Baik Buruk itu Berdasarkan Akal atau Nash ?

Seri Kajian Ilmu

Ustadz Wahyu Abdurrahim Lc:

⬅ Sebelumnya telah kami sampaikan bahwa menurut Muktazilah, akal manusia bisa secara independen mengetahui baik dan buruk. Menurut mereka, baik buruk sesuatu sifatnya dzati (subsansial). Implikasi dari paham mereka ini bahwa sebelum hukum syariat diturunkan, seorang hamba akan terkena beban hukum sesuai dengan kadar kemampuan akal mereka.

↔ Sementara itu, menurut paham Asyariyah bahwa baik buruk tidak dapat ditentukan oleh akal. Baik buruk sifatnya tidak dzati (tidak subsansial). Oleh karena itu, yang bisa menentukan baik atau buruk hanya syariat. Implikasinya, ketika hukum syariat belum diturunkan, maka mereka disebut dengan ahlul fitrah yang tidak terkena beban hukum

⏩ Imam Syathibi sendiri dalam kitab Muwafaqatnya nampak sekali kecenderungan beliau terhadap pendapat imam Asyari ini. Beliau mengatakan, “Menurut muktazilah bahwa baik dan buruk sifatnya dzari (subsansial) dan dapat diketahui oleh akal secara independen. Artinya bahwa semua perbuatan yang dilakukan atau ditinggalkan seorang hamba bisa dihukumi baik atau buruk, meskipun syariat belum diturunkan. Akal manusia dapat mengetahui baik buruk secara pasti. Muktazilah lebih jauh mengatakan bahwa sebelum syariat diturunkan, manusia dengan akal yang diberikan kepadanya adalah mukallaf (mempunyai beban syariat). Itu sesuai dengan prinsip awal mereka mengenai baik buruk yang dapat diketahui dengan akal tadi. Jadi, menurut mereka hukum syariat bisa diketahui dengan akal sama seperti dapat diketahui dengan naql”.

▶ Beliau lalu menambahkan, “Sementara itu, menurut Maturidiyah bahwa baik buruk sifatnya dzati (substansial) dan dapat diketahui dengan akal. Hanya sja, mereka tidak memberikan urutan seperti Muktazilah yang mendahulukan akal baru naql. Mereka juga tidak menyatakan bahwa beban syariat bisa diketahui dengan akal, namun harus ada naql.

▶ Imam Syathibi menambahkan, “Mengingkari suatu perbuatan yang mengandung shalah dan fasat, manfaat dan mudarat, lalu menyatakan bahwa bahwa akal dapat mengetahui semua ini secara independen, sikap seperti ini bukan hanya telah keluar dari akal, namun juga dapat menggugurkan nas yang sudah sharih. Al-Quran secara jelas memberikan suatu perintah kebaikan yang semuanya mengandung manfaat bagi hamba.

↕ Al Qur’an melarang kepada keburukan dan kemunkaran, menghalalkan yang baik-baik dan mengharamkan yang buruk-buruk. Jika perbuatan baik dan buruk ini sudah diketahui oleh akal, tentu tidak ada gunanya lagi adanya nas. Siapa yang dapat memastikan bahwa tatkala wahyu turun, semua orang dapat memahami apa yang terkandung dalam wahyu?. (Al-Muwafaqat: Jilid 2 hal. 233

〰〰〰〰〰
Raih pahala. Sebarkan
Ikuti kajian lainnya….gabung bersama kami

Tim Sang Pencerah
Website: sangpencerah.id
Fanspage FB : websiteSangPencerah
Twitter : @SangPencerahWeb
▶ Chanel Telegram : kajiansangpencerah
Email : websangpencerah@gmail.com