Hukum Tawasul Dalam Fikih Islam


sangpencerah.id Tawasul adalah menjadikan perantara untuk meminta sesuatu agar kebutuhan dan keinginan yang meminta tadi bisa segera dikabulkan. Di masyarakat kita, tawasul menjadi perkara yang umum terjadi. Tawasul bisa dibagi menjadi 3:

    Tawasul yang hukumnya disepakati boleh, yaitu
    tawasul dengan allah dan asma allah seperti dalilnya adalah firmannya:

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا

    Tawasul dengan amal perbuatan baik yang pernah kita lakukan. Dalilnya adalah hadis nabi yang menceritakan mengenai tiga orang yang terperangkap ke dalam goa. Tiga orang tadi tidak dapat keluar dari goa karena terhalang batu besar yang menbutupi pintu goa. Agar mereka bisa keluar, lantas mereka berdoa. Dalam doanya, setiap ornag bertawasul dengan amal perbuatan baik yang pernah ia lakukan. Dan perlahan-lahan, batu yang menutupi pintu goa bisa digeser. Mereka pun bisa keluar dari dalam goa dengan selamat. للهم إن كنت فعلت ذلك من أجلك فافرج عنا ما نحن فيه”
  
Tawasul dengan orang yang masih hidup. Dalilnya adalah

فإن الناس لما أصابهم الجدب في عهد عمر رضي الله عنه قال: “اللهم إنا كنا نتوسل إليك بنبينا فتسقينا وإنا نتوسل إليك بعم نبينا فاسقنا” فقام العباس رضي الله عنه فدعا الله تعالى.

Seluruh ulama sepakat bahwa tawasul dengan seperti tersebut di atas hukumnya boleh.

Kedua: tawasul yang seluruh ulama sudah sepakat bahwa ia perbuatan terlarang (haram), seperti tawasul seseorang dengan memberikan sesajen ke makam leluhur, atau melakukan puja-pujaan ke pohon yang dianggap keramat. Tawasul model seperi ini, seluruh ulama sepakat bahwa ia haram. Biasanya masyarakat kejawen masih banyak yang melakukan tawasul model seperti ini. Jelas ini masuk dalam ranah akidah dan bagian dari perbuatan syirik.

Ketiga, tawasul yang masih mukhtalaf fihi. Maksudnya, para ulama sendiri masih ada silang pendapat mengenai hukumnya. Sebagian ada yang membolehkan, sebagian yang lain ada yang mengharamkan. Tawasul model ini, contohnya adalah tawasul dengan nabi Muhammad saw dan dengan orang-orang shalih yang sudah meninggal dunia.

Sebelum menginjak pada kesimpulan hukum, ada suatu pertanyaan, sesungguhnya tawasul yang model ini, masuk dalam ranah akidah atau fikih? Di sini terjadi perbedaan pendapat. Habib Ali Aljafari dan Syaikh Ali Jumah memasukkan tawasul model ini dalam bab fikih. Artinya, ia masuk pada wilayah halal atau haram, boleh atau terlarang.

Sementara itu, ulama dari kalangan wahabiyah seperti Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab memasukkannya ke dalam urusan akidah. Jika masuk dalam wilayah akidah, bearti ia masuk dalam ranah syirik atau bukan syirik. Kebanyakan ulama wahabi, seperti  yang akan kita sebutkan kemudian kebanyakan memberi fatwa sesat atau syirik tersembunyi, bukan syirik akbar.

Tawasul dengan Nabi Muhammad saw dan Orang Shalih hukumnya boleh

Bagi Ali Jumah, Habib Ali al-Jufri dan Ramadhan al-Buti, mereka mengatakan bahwa tawasul dengan nabi Muhammad saw dan orang shalih yang sudah meninggal hukumnya boleh. Tentu saja, tawasul ini ada syaratnya. Menurut Ali Jumah, jika orang yang ingin melakukan tawasul berkeyakinan bahwa orang shalih yang sudah meninggal tadi dianggap dapat memberikan manfaat dan mudarat sehingga dapat mempengaruhi terhadap kehidupan dan penghidupannya, maka jelas ini perbuatan syirik yang terlarang. Namun jika ia hanya sekadar tawasul biasa, namun tetap yakin bahwa Allah saja yang mempunyai hak memberi manfaat dan mudarat, maka tawasul seperti ini boleh dilakukan.

Menurut Dr. Ramadhan al-Buthi, genrasi salaf memang tidak pernah berbicara masalah hukum tawasul. Bisa saja persoalan ini belum terjadi, atau justru sebaliknya, sudah menjadi sesuatu yang biasa bagi mereka.

Habib Ali Aljufri mengatakan bahwa jumhur ulama salaf, sampai era Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tawasul dibolehkan. Hanya Ibnu Taimiyah dan para pengikut wahabi saja yang mengharamkan hukum tawasul. Habib Ali al-Jufri juga menolak secara tegas jika tawasul masuk dalam ranah ilmu tasawuf. Menurutnya, tawasul masuk dalam ranah fikih, bukan tasawuf.

Ini juga senada dengan pendapat Syaikh Maliki, yang menganggap bahwa tawasul dengan Nabi dan orang shalih dibolehkan. Seperti Habib Ali al-Jufri juga, syaikh Maliki berpendapat bahnya hanya Ibnu Taimiyah dan pengikutnya yang menganggap bahwa tawasul terlarang. Untuk lebih jelasnya, saya akan sampaikan pendapat ulama madzhab terkait hukum tawasul

Madzhab Hambali:

Ibnu Muflih dalam kitab al furu’ berkata: Dibolehkan bertawasul dengan orang shalih.

Al-Bahuti dalam kitab Kasyaful Qana berkata: Assamiri dan penulis kitab Talkhis berkata, “Untuk meminta hujan dibolehkan bertawasul dengan orang yang bertaqwa”.

Dalam kitab al-Mmardawi , Imam Ahmad pernah berkata: “Dalam kondisi kekeringan seseorang boleh berdoa dengan bertawasul kepada Nabi Muhammad saw”.

Madzhab Hanafi

Nuruddin Mula Ali dalam kitab Syarhul Misyakh berkata, Syaih Alamul Ulama Syamsuddin bin Jazari dalam Mukadimah Syarahnya kitab Tashihul Masabih berkata, “Aku mengunjungi kuburannya (imam muslim) di Nisabur. Aku mengaji kitab shahihnya di samping kuburan untuk mendapatkan berkahnya. Dan aku benar-benar mendapatkan berkah itu”.

Madzhab Syafii:

Imam Subki berkata, Ketahuilah bahwasanya bertawasul dan beristighatsah kepada Nabi Muhammad saw  dibolehkan. Boleh dan baiknya perkara tersebut sudah menjadi rahasia umum dikalangan ahli ilmu. Ia bagian dari perbuatan para nabi, para rasul, sirah generasi salaf, perbuatan para ulama dan orang awam. Tidak ada seorang pun yang melarang perbuatan tersebut hingga akhirnya datang Ibnu Taimiyah yang membuat bingung orang-orang awam. Ia membidahkan perbuatan itu, padahal sebelumnya belum pernah ada yang membidahkannya.

Madzhab Maliki:

Tatkala al-Manshur naik haji dan melakukan ziarah ke makam Nabi, al-Manshur bertanya kepada Imam Malik, “Wahai hamba Allah, aku menghadap kiblat  lalu aku berdoa atau menghadap kuburan Rasulullah saw? Imam Malik menjawab, “Mengapa kamu harus memalingkan wajahmu dari kuburan Rasulullah saw sementara Rasulullah adalah wasilah (saranba) bagimu dan wasilah bagi orang tuamu Adam as? Menghadaplah ke kuburan Nabi dan dan minta syafaatlah kepada beliau supaya Allah memberikan syafaatnya kepadamu.

Dalil Dibolehkannya Tawasul

Bagi yang membolehkan tawasul biasanya menggunakan dali sebagai berikut:

أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan/ sarana untuk mendekatkan diri) kepada-Nya, serta berjihadlah di jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. al-Maaidah: 35).

Wajhu addilalah:

Ayat di atas secara sharih memerintahkan kita untuk mencari wasilah (bertawasul kepada Allah)

أولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا

Artinya: mereka itu adalah orang-orang yang mencari wasilah kepada Tuhan mereka, siapa dari mereka yang lebih dekat. Dan mereka berharap rahmat-Nya dan mereka takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti. (QS Al-Isra: 57)

وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذ ظَّلَمُواْ أَنفُسَهُمْ جَآؤُوكَ فَاسْتَغْفَرُواْ اللّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُواْ اللّهَ تَوَّابًا رَّحِيمًا

Artinya: “Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Annisa: 64)

Dalil dari As-Sunah:

عن الصحابي عثمان بن حُنيف: أن رجلاً كان يختلف إلى عثمان بن عفان، فكان عثمان لا يلتفت إليه ولا ينظر في حاجته، فلقي عثمانَ بن حنيف، فشكى إليه ذلك، فقال: “ائت الميضأة فتوضأ ثم صلّ ركعتين ثم قل: (((اللّهم إني أسألك وأتوجّه إليك بنبيك محمد نبي الرحمة، يا محمد إني أتوجه بك إلى ربي في حاجتي لتقضى لي))) ثم رُحْ حتى أروح معك”.فانطلق الرجل ففعل ما قال ثم أتى باب عثمان، فجاء البواب فأخذه بيده فأدخله على عثمان بن عفان، فأجلسه على طنفسته فقال: “ما حاجتك” فذكر له حاجته، فقضى له حاجته، وقال: “ما ذكرتُ حاجتَك حتى كانت هذه الساعة” ثم خرج من عنده فلقي عثمانَ بن حُنيف فقال: “جزاك اللّه خيراً ما كان ينظر في حاجتي ولا يلتفت إليّ حتى كلمته فيّ” فقال عثمان بن حُنيف: “واللّه ما كلمته ولكن شهدت رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم وقد أتاه ضرير فشكا إليه ذهاب بصره فقال صلى اللّه عليه وسلم: “إن شئت صبرت وإن شئت دعوت لك، قال: يا رسول اللّه إنه شق علي ذهاب بصري وإنه ليس لي قائد، فقال له: ائت الميضأة فتوضأ وصلّ ركعتين ثم قل هؤلاء الكلمات” ففعل الرجل ما قال، فواللّه ما تفرقنا ولا طال بنا المجلس حتى دخل علينا الرجل وقد أبصر كأنه لم يكن به ضر قط. ) رواه الطبراني(

 Wajhu addialah:

Dari sahabat utsman bin affan bahwa ada seorang laki-laki yang sedang ada masalah dengan utsman. (Waktu dia datang), Utsman tidak mau menoleh kepadanya dan tidak mau melihat kebutuhannya.

Lalu laki-laki itu bertemu dengan Utsman bin Hanif. Dia mengadukan sikap utsman itu kepadanya. Lalu Utsman bin Hanif berkata, “Tolong bawakan ke sini tempat wudhul lalu dia mengambil tepat wudhu”. Ia lalu berkata, “Berwudhulah dan shalatlah dua rekaat lalu berdoalah:

اللّهم إني أسألك وأتوجّه إليك بنبيك محمد نبي الرحمة، يا محمد إني أتوجه بك إلى ربي في حاجتي لتقضى لي

Ya Allah aku memohon kepadamu dan menghadapmu atas nama nabimu Muhammad saw, Nabi rahmah. Wahai atas namamu aku bermunajat kepada tuhanku atas kebutuhanku agar allah mengabulkan kebutuhanku

Setelah berdoa, pergilah dan saya akan menemanimu. Orang itu pergi dan melaksanakan apa yang dikatakan kepadanya. Kemudian dia mendatangi utsman. Penjaga pintu rumah utsman datang dan memegangtangannya dan memasukkannya kepad atsman. Lalu ia disuruh duduk di tikar. Utsman berkata, apa kebutuhanmu? Dia lantas menceritakan kebutuhannya dan utsmanpun memenuhi semua kebutuhannya. Utsman berkata, saya tidak ingat dengan kebutuhanmu dan baru sekarnag ingat.

Dia keluar dari rumah utsman dan bertemu dengan utsman bin hunaif. Dia berkata, semoga allah memberikan pahala untukmu. Sebelumnya utsman bin affan tidak mau melihat dengan keperluanku dan tidak pernah mau memandangku sampai engkau mengajariku dengan doa  itu. Utsman bin hunaif berakat, demi allah aku tidak mengajarimu hanya saja aku melihat rasulullah saw didatangi dharir yang mengeluhkan tentang matanya yang telah buta. Rasulullah saw lalu berkata kepadanya “jika engkau mau, lebih maik kamu bersabar. Atau aku akan mendoakanmu. Dia berkata, wahai rasulullah, berat sekali dengan aku kehilangan mataku. Aku tidak punya penuntun jalan. Rasulullah saw bersabda, ambilkan tempat wudhu lalu berwudhulah dan shalatlah dua rekaat lalu berdoalah dengan kalimat itu. Orang itu mengerjakan seperti apa yang diperintahkan nabi muhammad saw. Demi allah tidak lama kemudian, orang tadi datang kepada kami dan matanya sudah bisa melihat seakan-akan tidak pernah buta sebelumnya.(HR. Thabrani, Tirmidzi, Hakim)

Wajhuddilalah:

Secara jelas hadis tersebut menceritakan mengenai seorang sahabat yang berdoa dengan menggunakan wasilah nabi muhammad saw. Sahabat tadi berdoa tidak dihadapan nabi “Demi allah tidak lama kemudian, orang tadi datang kepada kami dan matanya sudah bisa melihat seakan-akan tidak pernah buta sebelumnya.”

أن عمر بن الخطاب رضي الله عنه كان إذا قَحَطوا استسقى بالعباس بن عبد المطلب، فقال: اللهم إنا كنا نتوسل إليك بنبينا، فتسقينا، وإنا نتوسل إليك بعم نبينا فاسقنا. قال:  فيسقون)

Artinya: Bahwa umar bin khathab ra jika terjadi musimkering, datang ke abbas bin abdul muthalib. Dia berkata, ya allah, dulu kita bertawasul kepadamu dengan perantara nabimu, kemudian engkau limpahan hujan kepada kami. Sekarang kami bertawasul kepadamu dengan perantara paman nabi kami maka turunkanlah hujan kepada kamu. Lalu turunlah jukan.
Wajhu addilalah:

Hadis tersebut menerangkan mengenai sikap umar yang bertawasul kepada paman nabi untuk meminta turun hujan. Jika ada yang mengatakan, umar bertawasul kepada abbas karena abbas masih hidup. Jika abbas sudah meninggal maka tidak boleh”, jawabnya menurut habib al jafari bahwa hadis di atas bersifat umum. Dalam kaedah ushul dikatakan:

 ن الألفاظ العامة يجب بقاؤها على عمومها ، ولا يجوز التعرض بالتخصيص إلا بدليل

 Lafal yang bersifat umum harus tetap umum dan tidak boleh ditakhsis kecuali dengan dalil.

 Artinya, hadis di atas baru bisa ditakhsis kalau ada indikator. Tidak ada dalil yang menunjukkan mengenai takhsis tawasul hanya untuk orang yang masih hidup. Untuk itu, ia tetap harus bersifat umum.

Tawasul Hukumnya Haram
Sebagaimana telah kami singgung sebelumnya bahwa yang mengharamkan tawasul umumnya dari kalangan wahabiyah. Ada juga yang bukan dari ulama wahabiyah, seperti Dr. Yusuf Qaradhawi, hanya tidak banyak. Dari para ulama yang mengharamkan tawasul itu, ada yang menganggap bahwa tawasul adalah bidah dantidak sampai derajat syirik, ada juga yang menganggapnya sebagai syirik tersembunyi.

Syaikh Abdullah Muhammad bin Abdul Wahhab berkata: “Tawasul dengan mengatakan

اللهم إني أتوسل إليك بجاه نبيك محمد صلى الله عليه وسلم، أو بحق نبيك أو بجاه عبادك الصالحين، أو بحق عبدك فلان

“Ya Allah, sungguh aku bertawasul kepadamu dengan keagungan nabi-Mu muhammad saw dan dengan kebenaran nabi-Mu atau dengan keagungan hamba-Mu yang shalih atau dengan keagungan hamba-Mu si Fulan.”  Tawasul model seperti ini termasuk bidah yang tercela yang tidak ada landasan nas. Sikap tawasul seperti ini banyak dilakukan oleh orang-orang mutaakhirin. Ia termasuk perbuatan bidah yang mengada-ada dalam agama Islam.

Meski demikian, ada ulama yang membolehkan, ada yang melarang dan ada yang memakruhkan. hanya saja, perbuatan tersebut tidak sampai derajat syirik besar.

Jika tawasul bukan dengan Nabi Muhammad saw, Syaih abdul wahab berkata, “Setahu kami perbuatan tersebut tidak pernah dilakukan oleh generasi salaf dan tidak ada atsar yang menerangkan perbuatan demikian”.

Syaikh Abdurrahman bin Hasan berkata: Jika meminta kepada Allah dengan perantara orang shalih diperbolehkan,tentu hal ini akan dilakukan oleh para sahabat dari kaum Muhajirin dan Anshar.

Sementara itu, mengenai ayat al-Quran yang sering dijadikan sebagai dalil bagi mereka yang membolehkan tawasul, yaitu ayat berikut:

يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وابتغوا إليه الوسيلة

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman berkata:

Yang dimaksudkan dengan wasilah di sini adalah al-qurbah (mendekatkan diri kepada Allah), tawasul kepada Allah maksudnya adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan taat kepada-Nya, mentaati rasul-Nya dan meneladaninya. Inilah wasilah yang dimaksudkan oleh ayat tersebut di atas.

Terkait hadis orang buta yang datang kepada nabi Muhammad saw, Syaikh ahmad bin Isa memberikan jawaban sebagai berikut:

Para ulama sependapat dengan apa yang pernah dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengenai makna hadis orang buta. Hadis tersebut sesungguhnya hanya meminta doa dari Nabi Muhammad saw. Ia juga sebagai dalil mengenai tawasul dengan zat (yang dibolehkan).

Terkait mereka yang menyamakan bertawasul antara orang hidup dan orang mati, menurut Ssyaikh Batlan bahwa antara keduanya tidak dapat disamakan. Jelas sekali perbedaan antara orang hidup dan mati. Menurutnya orang yang masih hidup memang bisa saling menolong, sementara orang yang sudah mati sama sekali tidak bisa membantu orang lain. Jika dikatakan bahwa orang mati, sesungguhnya ia masih hidup, maka jawabnya adalah bahwa yang mati seperti masih hidup hanya para nabi dan para syuhada. Kehidupan mereka pun tidak dapat diketahui oleh manusia. Jadi bagaimana bisa meminta bantuan kepada mereka?

Pendapat Dr. Yusuf Qaradwawi:

Di antara yang termasuk syirik besar namun tersembungi adalah berdoa dan meminta bantuan kepada orang mati. Ada syirik besar, ada yang tersemunyi yang tidak diketahui oleh banyak orang. Di antaranya adalah doa kepada orang mati, ahi kubur dari kalangan sufi dan orang yang dianggap punya maqam. Dengan meminta bantuan kepada mereka, meminta mereka agar bisa memenuhi kebutuhannya, menyembuhkan menyakit, melepaskan dari bencana, meminta pertolongan dari kesulitan., dan meminta bantuan dari musuh. Menurut Ibnul Qayyim, perbuatan ini merupakan asal dari kesyirikan.

Mengapa syirik ini tersembunyi, dua perkara sebab:

    Orang-orang tidak menamakan doa semacam ini dengan meminta bantuan kepada ahli kubur sebagai ibadah. Mereka mengira bahwa ibadah hanya terbatas pada ruku, sujud, shalat dan puasa saja.padahal seperti pernah kami sebutkan bahwa ruh ibadah adalah doa. Sebagaimana disebutkan dalam hadis,

الدعاء هو العبادة

Artinya: “Doa adalah ibadah“.

    Mereka mengatakan bahwa “Kami tidak pernah berkeyakinan bahwa mereka yang sudah mati dan yang kami minta bantuan itu adalah Tuhan selain Allah. Kami berkeyakinan bahwa mereka adalah makhluk Allah seperti kita. Hanya saja mereka merupakan perantara antara kita dengan Allah dan sebagai perantara di sisi Allah.

Sikap seperti in karena kebodohan mereka kepada Allah swt. Mereka mengira bahwa Allah seperti raja yang diktator di mana mereka tidak akan mampu sampai kepada raja kecuali melalui perantara.

Sikap mereka ini persis seperti sikap orang musyrik pada zaman dulu tatkala mereka menyatakan terkait Tuhan mereka yang mereka sembah selain Allah “kami tidak menyembah mereka kecuali.

ما نعبدهم إلا ليقربونا إلى الله زلفى

Artinya: “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”.

ويعبدون من دون الله ما لا يضرهم ولا ينفعهم ويقولون هؤلاء شفعاؤنا عند الله

Artinya:“Dan mereka menyembah selain dari Alloh apa yang tidak mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata : “Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami disisi Alloh” (Yunus : 18)

    Mereka tidak pernah berkeyakina bahwa berhala itu bias memberi manfaat atau membahayakan mereka atau bias memberikan rezki kepada mereka.

ولئن سألتهم من خلق السموات والأرض ليقولن خلقهن العزيز العليم

Artinya: “Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka akan menjawab: “Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui”.

قل من يرزقكم من السماء والأرض أم من يملك السمع والأبصار ومن يخرج الحي من الميت ويخرج الميت من الحي ومن يدبر الأمر ، فسيقولون الله ، فقل أفلا تتقون

Katakanlah:”Siapakah yangmemberi rezeki kepadamu dari langitdan bumi, atau siapakah yang kuasa(menciptakan) pendengaran danpenglihatan, dan siapakah yangmengeluarkan yang hidup dari yangmati dan yang mengeluarkan yang matidari yang hidup dan siapakah yangmengatur segala urusan” Maka merekamenjawab:”Allah”. Makakatakanlah:”Mengapa kamu tidakbertaqwa (kepada-Nya)?” (QS. Yunus:31)

Meskipun mereka yakin dan percaya dengan Allah yang Maha Pencipta, Tuhan pemberi rezki dan bahwa berhala itu sekadar sebagai perantara saja, namun al-Quran tetap menganggap perbuatan mereka tersebut sebagai perbuatan syirik. Mereka juga dijuluki sebagai kaum musyrikin. Allah tetap memerintahkan Rasulullah saw  untuk memerangi mereka hingga mereka bersyahadat laa ilaaha illallah. Bagi yang telah mengucapkan syahadat bearti mereka mendapatkan jaminan keselamatan.

 Menurut Qaradhawi bahwa Allah tidak butuh perantara karena Allah sangat dekat dengan hambanya. Siapapun yang ingin meminta dan berdoa kepada Allah, bisa melakukan di mana saja dan kapan saja tanpa butuh perantara. Firman Allah:
وإذا سألك عبادي عني فإني قريب

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat.
وقال ربكم ادعوني أستجب لكم

Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kukabulkan bagimu.

 Munaqasyah dan Tarjih Muhammadiyah

Secara ringkas, dapat kami sampaikan sebagai berikut:

    Terkait tawasul denga Nabi Muhammad saw, ada nasnya dan ada contoh dari generasi salaf. Untuk itu tawasul dengan Nabi Muhammad saw dibolehkan.

    Tidak ada kisah dari para sahabat atau tabiin yang melakukan tawasul dengan orang shalih yang sudah meninggal. Untuk itu, tawasul dengan orang shalih yang sudah meninggal lebih baik kita hindari.

    Memang sebagian ulama ada yang membolehkan tawasul dengan orang shalih yang sudah meninggal. Hanya saja kenyataan di masyarakat, tawasul dengan orang yang sudah meninggal lebih banyak mudaratnya. Banyak yang terlalu mensakralkan mereka sehingga “lalai” dengan Allah Sang Pencipta dan Tuhan Pengabul Doa. Bahkan seringkali orang lebih bersemangat berdoa di kuburan, dibandingkan dengan berdoa di masjid atau bermunajat di malam hari. Padahal bermunajat di malam hari ini, jauh lebih mulia dibandingkan melakukan tawasul. Firman Allah:

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَىٰ أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا

Artinya: Dan pada sebahagian malam hari bertahajudlah, sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji”. [Al-Isra: 79]

     Banyak juga yang karena terlalu mensakralkan orang shalih yang sudah meninggal, tidak disadari terjatuh dalam perbuatan Syirik. Ia menganggap bahwa orang yang sudah meninggal itu yang mempunyai kemampuan untuk mengabulkan doanya. Tentu perbuatan seperti ini berbahaya bagi akidah umat.

    Untuk menghindari terjadinya perbuatan syirik tadi, maka pintu yang dapat menjerumuskan seseorang menuju ke sana harus ditutup. Dengan demikian, tawasul dengan orang yang sudah meninggal lebih baik dihindari.

    Argumentasi pendapat kedua, yaitu pendapat yang melarang bertawasul dengan orang yang sudah meninggal jauh lebih dapat diterima. Allah adalah Dzat Yang Maha Dekat dan Allah akan mengabulkan segala permintaan hamba. Untuk berdoa pun, sesungguhnya tidak harus ada perantara. Siapapun berhak untuk berdoa dan bermunajat langsung kepada Allah. Insyaallah sesuai dengan janjinya, Allah akan mengabulkan doa hamba. Firman Allah:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

Artinya: Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kukabulkanbagimu.

sumber : almuflihun.com