena hari masih gelap.”

  1. Hadis Ummu Salamah dari Muslim

عَنِ الزُّهْرِىِّ قَالَ حَدَّثَتْنِى هِنْدُ بِنْتُ الْحَارِثِ أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهَا أَنَّ النِّسَاءَ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُنَّ إِذَا سَلَّمْنَ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ قُمْنَ وَثَبَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ صَلَّى مِنْ الرِّجَالِ مَا شَاءَ اللَّهُ فَإِذَا قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ الرِّجَالُ  (رواه البخاري)

“Dari Zuhri, ia berkata. Telah menceritakan kepada ku Hindu binti al-Harist bahwa Ummu Salamah isteri Nabi Saw. mengabarkan kepadanya, bahwa para wanita di zaman Rasulullah Saw. jika mereka telah selesai dari shalat fardlu, maka mereka segera beranjak pergi. Sedangkan Rasulullah Saw. dan kaum laki-laki yang salat bersama beliau tetap diam di tempat sampai waktu yang Allah kehendaki. Ketika Rasulullah Saw. berdiri dan beranjak pergi maka mereka pun mengikutinya.”

  1. Hadis Aisyah dari Muslim

أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَتْ لَقَدْ كَانَ نِسَاءٌ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ الْفَجْرَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوتِهِنَّ وَمَا يُعْرَفْنَ مِنْ تَغْلِيسِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِالصَّلاَةِ (مسلم)

“Dari Aisyah istri Nabi Saw. ia berkata. Bahwa perempuan-perempuan beriman melakukan salat subuh bersama Rasul Saw. dengan menutup wajah mereka kemudian pulang ke rumah mereka. Mereka tidak dikenal karena Rasulullah Saw. melaksanakan salat pada waktu masih gelap.”

Para ahli hukum umumnya tidak mengapresiasi hadis Ummu Salamah dan Aisyah di atas untuk dijadikan pertimbangan hukum. Beberapa ahli hukum justru mentakwilkan hadis-hadis tersebut. Menurut mereka, kaum perempuan tetap berangkat ke masjid pada zaman Nabi seperti diceritakan dalam hadis-hadis di atas, karena mereka tidak mengetahui bahwa salat di rumah mereka adalah lebih utama. Barangkali menurut para ahli hukum tersebut, yang lebih tahu adalah Ibnu Masud dan Ibnu Umar yang meriwayatkan hadis perempuan lebih baik salat di rumah yang sebelumnya telah kita diskusikan secara kritis. Menurut penulis, asumsi para ahli hukum tersebut tentang ketidaktahuan para perempuan tentang salat yang utama bagi mereka adalah logika yang kurang relevan. Alasannya adalah:

Pertama, dua orang perawi dari ketiga hadis di atas adalah kaum wanita sendiri, yang semuanya adalah istri Rasulullah Saw.. Karena para perawinya adalah orang yang terkait langsung dengan permasalahan, dan lebih dekat dengan sumber informasi, maka tiga hadis dari Aisyah dan Ummu Salamah di atas layak untuk diberikan penekanan yang lebih dari pada hadis-hadis dari Ibnu Umar atau Ibnu Masud yang justru sebenarnya tidak otentik berasal dari Nabi. Kedua, hadis ini bercerita tentang al-nisâ (perempuan yang berjumlah banyak) yang pergi ke masjid, bukan perilaku indivual satu atau dua orang saja. Kalau memang ada arahan Nabi sebaiknya salat di rumah, al-nisâ tersebut (apalagi lagi para istri Nabi) semestinya tidak berangkat ke masjid. Karena artinya mereka lebih memlih yang mafdhûl (tidak utama) daripada yang afdhal (yang utama). Ketiga, hadis di atas menggunakan lafal kunna atau kâna. Dalam bahasa Arab lafal tersebut menunjukkan arti sering (yaqtadlî al-kastrah) atau menunjukkan perbuatan yang telah menjadi kebiasaan (yufîdu ‘urfan). Maknanya adalah para perempuan di zaman Nabi tidak hanya sekali dua kali saja berangkat ke masjid, tetapi sering dan selalu ke masjid.

Kembali ke hadis Ummu Humaid. Karena berbenturan dengan hadis Aisyah dan Ummu Salmah yang telah dikutip di atas, maka dapat dikatakan bahwah hadis hadis tersebut adalah hadis khusus yang berlaku bagi Ummu Humaid dan tidak dapat digeneralisir kepada wanita secara umum. Terkait dengan kekhususan tersebut, ada satu kaedah yang relevan yang disebutkan oleh Imam Syatibi:

أَنْ لَا يَقَعَ الْعَمَلُ بِهِ إِلَّا فِي وَقْتٍ مِنَ الْأَوْقَاتِ أَوْ حَالٍ مِنَ الْأَحْوَالِ وَوَقَعَ إِيْثَارُ غَيْرهِ وَ الْعَمَلُ بِهِ إِنَّما أَكْثَرِيًّا ، فَذَلِكَ السُّنَّةُ المتَّبَعَةُ

(Satu perbuatan yang tidak dilakukan kecuali hanya sesekali atau hanya dalam kondisi tertentu, justru praktek yang sebaliknya lebih sering, maka praktek yang sering itulah yang menjadi sunnah yang diikuti).

Baca artikel sebelumnya : 18 Dalil Perempuan Lebih Utama Sholat di Masjid