Fenomena Penistaan Islam di Indonesia

Oleh: Mustofa B. Nahrawardaya

SUNGGUH sebuah kenyataan yang menyedihkan. Ternyata mimpi hidup damai di Negeri yang mayoritas penduduknya Muslim seperti di Indonesia, keindahannya tidak seperti yang di bayangkan. Dalam setahun terakhir terutama, banyak fenomena yang tidak semestinya terjadi di tanah air, terkait dengan adanya kejadian-kejadian yang justru cenderung menista agama Islam. Yang sangat menyedihkan barangkali, kejadian ini ternyata berlangsung kontinyu dan tidak jelas siapa pelaku maupun otak di balik itu semua. Penyelesaian kasusnya pun, gelap.

Seperti kita ketahui, peristiwa paling akhir yang menghentakkan Umat Islam tanah air adalah beredarnya foto Tarian Bali yang menggunakan sajadah sebagai alasnya. Peristiwa ini menjadi heboh karena lokasi pelaksaan tari-tarian, adalah di halaman Kanwil Kemenag DKI Jakarta. Meski kemudian diakui sebagai kelalaian, namun peristiwa ini tak perlu terjadi apabila panitia Hari Amal Bakti (HAB) ke-70 Kawil Kemenag DKI Jakarta paham betapa pentingnya menghindari segala kemungkinan terkait isu penistaan agama. Artinya, kelalaian yang menyebabkan isu penistaan agama menjadi sulit dipahami jika hal itu terjadi justru di kantor yang mengurusi agama. Logikanya tentu mudah. Kantor Kementrian Agama saja lalai, bagaimana dengan yang lain?

Sebelumnya, ribuan atau bahkan mungkin jutaan terompet yang dibuat dari lembaran-lembaran mushaf Al Qur’an, diketahui beredar di minimarket. Terompet bernuansa SARA ini menyebar hampir ke seluruh kota, dari Pulau Jawa hingga Ambon dan Provinsi lain. Bersamaan dengan itu, fenomena serupa terjadi di Cileduk. Sebuah warung kelontong didapati sedang menjual cetakan makanan yang dilapisi dengan plat cetak Al Qur’an. Beberapa minggu sebelumnya, beredar di Sosial Media, adanya celana dalam yang juga bermotif Surat Al Qur’an. Oktober tahun lalu, di Surabaya malah ada pabrik sandal yang memproduksi sandal bergambar lafadz Allah S.W.T di sisi bawah sandal, sehingga jika dipakai, maka lafadz Allah S.W.T tersebut akan terinjak-injak. Belum lama ini pula, ditemukan jilbab dengan motif orang bugil. Siapa otak pelaku perbuatan biadab itu sehingga bisa beredar luas di masyarakat tanpa ada yang bisa mencegahnya secara dini? Apakah sebuah kelalaian?

Tidak diketahui dengan pasti siapa pelaku utama/otak dibalik perstiwa keji ini. Yang jelas, dari beberapa fenomena itu ada beberapa pihak yang terlibat. Pertama, produsen dimana motif dan lembaran-lembaran Al Qur’an, terompet, cetakan, sandal serta jilbab dan baju itu diproduksi. Kedua, distributor yang menyebarkan hasil produksi hingga sampai ke para penjual. Ketiga, penjual eceran yang menyebabkan terompet sampai di tangan masyarakat secara mudah. Dan Keempat, sutradara atau aktor besarnya.

Bagaimana mungkin ada pihak “Keempat” atau sutradara peristiwa bernuansa SARA ini?

Sangat mungkin. Penyitaan Terompet yang dilakukan Polri, jelas diluar nalar jika dilihat dari volumenya. Tidak hanya hitungan Kilogram, melainkan hitungan Tonase. Kalau dilihat dari momen, sepertinya wajar jika terompet dijual menjelang Tahun Baru. Tetapi jika dilihat dari materi/bahan terompet dan jumlah yang beredar maupun volume materi terompet yang belum diproduksi, maka ini menjadi tidak wajar. Tahun baru sudah berjalan bertahun-tahun, pesta hura-hura menggunakan terompet maupun petasan dan kembang api, juga sudah menjadi tradisi di Indonesia. Tetapi kenapa baru sekarang kejahatan ini berlangsung? Kenapa diawali dengan kejadian serupa menggunakan media berbeda-beda?

Oleh karena itu, adanya aktor besar dari peristiwa ini sangat memungkinkan. Selain bertujuan ingin menggosok dan menggesek kerukunan Umat Islam di Indonesia, aktor besar ini kemungkinan besar punya agenda terselubung. Bahkan boleh dibilang, banyak kejadian penistaan agama, sarat dengan kepentingan politik. Agenda politis dari peristiwa ini sangat kentara karena bersamaan dengan maraknya peristiwa bernuansa SARA, para elit Indonesia sedang mempertontonkan adegan politik yang tidak elokbahkan kadang menjijikkan. Saling sikut, saling rebut, saling rangkul, saling dongkel, dan saling libas secara terbuka. Mereka tidak malu dan tidak takut mempertontonkan adegan di depan mata masyarakat. Belum lagi soal kasak-kusuk perpanjangan Kontrak Karya PT Freeport. Belum lagi soal sparatisme di Papua yang merenggut jiwa aparat. Sementara di Poso digelar Operasi Maleo dengan memburu teroris Santoso secara besar-besaran, di sisi lain Kepala BIN dapat berfoto ria bersama pentolan Din Minimi. Karena peliknya dan banyaknya persitiwa politik dan peristiwa hukum yang janggal, maka kadang kita tidak bisa membedakan mana peristiwa yang original dan mana peristiwa yang masuk dalam kategori Bulsit (Penimbul Situasi).

Kunci semua ini sebenarnya ada pada peran intelijen. “Intelijen adalah bagian dari sistem Keamanan Nasional (Kamnas), sistem peringatan dini, sistem manajemen informasi, dan sistem analisis strategis yang berperan mencegah terjadinya pendadakan strategis (strategic surprises) dalam bidang keamanan nasional serta melindungi keutuhan dan kelestarian negara berdasarkan prinsip negara demokratis. Kondisi keamanan nasional akan terwujud dengan baik apabila intelijen mampu melakukan deteksi dini terhadap berbagai bentuk dan sifat ancaman baik yang potensial maupun yang aktual. Intelijen merupakan bagian integral dari sistem keamanan dengan kewenangannya melakukan fungsi keamanan nasional” (Wibisono dan Idris, 2006: 8).

Salahsatu tugas intelijen adalah melindungi kepentingan yang lebih besar karena dalam kepentingan demokrasi, sebuah kelompok mayoritas sangat berharga. Kepentingan mayoritas akan menjadi tulang punggung kepentingan nasional. Bisa dikatakan, mau mengarah kemana peristiwa-peristiwa di atas, dapat ditentukan oleh intelijen.

Sandal bertuliskan lafadz Allah, semestinya bukan masyarakat yang menemukan barangbuktinya jika intelijen bekerja dengan tertib. Terompet dari bahan mushaf Al Qur’an pun semestinya tidak sampai menyebar ke berbagai kota, apabila intelijen kita bekerja untuk mencegahnya. Pasukan intelijen dapat saja menghentikan produksi sandal maupun produksi terompet, jika saja mereka bekerja disiplin. Bahkan kalau mau, kakitangan intelijen bisa saja menutup upaya pemindahan cover-cover Qur’an ke tangan produsen terompet dan melenyapkannya secara tertutup agar masyarakat tidak bergolak. Atau, Tari Bali di atas sajadah juga bisa dicegah apabila intelijen menjalankan fungsinya dengan baik saat acara HAB berlangsung. Namun harapan-harapan yang terlalu muluk tersebut kadang bisa terjadi sebaliknya. Adanya intelijen hitam yang beroperasi di Indonesia tidak dapat diketahui dengan mudah. Beberapa sumber menyebutkan, adanya puluhan ribu intelijen asing yang bercokol di tanah air, tidak dapat dicegah secara cepat jika mereka beroperasi dan melakukan banyak hal. Apalagi apabila dibantu oknum intelijen lokal. Mereka mungkin sudah mengetahui akan ada peristiwanya. Akan tetapi karena ada tujuan tertentu, maka kejadian tersebut sengaja dibiarkan. Intelijen Hitam sebenarnya tahu efek dari peristiwa yang akan terjadi, namun karena punya hidden agenda (agenda terselubung), maka mereka membiarkannya hingga pada tahap tertentu.

Bagi Intelijen Hitam, mereka dapat saja melakukan dua peran sekaligus. Peran pertama membiarkan peristiwa menggelinding seolah-olah memang peristiwa lazim, namun disisi lain, mereka dapat melakukan peran kedua yakni menjadi dewa penolong. Ketika masyarakat sudah resah dengan peristiwa setingannya, kemudian kelompok hantu gelap ini punya inisiatif menghentikannya. Pada tahap ini, mereka mengira masyarakat tidak paham apa yang sedang mereka kerjakan. Oleh karenanya, kejadian tersebut bisa saja dibiarkan berlangsung, kemudian mereka sengaja memberitahu aparat dengan “meminjam” tangan masyarakat agar terkesan alamiah.

Kejadian terakhir terkait sajadah maupun terompet, meskipun di depan mata terlihat lazim/alamiah, namun kejadian ini tidak bisa disepelekan. Alasan Kementrian Agama yang lalai, sepertinya dapat diterima akal. Namun apabila di Kementrian ada Intelijen Muslim yang baik, kelalaian tersebut semestinya dapat dicegah dari awal. Misalnya dengan meminta panitia untuk tidak memakai sajadah sebagai alas acara, karena dalam agenda ada uga Tari Bali yang kemungkinan dapat menimbulkan persepsi negatif jika menari di atas sajadah. Apalagi dalam kasus terompet, kecil kemungkinan intelijen tidak mengetahui proses besar-besaran pemindahan materi, produksi massal, hingga distribusi terompet ke berbagai kota se Indonesia. Tidak mudah memindahkan lembaran mushaf sebanyak itu. Tidak mudah memproduksi terompet menggunakan kertas bertuliskan ayat-ayat Qur’an secara terbuka. Kecuali ada berusaha dan dengan sengaja memproduksinya secara tertutup.

Beruntung, Umat Islam tidak mudah tersulut emosi melihat fenomena jahat ini. Seandainya mereka marah dan melakukan kegiatan kekerasan untuk merespon peristiwa terompet, bisa saja. Akan tetapi marah dan melakukan kekerasan, dalam sejarahnya tidaklah menguntungkan Umat Islam. Selama ini mereka selalu menjadi kambing hitam dan menjadi sasaran empuk dari banyak isu miring terorisme, korupsi, maupun intoleransi, gara-gara berupaya melakukan pembelaan diri dan perlawanan atas sesuatu yang tidak mereka lakukan.

Yang saya khawatirkan sebenarnya bukan tidak marahnya Umat Islam saat ini. Namun yang lebih mengkhawatirkan adalah, adanya upaya persiapan pembelaan dan perlawanan yang akan dilakukan sekelompok umat secara tertutup. Bukankah di dalam Polisi, TNI, Intelijen, maupun korp lain, ada Umat Islam di dalamnya? Bagaimana kalau ada oknum yang mempersiapkan aksi balasan di lain waktu? Masyarakat awam mungkin tidak peduli. Namun untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, tentu suasana ini tidak boleh berlangsung terus menerus. Karena kegiatan intelijen biasanya kegiatan yang sifatnya misterius. Hasil kerja mereka adalah kejadian-kejadian (tidak) seperti yang kita lihat. Jika pada saatnya nanti ada perang antar intelijen, korbannya tentu masyarakat yang tidak bersalah. Masyarakat selalu menjadi korbannya.

Selain itu, jika kita mau mundur ke belakang, maka kejadian yang cenderung ada keterlibatan intelijen hitam, tidak hanya pada setahun terakhir saja. Pada beberapa kejadian terorisme sejak 2002, misalnya pada penangkapan-penangkapan bernuansa keras oleh Densus 88 terhadap para aktifis Islam atau terduga teroris, sering ada laporan berbeda antara media massa yang mengutip keterangan aparat, dan keterangan masyarakat yang menyaksikan peristiwa secara langsung. Media melaporkan adanya bakutembak, namun saksi mata di lapangan mengatakan tidak ada bakutembak. Media melaporkan adanya perlawanan terduga teroris sehingga diambil tindakan tegas dengan menembak mati terduga. Namun saksi di Tempat Kejadian Perkara (TKP) bersikeras tidak ada perlawanan saat Densus menembak mati terduga. Adanya perbedaan fakta yang diterima publik seperti ini, salahsatu penyebabnya adalah karena peran intelijen yang jorok. Kenapa jorok, ya bisa jadi karena yang bermain tidak hanya intelijen kita. Tetapi juga ada intelijen asing dan intelijen hitam. Sampai kapan kondisi ini akan berlangsung?

Pada jaman Rasulullah S.A.W, ada seorang intelijen terbaik yang namanya terus dikenang karena kelihaiannya menjaga rahasia dan juga kecerdikannya dalam memata-matai musuh guna melindungi Umat Islam dari kemungkinan terjelek. Hudzaifah Ibnul Yaman, nama intelijen Rasulullah tersebut adalah seorang intelijen yang sangat terpercaya karena ketaatannya pada Rasulullah S.A.W dan komitmennya dalam menjaga amanah. Musuh tak pernah mengira Hudzaifah adalah seorang intelijen, sehingga Rasulullah sangat sayang pada Hudzaifah karena setiap ada tugas yang diembannya dalam rangka melindungi Umat Islam, selalu berhasil.

Penyusupan demi penyusupan tak pernah gagal dalam rangka mengamankan kepentingan Umat. Saat perang Khandaq, Hudzaifah adalah salahsatu intelijen paling berjasa saat itu, karena saat sebelum perang berlangsung, banyak pasukan Rasulullah yang rontok imannya karena terkepung dari berbagai sisi oleh pasukan Abu Sufyan. Namun, berkat ketaatan dan kedisplinan Hudzaifah dalam mengemban misi penyelamatan Umat, perang tersebut dapat dimenangkan Islam.

Dalam setiap tugas intelijen oleh Rasulullah, tidak ada pernah misi membunuh orang, menfitnah atau membantai musuh kemudian membuat kisah-kisah rekayasa tentangnya demi menyukseskan misi tersebut. Apalagi menyiksa dan membantai umat Islam sendiri demi satu tujuan, Rasulullah tidak pernah mengajarkannya. Rasulullah tak pernah mendidik demikian kepada setiap intelijennya. Namun dalam setiap misi jaman Rasulullah, intelijen boleh mengundurkan diri apabila tidak sanggup menjalankan tugasnya sesuai syariat Islam. Misi intelijen Rasulullah adalah melindungi Umat dari musuh yang ingin menghinakan Islam atau yang ingin menistakannya.

Nah, meski Indonesia tidak sepenuhnya ber-Syariat Islam dalam menjalankan pembangunan dan menjalankan sistem pemerintahannya, termasuk didalamnya mendidik intelijennya, namun tidak ada buruknya apabila melakukan adopsi nilai-nilai dari agama dan ideologi manapun dan apapun yang dirasa positif dan bermanfaat. Fakta mayoritas penduduk Indonesia yang memeluk Islam, tentu tidak menutup kemungkinan Negara dapat mengadopsi Syariat Islam sebagai gairah dalam membangun Indonesia yang lebih baik. Oleh karena itu, dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan maupun kenegaraan khususnya dalam misi penyelamatan Umat Islam di Indonesia dari upaya massif pihak tertentu dalam menghinakan Islam atau menistakannya, tak ada salahnya mengadopsi cara syar’i Rasulullah. Mengapa tidak?

*)Pengurus Majelis Pustaka & Informasi PP Muhammadiyah; Staf Ahli DPR RI 2009-2014; Peneliti Terorisme & Koordinator ICAF (Indonesia Crime Analyst Forum) 2005 – sekarang;