Muhammadiyah ingin merebut status sakralitas dari pepohonan,bebatuan, azimat, keris dan person dan mengembalikan kepada yang berhak menyandangnya yaitu TUHAN. Sebagaimana Prometheus merebut api pengetahuan dari para dewa, para dewa pun marah takut manusia akan mengetahui rahasia-rahasia dan kekuatan-kekuatan mereka.
Sebagaimana sebagian besar elit agama dan kepercayaan tradisional marah kepada Muhammadiyah, takut jikalau kemaksuman,kekaramatan mereka terkelupas tiada bekas. Dalam spirit kebeharuan dan kemajuan tersebut ada hasrat untuk menuliskan takdir sendiri.
Hasrat untuk menuliskan takdir sendiri, itulah yang memanas-manasi kelahiran Muhammadiyah. Di tengah-tengah keterpurukan umat muslim yang mayoritas di masa kolonialisme, Muhammadiyah berbisik bahwa keterpurukan itu bukanlah suratan takdir yang tiada mampu diubah, tapi suatu yang yang bisa direbut dan diubah. Takdir adalah sesuatu yang bisa ditulis sendiri.
Tuhan berkata dalam kitabnya, bahwa Dia tidak akan merubah nasib sebuah kaum jika bukan kaum itu sendiri yang mengubahnya, atau dengan kata lain Tuhan tidak akan menuliskan takdir seseoranga atau kaum, jikalau bukan orang atau kaum itu sendiri yang menuliskan takdirnya sendiri. Tapi menuliskan takdir tidaklah semudah menorehkan tinta di atas kertas, menuliskan takdir sendiri berarti lahir untuk kesekian kalinya, menuliskan takdir sendiri berarti berani meniadakan untuk mengadakan, meniadakan jejaring kondisi saat ini untuk meraut sulaman masa depan.
Sesuatu yang tidak bisa dibantah, bahwa Muhammadiyah berada dan selalu ada dalam ruang sosial tertentu. Jika kita meminjam bahasa eksistensialisme Heideggerian, Muhammadiyah mengalami keterlemparan (throwness) sekaligus keterjatuhan (fallness). Yang dimaksud dengan keterlemparan bahwa Muhammadiyah saat kelahirannya membawa semacam gen atau informasi kolektif tertentu, gen semacam apakah itu? gen berupa nalar Islam Modern yang seringkali apologetik dan essensialis. Gen tersebut tak terwarisi melalui hubungan darah, tetapi melalui proses-proses budaya dalam hal ini produksi dan reproduksi wacana serta diskursus. Ciri diskurusus islam yang apologetik dan essensialis ini sangat terasa aromanya dalam tubuh Muhammadiyah saat ini.
Keterlemparan yang lain dari Muhammadiyah adalah, sebelum Muhammadiyah terlahir dan menginjak tanah bumi, kolonialisme telah ada mendahuluinya, tapi saat itu Muhammadiyah berusaha menjadi aktor kreatif, melakukan perubahan secara kultural (terutama pendidikan) dengan meminjam beberapa perangkat sosial,budaya dan intelektual dari Eropa.
Dalam terma postkolonial Muhammadiyah bukan sekedar melakukan mimicry (peminjaman atau peniruan) terhadap eropa, tetapi juga melakukan modifikasi kreatif, bahkan moeckry (peniruan yang disertai peremehan), ini bisa dilihat dengan penggunaan pakaian dan bahasa eropa oleh-oleh orang-orang pribumi Muhammadiyah tanpa memandang kelas, yang pada awalnya dipakai oleh orang-orang eropa sebagai penanda status sosial mereka.
Tapi Muhammadiyah juga mengalami “keterjatuhan” (fallnes). Apa yang dimaksud dengan “keterjatuhan”? Keterjatuhan adalah berubahnya status Da-sein (manusia) menjadi Das-man (orang), saat manusia mengorbankan keotentikan eksistensinya dan hanya menyerah pada arus zaman agar menjadi seperti orang banyak, tidak otentiknya eksistensi adalah “keterjatuhan”. Muhammadiyah telah “terjatuh” karena Muhammadiyah “takut miskin”, sebagian para elitnya telah terhenyuk dalam “kenikmatan” pusaran kekuasaan sebab ikut kebagian “kue pembangunan”. Muhammadiyah tidak otentik lagi dikarenakan mulutnya seringkali bisu terhadap ketertindasan, kekerasan dan penghianatan kepada rakyat. Muhammadiyah kehilangan nyalinya.
Muhammadiyah khawatir jika masa depannya suram, agar masa depannya terjamin dia harus melakukan beberapa terobosan-terobosan walaupun harus menghianati nurani kemanusiaannya. Kalau kita meminjam terma dari Albert Camus, Muhammadiyah telah melakukan bunuh diri secara intelektual, hal ini disebabkan pada awalnya Muhammadiyah berdiri tegak menantang dan memberontak terhadap kondisi sosial yang tiada menentu serta kacau, kini Muhammadiyah tak berani lagi melakukan itu, kini yang dilakukan adalah menggemukkan tatanan organisasi Muhammadiyah, memperbanyak ranting,cabang, dan daerah, memperbanyak amal usaha yang kini bukan hanya untuk orang tak punya tetapi juga untuk para borjuis. Sekarang kaki Muhammadiyah terlalu lemah untuk berdiri tegak siap memberontak walaupun masa depannya sendiri suram. Tak lagi setia mengikuti jejak Rasul Muhammad, yang dengan kesederhanaannya meneriaki dan memberontaki tatanan Arab Quraisy yang feodal dan despotik saat itu, walaupun harus berdarah-darah, tertatih-tatih, dimiskinkan, diasingkan. Tapi mengikuti kesederhanaan dan jiwa berontak Rasul memang sulit, jangankan Muhammadiyah bahkan para sahabatnya pun setelah beliau mangkat tak lagi sederhana dan berjiwa berontak, yang ada adalah perluasan imperium arab islam.
Padahal jika Muhammadiyah tahu cara mengada yang otentik, muhammadiyah harus menghadapi kecemasan (Angst) dan keresahannya dengan gagah berani. Menerima kecemasan yang disebabkan tidak menentunya maasa depan walaupun kita telah memilih dengan bebas, menerima kecemasan karena tiada menentunya nasib diri kita yang terlanjur berontak kepada kondisi yang timpang. Amor Fati ( Katakan ya pada nasib yang tidak menentu) kata Nietzsche, Muhammadiyah jangan terlalu berharap bahwa masa depannya pasti baik, “kaya”, kebagian “kekuasaan” di suatu saat, sebab itu semua tiadalah penting, yang terpenting adalah mendengar nurani kemanusiaan yang dititip Allah pada kita, yang utama adalah menjadi otentik. Jika Buya syafii pada suatu kesempatan mengatakan bahwa Indonesia membutuhan sosok yang gila, maka menurut pribadi saya, muhammadiyah saat ini tidaklah cukup gila untuk memperbaiki Indonesia.
Muhammadiyah lebih memilih mengikuti konsensus-konsensus baku yang berlaku, ketimbang menyerempet titik-titik sensitif kekuasaan yang selama ini menjadi mafia penghisap darah rakyat. Muhammadiyah terlalu jaim, sebaiknya muhammadiyah mengetahui bagaimana caranya menari dalam kondisi saat ini.
Memperkuat tatanan, itulah kesibukan utama Muhammadiyah saat ini, ada upaya untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai korpus tertutup. Yang saya maksud dengan korpus tertutup adalah sebuah tatanan dan hirarki dikursus organisasional yang sifatnya ekslusif, final dan cenderung menolak kebaharuan. Ada upaya menjadikan Muhammadiyah sebagai organisasi ideologi tertutup, ideologi yang menolak keberadaan the other dan mencintai kedisiplinan, tertib dan normalisasi- segala hal harus di normalkan termasuk dalam bidang pemikiran agama, pikiran-pikiran sebagian anak-anak Muda Muhammadiyah yang cenderung kritis, liberal dan nakal dianggap sebagai sesuatu yang abnormal.
Mohammed Arkoun pernah bertanya bahwa , mengapa AlQur’an yang pada awalnya bersifat fungisonal dan masih berupa wacana kenabian (prophetic discourse) yang inklusif serta cenderung mistis menjadi wacana pengajaran (professoral discourse) yang tertutup dan tidak fungsional lagi dalam menghadapi realitasnya. Pertanyaan Muhammed Arkoun mengenai wacana Qur’an ini bisa kita gunakan saat bertanya tentang Muhammadiyah. Mengapa Muhammadiyah yang pada awalnya bersifat progresif, terbuka dan fungsional dalam menghadapi realitas sosial yang mengitarinya menjadi Organisasi yang cenderung tertutup – ini bisa dilihat dari sebagian besar elit dan anggota Muhammadiyah yang memandang hina orang-orang beragama dan berkepercayaan lain, dan mudahnya melakukan pentakfiran- tidak progresif – ini bisa dilihat partisipasi yang kurang dari Muhammadiyah dalam wacana Islam kritis dan mutakhir- dan tidak fungsional dalam menghadapi tantangan zamannya.
Jikalau Arkoun menjawab bahwa penyebabnya adalah kanonisasi atau mitologisasi. Barangkali itu juga yang telah terjadi dalam tubuh Muhammadiyah, ada kanonisasi diskursus keagamaan dan organisasi dalam tubuh Muhammadiyah-contohnya himpunan tarjih yang telah menjadi kanon rujukan dalam beragama disamping kanon Mushaf AlQur’an versi Usman- serta mitologisasi. Apa yang saya maksud dengan mitologisasi dalam tubuh Muhammadiyah?.
Lalu apa yang harus kita lakukan?, kita harus berani menarasikan ulang Muhammadiyah. Muhammadiyah adalah realitas yang belum selesai, Muhammadiyah tidak boleh berhenti melakukan proses dialektika secara terus menerus dengan tantangan zaman yang makin mengalami percepatan. Menarasikan ulang Muhammadiyah berarti menulis ulang takdir Muhammadiyah.
Tetapi dalam menuliskan narasi Muhammadiyah, setiap orang punya kesempatan untuk turut serta-walaupun orang itu bukan kader,anggota ataupun simpatisan Muhammadiyah- serta menyadari bahwa seharusnya Muhammadiyah bukanlah narasi yang tunggal, monolitik dan totaliter.
Muhammadiyah seharusnya menjadi ruang yang menyambut dengan tangan terbuka siapa saja yang mau menarasikan dan mengaktualisasikan keberislamannya, keindonesiaanya dan kemanusiaannya.(eo)
**Oleh : Muh. Asratillah S